Friday, August 18, 2017

Siti Manggopoh Singa Betina Melawan Belanda







Saat kanak-kanak, Dullah merebut ikan hasil pancingan Siti. Bukannya takut, Siti malah menantang duel. “Ikan ini kudapat dari hasil keringatku. Ini hakku. Kau tak boleh merampasnya. Selangkah aku tak surut menghadapimu! Tarung kita?”

Inilah kisah dari Minangkabau. Tentang perempuan cantik yang memimpin Perang Belasting seabad silam. Perang ini membuat Belanda kalang kabut; 53 dari 55 serdadu Belanda yang bermarkas di Benteng Nagari Manggopoh meregang nyawa.



Pendahuluan

A
da yang tidak tersiarkan dengan semestinya -karena kini memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia- dari catatan sejarah Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan (kemerdekaan) Indonesia dari penjajahannya, yaitu seorang tokoh bernama Siti Manggopoh, 1880-1965). Nama perempuan asal Minang ini memang tidak bergaung seperti R. A. Kartini dari Jepara, Jawa Tengah. Atau Cut Nyak Din dari Aceh yang berani mempertaruhkan nyawa dalam cinta tanah air dan agama. Bahkan mungkin orang lebih mengenal Rochana Koeddoes, pejuang hak-hak perempuan di Padang, Sumatera Barat.

   Namun kalau dilihat dari catatan perjalanan hidup dan sepak terjang Siti Manggopoh tidak kalah dari ketiga pendekar tersebut. Dalam kelemah lembutannya sebagai perempuan Minang, ia mampu menunjukkan peran perempuan di tengah dominasi laki-laki yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Ia siap mengorbankan nyawa dalam beberapa pertempuran melawan penjajah Belanda.

   Teriakan takbir “Allahu Akbar” selalu berkumandang untuk mengobarkan semangat perjuangan pasukan yang dipimpinnya, yang semuanya laki-laki. Karena “keperkasaan perjuangannya” itulah, masyarakat Minang Menggelarinya “Singa Betina Manggopoh”. Dialah satu-satunya “Singa Betina dari Minangkabau”, karena tak ada perempuan seberani dia dalam merintis kemerdekan di Sumatera Barat.

   Padahal jika ditelusuri lagi, Siti Manggopoh merupakan pahlawan perempuan dari Minangkabau yang mampu mempertahankan marwah bangsa, adat, budaya dan agamanya. Bagaimana tidak, Siti Manggopoh tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui perpajakan (belasting) yaitu memajaki warga Minang di negeri Minang sendiri oleh dan demi kepentingan penjajah. Saat itu Siti Manggopoh perempuan pejuang dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatera Barat muncul sebagai perempuan dengan semangat perlawanan terhadap penjajah yang terjadi di negeri ini.


Riwayat Siti Manggopoh

P
erempuan Minang ini memiliki nama Siti. Ia lahir bulan Mei tahun 1880. Nama Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh. Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya (kampung tempat tinggalnya).

   Siti merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Kelima kakaknya dengan senang hati menyambut kelahiran Siti, karena Siti adalah anak perempuan pertama sekaligus terakhir yang dilahirkan dalam keluarga mereka. Kelima kakak laki-laki Siti pun selalu mengusung Siti ke mana-mana. Ia membawa Siti ke pasar, ke kedai, ke sawah, dan bahkan ke gelanggang persilatan.

   Siti pun pernah bermain sangat jauh dari kenagarian Manggopah, bahkan sampai ke daerah Tiku, Pariaman. Tak hanya itu, ketika kakaknya belajar mengaji ke surau, Siti juga di ajak dan mengecap pendidikan surau. Sebagai perempuan Minang, Siti memiliki kebebasan. Ia membangun dirinya secara fisik dan mental serta rohani. Ia belajar mengaji, bapasambahan dan juga persilatan. Sifat dan pengalaman seperti itulah kiranya yang menyebabkan Siti berani maju ke medan perang untuk melawan penjajah Belanda di negerinya.


Siti Menikah

S
iti menikah dengan Rasyid. Pernikahan mereka ternyata tidak membuat Siti terikat dengan tugas perempuan di dalam rumah tangga saja. Justru bersama suaminya Rasyid, Siti memiliki semangat dan arah perjuangan yang setujuan. Mereka bahu membahu berusaha keras melepaskan penderitaan rakyat Minangkabau. Kesadaran ini muncul ketika Siti dan Rasyid merasakan bahwa telah terjadi penindasan di negerinya oleh pemerintah kolonial Kerajaan Belanda yang disebutnya Hindia Belanda.

