Monday, January 15, 2018

Sejarah Lahan Lapangan Monas





Pendahuluan

L
Lapangan Monas, tempat keberadaan Tugu Monas tersebut, terletak di jantung kota Jakarta. Nama Lapangan Monas berasal dari keberadaan sebuah tugu yang terletak persis di tengah lapangan luas, yang diberi nama “Monumen Nasional” (Tugu Monas). Nama resmi Lapangan Monas sebenarnya adalah lapangan Medan Merdeka. Karena itu jalan sekeliling lapangan Medan Merdeka itu disebut Jalan Medan Merdeka Utara (karena terletak disebelah utara); Jalan Medan Merdeka Selatan (karena terletak disebelah selatan); Jalan Medan Merdeka Barat (karena terletak disebelah barat); Jalan Medan Merdeka Timur (karena terletak disebelah timur). Namun lapangan Medan Merdeka ini lebih populer dengan sebutan Lapangan Monas.

   Lapangan Monas ini merupakan ruang publik utama Jakarta, sekaligus bagi Indonesia. Di tengah lapangan Monas inilah berdirilah Tugu Monas, bahkan ikon bagi identitas ibukota Republik Indonesia. Sebagai landmark, Tugu Monas tidak saja memiliki skala yang gigantis dan spektakuler - lihat video drone terlampir, tetapi juga menjadi menjadi titik orientasi kota. Sedangkan lapangannya menjadi simpul aktivitas bagi penduduknya.

   Tugu Monas yang terletak di sebidang lahan luas yang dijadikan alun-alun.  Alun-alun yang disebut Lapangan Monas ini kini menjadi tujuan kunjungan, bukan hanya bagi warga Jakarta melainkan juga bagi para wisatawan nusantara yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Kemudahan dalam pencapaian merupakan unsur yang memperkuat keberadaan Kawasan Monas sebagai daerah tujuan wisata unggulan.

   Tugu Monas merupakan suatu bangunan monumental yang dibuat untuk mengenang perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaannya. Wujud dan rancangan bangunan secara keseluruhan merupakan simbolisasi dari angka keramat 17-8-1945, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang dikatakan Bung Karno di Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan mengatakan:

"Saya seorang yang percaya pada “mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia".

   Keberadaan Monas diharapkan menjadi tonggak bagi kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang, dengan tidak melupakan keterkaitan dengan masa lalunya, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.

   Lapangan Medan Merdeka yang lebih dikenal sebagai Lapangan Monas lahir dari rahim sejarah panjang pertumbuhan Jakarta, sejak masih bernama Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan kemudian menjadi Jakarta (1942-sekarang). Selama hampir lima abad tersebut, telah terjadi beberapa kali perpindahan kawasan pusat pemerintahan (civic center) Jakarta. Sejarah kemudian mencatat bahwa kawasan sekitar Lapangan Monas dapat bertahan dari sejak awal terbentuknya, sampai saat ini sebagai civic center utama Jakarta, sekaligus nomor satu di Indonesia.

   Ciri tata ruang kota yang bersifat universal di berbagai belahan dunia adalah adanya kawasan pusat pemerintahan, ditandai oleh keberadaan istana (keraton, paleis, palace), serta ruang terbuka (alun-alun atau central square) yang terletak di depannya. Di Jakarta, sejarah merekam adanya central square kota yang berpindah-pindah dari alun-alun Jayakarta, Stadhuisplein di Batavia, Waterlooplein di Weltevreden, dan kemudian bergeser ke Koningsplein (sekarang Lapangan Monas).


Alun-alun Jayakarta  

K
Keberadaan bangunan keraton dan alun-alun pada masa Jayakarta hanya dapat diketahui dari catatan sejarah, mengingat bahwa ketika Jayakarta dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1619, Kota Jayakarta dihancurkan sehingga rata dengan tanah. Berdasarkan catatan sejarah serta sketsa peta kota tahun 1618 dapat diketahui bahwa pusat Kota Jayakarta terletak di tepi barat Sungai Ciliwung, atau di kawasan belakang Jalan Kali Besar Barat sekarang ini. Dengan dibangunnya kota baru Batavia pada masa itu sebagai ganti Kota Jayakarta, bekas keraton dan alun-alun Kota Jayakarta tidak dapat dikenali lagi lokasinya yang pasti.


