Monday, July 24, 2017

Maninjau Negeri Para Inspirator Dan Pembaharu


Saya sangat terkesan dengan negeri kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu.” [Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka].



 
I
nilah pernyataan seorang putera asli kelahiran Sungai Batang. Negeri di tepian danau Maninjau di Kec. Tanjung Raya, Kabupaten, Agam, Sumatera Barat. Salah satu kaldera gunung purba pulau Sumatera di masa lalu yang keindahan dan kesuburannya, telah menyumbangkan begitu banyak putera-putera terbaik bagi pembangunan negara ini, sejak dahulu hingga kini.

   Tercatat sejumlah nama para inspirator dan pembaharu negara ini, lahir atau dibesarkan dari rahim nagari-nagari (sebutan desa atau kampung) di tepian danau Maninjau. Menyebut beberapa nama saja, misalnya Dr. H. Karim Amarullah (pembaharu Islam Abad 19), Buya Hamka (ulama besar dan mantan Ketua MUI serta pahlawan nasional), Muhammad Nasir (mantan Perdana Menteri, Ketua Masyumi dan pendiri DDII), Isa Anshary (politisi muslim Masyumi).

   Ada pula Buya AR Sutan Mansur (Ketua dan Tokoh Muhammadiyah), Muhammad Nazir (Laksamana TNI AL dan pendiri Akademi AL), Rasuna Said (tokoh pendidikan dan emansipasi wanita), R. St. Pamuntjak (diplomat ulung), Syafruddin Prawiranegara (mantan Perdana Menteri PDRI dan Menteri Keuangan), Marzuki Yatim (mantan Menteri), Kaharuddin (mantan Gubernur Sumbar) serta Nur Sutan Iskandar (sastrawan).  Atau yang terkini, misalnya mantan Menteri Sosial  Bachtiar Chamsyah, akademisi ITB Yasraf Amir Piliang dan novelis terkenal Ahmad Fuadi.

   Kesana lah aku dan keluarga mudiak (pulang kampung) untuk bertemu keluarga yang masih ada. Plus menikmati keindahan danau Maninjau serta merasakan berbagai sensasi tak terlupakan dari  negeri itu, usai Idul Fithri 1434H lalu. Aku merekam kuat perjalanan itu dan menyajikannya kepada pembaca, sebagai  bekal, jika nanti berkesempatan mengunjungi negeri nan elok itu.


Menuju Maninjau

   Dari Medan via jalan darat, saat sampai di kota Lubuk Sikaping, ibu kota Kabupaten Pasaman, ada dua lintasan yang bisa digunakan. Di hari biasa, Anda bisa menuju Maninjau via Bukittinggi, dengan lebih dulu melintasi Bonjol (kota khatulistiwa) serta Palupuh (kecamatan heroik di masa perjuangan kemerdekaan). Dari Bukittinggi menuju Padang, setibanya di Padang Luar, berbeloklah ke kanan menuju Matur. Dari Matur, Anda akan menemukan sensasi kelok 44 yang terkenal itu, sebelum tiba di nagari Maninjau.

   Namun, saat liburan (Idul Fithri, Idul Adha, dsb), jangan coba-coba melintasi jalur ini. Dipastikan akan terjebak dalam kemacatan parah. Melintaslah di jalan alternatif dari Lubuk Sikaping menuju Lubuk Basung (ibu kota Kab. Agam) via Padang Sawah. Meski jalan ini kecil, tapi cukup nyaman. Bahkan, jarak tempuh bisa dipersingkat hingga 40 km. Dari Lubuk Basung, kita akan langsung menuju Muko-muko di tepian danau Maninjau.

   Di pinggiran jalan kedua lintasan itu, kita akan disuguhi pemandangan indah berupa deretan perbukitan, persawahan, rumah bagonjong (rumah adat Minang) serta tabek (kolam) yang menyejukkan mata. Kami memilih lintasan kedua, menuju Maninjau, karena arah Bukittinggi kabarnya macat total.


   Muko-muko salah satu nagari di tepian danau Maninjau. Desa ini terkenal dengan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) yang memasok listrik untuk Kab. Agam, Padang Pariaman hingga Padang. Di sini, Anda bisa memanjakan keluarga dengan water park yang berada di areal sungai muko-muko, pintu keluar air danau Maninjau.



   Dari nagari Muko-muko menuju nagari Maninjau, jarak tempuhnya sekira 30 menit. Diperjalanan Anda akan melintasi sejumlah nagari dengan hamparan sawah dibatasi perbukitan di sisi kiri. Di sisi kanan, terlihat lautan air tawar dengan keramba menjorok ke tengah danau. “Tak muak-muak mata melihat pemandangan ini,” kata Paktuo Muhammad Nur, 80, pedagang buah  Tebingtinggi, lahir di nagari Galapung, yang ikut rombongan kami.

   Sebelum memasuki nagari Maninjau, kita akan melintasi kampungnya Bachtiar Chamsyah dan keluarga pengusaha asal Medan Muhammad Arbie (Garuda Hotel Group), bernama nagari Bayur. Kampung ini relatif lebih maju dibanding nagari-nagari lain selingkar dana Maninjau. Pusat ekonomi Bayur disebut dengan ‘Pakan Rabaa,’ yang pekanannya setiap hari rabu. Namun, geliat ekonomi di Bayur tidak hanya saat Pakan Rabaa, tapi sepanjang hari, karena ditempat ini juga, ada pusat transaksi hasil danau Maninjau, yakni ikan mujair.

   Ikan mujair, merupakan hasil ternak keramba yang terkenal dari danau Maninjau. Rata-rata panen dari usaha itu di selingkar danau, bisa mencapai 60 ton per hari, terang Menan, 65, warga pemilik keramba di Bayur. Ikan mujair danau Maninjau disukai, karena rasa dagingnya berbeda dengan mujair kolam. “Mujair sini tak bau lumpur, dan bersih” terang dia.

   Hasil keramba ini, memenuhi pasar ikan di berbagai kota besar, mulai dari Padang, Bukittinggi, Pekan Baru hingga ke Jambi dan Medan. “Kalau melihat mujair yang hitam pekat dan besar, itu asalnya dari sini,” ujar seorang peternak keramba.

   Di kampung ini juga, ada masjid Raya Bayur, masjid terbesar di Kec. Tanjung Raya yang mampu menampung 1.000 jemaah. “ Masjid ini dibangun parantau Bayur yang sukses,” ujar seorang pedagang di depan masjid itu. Ornamen masjid itu unik, karena ditata menggunakan model masjid-masjid Minang di masa lalu. Misalnya kubah masjid yang terlihat khas, berupa ornamen gabungan budaya Minang dan Islam.

   Kalau lasak sedikit, Anda bisa mengunjungi kediaman keluarga mantan Mensos RI Bachtiar Chamsyah. Lokasi kediamannya agak ke atas dari lintasan jalan Bayur. Rumah itu berada di tengah hamparan sawah yang masih didiami keluarga mantan politisi PPP itu.

   Kami melintasi sebuah kampung antara Maninjau dan Bayur,yang  menjadi lokasi destinasi wisata. Di kampung Gasang ini, banyak ditemukan pemandian, hotel dan homestay untuk wisatawan. Selain cafe dan restoran serta lapak pedagang yang menjual aneka buah tangan dari hasil danau Maninjau.  Misalnya, bada masiak (ikan asli danau Maninjau yang diasapi), rinyuak (sejenis ikan teri halus yang sering dijadikan peyek dan perencah gulai) atau ikan mujair asap.



