POLITIK SANTUN
ohammad Natsir seakan berasal dari negeri yang
jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang
diwakilinya. Mereka memegang teguh ideologi partai masing-masing. Beradu
argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka
bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat
rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat
menghadapi penjajah Belanda.
Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi
politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda
pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan
kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.
Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas
bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah
mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak
dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di
rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rombeng. “Mobil itu bukan
hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya
kepada istri dan anak-anak.
Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus
berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di
antaranya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil
di masa penjajahan Belanda. Mereka menghidupkan politik, bukan mencari hidup
dari politik. Tentu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berperilaku
miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang Indonesianis kenamaan,
berkali-kali mengingatkan generasi muda Indonesia. Bila ingin mempelajari
semangat berdemokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak
perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Amerika. “Pelajari saja masa demokrasi
pada 1950-an,” katanya suatu kali.
Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, lebih dari 60 (sekarang 71)
tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap
oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta
imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan
seksual.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelataran kantornya bak ruang pamer
mobil mewah dengan mengendarai kendaraan luar biasa mahal justru di saat
kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi
mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan
rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang
langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang
diwakilinya.
Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang
berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas
kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat.
Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila
terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.
Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah
sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan
sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi
membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti
Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin
keadaan baik itu bisa ditiru.
Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang,
tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih
terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak
punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.
Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas
anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan.
Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan
lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa
lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang
berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.
Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat.
Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi,
kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.
Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih,
bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita
akan bertemu dengan politikus yang sekaliber (atau malah lebih baik daripada
seorang) Mohammad Natsir.
KEPRIBADIANNYA
Kepribadiannya: “Kita Tidak Menemui Lagi Tokoh Seperti Ini Sekarang,
Jaman Korupsi.”
Sang Menteri Penerangan RI itu sedang
membereskan barang-barangnya di rumah tumpangannya di daerah Tanah Abang,
Jakarta. Ia harus pergi dari rumah sahabatnya di Partai Masyumi, Prawoto
Mangkusasmito. Usianya hampir menginjak kepala empat, dan sang Menteri yang
tadinya mengontrak rumah, lalu menumpang rumah, sekarang harus ikut Presiden ke
Yogyakarta karena Jakarta mulai tak aman.
Barang-barang seadanya dibereskan. Tahun itu,
1946, sang Sultan Jogja memberikan wilayahnya agar dapat digunakan Pemerintah
RI. Mohammad Natsir, menteri yang ‘gemar’ mengontrak rumah itu harus
pergi meninggalkan keluarganya. Pergilah ia ke Yogyakarta. Di sana, ia
menumpang di Paviliun Haji Agus Salim yang juga dipinjamkan oleh Raja
Yogyakarta.
Salah seorang peneliti tentang gerakan Islam
dari Cornell University, Mc. T Cahin bilang, kalau Pak Natsir sebenarnya tak
ada tampang seperti Menteri. Jasnya bertambal, bajunya hanya ada dua stel dan
sudah butut. Sampai dikisahkan Haji Agus Salim kalau stafnya Pak Natsir
patungan uang membelikan baju bagi Pak Menteri Penerangan. Kelak, saat memimpin
Dewan Dakwah, kejadian Pak Natsir dibelikan baju terulang.
Episode Mengontrak rumah dan menumpang rumah Pak
Natsir berakhir, ketika Pemerintah memberikan Rumah di dalam gang di Jalan
Jawa, Jakarta. ‘Rumah untuk Menteri Penerangan’. Akhirnya sang Menteri kini
punya rumah, walau tanpa perabot. Puterinya, Sitti Muchliesah bilang, “kami
mengisi rumah dengan perabot bekas.”
Di dalam gang sempit, sang Menteri itu tinggal.
Di sana, ia gemar menggunakan sepeda ontelnya untuk bepergian. Hingga tahun
1950, setelah Natsir melancarkan Mosi Integral, ia ditunjuk sebagai Perdana
Menteri, sebuah jabatan tertinggi di Indonesia saat itu yang menggunakan sistem
presidensial. Menjadi orang nomor wahid di Bumi Pertiwi tak membuat Natsir
menjadi glamor. Tak ada alphard, tangan super mahal, atau jadi sulit ditemui
warga.
Pak Natsir dipaksa pindah karena dinilai
rumahnya yang sempit dan kusam di Jalan Jawa tak pantas buat orang sekelas
Perdana Menteri. Akhirnya ia pindah ke rumah dinas di Jl. Proklamasi (tempat
Soekarno tinggal). Di sana pun, ia tak pernah menggunakan fasilitas Negara
untuk keperluan pribadi dan keluarga, apalagi pelesiran ke luar negeri. Anak
Perdana Menteri itu tetap naik sepeda tuanya untuk sekolaj. Istrinya tetap
menghidangkannya makanan.
