Tuesday, March 31, 2020

Wabah Penyakit Yang Mematikan






KATA PENGANTAR

Wabah penyakit pada masyarakat muslimin tempo doeloe sebelum Virus Corona COVID-19, sempat terjadi pada Masyarakat Islam  tempo doeloe ada delapan macam wabah terjadi. Wabah penyakit juga pernah terjadi di zaman Rasulullah saw dan para sahabat. Kala itu banyak masyarakat yang juga menjadi korban dan meninggal dunia.

Jadi sebelum Virus Corona COVID-19 yang mengancam kematian dan ekonomi seperti yang sedang dialami masyarakat dunia sekarang ini, masyarakat muslim sempat merasakan beratnya menghadapi wabah penyakit yang mengakibat kematian masal yang menakutkan. Kisahnya selanjutnya dapat diikuti sebagai berikut dibawah ini.



WABAH
PENYAKIT YANG MEMATIKAN
Oleh: A. Faisal Marzuki


“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu (karena akan menularkan kepada orang lain).” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

“Kita akan lari dari takdir Allah (kejadian yang buruk) menuju takdir Allah yang lainnya (kejadian yang baik),” [Umar bin Khattab]


A
pakah penyakit tulah (plague) atau wabah seperti sampar, pes, bakteria dan kini virus, sebagai penyakit yang merusak dan mengancam kematian itu, akan memotivasi yakni mencari jalan keluar dalam mengatasinya. Atau sebaliknya sebagai faktor penghambat yakni menjadi apatis dan tidak berbuat apa-apa dalam mengatasinya dalam Komunitas Awal Kaum Muslimin?

Berikut menurut catatan sejarahnya ada delapan (8) wabah yang sempat terjadi pada masyarakat muslimin tempo doeloe.


1. Wabah Shirawayh (Plague of Shirawayh)

Wabah ini dianggap sebagai kejadian pendemik pertama yang terjadi pada masyarakat muslim. Wabah Shirawayh terjadi pada tahun 627-628 di ibukota Persia. Nama Wabah Shirawayh diperoleh dari Siroes, Raja Persia dari Dinasti Sassanian yang meninggal karena penyakit ini pada tahun 629. Dalam kitab Tarikh al-Omam wal-Muluk dari Muhammad Al-Tabari dikatakan, wabah ini membunuh banyak warga Persia meski tidak ada kepastian berapa jumlah muslim yang meninggal. Bukti dan jejak terkait wabah ini sangat jarang, namun masyarakat Semenanjung Arab percaya ketika itu sempat diserang  wabah tersebut.


2. Wabah Amwas (Plague of Amwas)

Sesuai namanya, Wabah Amwas awalnya menyerang sebuah desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina atara Jerusalem dan Al-Ramlah. Wabah ini menyerang tentara Arab yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar pada tahun 638 dan 639. Wabah Amwas kemungkinan adalah wabah penyakit pes (bubonic plague) berdasarkan catatan Jacob of Edessa.

Sebanyak 2.500 orang meninggal termasuk orang-orang dekat Rasullah saw yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Muaz bin Jabal dan puteranya Shurahbil din Hasanah, Al-Fadl bin Al-Abbas, Abu Malik Al-Ashari, Al-Hareth bin Hisham, Abu Jandal, Uwais Al-Qarni, serta Suhail bin Amr. Mengutip Al-Tabari, musuh Islam sempat mempertimbangkan mengadakan serangannya untuk mengalahkan pasukan muslimin ini, karena serangan wabah yang melemahkan kekuatan pasukan muslimin dan membuat panik.

Sebelum wabah sempat terjadi kelaparan parah, hingga tahun ini disebut Al-Ramadah. Di wilayah Suriah dan Palestina, banyak masyarakatnya yang terserang penyakit ini. Banyaknya serangan wabah dipengaruhi rendahnya daya tahan tubuh dan adanya tikus yang terinfeksi bakteri penyebab penyakit. Tikus ini menyerang persediaan pangan dan bersarang dekat sumber air warga.


3. Wabah Kufah (Plague of Kufah)

Wabah ini terjadi di Kufah pada tahun 669 di masa khalifah Muawiyah dari Bani Umayyah. Gubernur setempat, Al-Mughirah bin Shubah dilaporkan keluar dari wilayahnya saat terjadi serangan wabah. Dia baru kembali saat serangan mulai reda dan meninggal karena penyakit tersebut pada tahun 670. Serangan wabah bertepatan dengan kedatangan tentara Arab ke pesisir Asia melalui selat Bosphorus yang memisahkan daratan Asia dan Eropah pada tahun 668. Namun udara dingin, minim baju hangat, dan minimnya sarana lain mengakibatkan mereka terserang wabah serta disentri yang menghancurkan tentara yang berada dalam perkemahan-perkemahan mereka.