Dari Stadhuisplein ke Waterlooplein  

   Pada awal berdirinya Kota Batavia, Istana Gubernur Jenderal terletak di dalam benteng yang diberi nama “Kasteel Batavia”. Belakangan dibangun pusat pemerintahan baru di luar benteng, terdiri atas “Stadhuis” (Gedung Balaikota) yang dilengkapi dengan “Stadhuisplein” (plaza Balaikota) serta “Oudekerk” (gedung gereja lama) yang kemudian diperbarui menjadi “Nieuwekerk” (gedung gereja baru). Stadhuis dan Stadhuisplein masih utuh sampai sekarang (menjadi gedung Museum Sejarah Jakarta dan plaza Fatahillah), sedang Nieuwekerk sudah dibongkar dan dibangun menjadi gedung kantor yang sekarang digunakan sebagai Museum Wayang. Civic center Batavia ini menjadi semakin lengkap ketika gedung “Raad van Justitie” (Pengadilan Tinggi) dibangun di sisi timur Stadhuisplein (sekarang digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik).

   Meski kemudian pusat pemerintahan berpindah ke selatan (kawasan Weltevreden - Lapangan Banteng), sampai dengan tiga setengah abad kemudian bekas civic center Batavia ini secara fisik tidak banyak mengalami perubahan, kecuali dibongkarnya bangunan gereja sebagaimana telah disebutkan di atas.

   Pada akhir abad 18, kondisi lingkungan fisik Kota Batavia mengalami kemerosotan tajam. Hal ini ditandai dengan berjangkitnya penyakit yang banyak memakan korban jiwa. Untuk itu Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang memerintah sejak tahun 1807 membangun kawasan pusat pemerintahan baru di wilayah selatan, yaitu di Weltevreden (daerah Lapangan Banteng). Di sisi timur sebuah lapangan yang sangat luas, Daendels membangun Istana Gubernur Jenderal (di abad 17 lapangan luas ini dikenal sebagai milik Anthonij Paviljoen, tetapi kemudian mengalami beberapa kali pergantian kepemilikan). Istana yang dicat putih ini dijuluki Het Witte Huis (“The White House”), dan masih berdiri sampai saat ini (digunakan sebagai gedung Kementerian Keuangan). Halaman depan istana dihiasi dengan patung Jan Pieterzoon Coen, sebagai penghormatan kepada Gubernur Jenderal pertama yang merupakan pendiri Kota Batavia. Daendels sendiri (yang hanya memerintah selama beberapa tahun) tidak sempat menempati istana ini karena gedung tersebut baru dapat diselesaikan pembangunannya pada tahun 1828.

   Lapangan luas di depan istana Het Witte Huis tersebut diberi nama “Waterlooplein” (Lapangan Waterloo sekarang namanya Lapangan Banteng), sebagai peringatan kemenangan Belanda atas Prancis (sebelumnya menduduki Belanda) dalam pertempuran tentara gabungan (Inggris, Belanda, Jerman vs Prancis) di Waterloo, luar kota Brussel, Belgia. Persis di tengah lapangan Waterlooplein didirikan tugu yang menjulang tinggi dengan patung singa di puncaknya. Karena patung singa tersebut, lapangan ini juga dikenal dengan sebutan “Lapangan Singa”. Sebagai pelengkap bagi sebuah civic center, sebuah gedung pengadilan didirikan di samping Istana Gubernur Jenderal, Het Witte Huis. Bekas gedung pengadilan ini sampai dengan tahun 1980-an digunakan sebagai gedung Mahkamah Agung RI. Pada paruh ke dua abad 19 di sekitar Waterlooplein dibangun gereja Katolik (yang setelah beberapa kali mengalami perubahan bentuk, kini menjadi Gereja Katedral). Didepan gereja ini ada taman Wilhelmina sekarang menjadi Mesjid Raya Istiqlal. Dibelakang gereja terdapat pula dua gedung yaitu gedung pertunjukan yang dinamakan “Stadschouwburg” (kini Gedung Kesenian), dan yang satunya lagi gedung Kantor Pos (sekarang namanya Kantor Pos Pasar Baru) [Wikipedia-Pos Indonesia]. Hampir sepanjang abad 19, kawasan Waterlooplein merupakan “pusat kota” Batavia.

   Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di tahun 1945, Waterlooplein dinamakan Lapangan Banteng. Tugu dengan patung singa dirobohkan. Pada tahun 1963, di tengah lapangan dibangun “Tugu Pembebasan Irian Barat” untuk memperingati kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. ”De Witte Huis” digunakan sebagai kantor Kementerian Keuangan dan gedung pengadilan digunakan sebagai kantor Mahkamah Agung (sebelum kemudian pindah ke Jalan Medan Merdeka Utara)


Dari Waterlooplein ke Koningsplein

   Tidak jauh di sebelah barat Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) terdapat sebuah lapangan luas yang semula dikenal sebagai “Buffelsfeld” (Lapangan Kerbau, karena digunakan untuk menggembalakan kerbau). Oleh Daendels lapangan ini dipakai sebagai tempat latihan militer dan dinamakan Champs de Mars atau Paradeplaats. Sementara itu, pembangunan Istana Gubernur Jenderal di sisi timur Waterlooplein yang tak kunjung selesai mengakibatkan adanya kebutuhan tempat tinggal bagi Gubernur Jenderal jika sedang berada di Batavia (ketika itu para Gubernur Jenderal tinggal di Istana Buitenzorg, yaitu Istana Bogor sekarang). Oleh karenanya, pada tahun 1816 sebuah rumah tinggal besar di Rijswijk (terletak di Jalan Veteran sekarang) milik J.A. van Braam dibeli oleh pemerintah Hindia Belanda dan kemudian digunakan sebagai ”Hotel Gubernur Jenderal” dan kemudian dikenal sebagai “Istana Rijswijk”. Bangunan yang didirikan pada tahun 1796 ini semula adalah rumah tinggal dua lantai. Di tahun 1848 lantai atas dibongkar dan lantai bawah dibuat menjadi ruang pertemuan yang luas. Setelah kemerdekaan bangunan ini dinamakan Istana Negara dan masih utuh sampai sekarang.

   Karena adanya kediaman Gubernur Jenderal di sisi utara Champs de Mars, lapangan latihan militer ini sejak tahun 1818 dinamakan Koningsplein (Lapangan Raja). Pemerintah Hindia Belanda ternyata masih membutuhkan adanya kediaman resmi Gubernur Jenderal di Batavia (di luar Hotel Gubernur Jenderal/Istana Rijswijk), maka pada tahun 1873 dibangun sebuah istana yang menghadap ke Koningsplein (beradu punggung dengan bangunan Istana Rijswijk). Sejak itu para Gubernur Jenderal tidak lagi tinggal di Bogor, melainkan di kediaman resmi yang kala itu dikenal sebagai ”Istana Gambir”. Setelah kemerdekaan bangunan ini dinamakan Istana Merdeka, dan kemudian (sejak tahun 1949) menjadi kediaman resmi Presiden Soekarno.