   Dari catatan yang ada, meski sebagai seorang tokoh pun ternyata Siti pernah mengalami konflik batin ketika akan mengadakan penyerbuan ke benteng Belanda. Konflik dengan rasa keibuan yang mesti menyusui anaknya yang masih usia kecil, padahal disatu sisi, ia merasa sebuah panggilan jiwa untuk melepaskan rakyat dari kezaliman Belanda. Namun, ia segera keluar dari konflik bathin itu dengan memilih panggilan jiwa untuk membantu rakyat.

   Inilah catatan untuk Siti Manggopoh. Ia pun kembali memunaikan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu setelah melakukan penyerangan. Catatan lagi menyatakan bahwa Siti pernah membawa anaknya, Dalima, ketika melarikan diri ke hutan selama 17 hari, dan selanjutnya dibawa serta ketika ia ditangkap dan dipenjara 14 bulan lamanya di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman, dan 12 bulan di Padang. Perempuan Minangkabau pemberani yang bertaruh mengikut sertakan anaknya ke medan perang, karena kondisi fisik anaknya yang masih kecil - perlu perawatan orang tuanya.


Penerapan Pajak Langsung (Balesting)

P
enerapan Pajak - Belasting merupakan tindakan pemerintah Belanda yang menginjak harga diri bangsa Minangkabau. Rakyat Minangkabau merasa terhina ketika harus mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah (dan pajak lainnya) yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan pemungutan pajak (belasting) langsung ini dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Di Minagkabau, tanah adalah kepunyaan komunal menurut adat Minangkabau yang sudah turun temurun sampai saat ini.

   Kesewenang-wenangan Belanda dalam memungut pajak di tanah kaum sendiri, membuat rakyat Minangkabau melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut juga tidak dilupakan oleh Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mengirimkan marechaussee (marsose), karena adanya sebuah gerakan yang dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni tahun 1908. Belanda sangat kewalahan menghadapi Siti Manggopoh pada saat itu, bahkan ia meminta bantuan kepada serdadu Belanda yang berada diluar nagari Manggopoh. Bermula perang di mulai di Kamang (16 kilo meter dari Fort de Kock - Bukittinggi, kemudian berlanjut di Manggopoh, Lintau Buo dan daerah-daerah lainnya.

   Siti Manggopoh memang membangun diri dan keberanian (tomb boy) serta kecerdasannya sejak dari kecil. Bakat lahiriah inilah yang muncul ketika menyusun siasat yang diatur sedemikian rupa olehnya. Dia dan beberapa pasukannya berhasil menewaskan 53 orang serdadu penjaga benteng. Siti memanfaatkan naluri keperempuanannya secara cerdas untuk mencari informasi kekuatan Belanda tanpa hanyut dibuai rayuan mereka.


Pembantaian Tentara Belanda

D
i markas benteng Belanda di Manggopoh, sewaktu tentara Belanda sedang mengadakan pesta judi dan mabuk-mabukkan, masuklah seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah Siti – buruan pemberontak yang paling di cari tentara Belanda. Siti langsung membaur dengan tentara yang sedang mabuk itu.

   Karena kelelahan dan teller akibat minuman keras itu, akhirnya puluhan tentara Belanda terkapar tak sadarkan diri, melihat peluang tersebut Siti segera memberi isyarat kepada para pejuang yang sudah menunggu di luar benteng untuk segera masuk dan menyerangnya.

   Para pejuang merebut benteng (markas) Belanda yang sebelumnya membantai dulu puluhan serdadu Belanda. Tercatat dari 55 serdadu Belanda, 53 orang tewas, dan 2 orang berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah ke Lubuk Basung.

   Dalam Perang Manggopoh ini, Siti memenangkan pertarungan dengan Belanda. Ia berhasil menyelamatkan bangsanya dari penjajahan. Oleh sebab itu, sejarawan Minangkabau mencatat Siti Manggopoh sebagai satu-satunya perempuan Minangkabau yang berani melancarkan gerakan sosial untuk mempertahankan nagarinya terhadap penjajah asing. Bahkan tidak jarang gerakan yang dilancarkannya secara fisik.