4. Wabah Al-Jarif (Plague of Al-Jarif)

Jenis wabah ini menyapu Irak selatan lewat Basrah seperti banjir pada tahun 688-689. Dalam tiga hari sebanyak 70 ribu, 71 ribu, dan 73 ribu orang meninggal pada bulan April tahun 689. Kebanyakan korban meninggal pada setelah terinfeksi wabah tersebut. Masyarakat dan pemerintah kesulitan menguburkan jenazah, dan juga harus mencegah mayat jangan sampai dimangsa hewan buas.

Jenazah akhirnya dikumpulkan dalam satu tempat tertutup dan dikunci, yang diharapkan mencegah kedatangan binatang liar. Tidak ada data pasti asal dan tanggal serangan, yang kemungkinan diakibatkan wabah yang muncul beberapa kali. Penulis John bar Penkaye menyatakan wabah ini menjadi kejadian paling parah yang pernah terjadi selama hidup. Saking parahnya, penduduk di wilayah Irak utara keluar dari rumahnya demi berlindung dari wabah. Sayangnya, penduduk tersebut justru menjadi korban perampokan dan mengundang niat jahat lain. John ber Penkaye berharap tak perlu lagi melihat wabah serupa Wabah Al-Jarif ini.


5. Wabah Fatayat (Plague of Fatayat)

Wabah Fatayat terjadi di Basrah, Kufah, Waset, dan Damaskus pada tahun 706. Diberi nama Wabah Fatayat karena kebanyakan korban yang meninggal adalah pelayan perempuan dan wanita muda. Tingginya angka kematian mengindikasikan wabah kemungkinan besar adalah wabah penyakit pes (bubonic plague)


6. Wabah Al-Ashraf (Plague of Al-Ashraf)

Sesuai namanya, korban Wabah Al-Ashraf kebanyakan adalah laki-laki dari kalangan bangsawan. Wabah terjadi di Irak dan Suriah pada tahun 716 selama pemerintahan Al-Hajjaj, gubernur Irak dari Bani Umayyah yang terkenal. Putera mahkota Sulaiman bin Abd Al-Malik dikabarkan meninggal karena wabah ini.


7. Wabah 743-744 (Plague of 743-744)

Wabah yang terjadi pada tahun 743-744 ini dilaporkan membunuh 100 ribu orang di wilayah Mesopotamia (Irak sekarang) dan 20 ribu jiwa tiap hari selama satu bulan di wilayah Basrah dan Hawran. Wabah yang ternyata wabah penyakit pes (bubonic plague) ini menyerang bersamaan dengan kelaparan seperti dijelaskan dalam Zuqnin Chronicle. Serangan wabah ditandai bengkak, sakit, dan luka pada kebanyakan kepala keluarga. Sayangnya karena wabah menyerang saat musim dingin, mayat tidak bisa dikuburkan sehingga dibuang di tempat umum.

Akibatnya mereka yang hidup berisiko terkontaminasi jenazah yang mulai membusuk dan terjadinya kelaparan. Mereka yang punya makanan ternyata tidak bernasib lebih baik. Stok makanan mereka dimangsa tikus yang membawa wabah ini dan berdampak buruk pada manusia.


8. Wabah Salam (Plague of Salam)

Serangan wabah terjadi di Basrah pada tahun 750 dan Damaskus pada tahun 754. Serangan paling parah terjadi saat bulan Ramadhan dengan tingkat kematian seribu per hari. Sekitar 70 ribu orang mati di hari pertama serangan dan jumlah yang sama meninggal di hari kedua.


PENUTUP



Umar bin Khattab dalam menghadapi serangan Wabah Penyakit Aswam (Plague of Aswam) menghadirkan kisah leadership (kepemimpinan) Khalifah Umar bin Khattab ra saat menghadapi serangan wabah tersebut. Sikap Umar menginspirasi dan menjadi suri teladan yang baik dalam upaya pencegahan atau mengurangi akibat infeksi wabah penyakit di kehidupan sekarang ini dimana Virus Corono COVID-19 telah mengancam dalam tingkat global atas kematian dan keterpuruknya ekonomi dunia. Sebelumnya Umar sempat dianggap melarikan diri dari takdir Allah swt.