   Ikan bada masiak, rinyuak dan mujair asap, dijual eceran. Cukup dengan mengeluarkan kocek Rp20 ribu Anda akan mendapatkan panganan itu sekira 500 gram. Ada juga peyek rinyuak yang khas menemani perjalanan, seharga Rp10 ribu/bungkus.
  
   Terdapat pula aneka makanan dan kue-mue asli Minang di jual di tepian jalan. Jika musim durian (biasanya bulan Juli-Agustus), buahan beraroma sengit itu, sangat istimewa di kampung selingkar danau Maninjau, karena durian Maninjau menjadi salah satu buah terbaik di ranah  Minang.

   Lima tahun lalu, ada tempat pemandian air panas di nagari Gasang. Sumber airnya berasal dari perut perbukitan. Tapi tempat itu, tidak terlihat lagi. Entah sudah hilang, akibat gempa beberapa tahun sesudahnya. Sesampai di Maninjau, aku langsung menuju kampung halaman orang tua di nagari Galapung. Besok aku bertekad menyusuri kembali nagari di sekeliling danau itu.



Warisan Yang Nelangsa
     
   Tak jelas sejak kapan nagari-nagari selingkar danau Maninjau pertama kali dihuni. Tapi dari berbagai keterangan dan fakta yang dihimpun, tanah ini sudah ditinggali sejak berabad-abad lalu. Amir Sjarifoeddin Tj. A, penulis buku ‘Minangkabau, Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol,’(2012), menyebutkan Maninjau menjadi salah satu bagian dari Luhak nan tigo, yakni Luhak Agam. Sehingga Maninjau termasuk dalam wilayah inti dari ranah Minangkabau.

   Keesokan hari, dari nagari Galapung, aku langsung mendatangi nagari Buya Hamka. Ternyata, hingga kini, warisan kerajaan yang pernah berkuasa di Maninjau di masa lalu, masih bisa ditemukan di Sungai Batang. Aku sempat melihat istana lama serta kediaman datuk/wali nagari/penghulu nagari selingkar Maninjau, berada di nagari Sungai Batang Ateh. Istana itu terbuat dari kayu keras yang kokoh dan diperkirakan berusia lebih dari 2 Abad. Namun, bangunan itu terlihat kusam dan tidak terurus, didiami keluarga dari penghulu itu. Saat kusambangi, bangunan itu terkunci. Dari keterangan, keluarga itu lagi pergi ke luar daerah.

   Dari istana itu, hamparan danau Maninjau bisa dilihat sejauh mata memandang. Ke ramudiak (arah hilir) ada dua rumah gadang lain, yakni kediaman holf bestuur (asisten wedana) Sungai Batang yang kini masih ditinggali keturunannya. “Dulu kantornya masih ada, pas disamping rumah, tapi sudah rubuh,” ujar guide kami, yang mengaku pengurus Perpustakaan Buya Hamka.

   Dulu nagari Sungai Batang ramai, tambah mantan jurnalis yang minta namanya tak dimuat. Namun sesudah terjadi peristiwa pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) 1958-1960, kampung itu berubah sunyi dan ditinggal warganya.

   Aku, sempat diajak melihat lokasi pertempuran antara TNI dengan tentara PRRI di sekitar Sungai Batang. Guide itu, menunjukkan padaku perbukitan yang jadi markas TNI serta diinformasikan pula sejumlah gua di lereng bukit yang jadi markas tentara PRRI. “Di sini pertempuran antara TNI dan PRRI sengit, bekas-bekasnya masih ada,” ujar dia.

   Saat berjalan, guide kami nyeletuk; “Jangan lihat Sungai Batang sekarang ini. Sebelum PRRI ramai. Tapi sekarang macam kota mati. Banyak rumah dan lahan yang ditinggal,” terang dia. Dicontohkannya kemasyhuran Sungai Batang, yakni keberadaan maktab ‘Ihya Ulumuddin’ yang didirikan Dr. H. Karim Amarullah, tempat dimana Buya Hamka awalnya dikenalkan dengan ajaran Islam.

   Di masa lalu, dia mengisahkan, banyak santri dari manca negara, mulai Malaysia, Thailand hingga Filiphina bersekolah di maktab itu. Alasannya, maktab itu menjadi batu loncatan untuk bisa diterima di University Al Azhar Kairo, Mesir. Di masa Menteri Pendidikan Daoed Yoesoef, maktab itu berubah status menjadi madrasah tsanawiyah, sehingga kemasyhurannya hilang. “Ini salah satu cara pemerintah merusak sistem pendidikan Islam di sini,” ujar guide itu, dengan nada sinis.

   Tak hanya itu, aku juga mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi warisan para inspirator dan pembaharu dari Maninjau. Di antaranya, rumah kediaman dan perpustakaan Buya Hamka, tempat kelahiran Nur Sutan Iskandar, tempat kelahiran Rasuna Said. Rumah tua dan surau (mushalla) Dr. H. Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), masjid Syekh Amarullah (buyut Buya Hamka) dan rumah Muhammad Nasir.



   Di perpustakaan Buya Hamka Sungai Batang, aku menyempatkan diri melihat sejumlah foto dokumentasi ulama yang terkenal hingga ke manca negara itu. Di rumah itu, masih bisa dilihat tempat tidur, kursi/meja dan tongkat Buya Hamka. Ada juga sejumlah foto dokumentasi ulama yang wafat pada 1981 itu. Juga dokumentasi foto sejumlah ulama pembaharu Islam (kaum muda) asal Minangkabau, misalnya Syekh Ahmad Khatib, Zainuddin El Labay, Syekh M. Jamil Jambek, Syekh M. Thahir Jalaluddin Al Azhary serta Dr. H. Karim Amarullah.

   Penjaga perpustakaan Safaruddin Imam Batuah, mengatakan rata-rata pengunjung perpustakaan itu berkisar 10-20 orang/hari. Di hari-hari besar, misalnya Idul Fithri pengunjung bisa membludak. Wisatawan yang datang juga berasal dari berbagai daerah dan mancanegara. Beberapa keluarga berlogat Melayu, diperkirakan berasal dari Malaysia, terlihat mengunjungi perpustakaan itu.

  Perpustakan Buya Hamka ini didirikan atas prakasa ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). “Inilah fakta bagaimana orang luar menghargai Buya Hamka, sementara negeri sendiri mengabaikannya,” keluh Safaruddin. Hingga kini, terang dia, perpustakaan itu didanai ahli waris, melalui penjualan buku-buku Buya Hamka mencapai 137 judul. Belakangan diakui perhatian pemerintah mulai ada pula. Namun, di perpustaakn itu cuma terlihat belasan judul buku saja. Salah satunya ‘Tafsir Al Azhar’ yang fenomenal itu.

   Aku membeli buku Hamka berjudul ‘Tasawuf Modern’ sebagai kenang-kenangan. Harganya mahal, untuk satu buku dengan kualitas cetak yang buruk, satu makalah stensilan Hamka yang digabung plus satu novel Nur Sutan Iskandar ‘Salah Pilih’,  aku harus merogoh kocek Rp200 ribu. Tapi aku maklum, karena dana itu juga diperuntukkan merawat warisan sang inspirator itu.

   Nasib warisan yang lebih tragis, justru terlihat di tempat kelahiran sastarawan angkatan pujangga baru Nur Sutan Iskandar. Tempat kelahirannya yang juga di nagari Sungai Batang itu, hanya dipugar sekali, yakni pada 1996. Rumah tua keluarga itu, kelihatan kian ringkih di makan usia.

