Pendahuluan
L
|
Lapangan Monas,
tempat keberadaan Tugu Monas tersebut, terletak di jantung kota Jakarta. Nama
Lapangan Monas berasal dari keberadaan sebuah tugu yang terletak persis di
tengah lapangan luas, yang diberi nama “Monumen Nasional” (Tugu Monas). Nama
resmi Lapangan Monas sebenarnya adalah lapangan Medan Merdeka. Karena itu jalan
sekeliling lapangan Medan Merdeka itu disebut Jalan Medan Merdeka Utara (karena
terletak disebelah utara); Jalan Medan Merdeka Selatan (karena terletak
disebelah selatan); Jalan Medan Merdeka Barat (karena terletak disebelah
barat); Jalan Medan Merdeka Timur (karena terletak disebelah timur). Namun lapangan
Medan Merdeka ini lebih populer dengan sebutan Lapangan Monas.
Lapangan Monas ini merupakan ruang publik
utama Jakarta, sekaligus bagi Indonesia. Di tengah lapangan Monas inilah
berdirilah Tugu Monas, bahkan ikon bagi identitas ibukota Republik Indonesia.
Sebagai landmark, Tugu Monas tidak saja memiliki skala
yang gigantis dan spektakuler - lihat video drone
terlampir, tetapi juga menjadi menjadi titik orientasi kota. Sedangkan
lapangannya menjadi simpul aktivitas bagi penduduknya.
Tugu Monas yang terletak di sebidang lahan
luas yang dijadikan alun-alun. Alun-alun
yang disebut Lapangan Monas ini kini menjadi tujuan kunjungan, bukan hanya bagi
warga Jakarta melainkan juga bagi para wisatawan nusantara yang berasal dari
berbagai kota di Indonesia. Kemudahan dalam pencapaian merupakan unsur yang
memperkuat keberadaan Kawasan Monas sebagai daerah tujuan wisata unggulan.
Tugu Monas merupakan suatu bangunan
monumental yang dibuat untuk mengenang perjalanan sejarah panjang bangsa
Indonesia dalam merebut kemerdekaannya. Wujud dan rancangan bangunan secara
keseluruhan merupakan simbolisasi dari angka keramat 17-8-1945, hari proklamasi
kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang dikatakan Bung Karno di
Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan mengatakan:
"Saya seorang yang percaya pada “mistik”. Saya tidak dapat
menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat
yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam
bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling
suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat
yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam
sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan
manusia".
Keberadaan Monas diharapkan menjadi tonggak
bagi kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang, dengan tidak melupakan
keterkaitan dengan masa lalunya, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.
Lapangan Medan Merdeka yang lebih dikenal
sebagai Lapangan Monas lahir dari rahim sejarah panjang pertumbuhan Jakarta,
sejak masih bernama Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan kemudian
menjadi Jakarta (1942-sekarang). Selama hampir lima abad tersebut, telah
terjadi beberapa kali perpindahan kawasan pusat pemerintahan (civic center)
Jakarta. Sejarah kemudian mencatat bahwa kawasan sekitar Lapangan Monas dapat
bertahan dari sejak awal terbentuknya, sampai saat ini sebagai civic center utama
Jakarta, sekaligus nomor satu di Indonesia.
Ciri tata ruang kota yang bersifat universal
di berbagai belahan dunia adalah adanya kawasan pusat pemerintahan, ditandai
oleh keberadaan istana (keraton, paleis, palace), serta ruang terbuka (alun-alun atau central
square) yang terletak di depannya. Di Jakarta, sejarah merekam
adanya central square kota yang berpindah-pindah dari alun-alun Jayakarta, Stadhuisplein
di Batavia, Waterlooplein
di Weltevreden, dan kemudian bergeser ke Koningsplein (sekarang Lapangan Monas).