“Kita akan lari dari takdir Allah (kejadian yang buruk) menuju takdir Allah yang lainnya (kejadian yang baik),” jawab Umar bin Khattab saat ditanya Abu Ubaidah terkait kemungkinan melarikan diri dari takdir Tuhan.

Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah sempat bertukar fikiran dalam masalah yang dihadapi, karena Khalifah Umar bin Khattab ingin membawa pulang pasukannya ke Madinah. Sedangkan Abu Ubaidah ingin tetap berada di Syam yang terserang wabah. Karena Abu Ubaidah tetap mempertahankan pendapatnya, kemudian terkena wabah dan meninggal dunia. Muaz bin Jabal yang menggantikan Abu Ubaidah sebagai Gubernur Syam juga meninggal dunia terkena wabah.

Sikap Umar bin Khattab ra didasarkan kepada Hadist yang menjelaskan sikap Rasulullah saw saat mendengar ada wilayah terserang wabah.

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

idzā sami’tum bith-tho’ūni biardhin falā tad-khulū hā, wa idzā waqo’a bi-ardhin wa antum bihā falā takhrujū minhā


Artinya:

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Al-Bukhari).

Peristiwa berjangkitnya wabah tersebut mengajarkan kaum muslimin untuk mengkaji lebih dalam sikap dan perkataan Rasulullah saw saat menghadapi wabah. Tuntunan Hadits tersebut berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat muslim mampu memperbaiki derajat kesehatan dan kehidupannya.

Penerapan ilmu pengetahuan dan prinsip agama yang sejalan memungkinkan muslim menjadi kelompok yang sangat kooperatif dalam mencegah penularan penyakit sebagai mana yang disebutkan dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari yaitu: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu (karena akan menularkan kepada orang lain).”

Jadi apa yang dinamakan “Social Distance” - menjaga jarak dengan orang lain untuk menghindari tertular dari meluasnya wabah berjangkitnya  penyakit. Atau sekarang - karena yang terkena wabah tersebut makin bertambah banyak begitu pula kematiannya, maka ada cara pencegahan yang lebih ketat lagi dari Social Distance yaitu “Lockdown” - dilarang keluar rumah,  ini adalah keputusan yang dibuat oleh badan otoritas yang berwenang seperti Presiden dan Gubernur serta Walikota. Esensi dari  Executive Order - perintah Presiden dan Gubernur serta Walikota ini  sama halnya dengan Hadits diatas dan ijtihad dari Khalifah Umar bin Khattab ra atas Hadits Riwayat Al-Bukhari tersebut yaitu: "Kita akan lari dari takdir Allah (kejadian yang buruk) menuju takdir Allah yang lainnya (kejadian yang baik)," jawab Umar bin Khattab saat ditanya Abu Ubaidah.

Meski ancaman wabah penyakit yang mematikan itu, muslim telah banyak belajar dari peristiwa ancaman wabah tersebut sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup mereka.

Demikianlah umat yang cerdas telah mengambil pelajaran bagaimana mengatasi wabah ganas yang mematikan itu, sejak dari dulu, seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra yang patut dan telah diteladani umat manusia sekarang ini. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. Germantown, MD 7 Sha’bān 1441 H / 31 Maret 2020 M. □ AFM



Referensi:
Tulisan ini bersumber dari  Kepala International Society for History of Islamic Medicine (ISHIM) Abdul Nasser Kaadan MD, Ph. D dan pengajar di Health Institute of Aleppo Mahmud Angrini MD dengan tema “Was the Plague Disease a Motivating or an Inhibiting Factor in the Early Muslim Community?” via news.detik.com.
https://news.detik.com/berita/d-4958416/sebelum-covid-19-ini-8-wabah-yang-sempat-terjadi-pada-masyarakat-islam
Photo Credit: Mike Segar/Reuters | Jeenah Moon/Reuters | Moon/Reuters | Mary Altaffer/AP Photo via www.aljazeera.com
https://www.aljazeera.com/indepth/inpictures/pictures-york-coronavirus-epicentre-200331072157721.html  □□

Monday, March 16, 2020

Pesona Masjid Raya Mujahidin Pontianak




PESONA
MASJID RAYA MUJAHIDIN
PONTIANAK
Oleh: A. Faisal Marzuki


PENDAHULUAN

M
asjid Raya Mujahidin yang mempesona ini terletak di Jalan Jendral Ahmad Yani, Kelurahan Akcaya, Kecamatan Pontianak Selatan, Akcaya, Pontianak, Kota Pontianak, Kalimantan Barat 78121. Masjid Raya Mujahidin merupakan masjid terbesar di Provinsi Kalimantan Barat. Awal pendirian masjid ini memiliki sejarah panjang dan berliku. Namun setelah menempuh waktu panjang, akhirnya pendirian masjid ini pun rampung dan diresmikan oleh Presiden Indonesia saat itu Soeharto pada tahun 1978.