   Di beranda rumah itu, ada taman bacaan masyarakat (TBM) Nur Sutan Iskandar. Pengelola TBM Jusni, 25, mengaku dari 82 judul tulisan Nur Sutan Iskandar, hanya terdapat 14 judul saja koleksi di TBM itu. “Itupun merupakan bantuan Baperasda Sumbar. Sekali saja dibantu, sampai kini ndak ado lai,” ujar mantu dari cucu novelis masa lalu itu. Prihatin dengan kondisi TBM itu, saya memberikan saran-saran mengembangan TBM dan memberikan hadiah beberapa buku yang saya bawa.

   Di perjalanan dari Sungai Batang menuju Maninjau, aku menyempatkan diri berziarah ke makam dan kediaman Dr. H. Karim Amarullah serta Syekh Amarullah (ayah dan buyut Buya Hamka).  Makam keduanya berada di halaman rumah, terlihat masih terawat. Saat ini, rumah itu ditinggali kerabat Hamka. Di dalam hanya terlihat peralatan rumah tangga dan sejumlah buku tua di atas rak ruang tamu serta foto keluarga dari masa lalu lengket di dinding rumah.

   Selain itu, juga mengunjungi masjid Taqwa Syekh Amarullah di Sungai Batang Ateh. Sayangnya di masjid yang baru direnovasi itu, aku tak mendapatkan keterangan apapun. Tapi posisi masjid yang berada dibawah istana Maninjau yang kuceritakan di atas. Aku yakin masjid itu dulunya rumah ibadah resmi dari kenagarian Maninjau/Sungai Batang.

   Aku juga menyempatkan sholat zhuhur di Masjid Raya Bancah, kampung di antara Sungai Batang dan Maninjau. Masjid ini salah satu yang tertua di selingkar danau Maninjau, berdiri pada 1907. Keistimewaannya, karena arsitektur dan tatanannya yang tidak berubah. Ada gapura di depan halaman dan kolam mengelilingi masjid, dengan jendela yang lebar, persis berada di tepian danau. Guide kami, mengatakan pada 1960-1965, nagari Bancah menjadi salah satu basis gerakan PKI di Maninjau.

   Di nagari Maninjau, aku mencari lokasi kediaman dan kelahiran tokoh pendidikan dan emansipasi wanita Hj. Rasuna Said. Beberapa warga sekitar yang kutanya, menunjukkan salah satu rumah tua yang kondisinya tak terurus. Mereka mengakui rumah tua berloteng dan berarsitektur Eropah itu, tempat kelahiran Rasuna Said.

   Bangunan itu kini berubah menjadi mushalla, tempat kaum ibu di kampung itu mengaji. Kondisi rumah itu compang camping. Beberapa bagian dinding rumah sudah lepas. Di halaman rumah terpampang tulisan, “rumah ini milik H. Muhammad Said.’ Mungkin yang dimaksud adalah ayah dari tokoh pendidik itu.

   Di seberang jalan, ada madrasah ibtidaiyah Hj. Rasuna Said. Namun, warga mengatakan sekolah itu bukan tempat tokoh pendidik itu mengajar. “Sekolahnya yang dulu dipinggir danau sudah hancur dan tak ada lagi,” terang tetangga di sekitar kediaman itu.

   Kabarnya, kini hanya ada seorang cucu keluarga Rasuna Said di Maninjau yang menjaga seluruh aset peninggalan pahlawan modernitas wanita itu. Tapi aku tak berhasil menemuinya. Yang kulihat sebelumnya, salah satu dari dua rumah peninggalan keluarga Rasuna Said, di kampung lain, tertulis pamlet ‘rumah ini dijual.’ Rumah tua dibangun 1872 itu, kelihatan megah jika dibanding rumah-rumah disekitarnya. Agaknya, keluarga Rasuna Said, kala itu, dari kalangan terpandang dan kaya.

   Sedangkan tempat tinggal Muhammad Nasir setelah pindah dari negeri kelahirannya di nagari Sumpur, Kec. Alahan Panjang, Kab. Solok, kini tak ada lagi. Informasi yang kuterima tapak rumah itu ada di kelokan pertama Maninjau dari kelok 44 menuju Matur. Karena infonya rumah itu sudah tak ada lagi, aku mengurungkan niat melacaknya.

   Ternyata, sebagian besar warisan para inspirator dan pembaharu Maninjau itu dalam kondisi nelangsa. Aku terpekur, membayangkan kebesaran jasa mereka di masa lalu, terabaikan oleh perjalanan waktu. Jika sudah demikian nama besar pun tak mampu menolong harta yang tertinggal. Semua akan sirna dan hilang ditelan zaman.

   Jam di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul 16.30. Perlahan matahari condong ke Barat, menyinari sebagian sisi perbukitan danau Maninjau. Kami memutuskan kembali pulang ke Galapung. Di perjalanan baru tersadar, keasikan malacak kisah masa lalu sang inspirator dan pembaharu Maninjau itu, membuat kami tak sempat makan siang. Walaupun begitu, aku merasa puas, ketika esok harinya kembali meninggalkan Maninjau, pulang ke kampung kelahiranku. Selamat tinggal Maninjau, jika panjang umur aku akan datang kembali.  □ [Abdul Khalik]



Sumber:
abdulkhalik-news.blogspot.com

Mengenang Satrawan Besar Hamka




Kata Pengantar

M
enarik untuk dibaca tajuk “Mengenang Satrawa Besar Hamka”. Oleh sebab itu kami masukkan kedalam blog ini dari pada format “share” facebook sebagai sumber asli tulisan yang mengangkat tulisan Dasman Djamaluddin ini. Alasan kami adalah karena uraiannya cukup panjang, maka yang terbaik adalah menggunakan format blog. Dengan blog penampilannya lebih baik, karena tata letak huruf dan paragraphnya enak dilihat. Versi blog mata kita nyaman untuk membacanya, dengan itu daya simak kita semakin kuat bagi yang suka membaca.

   Disamping itu dan yang utama adalah kenapa tajuk ini menarik? Karena isinya bukanlah hanya aspek sastrawan saja dibicarakan, namun berbagai hal lingkungan hidup dan kegiatan Buya Hamka diceritakan. Yaitu Buya Hamka sebagai Ulama, Wartawan, Politisi dengan segenap hingar bingar perpolitikan di Indoesia pada zamannya. Dengan itu menambah wawasan kita dalam mendalami episode perpolitikan dan peran ulama pada zaman Buya Hamka sejak pemuda sampai usia menjelang akhir hayat hidupnya. Disertai suka dukanya dengan tokoh-tokoh bangsa dan negara yang menarik untuk diketahui para generasi muda secara umum maupun generasi muda Islam khususnya. Baik, ikutilah kisahnya. □ AFM



MENGENANG SASTRAWAN BESAR HAMKA


Hari ini, 24 Juli adalah hari meninggalnya Buya Hamka. Saya pernah menulis tentang buya ini secara bersambung, sebagaimana dituliskan dibawah ini. [Dasman Djamaluddin]



M
engenang ulama kharismatik Indonesia Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, Koran-Cyber.com menurunkan tulisan bersambung yang ditulis Dasman Djamaluddin, wartawan senior media online ini. Buya Hamka yang sangat banyak menulis buku sastra dan agama, selayaknya menjadi panutan bagi generasi muda Indonesia.