   Perebutan benteng akhirnya dikuasai pihak pejuang ini. Kemudiannya menyulut menjadi Perang Manggopoh yang lebih intens lagi oleh Belanda dengan dibantu serdadu Belanda dari luar Manggopo. Tujuh dari pejuang tewas dan 7-nya lagi tertangkap hidup-hidup oleh Belanda termasuk Siti Manggopoh dan suaminya. Kemudian Siti bersama sang suami, Rasyid Bagindo Magek, dipenjarakan serdadu Belanda. Namun, lantaran mempunyai bayi, Siti terbebas dari hukuman sebagaimana biasanya, yaitu pembuangan ke daerah lainnya. Siti Manggopoh meninggal di usia 85 tahun, pada tanggal 20 Agustus 1965 di Kampung Gasan Gadang, Kabupten Agam, Sumatera Barat.


Usulan Menjadi Pahlawan Nasional

S
emasa zaman penjajahan Belanda, banyak sudah pahlawan nasional yang turut serta membela negara ini. Kendati begitu, ada juga pejuang yang tak dikenal sama sekali. Boleh jadi, lantaran itu pula Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat dan DPRD setempat, baru-baru ini, kembali mengusulkan kepada Pemerintah Pusat, supaya Mandeh Siti Manggopoh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Siti Manggopoh, dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Alasannya, perempuan ini terbukti amat ditakuti Belanda lantaran pernah menaklukan benteng sang penjajah dari inisiatifnya seorang diri (yang dibantu oleh lasykar pejuang lainnya seperti yang telah disebutkan) di Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.


Penutup

D
alam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Siti Manggopoh memang tidak pernah muncul ke permukaan. Lantaran itu pula, sejarah pejuang perempuan yang satu ini hanya diketahui sebagian masyarakat Sumatera Barat. Namun masyarakat setempat masih menghargainya, terbukti lewat peringatan 93 tahun (pada tahun 2014) Perang Manggopoh, yang sekaligus menjadi momentum peresmian Monemen Siti Manggopoh yang didirikan tahun 2014.

   Dia dinobatkan oleh Satria Muda Indonesia sebagai pendekar silat Minang. Gelar tersebut sebagai penghormatan terhadap kiprah Siti yang juga dikenal sebagai pesilat tangguh sejak remaja. Selain itu, Siti juga membangun gelanggang persilatan di Tanah Nagari Manggopoh.

   Pada bulan Juni tahun 1908 jam 12.00 mereka bersama Dalima anaknya dalam gendongan Siti, diangkut ke Lubuk Basung dengan pengawalan ketat pasukan serdadu Belanda. Ternyata orang tua dan anak sulung mereka, Yaman, sudah lebih dulu berada di sana. Meski sudah menyerah, Siti masih saja menunjukkan keperkasaannya sebagai pahlawan. Menjawab interogasi petugas kolonial Belanda, dengan lantang ia menyatakan tidak takut dihukum gantung. Saya menyerang markas dan membunuh serdadu Belanda, karena Belanda telah melanggar adat dan agama warga Manggopoh,” katanya. “Saya peringatkan pula agar serdadu-serdadu Belanda tidak lagi merendahkan martabat perempuan Minang yang sangat ditinggikan di masyarakatnya,” lanjutnya. Menyaksikan keberanian perempuan itu, interogator kolonial Belanda itu geleng-geleng kepala. Akhirnya untuk sementara mereka ditahan di Lubuk Basung.

   Setelah mendekam di tahanan selama 14 bulan di Lubuk Basung, mereka dipindahkan ke penjara Pariaman, dan 18 bulan kemudian mereka dipindahkan lagi ke penjara Padang. Setelah 12 bulan di penjara di Padang, Rasyid dibuang ke Manado, Siti yang juga minta dibuang bersama suaminya ke Manado, malah dibebaskan dengan alasan punya anak kecil. Sejak saat itulah tak terdengar lagi genderang perang di Manggopoh. Siti tinggal di rumah mengasuh anaknya, Dalima, yang tak lama kemudian meninggal.

   Pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Nasution menyampaikan penghargaan kepada Siti, bertempat di Balai Nagari. Nasution mengalungkan penghargaan Negara dan Rakyat atas keperkasaan Singa Betina dari Sumatera Barat itu.

Sang Jenderal bahkan sempat membopong dan mencium wajah tua Siti, yang di hari-hari tuanya sering dipanggil “Mande (Ibu) Siti”. Ketika usianya mencapai 78 tahun, tubuhnya semakin lemah, sementara matanya mulai rabun. Namun akhirnya pada tahun 1964 harapan masyarakat Manggopoh terwujud juga. Pemerintah RI menggelari Siti sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.

