Thursday, September 24, 2020

Memahami Usaha Beramal Ibadah

 

 

 MEMAHAMI USAHA BERAMAL IBADAH

Oleh: A. Faisal Marzuki

 

KATA PENGANTAR

Sebagian dari Umat Islam menganggap bahwa karena faktor Amal Ibadah  yang kita kerjakan atau dilakukan kita masuk surga. Sebenarnya tidak demikian. Amal Ibadah tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan ada kaitannya juga dengan Nikmat Allah dan Rahmat Allah.

Dengan itu memahami usaha amal ibadah yang kita lakukan itu ada kaitannya dengan nikmat Allah yang diberikan kepada pelaku ibadah karena rahmat dari Allahu Rabbi.

Tanpa pemahaman seperti itu sia-sialah apa yang kita lakukan disangka ‘untung malahan buntung’. Mari ikuti bahasan berikutnya.

 

PENDAHULUAN

U

ntuk memahaminya mari ikuti kisahnya sebagai berikut. Hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiallāhu ‘anhu (ra), beliau berkata, Rasulullah Muhammad shalallāhu ‘alaihi wa sallam (saw) mendatangi kami, kemudian beliau bersabda: Jibril berkata; Wahai Muhammad, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla (baca: ‘azza wa jalla) memiliki seorang hamba dari hamba-hambanya yang lain, hamba tersebut telah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla selama lima ratus tahun di puncak sebuah gunung di sebuah pulau yang dikelilingi dengan lautan yang lebar dan tinggi gunung tersebut adalah tiga puluh dzira’.

Jarak dari setiap tepi lautan yang mengelilingi gunung tersebut adalah empat ribu farsakh. Di gunung tersebut terdapat sebuah mata air yang selebar beberapa jari, dari mata air tesebut mengalir air yang sangat segar dan berkumpul ke sebuah telaga di kaki gunung.

Di sana juga terdapat pohon-pohon delima yang selalu berbuah setiap hari sebagai bekal hamba tersebut beribadah kepada Allah di hari-harinya. Setiap kali menjelang sore, hamba tersebut turun dari atas gunung menuju telaga untuk mengambil air wudhu, sekaligus untuk memetik buah delima lalu memakannya, baru kemudian mengerjakan shalat.

Setelah usai shalat, hamba tersebut selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala (baca: allāh ta’ālā), supaya kelak ketika ajalnya datang menjemput, dia dicabut nyawanya dalam keadaan sujud kepada Allah dan dia juga berdo’a supaya setelah kematiannya, jasadnya tidak dirusakkan oleh bumi dan oleh apapun juga sampai datangnya hari kebangkitan.

Jibril berkata, “Allah Ta’ala mengabulkan semua do’a-do’a sang hamba. Kemudian kami melintasi hamba tersebut, ketika kami turun dan naik lagi, kami menemukan sebuah pengetahuan bahwa, Nanti pada hari dibangkitkan, hamba tersebut akan dihadapkan pada Allah Ta’ala.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman: “Masukkan hambaku ini ke surga dengan sebab rahmat-Ku”. Hamba tersebut berkata, “Dengan sebab amalku Ya Rabb”.

Allah berfirman, “Masukkan hambaku ke surga dengan sebab rahmat-Ku”. Sekali lagi hamba tersebut berkata, “Dengan sebab amalku Ya Rabb”. Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Sekarang coba timbang amal hambaku ini dengan nikmat yang telah aku berikan kepadanya.”

Dan ternyata setelah ditimbang, nikmat penglihatan yang telah diberikan Allah kepada hamba tersebut, menyamai dengan timbangan amal ibadah yang telah dilakukannya selama lima ratus tahun. Dan masih tersisa anggota tubuh lain yang belum ditimbang, sedangkan amal hamba tersebut ternyata sudah habis.

Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Sekarang masukkan hambaku ini ke neraka”. Dengan perintah Allah tersebut, kemudian para malaikat menggiring hamba ke neraka. Tiba-tiba ketika akan digiring ke neraka, hamba tersebut berteriak sambil menangis, “Ya Rabb, masukkan aku ke surga dengan rahmat-Mu”. Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada para Malaikat; “Tahan dulu wahai malaikat, dan bawa kesini”.

Hamba tersebut lalu dibawa oleh para malaikat kehadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hambaku, siapakah yang telah menciptakanmu yang sebelumnya kamu bukan apa-apa?” Hamba tersebut menjawab, “Engkau Ya Rabb.” Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang telah memberikan kekuatan kepadamu, sehingga kamu mampu beribadah kepadaku selama lima ratus tahun?” Hamba menjawab, “Engkau Ya Rabb.”

Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang telah menempatkanmu disebuah gunung yang berada ditengah-tengah laut yang luas, mengalirkan dari gunung tersebut air yang segar sedangkan di sekelilingnya adalah air yang asin, yang (dengan air tawar) menumbuhkan buah delima setiap malam yang seharusnya hanya setahun sekali berbuah, serta siapa yang telah memenuhi permintaanmu, ketika engkau berdo’a supaya dimatikan dengan cara bersujud?” Hamba tersebut menjawab dengan wajah menunduk malu dan bersuara pelan, “Engkau Ya Rabb.”

Allah Ta’ala berfirman, “Itu semua tak lain hanyalah berkat rahmat-Ku, dan dengan berkat rahmat-Ku juga, engkau akan Aku masukkan kedalam surga.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Masukkan hambaku ini ke surga, engkau adalah sebaik-baik hamba, wahai hamba-Ku.”

Dan dimasukkanlah hamba tersebut kedalam surga berkat rahmat Allah Ta’ala. Kemudian Jibril berkata, “Sesungguhnya segala sesuatu terjadi berkat rahmat Allah swt (baca: subhāna wa ta’ālā), wahai Muhammad.”

 

HUBUNGAN RAHMAT ALLAH DENGAN AMAL IBADAH & NIKMAT ALLAH


Maka Allah swt menyuruh malaikat agar menghitung seluruh amal ibadahnya selama 500 tahun dengan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata kenikmatan Allah swt tidak sebanding dengan amal ibadah hamba tersebut selama 500 tahun. Maka Allah swt berfirman: “Masukkan ia ke dalam neraka”. Maka ketika malaikat akan menariknya untuk dijebloskan ke dalam neraka, hamba tersebut berkata lagi: “Ya Allah, masukkan aku ke dalam surga karena rahmat-Mu.”

 

Allah Ta’ala berfirman, “Itu semua tak lain hanyalah berkat rahmat-Ku, dan dengan berkat rahmat-Ku juga, engkau akan Aku masukkan kedalam surga.” Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat, “Masukkan hambaku ini ke surga, engkau adalah sebaik-baik hamba, wahai hamba-Ku.”


Dari kisah di atas, jelaslah bahwa seseorang bisa masuk surga karena rahmat Allah swt, bukan karena banyaknya amal Ibadah Mahdhah (hablum minallāh) yang kita lakukan setiap hari, seperti shalat, zakat, sedekah, puasa saja. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan amal ibadah lainnya (Ibadah Ghairu Mahdhah, hablum minannās) - amalan-amalan lainnya tidak ada artinya?

Jangan salah persepsi. Sungguh, tidak ada amal ibadah yang sia-sia (Ibadah Mahdhah, hablum minallāh), amal ibadah lainnya (Ibadah Ghairu Mahdhah, hablum minannās) [1] adalah sebuah proses atau alat untuk menjemput rahmat Allah swt. Karena rahmat Allah tidak diobral begitu saja kepada manusia, melainkan rahmat tersebut harus diusahakan atau dijemput dengan melakukan amalan-amalan lainnya sebagaimana Rasulullah saw mengajarkan kepala umatnya dengan beberapa cara agar rahmat Allah swt  itu bisa diraih sebagai berikut:

  • Pertama, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah swt dengan menyempurnakan ibadah kepada-Nya dan merasa diperhatikan (diawasi) oleh Allah, QS Al-A'rāf 7:56.
  • Kedua, bertakwa kepada-Nya dan menaati-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, QS Al-A'rāf 7:156-157. 
  • Ketiga, kasih sayang kepada makhluk-Nya, baik manusia, binatang. maupun tumbuhan - lingkungan hidup. 
  • Keempat, beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, QS Al-Baqarah 2: 218. 
  • Kelima, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menaati Rasulullah saw, QS An-Nūr 24:56. 
  • Keenam, berdo’a kepada Allah swt untuk mendapatkannya dengan bertawasul dengan nama-nama-Nya yang Mahapengasih (ar-Rahman) lagi Mahapenyayang (ar-Rahim). Firman Allah swt, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, QS Al-Kahf 18:10. 
  • Ketujuh, membaca, menghafal, dan mengamalkan Al-Qur’an, QS Al-An'ām 6:155). 
  • Kedelapan, menaati Allah swt dan Rasul-Nya, QS Āli ‘Imrān 6:132. 
  • Kesembilan, mendengar dan memperhatikan dengan tenang (khusyu’) ketika dibacakan Al-Qur’an, QS Al-A'rāf 7:204. 
  • Kesepuluh, memperbanyak istigfar, memohon ampunan dari Allah swt. Firmannya, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” QS An-Naml 27:46. 
  • Kesebelas, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,  dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.  Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. . .”, QS Al-Qashash 28:77. 
  • Kedua belas, Rasulullah saw yang pernah disampaikan beliau secara serius dalam salah satu khutbahnya yang artinya sebagai berikut: “Wahai manusia! Sesungguhnya Allah swt berfirman kepadamu: Anjurkanlah olehmu berbuat baik (murū bilma’rūf) dan laranglah perbuatan yang munkar (wanhaw ‘anil munkari), agar jangan datang suatu saat dimana kamu berdo’a tetapi Aku (Allah) tidak menjawab do’amu; kamu meminta tetapi Aku (Allah) tidak kabulkan; kamu memohon pertolongan, tetapi Aku (Allah) tidak memberi pertolongan.”