Syahdan, seorang sahabat Natsir, Khusni Muis
yang pernah jadi Ketua Muhammadiyah datang ke Jakarta untuk urusan Partai (saat
itu Muhammadiyah menjadi bagian dari Masyumi). Usai pertemuan, Khusni yang
datang jauh dari Kalimantan itu ingin meminjam uang Pak Perdana Menteri untuk
ongkos pulang. “Maaf, saya tidak ada uang karena belum gajian,” kata Natsir.
Akhirnya Natsir pun meminjam uang dari kas Majalah Alhikmah (Masyumi) yang ia
pimpin. (Tempo, Politik Santun di antara Dua Rezim).
Bisa dibayangkan kalau sekarang orang nomor
wahid, seorang Presiden RI nggakpunya uang.
Menteri-menterinya ngutang. Anggota-anggota Dewan sekarang,
jangankan untuk pesan spanduk mukanya untuk ditempel di tiang dan pohon,
memegang uang saja tidak. Tak hanya ngutang, Pak Natsir
pun pernah mengurus urusan tikar dan bedug.
Perdana
Menteri ngurusi bedug?
Seorang warga tiba-tiba datang ke kantor PM
Natsir mengadukan masalah tikar yang rusak dan bedug yang pecah di Mesjid
Kramat Sentiong. Sekretaris PM, bilang,” Buat apa soal-soal begitu kamu
bawa-bawa ke Perdana Menteri?” “Tapi Pak Natsir mau menerima dan mau
menyelesaikan masalah itu,” kata warga. “Perdana Menteri ngurusin bedug?” itu
kan soal kecil,” kata Sekretaris.
Pak Natsir yang juga ada di sana akhirnya
menjawab,” Bagi kita, tak ada soal besar atau soal kecil. Bedug pecah, itu
mungkin soal kecil bagi kita, tapi bagi orang kampung, itu soal besar!” katanya.
Akhirnya Pak Natsir pun mengurusi masalah bedug dan tikar, dan segera
menyelesaikannya.
Saat Pak Natsir mundur dari jabatannya sebagai
perdana menteri pada tahun 1951, Ibu Maria Ulfa bilang kalau ada dana taktis
sisa untuk hak Perdana Menteri. Dengan senyum Natsir hanya menggelengkan
kepala. “Berikan ke koperasi karyawan,” katanya, dan akhirnya dalam kantong
Natsir tak mampir sepeser pun uang haknya.
Setelah itu, Pak Natsir menyupir mobil dinas ke
Istana Presiden, memarkirkan mobil di sana, dan bersiap pulang ke rumahnya di
dalam lorong Jakarta, Jalan Jawa. Ia pun berboncengan sepeda ontel dengan
supirnya, pulang ke rumah, lepas sudah bebannya sebagai Perdana Menteri.
Hari-hari berikutnya, saat Pak Natsir dipenjara,
rumah dan hartanya disita. Ia tak punya apa-apa. Sang mantan Perdana Menteri,
Mantan Ketua Partai Masyumi ini mengisi hari-harinya seperti laiknya gurunya
Haji Agus Salim, dengan pola hidup ‘nomaden’. Dari satu kontrakkan ke
kontrakkan lain, ia lalui dalam usia senjanya.
Menyusuri jalanan becek dari satu rumah ke rumah
lain, hingga kawannya merasa kasihan, menjual rumahnya dengan ‘harga teman’.
Natsir pun tak menyanggupinya karena tak punya uang. Karena kebaikan
sahabatnya, ia pun diberi kesempatan untuk menyicil dalam beberapa tahun. Walhasil,
sang mantan Perdana Menteri ini mengais pinjaman untuk Rumah di Jalan Blora
pada kawan-kawannya.
Dalam
akhir hayatnya, ia tetap sederhana
Ruang kesederhanaan yang mengisi para pemimpin
negeri, mengisi nurani rakyat. Ketika Menteri Keuangan tak Punya Uang. Ketika
Menteri Mengontrak Rumah. Ketika Wapres tak Mampu membeli sepatu. Ketika orang
nomor satu ini pun mengikuti jejak-jejak mereka, orang-orang besar. Semoga
kelak, muncul kembali sosok-sosok mereka di negeri ini.
Sumber:
Majalah Tempo Edisi Mohammad Natsi: Politik
Santun Mohammad Natsir
www.islampos.com