   Dan setahun kemudian, tepatnya 22 Agustus 1965, sang pahlawan pun wafat dalam usia 85 tahun di rumah salah seorang cucunya di kampung Gasan, Kabupaten Agam. Almarhumah dimakamkan di taman Makam Pahlawan Padang.

   Riwayat perjuangan Singa Betina yang gagah berani itu tersimpan di museum Adityawarman dan Gedung Wanita Rochana Koeddoes, Padang. Siti telah berjuang, Siti telah tiada, tapi sosok kepahlawanan dan perjuangannya tetap dikenang sepanjang masa. □ AFM



Bahan Penulisan:

http://coretananakminang.blogspot.com/2014/03/siti-manggopoh-singa-betina-dari-minang.html http://www.berdikarionline.com/siti-manggopoh-dan-perang-belasting/  
https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Belasting, dan sumber-sumber lainnya. □□□

Monday, August 14, 2017

Pelatihan Menumbuhkan Kesadaran Diri







Consciousness is a condition of mentality or attitude of the soul to realize, understand, know and understand what is in the mind and heart as well as the reason for doing something.

The level of consciousness of every human being will affecting to the quality of life and self-esteem as a social being. Self-awareness is also called the idea themselves and contribute to the success in putting yourself naturally. Cultivating self-awareness can be done through a variety of popular activities in Islam known as muhasabah alannafs.


PENDAHULUAN

K
esadaran dalam Islam merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan. Hal ini disebabkan kesadaran itu diperlukan untuk mencapai siatuasi kehidupan yang lebih baik. Inti dari hidup sesungguhnya (adanya) kesadaran diri.


Tingkat kesadaran setiap manusia akan mempengaruhi kualitas hidup dan harga diri sebagai makhluk sosial. Kesadaran diri juga disebut ide itu sendiri dan berkontribusi pada kesuksesan menempatkan diri secara alami.

Menumbuhkan kesadaran diri bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan populer, dalam Islam dikenal dengan muhasabah alannafs (kesadaran atas diri sendiri) diantara lingkungannya (Allah Pencipta, Alam dan Manusia)


Pengertian Kesadaran

Kalimat “kesadaran” berasal dari kata-kata “sadar”. Kata ini dalam kamus besar Bahasa Indonesia memiliki pengertian insaf, tahu dan mengerti, ingat kembali. Lebih lanjut kata dasar sadar tersebut dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti menyadari, menyadarkan dan penyadaran. Semua ungkapan tersebut memiliki konotasi yang berbeda sesuai dengan perubahan kalimat dasar yang digunakan.

Kalimat “menyadari” dapat diartikan sebagai upaya dan usaha dalam menginsafi, mengetahui atau menyadari kembali. Menyadarkan berarti menjadikan (menyebabkan) seseorang sadar, menginsafkan, dan mengingatkan atau ingatan kembali (siuman, sadar kembali).

Penyadaran proses, cara, perbuatan yang menyadarkan. Kesadaran merupakan keadaan keinsifan, mengerti atau hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Dari makna sadar, kesadaran, menyadari dan penyadaran maka sadar adalah suatu tujuan yaitu lahirnya keinsafan, tahu dan mengerti dan ingatan kembali. Kesadaran merupakan situasi atau hasil dari kegiatan menyadari sedangkan penyadaran merupakan proses untuk menciptakan suasana sadar.

Sadar diri dimaknai dengan tahu diri (hak dan kewajibannya). Tahu diri merupakan kondisi dimana seseorang mengenal hal ihwal diri serta mampu menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan posisi yang tepat dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu orang yang tahu diri adalah orang yang mampu dan sanggup membawakan diri ditengah-tengaah kehidupan dan tidak mengalami kesulitan pada penerimaan orang lain akan berbagai kondisi dirinya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan penyadaran adalah semua proses dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam mengembalikan atau menciptakan keinsafan, mengetahui sesuatu, dan mengembalikan ingatan "murid" setelah suasana tersebut dipengaruhi atau hilang oleh faktor “ketertinggalan atau ketidaktahuan” atas “kesadaran diri” sebagai manusia.


TEORI DAN KONSEP KESADARAN

K
egiatan penyadaran untuk menciptakan kesadaran dalam konseling dan pelatihan dikenal dengan istilah Eksistensial Humanistik. Teori Esksistensial Humanistik dipelopori oleh Carl Rogers. Teori ini mengedepankan aspek kesadaran dan tanggung jawab. Menurut konsep ini manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. [Gerald Corey, 2007: 54].