Alun-alun
Jayakarta
K
|
Keberadaan bangunan
keraton dan alun-alun pada masa Jayakarta hanya dapat diketahui dari catatan sejarah,
mengingat bahwa ketika Jayakarta dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1619, Kota
Jayakarta dihancurkan sehingga rata dengan tanah. Berdasarkan catatan sejarah
serta sketsa peta kota tahun 1618 dapat diketahui bahwa pusat Kota Jayakarta
terletak di tepi barat Sungai Ciliwung, atau di kawasan belakang Jalan Kali
Besar Barat sekarang ini. Dengan dibangunnya kota baru Batavia pada masa itu
sebagai ganti Kota Jayakarta, bekas keraton dan alun-alun Kota Jayakarta tidak
dapat dikenali lagi lokasinya yang pasti.
Dari
Stadhuisplein ke Waterlooplein
Pada awal berdirinya Kota Batavia, Istana
Gubernur Jenderal terletak di dalam benteng yang diberi nama “Kasteel Batavia”. Belakangan dibangun pusat
pemerintahan baru di luar benteng, terdiri atas “Stadhuis”
(Gedung Balaikota) yang dilengkapi dengan “Stadhuisplein”
(plaza Balaikota) serta “Oudekerk” (gedung
gereja lama) yang kemudian diperbarui menjadi “Nieuwekerk”
(gedung gereja baru). Stadhuis dan Stadhuisplein
masih utuh sampai sekarang (menjadi gedung Museum Sejarah Jakarta dan plaza
Fatahillah), sedang Nieuwekerk sudah dibongkar dan dibangun menjadi gedung
kantor yang sekarang digunakan sebagai Museum Wayang. Civic center Batavia ini
menjadi semakin lengkap ketika gedung “Raad van Justitie” (Pengadilan Tinggi)
dibangun di sisi timur Stadhuisplein (sekarang digunakan sebagai Museum Seni
Rupa dan Keramik).
Meski kemudian
pusat pemerintahan berpindah ke selatan (kawasan Weltevreden - Lapangan Banteng),
sampai dengan tiga setengah abad kemudian bekas civic center Batavia
ini secara fisik tidak banyak mengalami perubahan, kecuali dibongkarnya
bangunan gereja sebagaimana telah disebutkan di atas.
Pada akhir abad 18, kondisi lingkungan fisik
Kota Batavia mengalami kemerosotan tajam. Hal ini ditandai dengan berjangkitnya
penyakit yang banyak memakan korban jiwa. Untuk itu Gubernur Jenderal Herman
Willem Daendels yang memerintah sejak tahun 1807 membangun kawasan pusat
pemerintahan baru di wilayah selatan, yaitu di Weltevreden (daerah Lapangan
Banteng). Di sisi timur sebuah lapangan yang sangat luas, Daendels membangun
Istana Gubernur Jenderal (di abad 17 lapangan luas ini dikenal sebagai milik
Anthonij Paviljoen, tetapi kemudian mengalami beberapa kali pergantian
kepemilikan). Istana yang dicat putih ini dijuluki Het
Witte Huis (“The White House”), dan masih
berdiri sampai saat ini (digunakan sebagai gedung Kementerian Keuangan). Halaman depan istana dihiasi dengan patung Jan Pieterzoon
Coen, sebagai penghormatan kepada Gubernur Jenderal pertama yang merupakan
pendiri Kota Batavia. Daendels sendiri (yang hanya memerintah selama
beberapa tahun) tidak sempat menempati istana ini karena gedung tersebut baru
dapat diselesaikan pembangunannya pada tahun 1828.