   Beliau belajar secara otodidak, fasih berbahasa Arab, disegani kawan dan lawan. Walau cukup lama, Pemerintah RI akhirnya mengangkat beliau sebagai Pahlawan Nasional bersamaan dengan Syafruddin Prawiranegara. Apa kiprah Hamka bagi kemerdekaan Indonesia dan siapa saja lawan-lawan politiknya? Mari kita simak salinan tulisan Dasman Djamaluddin berikut ini:


AWAN GEMAWAN PUN MENETESKAN DUKA

   Itu merupakan judul Harian Pelita 25 Juli 1981 ketika ikut menyatakan duka sedalam-dalamnya atas wafatnya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun. Hamka adalah sastrawan besar Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.

   Sebagai bangsa yang selalu mengenang jasa-jasa tokoh-tokoh bangsanya, kita pun ingin sekali membalik jarum jam sejarah agar generasi muda ikut mengetahui perjuangan panjang yang dilakukan tokoh-tokohnya. Minimal sebagai suri tauladan, agar jejak mereka selalu diikuti. Sekaligus memacu semangat mereka untuk lebih banyak berkarya. Hanya dengan sebuah karya, kita bisa menunjukkan eksistensi sebagai bangsa berbudaya.

   Hamka lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Hamka merupakan salah seorang putra bangsa yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Beliau sering dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.

   Hamka banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya fiksi seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul ‘Si Sabariah’. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Sekitar 300 buku besar dan kecil telah ia tulis. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’, dan ‘Merantau ke Deli’ juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku acuan sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.

   Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.

   Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

   Ketika munculnya buku ‘Aku Mendakwa Hamka Plagiat’ yang ditulis Muhidin M. Dahlan saya sebagai generasi muda marah besar. Saya bilang Hamka bukan plagiator. Sebetulnya sah-sah saja seseorang mengungkap masa lalu. Tetapi di masa itu apakah persoalannya sudah selesai? Masih sebatas polemik. Sementara orang yang dipermasalahkan sudah meninggal dunia. Tidak beda dengan polemik Harian Merdeka dengan Harian Rakyat yang pada waktu itu dianggap pro komunis, di mana saya ikut mendengarkan langsung dari pemilik Harian Merdeka, B.M. Diah tentang Harian Rakyat ketika saya menulis buku ‘Butir-Butir Padi B.M. Diah’, tahun 1992. Saat bersamaan Hamka dimunculkan dalam Harian Rakyat tersebut.

   Bulan Juli ini kita sama-sama berpuasa. Saat bersamaan Dakwah Buya Hamka di layar televisi yang terakhir adalah malam Jum’at, 3 Juli 1981, malam pertama bulan Ramadhan. Harian Pelita menggambarkan wajahnya yang putih berseri-seri dan selalu tersenyum riang itu mengajak seluruh bangsa ini menyambut bulan suci Ramadhan dengan hati ikhlas seraya menahan diri dan meningkatkan kesadaran berdasarkan contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad.

   Ceramah keagamaan baik di layar televisi maupun corong RRI atau secara langsung di Mesjid Agung Al-Azhar yang selalu mendapatkan sambutan dan rasa simpati yang sangat besar itu tidak kita saksikan lagi. Harian Kompas menggambarkan, suasana duka kepergian beliau cepat tersebar ke berbagai kota. Di Banda Aceh begitu mendengar Buya Hamka meninggal dunia langsung menghentikan pengajian. Para jemaahnya spontan memanjatkan doa melepas kepergian almarhum, lalu mereka terlibat dalam berbagai kenangan mengenai Buya Hamka.

   Di Padang, berita wafatnya ulama terkemuka itu diterima dengan terkejut. Secara beranting, kabar tersebut cepat tersebar, bahkan sampai ke berbagai kota lain di Sumatera Barat seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan Padang Panjang di mana Hamka bersekolah semasa kecil.


SASTRAWAN DAN ULAMA ITU WAFAT DI HARI DAN BULAN BAIK

“Maha Suci Allah Yang ditangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS Al-Mulk: 1-2]

T
anggal 24 Juli 1981, saat Hamka meninggalkan alam fana ini, umat Islam Indonesia juga sedang berpuasa. Bulan baik. Hamka meninggal dunia setelah dirawat sejak 18 Juli 1981 di RS Pertamina, Jakarta. Beliau menderita sakit jantung, radang paru-paru dan gangguan pembuluh darah. Akhirnya sastrawan dan ulama besar itu meninggal dunia pada hari Jumat, hari baik, bulan Ramadhan, bulan baik, pukul 10.40 WIB setelah mencapai usia 73 tahun lebih.

   Untuk menggambarkan suasana waktu itu, saya mencoba mencuplik keseluruhan tulisan O’Galelano, yang saya anggap sangat menarik di Harian Pelita. Hingga hari ini saya tidak tahu siapakah O’Galelano, apakah itu nama samarannya atau nama sebenarnya. Yang jelas tulisannya mampu menghanyutkan kita ke suasana tanggal 24 Juli 1981, suasana duka, di mana bolamata-bolamata pengagumnya, anak muridnya, teman, kerabat, memerah menahan kesedihan.

   “Udara Jakarta, sudah dua hari menjelang Jumat, memang sesekali dibasahi oleh siraman sekejap dari renyai hujan. Awan gemawan sesekali menjulurkan tatapannya ke bawah dari lazuardi ibukota. Sebelumnya, jarang Jakarta disentuh oleh hujan. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama terkemuka, pujangga, sastrawan yang membuat pembacanya melinangkan airmata kala mereka menyimak novel religiusnya, Profesor dan Doktor, yang karyanya dibaca di secara luas di dunia Islam, sudah masuk ICU RS Pertamina Jumat pagi 18 Juli. Udara Jakarta yang panas mendenyit ubun, sejak Rabu dan Kamis, sesekali disentuh basah hujan. Seolah komponen jagat raya ini melirik, ulama besar itu dalam persiapannya untuk perjalanan yang abadi.

   Ketika warga kota terlebih muslimin-muslimah diberi berita pagi oleh koran bahwa Buya Hamka dalam keadaan kritis, mereka mendekap radio, untuk mendengarkan lebih lanjut kabar kesehatan beliau. Menjelang shalat Jumat kemarin, hujan tercurah di ibukota. Seolah hanya Jakarta yang dibasahi, karena benderang langit sekitar Jakarta tak berawan gelap. Jama’ah Shalat Jumat di masjid mulai terisak tatkala panitia mengumumkan bahwa Buya Hamka, telah pergi tadi siang jam 10.30. Seluruh Jakarta, dalam jutaan doa umat Islam, agaknya telah menghunjam di belantara alam. Jumat kemarin masjid-masjid Jakarta mengadakan shalat ghaib.

   Bukan shalat ghaib yang ingin kita catat. Walaupun dalam duka yang merambat jutaan kalbu umat, hal itu memang penting. Namun bolamata-bolamata mereka yang shalat ghaib, yang meneteskan air mata dan isak ketika menyeru Allah. Mereka tergoyah tubuhnya oleh isak dalam shalat. Doa mereka adalah doa yang diajukan dengan derai air mata: Ya, Rabbi, terimalah pemimpin, guru, imam dan ayah kami ini di sisi-Mu. Di rumahnya yang baru dibenah, dengan warna putih yang dominan suara dan tangis yang emosional hadir di mana-mana. Rusydi, puteranya yang tertua, yang telah lama dipersiapkan untuk melanjutkan penanya, berkata jelas, walaupun kesedihan menamparnya dahsyat: “Lanjutkan silaturrahmi ayah kami, kepada kami putera-puterinya di rumah ini. Kita yang berkumpul di sini adalah sahabat ayah, murid ayah, para menteri dan ulama, anak-anak rohani ayah kami.” Begitu kata Rusydi, yang sekarang agaknya meresa sepi meneruskan Panji Mayarakat, yang dibina ayahnya itu.