Kesanggupan untuk memilih berbagai alternatif yakni memutuskan sesuatu secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah sesuatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai dengan tanggung jawab. Konsep ini juga menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya, sebagaimana Firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Pertama, Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum (masyarakat, bangsa), hingga kaum itu “mengubah” (kebiasaan-kebiasaan atau cara berbuat yang baik menjadi tidak lagi baik sehingga) apa yang ada pada diri mereka sendiri (yakni nikmat yang diperoleh dicabut kembali), QS Al-Anfāl 8:53.

Kedua: Malang karena perbuatan sendiri, lihat Surat Yāsīn ayat 19.

Ketiga: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri”, QS Ar-Ra’d 13:11

Dalam penerapannya konsep pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran - kesanggupan seseorang dalam mengalami hidup secara penuh sebagai manusia. Pada intinya keberadaan manusia, membukakan kesadaran bahwa:

● Manusia adalah makhluk yang terbatas, dan tidak selamanya mampu mengaktualkan potensi-potensi dirinya.

● Manusia memiliki potensi mengambil atau tidak mengambil suatu tindakan.

● Manusia memiliki suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu manusia menciptakan sebagian dari nasibnya sendiri.

● Manusia pada dasarnya sedirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain; manusia menyadari bahwa terpisah tetapi juga terkait dengan orang lain.

Makna adalah sesuatu yang tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan hasil pencarian (pembelajaran, pelatihan) manusia dan dari penciptaan tujuan manusia yang unik.

Kecemasan eksistensial adalah bagian hidup esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran atas keharusan memilih, maka manusia mengalami peningkatan tanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan yang artinya:

Dia (manusia) mendapat (hasil baik, pahala) dari kebajikan (kesadaran yang positif) yang dikerjakannya dan dia mendapat (kesengsaraan, siksa) dari (kesadaran yang negatif, tidak ada kesadaran jadi salah menyikapi sesuatu) yang diperbuatnya, QS Al-Baqarah 2:286.



MENUMBUHKAN KESADARAN DIRI
DALAM ISLAM


  • Kecemasan timbul dari penerimaan ketidakpastian (ketidak tahuan, kegalauan) arti masa depan.
  • Manusia bisa mengalami kondisi-kondisi kesepian, ketidak-bermaknaan (kegalauan), kekosongan, rasa berdosa, dan isolasi, sebab kesadaran adalah kesanggupan yang mendorong kita untuk mengenal kondidi-kondisi tersebut. (Gerald Corey, 2007: 65).


K
esadaran dalam Islam merupakan hal yang sangat penting untuk diciptakan. Hal ini disebabkan kesadaran itu diperlukan untuk mencapai siatuasi kehidupan yang lebih baik. Inti dari hidup sesungguhnya (adanya) kesadaran diri.

Setiap diri semestinya menyadari akan eksistensinya sebagai manusia di samping sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Oleh karena itu semestinya setiap diri memiliki kesadaran yang tinggi dikaitkan dengan tujuan hidup, tugas hidup, tantangan hidup, teman hidup, lawan hidup, perbekalan hidup dan berakhirnya kehidupan.

Dari segi tujuan hidup, manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana Firman Allah swt yang artinya:

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”, QS Adz-Dzāriyāt 51:56.

Dan menjadi khalifah-khalifah di muka bumi sebagimana Firman Allah dlam Kitab Suci Al-Qur’an yang artinya:

“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi”, QS Fāthir 35:39.

Yaitu untuk memakmurkan kehidupan di bumi sebagaimana Firman-Nya yang artinya:

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”, QS Hūd 11:61.

Beribadah kepada Allah (abdi) dilakukan dengan penuh keikhlasan dalam penghambaan, (QS Adz-Dzāriyāt 51:56, Al-Bayyinah 98:5). Prinsip beribadah dalam menjalankan kehidupan akan mendorong manusia untuk selalu berbuat optimal dan terhindar dari perasaan terpaksa dan memberatkan.