Kemudian Masjid Raya Mujahidin di renovasi seperti bentuk sekarang ini dan diresmikan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo pada bulan Januari tahun 2015. Kini Masjid Raya Mujahidin ini berdiri kokoh di Pusat Kota Pontianak. Masjid ini juga menjadi landmark dari Kota Pontianak yang berjuluk Kota Khatulistiwa.


ARSITEKTURAL

Memasuki bagian dalam masjid, kita akan disajikan arsitektur khas Kalimantan Barat salah satunya dengan banyaknya tiang-tiang penyangga masjid. Masjid yang mampu menampung sekitar 9 ribu jamaah ini memiliki bangunan dua lantai dengan luas bangunan sekitar 60 meter X 60 meter di atas lahan seluas sekitar 4 hektar.


TEMPAT IBADAH DAN PUSAT DAKWAH

Masjid Raya Mujahiddin menjadi tempat ibadah serta pusat dakwah di Kota yang dilalui oleh garis khatulistiwa ini menjadi kebanggaan warga Pontianak. Mesjid Raya Mujahiddin ini sangat ramai dikunjungi terutama pada saat Shalat Jum’at, Shalat Taraweh pada bulan Ramadhan serta Shalat Idul Fitri. Selain itu, masjid ini juga sering dijadikan sebagai pusat kajian Islam oleh umat Islam di Pontianak.

Memasuki bulan Ramadhan tahun ini, suasana Masjid Raya Mujahidin semakin ramai karena digunakan untuk kegiatan selama Ramadhan. Didukung dengan area parkir yang sangat luas sehingga sangat memungkinkan digelarnya acara pameran produk dan lomba Islami serta tidak ketinggalan pasar juadahnya sebagai tradisi tahunan yang hanya ada pada saat bulan Ramadhan saja.


OBJEK WISATA RELIGI

Dengan hadirnya Masjid Raya Mujahidin Pontianak yang didesain mengikuti Masjid Nabawi di Madinah serta didukung tataruang yang sangat memadai menjadikan masjid ini bagaikan magnet bagi masyarakat Pontianak, yaitu disamping utamanya sebagai tempat ibadah, juga masyarakat Kalimantan Barat terutama Pontianak menjadikan masjid ini sebagai tujuan rekreasi dan wisata religi bagi wisatawan. Hal ini sangat beralasan karena ketersediaan tempat wisata di kota Pontianak sangatlah minim.

Seperti warga Kabupaten Sambas yang sedang berkunjung ke keluarganya di Pontianak menuturkan bahwa dirinya sengaja dibawa ke masjid ini oleh keluarganya di Pontianak untuk melihat-lihat bangunan. Sebelumnya, ia hanya mendengar kata orang bahwa bangunan Masjid Mujahidin seperti bangunan Masjid Nabawi. “Wah, rasanya betah berlama-lama di masjid ini. Suasananya sangat menenteramkan dan jadi ikut bangga melihat megah dan luasnya bangunan masjid ini,” kata warga dari kabupaten Sambas.


PENUTUP

Demikian mempesonanya dari daya tarik arsitektural bangunan fisik berikut tataruang serta pertamanan mesjid sebagai tempat ibadah dan pusat dakwah kaum muslimin nusantara ini, lihat imej gambarnya seperti dilihat  dari luar (exterior) maupun dari dalam (interior).


Tidak menutup kemungkinan pesona Masjid Raya Mujahidin ini, sampai-sampai, pihak non-muslim pun tanpa diketahui dapat masuk ke area halaman masjid. Hanya saja dihimbau kepada pengunjung untuk tetap memperhatikan etika dan pakaian agar sesuai dengan norma-norma Islam. Subhānullāh, wa Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. Salam takzim kami. □ AFM



Referensi:
https://situsbudaya.id/masjid-raya-mujahidin-pontianak/
https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/masjid-raya-mujahidin-pontianak-pusat-dakwah-di-pontianak
https://arfiandiblog.wordpress.com/2016/08/12/masjid-raya-mujahidin-jadi-landmark-islami-di-kota-pontianak/ □□