Lapangan luas di
depan istana Het Witte Huis tersebut diberi nama “Waterlooplein” (Lapangan
Waterloo sekarang namanya Lapangan Banteng), sebagai peringatan kemenangan
Belanda atas Prancis (sebelumnya menduduki Belanda) dalam pertempuran tentara
gabungan (Inggris, Belanda, Jerman vs Prancis) di Waterloo, luar kota Brussel,
Belgia. Persis di tengah lapangan Waterlooplein didirikan tugu yang menjulang
tinggi dengan patung singa di puncaknya. Karena patung singa tersebut, lapangan
ini juga dikenal dengan sebutan “Lapangan Singa”. Sebagai pelengkap bagi sebuah
civic
center, sebuah gedung pengadilan didirikan di samping Istana
Gubernur Jenderal, Het Witte Huis. Bekas gedung pengadilan ini sampai dengan
tahun 1980-an digunakan sebagai gedung Mahkamah Agung RI. Pada paruh ke dua
abad 19 di sekitar Waterlooplein dibangun gereja
Katolik (yang setelah beberapa kali mengalami perubahan bentuk, kini menjadi
Gereja Katedral). Didepan gereja ini ada taman Wilhelmina sekarang menjadi Mesjid Raya Istiqlal. Dibelakang gereja terdapat pula dua gedung yaitu gedung
pertunjukan yang dinamakan “Stadschouwburg” (kini Gedung Kesenian), dan yang satunya lagi gedung Kantor Pos (sekarang
namanya Kantor Pos Pasar Baru) [Wikipedia-Pos Indonesia]. Hampir sepanjang abad
19, kawasan Waterlooplein merupakan “pusat kota” Batavia.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI di tahun 1945, Waterlooplein dinamakan Lapangan
Banteng. Tugu dengan patung singa dirobohkan. Pada tahun 1963, di tengah
lapangan dibangun “Tugu Pembebasan Irian Barat” untuk memperingati kembalinya
Irian Barat ke pangkuan RI. ”De Witte Huis” digunakan sebagai kantor Kementerian
Keuangan dan gedung pengadilan digunakan sebagai kantor Mahkamah Agung (sebelum
kemudian pindah ke Jalan Medan Merdeka Utara)
Dari
Waterlooplein ke Koningsplein
Tidak jauh di sebelah barat Waterlooplein
(sekarang Lapangan Banteng) terdapat sebuah lapangan luas yang semula dikenal
sebagai “Buffelsfeld” (Lapangan Kerbau, karena digunakan untuk menggembalakan
kerbau). Oleh Daendels lapangan ini dipakai sebagai tempat latihan militer dan
dinamakan Champs
de Mars atau Paradeplaats. Sementara itu, pembangunan Istana
Gubernur Jenderal di sisi timur Waterlooplein yang tak kunjung selesai
mengakibatkan adanya kebutuhan tempat tinggal bagi Gubernur Jenderal jika
sedang berada di Batavia (ketika itu para Gubernur Jenderal tinggal di Istana Buitenzorg,
yaitu Istana Bogor sekarang). Oleh karenanya, pada tahun 1816 sebuah
rumah tinggal besar di Rijswijk (terletak di Jalan Veteran sekarang) milik J.A.
van Braam dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda dan kemudian digunakan sebagai
”Hotel Gubernur Jenderal” dan kemudian dikenal sebagai “Istana Rijswijk”. Bangunan yang didirikan pada tahun 1796 ini
semula adalah rumah tinggal dua lantai. Di tahun 1848 lantai atas dibongkar dan
lantai bawah dibuat menjadi ruang pertemuan yang luas. Setelah kemerdekaan
bangunan ini dinamakan Istana Negara dan masih utuh sampai sekarang.
Karena adanya
kediaman Gubernur Jenderal di sisi utara Champs
de Mars, lapangan latihan militer ini sejak tahun 1818 dinamakan
Koningsplein (Lapangan Raja). Pemerintah Hindia Belanda ternyata masih membutuhkan
adanya kediaman resmi Gubernur Jenderal di Batavia (di luar Hotel Gubernur
Jenderal/Istana Rijswijk), maka pada tahun 1873 dibangun sebuah istana yang
menghadap ke Koningsplein (beradu punggung dengan bangunan Istana Rijswijk).
Sejak itu para Gubernur Jenderal tidak lagi tinggal di Bogor, melainkan di
kediaman resmi yang kala itu dikenal sebagai ”Istana Gambir”. Setelah
kemerdekaan bangunan ini dinamakan Istana Merdeka, dan kemudian (sejak tahun
1949) menjadi kediaman resmi Presiden Soekarno.