   Di tengah jenazah ulama besar itu di rumahnya di Jalan Raden Fatah III No. 1, banyak bergemaratak ucap dan doa yang penuh emosi. Sampai-sampai suasana di rumah ini mirip bagaikan jenazah para pejuang Palestina. Orang berhimpitan, berdesakan. Yang menteri, yang ulama, yang pemuda, yang ibu, yang gadis. Seorang lelaki meronta berteriak karena dilarang mendekat jenazah. Dia berteriak dengan tangis agar kiranya diperkenankan melihat wajah Buya terakhir kali.

   Di dalam Masjid Agung Al-Azhar saat jenazah akan disembahyangkan, tidak urung takbir dengan suasana hati syarat emosi masih mengumandang. Masing-masing orang agaknya ingin berarti di dekat jenazah orang yang disayanginya. Hamka memang, bapak rohani yang hilang dini. Dan orang terpana, syarat emosi.

   Rasanya menyayat sembilu hati kita, melihat seorang gadis kecil yang terjepit di antara desakan orang melongokkan kepalanya dan mengarahkan matanya yang berlinang, dengan isak yang tertahan. Ketika iringan jenazah lewat rumahnya. Pemandangan yang membiaskan rupa lain dari gambar diri ulama terkemuka ini. Banyak orang yang ingin menyentuh jenazah Buya, dan dalam kerumunan, himpitan dan dempetan, hal seperti ini memang ikut membuat suasana duka meningkat kepada “semangat dan api rohani.”

   Ketika para pengantar bergegas meninggalkan Pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan, di arah barat bayang Ashar yang menepi. Udara dan langit di atas makam, kembali duka. Awan gelap mulai menjulurkan nestapa. Sesudah itu hujan menyiram bumi merah. Telah agak lama usia Buya Hamka tersita di ibukota ini. Di mimbar khotbah, di halaman buku, koran, majalah. Buya barangkali adalah warga ibukota yang selalu dengan putih hati berusaha menyapunya dengan nasihat yang mendinginkan.

   Kalau saja gemawan dapat jelas berbisik pada kita, barangkali siraman hujan adalah pertanda, alangkah indahnya keberangkatan Buya. Di tahun, di bulan, di hari-hari yang penuh indah. Maka pantaslah kita bergembira, walaupun nestapa menindih kita, seperti kata pisah keluarga yang dibawakan Buya Malik Ahmad. Selama hayatnya Hamka memang adalah ekspresi keindahan.”

   Tepat hari ini, 24 Juli 1981, hari dan bulan saat umat Islam menjalankan ibadah puasa, Prof. Dr. Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun lebih dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang sastrawan dan tokoh ulama di negara kelahirannya, Indonesia, juga di negara-negara atau wilayah berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab. Banyak tokoh nasional pada waktu itu, termasuk Presiden Soeharto bertakziah di rumah almarhum. Kecuali Presiden Soeharto, di antara pejabat tinggi pemerintah antara lain Mendagri Amirmachmud yang memakai kemeja teluk belanga dan sarung. Menteri Agama Alamsyah, Menteri Nakertrans Harun Zein, Menteri PPLH Emil Salim dan banyak pejabat tinggi lainnya.

   Di samping itu tampak hadir Gubernur DKI Jakarta H. Tjokropranolo dan Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas. Di kalangan tokoh masyarakat terdapat Mohammad Natsir, Hasjim Ning, A.H. Nasution, Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara. Setelah Presiden Soeharto selesai bertakziah kemudian menyusul Wakil Presiden Adam Malik.
Kemudian jenazah diusung ke Masjid Al Azhar. Para petugas terpaksa pula bersusah payah menguakkan jalan, karena masyarakat terus membanjir dan masing-masing berusaha mendekat. Wajah-wajah duka dibasahi air mata itu seakan-akan tak mampu membendung kesedihan. Tiap sebentar terdengar teriakan “Selamat jalan Buya!” dan di sana sini pekik “Allahu Akbar,” mengantar perjalanan jenazah ke Masjid Al Azhar, di mana semasa hidupnya Buya Hamka menjadi Imam Besar. Orang berebut untuk ikut mengusung keranda jenazah, malah banyak yang sekedar berhasil menggapainya pun jadilah.

   Menjelang pelataran parkir, jalan terhalang oleh kendaraan-kendaraan yang terparkir melintang. Namun dalam waktu satu menit saja puluhan umat berhasil mengangkat dan memindahkan sedan-sedan itu, sehingga jalan pun terbuka.

   Ribuan jemaah ikut menyembahyangkan jenazah Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Jemaah meluap sampai pekarangan, sementara yang tidak sempat berwudhu pun khusyuk berdoa.

   Ketika keranda diusung kembali menuruni tangga masjid untuk diberangkatkan ke pemakaman, massa semakin padat. Berkali-kali pembawa megaphone berteriak memperingatkan massa agar tidak histeris dan menjaga suasana tetap khidmat dan khusyuk.

   Sepanjang perjalanan dari Masjid Al Azhar menuju pemakaman Tanah Kusir, iringan kendaraan sepanjang tiga kilometer lebih itu berjalan tersendat-sendat karena umat berjejal di tepi jalan. Mereka berdesakan ingin menyaksikan seorang ulama dan sastrawan besar sedang menuju ke peristirahatan terakhir. Sementara itu di Tanah Kusir sendiri, sudah ramai pula orang mendahului berangkat, untuk memperoleh tempat dekat tempat upacara.

   Di antara umat yang berjejal, upacara pemakaman jenazah Buya Hamka berlangsung di pemakaman Tanah Kusir. Dengan khidmat jenazah diturunkan ke liang lahat, disaksikan anggota keluarga, handai tolan, kerabat, pejabat, pemuka masyarakat, para murid almarhum dan kaum Muslimin.

   Buya Malik Achmad, sahabat almarhum semasa menjadi mubaligh Muhammadiyah di Padang Panjang tahun tiga puluhan memberi sambutan mewakili pihak keluarga. Ia mengharapkan masyarakat melepas kepergian almarhum dengan tulus ikhlas. Ia memuji Buya Hamka sebagai ulama besar yang lidahnya tak pernah berhenti menyebut ayat Al Qur’an. “Kebun surga, itulah tempat bagi arwah Buya Hamka,” ujarnya.

   Menteri Agama H. Alamsyah yang berbicara mewakili Pemerintah menyatakan, bukan umat Islam saja yang kehilangan dengan kepergian Buya Hamka, melainkan juga bangsa dan negara. “Kita kehilangan ulama besar, pahlawan besar dan pahlawan bangsa,” ujarnya.

   H. Alamsyah selanjutnya mengatakan, ia mendengar banyak orang mengira seolah-olah ada apa-apa antara Buya Hamka dengan Pemerintah, antara Buya Hamka dengan Menteri Agama, antara Buya Hamka dengan pribadi Alamsyah, sehubungan dengan pengunduran diri Buya Hamka dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonsesia (MUI). “Maka di sini secara tegas saya nyatakan, tidak ada apa-apa antara beliau dengan Pemerintah, Menteri Agama dan saya pribadi,” ujar H. Alamsyah.

   Upacara pemakaman diakhiri dengan pembacaan doa oleh KH. E. Z. Muttaqien, salah seorang Ketua MUI yang juga Ketua Majelis Ulama Jawa Barat. “Buya Hamka berangkatlah Buya dengan tenang. Kami telah bertekad melanjutkan langkah Buya,” ujarnya mengakhiri pembacaan doa.