Begitu pula halnya sebagai khalifah yang ditugaskan untuk mengatur dan menatakelola kehidupan di bumi dengan cara-cara yang dirdhoi Allah swt yakni, dengan kasih sayang dan keadilan (QS Al-Balad 90:17) serta menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Kehidupan ini juga perlu disadari bahwa ia juga memiliki tantangan - penuh perjuangan, (QS Al-Balad 90:4). Tantangan hidup adalah bagaimana bisa menundukkan kehidupan dunia yang serba gemerlap untuk kepentingan akhirat. Kehidupan juga memiliki tantangan yang begitu hebat yaitu mengusahakan atau menghindarkan perbuatan kemaksiatan dan kejahatan serta pelanggaran menjadi atau diganti dengan mengerjakan yang bermanfaat seperti berbuat kebaikan, kesalehan dan ketaatan, (QS Al-Balad 90:10). Begitu pula kemalasan yang ada dalam diri perlu diubah menjadi pribadi yang rajin, ulet, inisiatif, produktif dan sebagainya.

Perlu pula disadari bahwa hidup ini membutuhkan bantuan atau team work, kerja dalam tim, artinya peran orang lain diperlukan. Hal ini dikarenakan manusia makhluk sosial atau bermasyarakat.

Sebagai makhluk sosial dapat diartikan bahwa sosial memiliki makna kemampuan dan kesanggupan diri untuk menempatkan diri pada diri dan orang lain sesuai dengan kaedah yang berlaku. Kemampuan dalam menempatkan diri sangat dipenggaruhi oleh sejauhmana kemampuan dan kesanggupan diri dalam mengenali diri dan orang lain, memahami dan menerima keterbatasan dan kelebihan diri dan orang lain yang memiliki karakter yang berbeda.

Kesadaran yang perlu dimiliki oleh setiap diri adalah siapa yang menjadi musuh dan kawan dalam hidup. Musuh dalam konteks al-Qur’an khususnya bagi orang beriman adalah setan dan orang-orang “kafir” yang memerangi Muslim (Islam). Karena setan berupaya menggoda dan menyesatkan manusia dari kebenaran dan orang kafir menghalangi orang-orang beriman untuk tunduk di jalan Tuhan.

Orang kafir yang mempunyai sifat “agresif menyerang” selama-lamanya tidak akan pernah senang terhadap orang beriman selagi belum mengikuti millah (cara, aturan, agama) mereka, (QS Al-Baqarah 2:120). Sementara itu kawan adalah orang muslim yang mu’min, (QS Al-Hujurāt 49:10) yang satu sama lain harus hidup dalam tolong menolong, saling mengingatkan dengan kebenaran dan kesebaran serta dengan kasih sayang. [QS Al-‘Ashr 103:3]

Selanjutnya perlu pula disadari bahwa hidup didunia ini hanyalah “sebentar” (tidak selamanya) dan akan kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu kehidupan sebentar ini juga akan diminta pertangungjawabannya kelak di akhirat tentang apa yang telah dibuat selama hidup di dunia dan untuk perbekalan hidup di kampung akhirat.

Semestinya setiap orang harus mampu memanfaatkan kehidupan yang sebentar itu untuk menciptakan kehidupan bermakna dan mengupayakan terciptanya kondisi hidup yang penuh kemanfaatan, yaitu adil, damai, dan sejahtara.

Khususnya  kedamaian hidup bisa diraih ketika kesedihan dan kesengsaraan batin bisa dihindari. Terkait dengan hal ini ‘Aidh Al-Qarni menulis buku La Tahzan Innallāha Ma’ana (Jangan bersedih atau risau, sesungguhnya kita bersama dengan Allah Maha Pencipta dan Maha Kasih serta Maha Sayang). Agaknya karya beliau ini bisa menjadi bacaan untuk mempertahankan nilai-nilai kesadaran diri dengan meminimalisir kesedihan.

Kesedihan menurut ‘Aidh al-Qarni (2004: 161) bisa dihilangkan dengan keridhaan hati. Keridhaan akan menciptakan ketenangan, hati yang dingin, ketegaran dalam menghadapi syubhat, ketegaran dalam menghadapi berbagai permasalahan yang tumpang tindih dan muncul deras sekali. Hati yang ridha akan yakin sepenuhnya kepada janji Allah dan Rasul-Nya. (‘Aidh al-Qarni, 2004:374).

Ibnu Qayyim dalam ‘Aidh al-Qarni (2004: 216) mengemukakan bahwa cara membuat hati menjadi damai dan lapang yaitu melalui tauhid.  Dengan kebersihan dan kesucian tauhid itu bisa membuat hati menjadi lapang, jauh lebih luas dari dunia dan isinya.