Seiring dengan keberadaan Istana Gubernur
Jenderal di sisi utara Koningsplein, civic center pun bergeser dari kawasan
Waterlooplein (Lapangan Banteng) ke kawasan ini (Lapangan Merdeka). Kegiatan
kemasyarakatan dan hiburan rakyat pun banyak diadakan di Koningsplein, seperti
misalnya “Pasar Gambir” (semacam pasar malam yang diselenggarakan rutin setiap
bulan Agustus sejak tahun 1930). Di masa pendudukan Jepang dan pada awal
kemerdekaan, Koningsplein dikenal sebagai Lapangan Ikada. Belakangan
Koningsplein (Lapangan Ikada) ini dinamakan Medan Merdeka. Nama ini diambil
karena Presiden mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada tanggal 19 September
1945 memperingati sebulan Kemerdekaan Indonesia [Wikipedia-Rapat Raksasa
Lapangan Ikada]. Kemudiannya setelah dibangun tugu Monas (Monumen Nasional) di
pertengahan tahun 1960-an lapangan ini lebih terkenal dengan sebutan Lapangan
Monas.
Dalam sejarahnya
yang panjang, sejak masih dikenal sebagai Buffelsfeld
di akhir abad 18, kemudian menjadi Champs
de Mars (1807), lalu Koningsplein
(1818), Lapangan Ikada (1942) sampai menjadi Lapangan Merdeka (1949), “Central Square” (Alun-Alun, lapangan luas) yang
kini lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Monas ini telah mengalami berbagai
perubahan tata ruang dan perubahan fungsi. Selain itu, sejarah juga mencatat
adanya berbagai bentuk usulan penataan kawasan ini, meski tidak semua sempat
diwujudkan.
Lapangan
“Monas” Pada Masa Pra Kemerdekaan
Sejak ditetapkan sebagai lapangan parade
militer pada masa Daendels, Koningsplein
mengalami beberapa kali perubahan penataan. Pada tahun 1892 Dr. M. Treub,
Kepala Kebun Raya Bogor, mengajukan rancangan tata ruang baru untuk Koningsplein, yaitu sebagai taman kota
yang dilengkapi dengan pohon-pohon tropis. Akses ke taman berupa sumbu-sumbu
diagonal ditambah dengan sumbu melintang yang menghubungkan dengan bangunan
museum (Gedung Gajah) di sisi barat taman. Bagian tengah taman yang merupakan
pusat pertemuan sumbu-sumbu dirancang untuk menempatkan sebuah patung sebagai
simbol “pusat Kota Batavia”. Dengan penataan seperti ini fungsi parade militer
diusulkan untuk dikembalikan ke Waterlooplein (Lapangan Banteng). Rancangan Dr.
M. Treub ini tidak sempat direalisasikan.
Berdasarkan catatan atas pemetaan
Koningsplein, diketahui bahwa pada tahun 1918 lapangan ini telah tersegmentasi
menjadi beberapa bagian dan beberapa bangunan besar didirikan di atasnya. Di
sisi utara terdapat bangunan reservoir air dan di dekatnya terdapat fasilitas Sportsclub (Lapangan Olah Raga). Masih di
sisi utara, berhadapan dengan Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka) terdapat
kompleks Gedung Kantor Telepon - PTT. Di sisi barat terdapat kompleks bangunan
dan taman yang dinamai Helbachpark. Di bagian timur laut terdapat dua
taman, yaitu Decapark
dan Frombergpark
serta gedung bioskop. Di dekat stasiun Gambir terdapat Lapangan Pacuan Kuda dan
di sebelah baratnya lahan untuk festival tahunan Pasar Gambir.
Pada tahun 1930, melalui suatu sayembara,
Ir. Thomas Karsten – seorang arsitek – mengusulkan untuk menata kembali Koningsplein (lapangan Merdeka) dengan
titik tolak konsepsi ”alun-alun”. Sebagaimana terungkap pada rencana di tahun
1937, ada upaya menempatkan gedung Dewan Kota di tengah-tengah lapangan. Ada
rencana pula menempatkan alun-alun di sisi selatan gedung Dewan Kota seluas 500
m x 500 m, lengkap dengan pohon beringin. Pada dasarnya, melalui rencana ini
hendak dikukuhkan status Koningsplein
sebagai pusat orientasi Kota Batavia yang dilengkapi berbagai fasilitas
sosial-budaya dan olahraga, di samping fasilitas lain yang bersifat formal
kepemerintahan. Hanya sebagian kecil dari gagasan Karsten terwujudkan,
selebihnya gagal diimplementasikan karena segera setelah itu meletus Perang
Dunia II.
Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945) relatif tidak ada perubahan fisik yang
signifikan atas Koningsplein selain
perubahan nama menjadi Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Kawasan di
sekitar Lapangan Ikada pun tidak mengalami banyak perubahan.
Lapangan “Monas” Pada Masa Pasca
Kemerdekaan
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda
kepada Indonasia (tahun 1949) terjadi suatu momentum perubahan yang cukup
berarti atas kawasan tersebut. Istana Merdeka (eks Istana Gambir, Paleis te Koningaplein) dan Istana
Negara (Paleis te Rijswijk) resmi
menjadi pusat pemerintahan, selanjutnya Lapangan Ikada diubah namanya menjadi
Lapangan Merdeka. Beberapa taman dinamai dengan menggunakan nama tokoh
nasional, seperti Chairil Anwar, Ronggowarsito, Amir Hamzah, dan W.R Supratman.
Gagasan menasionalisasikan kawasan tersebut kemudian diteruskan melalui konsep
pengembangan kawasan Monumen Nasional serta pendirian Tugu Nasional. Pola
diagonal usulan Dr. Treub muncul kembali. Dalam gagasan ini, kawasan di sekitar
Lapangan Merdeka dijadikan simbol kebesaran bangsa dan negara melalui
penempatan fasilitas-fasilitas nasional yang berskala dunia. Termasuk dalam
konsep ini adalah pengembangan Teater Nasional, Galeri Nasional, Masjid
Istiqlal, dan Lapangan Banteng (dengan Tugu Pembebasan Irian Barat) serta Hotel
Banteng (kemudian diubah namanya menjadi Hotel Borobudur).
Di tahun 1970-an sisi selatan Lapangan
Merdeka dijadikan arena Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) dan Taman Ria Monas
yang dimaksudkan untuk mengulangi kesuksesan Pasar Gambir. Namun kemudian
kegiatan tersebut dirasakan mulai tidak cocok sebagai pemanfaatan Lapangan Merdeka.
Arena Pekan Raya Jakarta kemudian dipindahkan ke lahan bekas bandara Kemayoran.
Penutup
Demikianlah sejarah dari Lapangan Medan Merdeka yang lebih dikenal sebagai
Lapangan Monas lahir dari rahim sejarah panjang pertumbuhan Jakarta, sejak
masih bernama Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan kemudian menjadi
Jakarta (1942-sekarang). Selama lima abad yang telah terjadi beberapa kali
perpindahan kawasan pusat pemerintahan (civic center) Jakarta. Sejarah kemudian
mencatat bahwa kawasan sekitar Lapangan Monas dapat bertahan dari sejak awal
terbentuknya, sampai saat ini sebagai civic center utama Jakarta, sekaligus menjadi
Kota Besar nomor satu di Indonesia.
Ciri tata ruang kota yang bersifat universal
di berbagai belahan dunia adalah adanya kawasan pusat pemerintahan, ditandai
oleh keberadaan istana (keraton, paleis,
palace) - yang terletak di depannya
berada lahan luas di ruang terbuka (alun-alun) sebagai central square.
Sejarah merekam bahwa di Jakarta adanya central square kota yang
berpindah-pindah dari alun-alun di Jayakarta. Selanjutnya di Stadhuisplein di
Batavia. Pindah lagi ke Waterlooplein di Weltevreden, dan akhirnya kemudian
bergeser ke Koningsplein - sekarang Lapangan Monas sebagai landmark dan center Daerah
Khusus Ibukota yang indah (wonderful)
dan spektakuler ini seperti dapat dilihat dalam tayangan video drone ini –klik---> Tugu Monas. □ AFM
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Nasional
https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pos_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Rapat_Raksasa_Lapangan_Ikada
https://youtu.be/lRPrgctPP8c □□