   Buya Hamka telah tiada. Hari ini tepat 31 tahun hari wafatnya. Dalam perjalanan hidupnya sudah merasakan pahit getirnya perjuangan ini. Nama Buya Hamka terangkat ke permukaan dengan hasil karya roman pertamanya ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’ (1938). Roman ini mengisahkan cinta tak sampai antara dua kekasih yang terhalang adat. Romannya yang kedua, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ (1939), juga mengisahkan cinta yang tak sampai oleh adat Minangkabau. Selain itu, dari penanya lahir pula novel-novel ‘Karena Fitnah’ (1939), ‘Tuan Direktur’ (1939) dan Merantau ke Deli (1939). Sehabis perang, novelnya ialah ‘Menunggu Bedug Berbunyi’ (1950), ‘Dijemput Mamaknya’ (1948). Riwayat hidupnya sendiri dituangkannya dalam empat jilid buku dengan judul ‘Kenang-Kenangan Hidup’ (1951-1952).

   Terakhir Hamka menyelesaikan tafsir Al Qur’an ke dalam 30 jilid buku yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. “Menurut saya Hamka ingin agar Islam juga dihayati kaum intelektual, orang-orang yang hanya berpikir dengan rasio saja,” ujar HB Jassin mengomentari karya Hamka, Tafsir Al-Azhar.


HAMKA SEBAGAI WARTAWAN

   Menulis tentang Hamka, samalah artinya menulis di samudera luas. Kadang kala tangan ini berhenti bukan karena tidak memiliki data, melainkan banyaknya sumber dari berbagai sudut pandang, sehingga muncul pertanyaan, dari sudut mana lagi kita akan menulis tentang tokoh terpandang ini?

   Menulis tentang orang-orang besar sudah tentu membutuhkan berbagai pengamatan dan penelitian lebih mendalam. Butuh waktu lama. Tetapi bagaimana pun, saat bangsa dan negara ini kehilangan tokoh panutan, seperti Hamka, 24 Juli 1981, perlu juga mengenalkan kembali sosok sastrawan dan ulama besar itu ke permukaan agar lebih diketahui generasi berikutnya. Seraya mengingatkan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

   Bagi saya, Hamka identik dengan kultur Minangkabau di daerah Padangpanjang, Sumatera Barat. Hamka lebih banyak bersentuhan dengan adat istiadat di daerah itu. Meskipun Hamka terlahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah di Maninjau, pada tanggal 16 Februari 1908, tetapi setelah ayahnya mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di Padangpanjang, beliau banyak bersentuhan dengan daerah Padangpanjang.
   Sementara ibu Hamka adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya. Rumah tempat Hamka dilahirkan, sekarang diabadikan sebagai Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Hanya kadang kala museum selalu diidentikan dengan benda mati. Sepi pengunjung. Hendaknya dengan berbagai tulisan mengenai tokoh-tokoh daerah maupun nasional, generasi muda lebih memahami arti museum, sebagai sebuah tempat di mana sejarah itu awal mulanya ditulis.

   Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisai, memperoleh pendidikan rendah pertama kali di usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, karena ayahnya mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di Parabek Padangpanjang, Hamka bersekolah di sekolah itu dan malam hari belajar agama dengan ayahnya, yang adalah seorang ulama besar tersebut. Sumatera Thawalib merupakan sekolah agama Islam terkenal, kelanjutan sekolah agama Surau Djembatan Besi yang didirikan Syekh Abdullah pada masa peralihan ke abad 20.

   Guru-gurunya saat itu merupakan tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau, seperti Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Saya ingin mengatakan jika Yogyakarta sering disebut kota pelajar, maka Padangpanjang sejak awal sudah menjadi kota pelajar. Banyak tokoh terkemuka bangsa Indonesia berasal dari daerah Padangpanjang.

   Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling disukainya. Melalui kefasihan bahasa Arab inilah kemudian ia belajar sendiri (otodidak) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi ini pula, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

   Padang Panjang sekarang sudah tentu berbeda ketika Hamka masih kecil. Padang Panjang sekarang sudah menjadi kota dengan luas wilayah terkecil di Provinsi Sumatera Barat. Kota ini memiliki julukan sebagai Kota Serambi Mekkah, dan juga dikenal sebagai Mesir van Andalas. Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi oleh wilayah administratif kabupaten Tanah Datar.

   Kawasan kota ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh. Pada masa Perang Padri kawasan ini diminta Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk menundukkan kaum Padri yang masih menguasai kawasan Luhak Agam. Selanjutnya Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju Kota Padang karena lebih mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII di Kabupaten Solok sekarang. Kota ini juga pernah menjadi pusat pemerintahan sementara Kota Padang, setelah Kota Padang dikuasai Belanda pada masa agresi militer Belanda sekitar tahun 1947.

   Jika ditelusuri secara kronologis, sejak tahun 1920-an, Hamka sudah menjadi wartawan di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah. Surat kabar terakhir, Suara Muhammadiyah karena Hamka sendiri tahun 1925, adalah salah seorang pendiri organisasi Muhammadiyah di Minangkabau dan kelak mengetuai Muhammadiyah Cabang Padangpanjang di tahun 1928. Pada tahun 1925 itu juga, Hamka menjadi anggota Partai Sarekat Islam.

   Hamka baru mulai bekerja pada tahun 1927 (ada juga yang mengatakan tahun 1929) sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi. Berdasarkan ilmu jurnalistik yang diperolehnya ditambah kefasihannya berbahasa Arab, Hamka menulis karya pertamanya dalam bahasa Arab di tahun 1928 dengan judul Khatibul Ummah jilid 1-3. Buku keduanya berjudul Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abu Bakar Shiddiq), buku ketiga berjudul Adat Minangkabau dan Agama Islam, buku keempatnya berjudul Ringkasan Tarikh Umat Islam dan buku kelimanya berjudul Kepentingan Melakukan Tabligh.


BERGURU KEPADA H.O.S. TJOKROAMINOTO

H
amka mulai meninggalkan kampung halamannya pada usia 16 tahun di tahun 1924. Pada waktu itu beliau sudah menjadi anggota organisasi Muhammadiyah di Padangpanjang dan tertarik dengan Partai Politik Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, kelak menjadi mertuanya Bung Karno dan sering disebut sebagai “Guru Para Pendiri Bangsa.” SI sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang bertujuan melawan dominasi pedagang Tionghoa.

   Pada tahun 1905, SI ini bernama Serikat Dagang Islam (SDI), tidak berpolitik, hanya sebuah perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis Haji Samanhudi di Surakarta (Solo) bertujuan menghimpun para pedagang pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa dan pedagang-pedagan asing lainnya. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk pribumi Hindia Belanda. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda agar kaum minoritas Tionghoa bisa dikendalikan dan kaum mayoritas pribumi tidak memiliki kemampuan mumpuni tapi hal ini kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran baru di antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.

   Organisasi SDI berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan berpengaruh. Terbukti ketika R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Kemudian tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg (Bogor sekarang). Demikian pula, di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.

   Kelak ketika Haji Oemar Said Tjokroaminoto dipilih menjadi pemimpin, mengubah nama SDI menjadi SI. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Tujuan SI selain mengembangkan jiwa dagang, juga membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha, memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat, memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam dan hidup menurut perintah agama.

   Pada waktu bernama SDI anggotanya terbatas untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tetapi setelah Tjokroaminoto memimpin SDI kemudian mengganti nama menjadi SI, keanggotaannya tidak hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim dari segala penjuru Nusantara. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.

   Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah Belanda memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis (Abdul Muis) yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Centraal SI sebagaimana halnya Tjokroaminoto.

   Hamka yang berdarah Minangkabau, pun sebagaimana halnya Abdul Muis yang telah lebih dulu bergabung dengan SI, sangat tertarik dengan partai politik ini. Apalagi dengan kehadiran H. Agus Salim, yang juga berasal dari Minangkabau, membuat Hamka semakin ingin belajar langsung dengan HOS Tjokroaminoto. Memperdalam pengetahuan agama Islam memang menjadi ciri khas budaya Minangkabau yang memiliki nilai-nilai falsafah tinggi dan bersifat universal. “Alam takambang jadi guru”, ujar mereka.

   Hamka di usia 16 tahun, tahun 1924 mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Dja’far Amrullah di Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

   Di Yogyakarta tahun 1924 agar bisa belajar dengan HOS. Tjokroaminoto, Hamka bercerita dia sengaja memalsukan usianya dari 17 menjadi 18 tahun agar bisa masuk Sarekat Islam saat itu. Soalnya, hanya anggota SI yang boleh mengikuti kursus agama dua kali seminggu dalam kelas Tjokro. Cerita Hamka ini bersumber dari pengantar buku Amelz berjudul ‘HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perdjuangannya’. Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah ketika masih di Padangpanjang, Hamka sudah masuk SI atau belum. Atau baru di Yogyakarta? Perlu penelusuran lebih jauh.

   Tak jelas di mana rumah paman Hamka dan di mana tempat mereka biasa mengikuti kursus bersama Tjokro. Yang dicatat Hamka hanyalah dia terkecil di antara sekitar 30 peserta kursus. Pengajarnya tiga orang: RM Soerjopranoto, mengajar sosiologi; H. Fachruddin, membawakan dasar-dasar hukum Islam, dan Tjipto, memberikan kursus agama Islam dan sosialisme.

   “Waktu itulah saya mulai mengenal komunisme, socialisme, nihilisme. Waktu itulah mulai mendengar nama Karl Marx, Engels, Proudhon, Bakunin, dan lain-lain,” tulis Hamka.


CATATAN SINGKAT TENTANG GURU HAMKA

H
aji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, siapakah sebenarnya guru Hamka ini? Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, pada 16 Agustus 1882 dan berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi pada saat bersamaan, dia memprotes atribut-atribut feodalisme, seperti menyimpan gelar Raden, memprotes laku ndodok—berjalan jongkok di depan bangsawan.

   Tjokroaminoto menuntut kesetaraan bangsa Hindia Belanda, sehingga menyeru pengikutnya mengenakan “pakaian Eropa”, sebagai lambang “pribumi sama-sama manusia seperti orang Belanda”.

   Pada tahun 1914, Tjokroaminoto menulis sajak di ‘Doenia Bergerak’ menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia pada waktu itu:

Lelap terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia.
Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa.
Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya.
Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas.
Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula.
Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu dalam bahasa ngoko.
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.

   Adalah Soekarno, Proklamator dan Presiden RI Pertama - waktu itu masih bernama Kusno Sosrodihardjo—menjadi anak kos istimewa di rumah Tjokro di Gang Peneleh VII, Surabaya. Selanjutnya kelak menjadi menantu Tjokro. Ada sepuluh anak kos lain di rumah itu. Di meja makan rumah Gang Peneleh itulah, ilmu pergerakan modern ditularkan Tjokroaminoto kepada Alimin, Musso, Soekarno, dan belakangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di masa tua.

   Hamka menggambarkan gurunya, HOS Tjokroaminoto: “Badannya sedikit kurus, tapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga, walaupun beliau tidak memedulikan lagi titel Raden Mas yang tersunting di hadapan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan.”

   Bagi kalangan intelektual Minangkabau, Tjokroaminoto bukan nama yang asing. Selama mengajar Hamka dan kawan-kawan, Tjokro selalu meminta ruangan luas. Tjokro tak mau terikat mimbar sempit. Ia menerangkan pelbagai hal sosialisme dalam Islam dan keadaan politik dalam negeri. Hamka menilai Tjokro sebagai orator dan agitator yang layak di tempat lebih besar, bukan hanya di ruangan kelas. “Suaranya lantang besar, memancar dari sinar jiwa dan sanubarinya,” kata Hamka.

   Tetapi sifat gagahnya hilang ketika Soekarno mengembalikan anaknya Oetari ke pangkuannya. Tjokroaminoto hanya diam, entah apa yang ada dalam benaknya. Hanya Allah SWT yang tahu. “Pak Tjokro hanya mengangguk diam tanpa menanyakan persoalan-persoalan pribadi,” ujar Soekarno di dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams.

   Sakit ginjal dan maag kronis akhirnya merenggut hidup Tjokro pada 17 Desember 1934. Tjokro menghembuskan napas terakhir di pangkuan Resoramli, yang menungguinya bersama Jumarin - kader PSII yang asli Padang - dan Rostinah, istri kedua Tjokro setelah istri pertamanya meninggal. Dalam obituari pada 18 Desember 1934, Pewarta Soerabaya menulis istri kedua Tjokro adalah artis sebuah kelompok wayang orang. Tjokro bertemu dengan istri keduanya di Pakualaman. Dia pesinden asli Yogyakarta. Tetapi mereka tidak dikaruniai anak.

   Sebelum meninggal, Tjokro merasa prihatin bahwa Partai Sarekat Islam (SI) pecah menjadi dua pada saat-saat berkembang pesat. SI disusupi paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal sebagai “Blok di Dalam”, mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

   Dengan usaha yang tekun, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi “SI Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan “SI Merah” yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Kembali nama-nama Minangkabau tersebar contohnya Tan Malaka, menunjukkan bahwa orang Minangkabau tersebar di mana-mana dalam berbagai aliran politik. Di dalam pemerintahan Soekarno malah ada yang menyebutnya: “Kabinet Minangkabau,” karena banyaknya suku tersebut melingkari pemerintahan.


SAYA MARAH HAMKA DIBILANG PLAGIATOR

K
etika saya melihat buku “Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, yang terbit bulan September 2011 setebal 238 halaman, penerbit Seripa Manent & Merakesumba, saya langsung membacanya. Saya tidak mengerti mengapa buku ini diterbitkan. Apa maksud penulis Muhidin M. Dahlan mengungkapkannya lagi di hadapan khalayak. Saking memendam amarah, saya mengatakan tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan dari sebuah buku. Tidak ada tanggung jawab di dalamnya.

   Ternyata tulisan saya di facebook itu hanyalah sebuah pancingan atau sebuah trik, karena saya menganggap apa manfaatnya buat generasi muda mengungkit kembali hal-hal yang masih abu-abu di masa itu. Belum jelas dan masih dalam polemik. Ternyata dugaan saya benar, dan kemudian barulah saya menulis untuk kedua kalinya berjudul: “Inilah Inti Tulisan Tentang Hamka.”

   Trik-trik seperti ini saya pelajari dari Burahanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) ketika saya menulis buku beliau “Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), mengatakan: “Bung Dasman, jika ingin mengetahui siapa lawan kita sebenarnya, biarkan dia ke luar dulu dari sarangnya.” B.M. Diah adalah tokoh pers, diplomat dan pada malam 17 Agustus 1945 ikut hadir bersama Bung Karno-Hatta menyaksikan penyusunan naskah proklamasi di Rumah Laksamana Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang. Beliau juga berpengalaman berpolemik antara surat kabarnya Harian Merdeka dengan Harian Rakjat, Juni-Juli 1964.