 

PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Amal Ibadah itu amat berguna, tapi jangan atau tidak perlu dibangga-banggakan (riya’) “nih lho, berkat amalan guè jadi hebat”. Karena kalau kita membangga-banggakan diri menjadi takabur (sombong) yang dengan itu cenderung meremehkan orang lain dan lupa kepada (rahmat) Nya - ingat bahwa manusia itu berproses untuk menjadi baik atau buruk, ketika dia buruk jangan dicela (diolok-olokkan) - perlu dida’wahi. Apalagi kepada Allāhu Rabbi, seolah kita masuk surga adalah karena amalan kita saja (lihat kisah seorang ahli ibadah yang menyebutkan bahwa mendapat surga karena hasil amalan ibadahnya yang dikerjakannya itu  - pasti masuk surga).  Padahal kekurangan kita masih banyak dihadapan Allāhu Rabbi - nikmat Allah itu banyak dibanding amal ibadah kita. Sebenarnya manusia mempunyai banyak kelemahan seperti khilaf, lupa, lalai entah karena sibuk, ilmu atau pengetahuannya masih kurang (menganggap diri sudah tahu semuanya), dan  last but not least - usia yang semakin lanjut yang berpotensi mudah lupa, dst.

Dengan itu disamping beramal ibadah yang telah ada (telah dilakukan), perlu pula rahmat Allāhu Rabbi di jeput dengan cara mengamalkan seperti yang disebutkan diatas, yaitu dari “12 Cara Rasulullah Menjemput Rahmat Allah” yang bersumber dari Kitab Allah (baca kitabullāh, Al-Qur’an).

Demikianlah paparan dari tema tersebut diatas. Semoga uraiannya menambah paham dari kandungan ilmu yang bermanfaat yang dengan itu mendatangkan ridho dan rahmat-Nya bagi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Āmīn, Allāhumma āmīn. Wallāhu A’lam Bish-Shawāb. Billāhi Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM

 


Catatan Kaki:

[1] Kedudukan “Habblum minan Nās” sebagai yang disebutkan dalam penggalan ayat 77 dalam Surah ke-28, Al-Qashash ini yang menyebutkan: “dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,  dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.  Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”

Kedudukan “Habblum minan Nās” sebagaimana peringatan Rasulullah saw yang pernah disampaikan beliau secara serius dalam salah satu khutbahnya yang artinya sebagai berikut:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah subhana wa ta’ala berfirman kepadamu: Anjurkanlah olehmu berbuat baik (murū bilma’rūf) dan laranglah perbuatan yang munkar (wanhaw ‘anil munkari), agar jangan datang suatu saat dimana kamu berdo’a tetapi Aku (Allah) tidak menjawab do’amu; kamu meminta tetapi Aku (Allah) tidak kabulkan; kamu memohon pertolongan, tetapi Aku (Allah) tidak memberi pertolongan.”

Itulah jawab-Nya! Itulah yang menyebabkan pintu do’a jadi tertutup. Bukan karena melalaikan hubungan dengan Allah secara konvensional, seperti shalat, shiyam dan sebagainya, akan tetapi karena meremehkan hubungan sesama manusia - “habblum minan nās”, sebagai anggota masyarakat yang turut bertanggung jawab atas keselamatan hidup bermasyarakat (habblum minan nās) itu sendiri. Yakni tugas “Amar Ma’ruf (Agent of Development) dan Nahi Munkar (Agent of Change)”. Tugas: “Menegakkan Kebajikan, memberantas kemunkaran”. Itulah posisi dan itulah peranan duniawi umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi “shibghah” (identitas) bagi kepribadian Umat Islam. [2]

[2] halaman v, Buya M. Natsir, Do’a dan Dzikir, Imam Hasan Al-Banna, Media Da’wah, Jakarta 1427 H/2006 M.

 

Sumber:

https://www.almunawwir.com/kisah-seorang-hamba-yang-telah-beribadah-selama-500-tahun/

Buya M. Natsir, Do’a dan Dzikir, Imam Hasan Al-Banna, Media Da’wah, Jakarta 1427 H/2006 M.

Dan sumber-sumber bacaan lainnya. □□