Disamping itu kelapangan hati diperoleh dengan cara mengulurkan tangan untuk berbagi dengan sesama melalui sedekah. Sedekah membuat hati menjadi lapang. Sebab apa yang diberikan kepada orang lain akan mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya belenggu yang mengikat jiwa adalah bagian dari belenggu yang mengikat tangan. Orang-orang kikir adalah yang paling sesak dadanya dan sempit akhlaknya. (‘Aidh al-Qarni, 2004:230).

Kesadaraan, seperti penjelasan di atas berarti sifat atau karater alias tabiat atau kecenderungan diri untuk tetap tahu, mengerti dan memahami serta menerima keadaan yang dialami (dan berusaha keluar dari belenggu). Seorang “murid” atau para peserta orientasi) dikatakan sadar apabila ia mengerti, memahami serta tahu dengan kondisinya. Tingkat kesadararan seseorang terhadap kondisi yang dihadapinya akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan kemauan untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu kesadaran merupakan kondisi jiwa dimana seseorang mengerti dengan jelas apa yang ada dalam fikirannya dan paham dengan apa yang sedang dilakukannya.

Penerapan nilai-nilai kesadaran dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan layanan seperti pelatihan, orientasi, informasi, refleksi, introsfeksi, konseling, halaqah yang bermuatan tentang proses menyadari akan tujuan hidup, peran dan tanggung jawab sebagai hamba dan kahalifah, sadar akan kelebihan dan kekuarangan diri, sadar bahwa sakit cepat datang dan lambat pergi, sadar bahwa setiap penyakit yang dialami diturunkan juga obat penawarnya. Serta sadar bahwa semua akan berakhir.


Perenungan Diri (Muhasabah)

Istilah lain perenungan diri dalam Islam dikenal dengan muhasabah yaitu proses mengingat, merenungi, menghayati dan melakukan evaluasi tentang apa yang telah dilakukan untuk perbaikan kedepan. Ke depan atau besok dapat dipahami sebagai hari yang akan dilalui serta lebih fokus lagi pada persiapan kehidupan yang lebih abadi yakni perbelakan untuk kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya yang artinya:

“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”, QS Al-Mu’minūn 23:115.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta”, QS Al-‘Ankabūt 29:2-3.


Indikator Kesadaran

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan indikator yang dijadikan identitas atau karakteristik dari kesadaran atau tanda-tanda khusus dari kesadaran antara lain:

● Tidak galau dan ragu serta setengah-setengah (tidak kaffah)
● Tahu dan mengerti dengan apa yang diucapkan dan yang dilakukan
● Bertanggung jawab
● Sanggup menerima amanah
● Mengenal dan memahami serta menerima diri dengan berbagai bentuk kelebihan dan kekurangan
● Memiki kesiapan dalam menjalani kehidupan dan mengerti resiko yang akan dihadapi sebagai konsekuensi logis dari tuntutan kehidupan.


Proses Menumbuhkan Kesadaran

Salah satu cara menumbuhkan kesadaran dalam persfektif Islam melalui proses Muhasabah. Muhasabah dalam perspektif sufi upaya memperhitungkan atau mengevaluasi diri. Muhasabah (kalkulasi diri) digunakan sebagai upaya dalam mencapai tingkat ketenangan diri. [Ahmad Mubarok, 2005:31].

Muhasabah dilakukan setelah beramal. Muhasabah juga diartikan sebagai kegiatan mengingat, merenungi, menyadari atau mengevalusai aktivitas untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahateliti (mengetahui) terhadap apa yang kamu kerjakan”, QS Al-Hasyr 59:18.




Muhasabah menurut Haris al-Muhasibi (200:97) diartikan dengan upaya mengenali diri (ma’rifatunnafs). Mengetahui diri dimaksud adalah mengetahui kecenderungan tabiat dan keinginannya, mengetahui segala bentuk kelemahan dan kekuatan diri. Merenungi apa yang telah diperbuat, berapa banyak kelalaian yang telah diperbuat dan sebagainya. Materi muhasabah bisa dikaitkan kepada proses merenungi apa dan siapa kita? Untuk apa kita ke dunia? Apa yang perlu kita siapkan? Kemana akhir kehidupan kita?

Pemaparan di atas dapat dipahami bahwa hakikat penyadaran  merupakan suatu proses pemahaman diri (sadar) dengan indikator mampunya seseorang untuk tahu, kenal, mengerti dengan apa yang sedang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan.