   Seiring dengan keberadaan Istana Gubernur Jenderal di sisi utara Koningsplein, civic center pun bergeser dari kawasan Waterlooplein (Lapangan Banteng) ke kawasan ini (Lapangan Merdeka). Kegiatan kemasyarakatan dan hiburan rakyat pun banyak diadakan di Koningsplein, seperti misalnya “Pasar Gambir” (semacam pasar malam yang diselenggarakan rutin setiap bulan Agustus sejak tahun 1930). Di masa pendudukan Jepang dan pada awal kemerdekaan, Koningsplein dikenal sebagai Lapangan Ikada. Belakangan Koningsplein (Lapangan Ikada) ini dinamakan Medan Merdeka. Nama ini diambil karena Presiden mengadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada tanggal 19 September 1945 memperingati sebulan Kemerdekaan Indonesia [Wikipedia-Rapat Raksasa Lapangan Ikada]. Kemudiannya setelah dibangun tugu Monas (Monumen Nasional) di pertengahan tahun 1960-an lapangan ini lebih terkenal dengan sebutan Lapangan Monas.

   Dalam sejarahnya yang panjang, sejak masih dikenal sebagai Buffelsfeld di akhir abad 18, kemudian menjadi Champs de Mars (1807), lalu Koningsplein (1818), Lapangan Ikada (1942) sampai menjadi Lapangan Merdeka (1949), “Central Square (Alun-Alun, lapangan luas) yang kini lebih dikenal dengan sebutan Lapangan Monas ini telah mengalami berbagai perubahan tata ruang dan perubahan fungsi. Selain itu, sejarah juga mencatat adanya berbagai bentuk usulan penataan kawasan ini, meski tidak semua sempat diwujudkan.


Lapangan “Monas” Pada Masa Pra Kemerdekaan

   Sejak ditetapkan sebagai lapangan parade militer pada masa Daendels, Koningsplein mengalami beberapa kali perubahan penataan. Pada tahun 1892 Dr. M. Treub, Kepala Kebun Raya Bogor, mengajukan rancangan tata ruang baru untuk Koningsplein, yaitu sebagai taman kota yang dilengkapi dengan pohon-pohon tropis. Akses ke taman berupa sumbu-sumbu diagonal ditambah dengan sumbu melintang yang menghubungkan dengan bangunan museum (Gedung Gajah) di sisi barat taman. Bagian tengah taman yang merupakan pusat pertemuan sumbu-sumbu dirancang untuk menempatkan sebuah patung sebagai simbol “pusat Kota Batavia”. Dengan penataan seperti ini fungsi parade militer diusulkan untuk dikembalikan ke Waterlooplein (Lapangan Banteng). Rancangan Dr. M. Treub ini tidak sempat direalisasikan.

   Berdasarkan catatan atas pemetaan Koningsplein, diketahui bahwa pada tahun 1918 lapangan ini telah tersegmentasi menjadi beberapa bagian dan beberapa bangunan besar didirikan di atasnya. Di sisi utara terdapat bangunan reservoir air dan di dekatnya terdapat fasilitas Sportsclub (Lapangan Olah Raga). Masih di sisi utara, berhadapan dengan Istana Gambir (sekarang Istana Merdeka) terdapat kompleks Gedung Kantor Telepon - PTT. Di sisi barat terdapat kompleks bangunan dan taman yang dinamai Helbachpark. Di bagian timur laut terdapat dua taman, yaitu Decapark dan Frombergpark serta gedung bioskop. Di dekat stasiun Gambir terdapat Lapangan Pacuan Kuda dan di sebelah baratnya lahan untuk festival tahunan Pasar Gambir.

   Pada tahun 1930, melalui suatu sayembara, Ir. Thomas Karsten – seorang arsitek – mengusulkan untuk menata kembali Koningsplein (lapangan Merdeka) dengan titik tolak konsepsi ”alun-alun”. Sebagaimana terungkap pada rencana di tahun 1937, ada upaya menempatkan gedung Dewan Kota di tengah-tengah lapangan. Ada rencana pula menempatkan alun-alun di sisi selatan gedung Dewan Kota seluas 500 m x 500 m, lengkap dengan pohon beringin. Pada dasarnya, melalui rencana ini hendak dikukuhkan status Koningsplein sebagai pusat orientasi Kota Batavia yang dilengkapi berbagai fasilitas sosial-budaya dan olahraga, di samping fasilitas lain yang bersifat formal kepemerintahan. Hanya sebagian kecil dari gagasan Karsten terwujudkan, selebihnya gagal diimplementasikan karena segera setelah itu meletus Perang Dunia II.

   Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) relatif tidak ada perubahan fisik yang signifikan atas Koningsplein selain perubahan nama menjadi Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Kawasan di sekitar Lapangan Ikada pun tidak mengalami banyak perubahan.


Lapangan “Monas” Pada Masa Pasca Kemerdekaan

   Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonasia (tahun 1949) terjadi suatu momentum perubahan yang cukup berarti atas kawasan tersebut. Istana Merdeka (eks Istana Gambir, Paleis te Koningaplein) dan Istana Negara (Paleis te Rijswijk) resmi menjadi pusat pemerintahan, selanjutnya Lapangan Ikada diubah namanya menjadi Lapangan Merdeka. Beberapa taman dinamai dengan menggunakan nama tokoh nasional, seperti Chairil Anwar, Ronggowarsito, Amir Hamzah, dan W.R Supratman. Gagasan menasionalisasikan kawasan tersebut kemudian diteruskan melalui konsep pengembangan kawasan Monumen Nasional serta pendirian Tugu Nasional. Pola diagonal usulan Dr. Treub muncul kembali. Dalam gagasan ini, kawasan di sekitar Lapangan Merdeka dijadikan simbol kebesaran bangsa dan negara melalui penempatan fasilitas-fasilitas nasional yang berskala dunia. Termasuk dalam konsep ini adalah pengembangan Teater Nasional, Galeri Nasional, Masjid Istiqlal, dan Lapangan Banteng (dengan Tugu Pembebasan Irian Barat) serta Hotel Banteng (kemudian diubah namanya menjadi Hotel Borobudur).

   Di tahun 1970-an sisi selatan Lapangan Merdeka dijadikan arena Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) dan Taman Ria Monas yang dimaksudkan untuk mengulangi kesuksesan Pasar Gambir. Namun kemudian kegiatan tersebut dirasakan mulai tidak cocok sebagai pemanfaatan Lapangan Merdeka. Arena Pekan Raya Jakarta kemudian dipindahkan ke lahan bekas bandara Kemayoran.


Penutup

   Demikianlah sejarah dari Lapangan Medan Merdeka yang lebih dikenal sebagai Lapangan Monas lahir dari rahim sejarah panjang pertumbuhan Jakarta, sejak masih bernama Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan kemudian menjadi Jakarta (1942-sekarang). Selama lima abad yang telah terjadi beberapa kali perpindahan kawasan pusat pemerintahan (civic center) Jakarta. Sejarah kemudian mencatat bahwa kawasan sekitar Lapangan Monas dapat bertahan dari sejak awal terbentuknya, sampai saat ini sebagai civic center utama Jakarta, sekaligus menjadi Kota Besar nomor satu di Indonesia.

   Ciri tata ruang kota yang bersifat universal di berbagai belahan dunia adalah adanya kawasan pusat pemerintahan, ditandai oleh keberadaan istana (keraton, paleis, palace) - yang terletak di depannya berada lahan luas di ruang terbuka (alun-alun) sebagai central square. Sejarah merekam bahwa di Jakarta adanya central square kota yang berpindah-pindah dari alun-alun di Jayakarta. Selanjutnya di Stadhuisplein di Batavia. Pindah lagi ke Waterlooplein di Weltevreden, dan akhirnya kemudian bergeser ke Koningsplein - sekarang Lapangan Monas sebagai landmark dan center Daerah Khusus Ibukota yang indah (wonderful) dan spektakuler ini seperti dapat dilihat dalam tayangan video drone ini klik---> Tugu Monas. □ AFM



Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Nasional
https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pos_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Rapat_Raksasa_Lapangan_Ikada
https://youtu.be/lRPrgctPP8c  □□