   Harian Merdeka merupakan Koran Perjuangan lahir 1 Oktober 1945 dan sangat anti Partai Komunis Indonesia (PKI). Hamka pernah menjadi koresponden Harian Merdeka. Sementara Harian Rakjat lahir pada 1951, media resmi Partai Komunis Indonesia itu berkantor di Jalan Pintu Besar Nomor 93, Jakarta, dengan direksi/penanggung jawab/redaksi Mula Naibaho. Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin redaksi media ini dan Supeno, menjadi anggota dewan redaksinya. Njoto sering menulis editorial, pojok atau kolom.

   Buku tulisan Muhidin M. Dahlan ini hanya mengulang peristiwa bulan September 1962 yang menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh melakukan plagiat dari novel “Magdalena” yang merupakan saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”.

   Saya menulis lagi: “Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga komunis di Indonesia yang benci dengan Islam. Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI juga waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Jadi persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam. Jadi tidak ada yang baru dengan buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI tahun 1965. Saya sependapat dengan pernyataan H.B. Jassin: “Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri… maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

   Jassin juga menegaskan bahwa novel Tenggelamnya Van Der Wijck membahas masalah adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar. Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.

   Awal tahun 1963, dunia sastra kita memang digemparkan oleh dua surat kabar Harian Ibukota: Harian Rakjat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini menyiarkan di halaman pertama dengan berita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hasil jiplakan oleh pengarang Hamka”. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramudya Ananta Toer.

   Dalam buku “Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka,” yang ditulis oleh puteranya Hamka, dinyatakan:

“Berbulan-bulan lamanva kedua koran komunis ini menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, juga menyerang secara pribadi. Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramudya Ananta Tur itu. Penulis waktu itu sekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI Vak Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis.”

   Selanjutnya Irfan Hamka menulis: “PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru. Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian melakukan kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu. Suatu hari, ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.”

   “Hanya sebentar ayah berpikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur langsung diislamkan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam kepada ayah. Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon menantunya itu ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan ayah yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.”

Kembali Irfan Hamka menulis: “Salah seorang teman Pramudya bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjawab: “Masalah paham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang ulama yang terbaik.”

   Menurut Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknya Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan Pramudya Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama Islam kepada sang calon menantu.


HAMKA DAN NATSIR

P
erjuangan Hamka terhadap bangsa dan negaranya, tidak ada bedanya dengan perjuangan Soekarno, Hatta, Sjahrir dan para pejuang kemerdekaan lainnya. Hanya karena lahir di lingkungan yang taat pada Agama Islam, sehingga apa yang diperjuangkannya sesuai dengan syariat-syariat Islam.

   Selama pendudukan Jepang, Hamka sudah mempertahankan bangsa ini melalui Majalah ‘Semangat Islam’ yang terbit di tahun 1943. Juga melalui pidato-pidato dan ikut bergerilya di hutan-hutan Sumatera Timur. Setelah kemerdekaan, Hamka pun gigih membantu menentang agar Belanda tidak kembali menjajah Indonesia. Tahun 1947 diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.

   Di dalam Islam memang telah dulu diajarkan mengenai cinta kepada tanah air. Di dalam bahasa Arab sering kita jumpai kalimat-kalimat yang mengarahkan ke sana, salah satunya kalimat yang artinya, “Apabila engkau ingin mengenal pribadi seseorang, maka perhatikan bagaimana kecintaan dan kepeduliannya kepada tanah air tumpah darahnya.” Juga di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 126, Allah berfirman: “Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim a.s., berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian.”

   Dalam ayat ini jelas menunjukkan bagaimana wujud cinta Nabi Ibrahim kepada tanah airnya dengan mendoakannya dalam tiga hal: ● Menjadi negeri yang aman sentosa; ● Penduduknya dilimpahi rezeki; ● Dan penduduknya beriman kepada Allah dan hari akhir. Tidaklah Nabi Ibrahim as mendoakan seperti itu kecuali di hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap negerinya.

   Di dalam perjuangan, Hamka telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Itu sebabnya beliau menjadi anggota Sarekat Islam, Muhammadiyah dan terakhir memasuki Partai Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu partai politik yang bernapaskan Islam. Hamka menganut paham Nasionalis-Agamis. Hal ini bisa dilihat dari novel-novelnya yang ditulisnya seperti “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,” terlihat jelas suatu tema bahwa bangsa-bangsa di Indonesia adalah sederajat, Bugis dan Minangkabau, bagaimana konflik itu diselesaikan secara religius. Kehadiran tokoh Zainuddin, agaknya sebuah simbol kehadiran Indonesia. Jadi kalaulah harus berbicara nasionalisme, nasionalisme Hamka tidak fanatik atau chauvinistic.

   Memang dalam masa-masa perjuangan, waktu Hamka banyak tersita, sehingga beliau kembali aktif menulis buku setelah kemerdekaan Indonesia. Dia berhasil menulis beberapa buku dan juga mendirikan majalah baru ‘Menara’. Buku-buku yang tulisnya ‘Negara Islam’ (1946), ‘Islam dan Demokrasi’ (1946), ‘Revolusi Pikiran’ (1946), ‘Revolusi Agama’ (1946), ‘Muhammadiyah Melalui 3 Zaman’ (1946), ‘Adat Minangkabau Menghadapi Ombak’ (1946), ‘Didalam Lembah Cita-Cita’ (1946), ‘Sesudah Naskah Renville’ (1947), ‘Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret’ (1947), dan ‘Menunggu Beduk Berbunyi’ (1949). Tahun 1947 Hamka dipercaya sebagai anggota Konstituante unsur Masyumi.

Suatu ketika Hamka menghadapi dilema ketika harus memilih jalan hidup sebagai Pegawai Tinggi Agama yang telah diangkat oleh Menteri Agama Indonesia atau tetap sebagai politikus Masyumi. Akhirnya Hamka memilih meninggalkan jabatan sebagai Pegawai Tinggi Agama dan lebih memilih sebagai politikus Masyumi.

   Di awal-awal kemerdekaan merupakan awal mencari jati diri bangsa. Hendak kemana bangsa ini diarahkan, karena Indonesia baru saja merdeka. Kemudian apakah Indonesia didirikan atas kerajaan, republik dan menganut ajaran-ajaran Islam, kebangsaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak mengherankan perdebatan-perdebatan ideologis terjadi ketika berlangsung sidang Konstituante untuk merumuskan Undang-Undang Dasar Baru sejak 10 November 1956. Anggota sidang diwarnai oleh anggota-anggota partai yang menang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Pertama di Indonesia tanggal 29 September 1955. Hasil Pemilu yang baru diumumkan tanggal 1 Maret 1956 menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semula tidak diperhitungkan, berhasil menduduki posisi ke empat dalam jumlah pengumpulan suara untuk Parlemen (DPR). Posisi pertama diraih Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan jumlah suara 22,1%, Masyumi, 20,9% persen, NU, 18,4% dan PKI, 16,3%.

   Berbicara mengenai Masyumi, berbicara kedekatan Hamka sebagai anggota dengan Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir yang sama-sama anggota Konstituante dan sama-sama berasal dari Sumatera Barat. Keakraban ini bisa kita saksikan setelah Hamka pada 13 November 1957 mendengar uraikan pidato Natsir yang menawarkan dengan tegas kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai Dasar Negara RI, Hamka langsung menulis puisi khusus untuk Natsir:

KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR

Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…!


   Demikianlah sekelumit kisah perjalan hidup bersosial-kemasyarakat Buya Hamka pada zaman dimana beliau hidup. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □□□