Metode Penyadaran

Metode penyadaran yang dilakukan pelatih (murobbi) antara lain menggunakan teknik muhasabah atau introspeksi diri di samping melatih daya ingat “murid” terhadap apa yang sedang dialaminya dan bagaimana kronologis ketidaktahuannya serta kondisi yang diharapkan. Di samping itu pelatih juga menggunakan teknik taubat untuk meringankan beban-beban psikologis.

Prosedur  Penyadaran

Aplikasi layanan pelatih dalam melakukan proses penyadaran melalui prosedur atau tahapan kerja antara lain melakukan identifikasi masalah murid, melakuakan evaluasi dan pengajaran yang tepat (khusus).

Hasil Penerapan

Hasil penyadaran yang dilakukan pelatih (pembimbing) sangat berarti bagi murid. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap perubahan yang signifikan pada diri murid menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan (bimbingan) dalam bentuk penyadaran dengan menggunakan panduan pelatihan dan buku bimbingan pelatihan.


KESIMPULAN

D
ari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran merupakan buah dari proses penyadaran dimana setiap orang dapat dikatakan sadar apabila dia mampu mengerti, memahami, mengetahui apa yang ada dalam fikiran dan perasaannya serta apa yang sedang dikerjakannya.

Untuk memelihara tingkat kesadaran dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah muhasabah yaitu: melakukan perenungan, perhitungan, kalkulasi dan menginggat apa yang telah, sedang dilakukan untuk menghadapi kehidupan masa yang akan datang.

Sebelumnya segala sesuatunya perlu memiliki ilmunya yang dibimbing pelatih (pembimbing, murobbi, mentor). Dalam hal ini Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim”. [Al-Qurthubi, 2003: 23].

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda yang artinya:

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan badi orang itu   kerana ilmu adalah jalan menuju ke syurga.”

Dalam semua aspek kegiatan manusia harus disertai dengan ilmu baik itu yang berupa amal ibadah atau amal perbuatan lainnya, sebagai mana sebuah hadits Rasul saw yang artinya:

“Barang siapa yang menghendaki kehidupan Dunia, maka wajib baginya memiliki Ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat, maka wajib memiliki Ilmu. Dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka wajib baginya memiliki Ilmu”, HR Turmudzi.

Dan berikut ini adalah beberapa manfaat memahami kesadaran diri sendiri yang bisa anda dapatkan dalam uraian sebelumnya:

Memahami diri sendiri dan orang lain: Setelah kita memiliki tingkat kesadaran yang baik terhadap diri kita, sudah pastinya kita pun mampu memahami diri sendiri dan orang lain, kita bisa menempatkan diri kita ketika berbicara dengan orang lain, oleh karena itu kita pun bisa menyesuaikan diri dengan siapa kita berhubungan. Karena memahami relasi, dengan siapa kita berkomunikasi, cukup penting bagi seorang yang bekerja, apalagi jika memiliki usaha.

Memahami keberagaman nilai: Yang dimaksud dengan keberagaman nilai adalah kita memahami bahwa di dunia ini banyak terdapat nilai-nilai yang harus dipilih. Ambil yang bermanfaat dan yang baik-baiknya diambil, sedangkan yang buruk ditinggalkan. Sebagai muslim dalam memilah-milahnya berpedoman kepada ajaran Islam.

● Meningkatkan produktivitas: Manfaat dari kesadaran diri adalah untuk meningkatkan produktivitas. Anda yang bekerja akan lebih bisa bekerja dengan baik, bekerja secara profesional dan memahami bahwa dalam bekerja masih banyak orang yang belum mampu memahami satu sama lain sehingga sering terjadi perpecahan.


Kesadaran diri dapat dicapai melaui ilmu. Ilmu dapat dicapai melalui belajar (menuntut ilmu) seperti tauziyah, pelatihan (bimbingan, halaqah), counseling (bertanya, konsultasi), membaca buku dst.

Harapan kami, semakin banyaknya orang yang memiliki kesadaran diri maka akan semakin banyak orang yang bisa memahami dirinya sendiri dan orang lain serta kebudayan lain yang masing-masing nilai tersebut harus dihargai. Semoga dengan adanya informasi ini bisa membuat kita semakin terbuka bahwa banyak hal yang harus diselesaikan dengan baik, termasuk dalam memahami diri serta mempelajari karakter masing-masing orang. Semoga bermanfaat. Billahit Taufiq wal-Hidayah.  □ AFM



Bahan Penulisan Diambil Dari:
Nazirman, S. Ag, M.A baiturraqy.wordpress.com dan sumber-sumber lainnya. □□□