Tuesday, May 30, 2017

Tujuan Berdirinya Negera RI




Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 


PEMBUKAAN


Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.





TUJUAN BERDIRINYA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Setiap Warganegara Seharusnya Tahu
4 Tujuan Negara Republik Indonesia Di Bentuk
Yaitu:


1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, 
    perdamaian abadi dan keadilan sosial


Pertama kali UUD 45 berlaku antara tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 29 Desember 1949.
 
Sesudah itu berlaku UUD Sementara.
 
Kemudian UUD 45 berlaku kembali pada tanggal 5 Juli 1959, setelah keluar Dekrit Presiden RI yang mencabut UUD Sementara.

UUD 45 terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh 37 pasal dan 4 pasal aturan tambahan serta 2 ayat aturan peralihan.

Pembukaan UUD 45 pada hakekatnya adalah Piagam Jakarta yang sebagian isinya telah diubah untuk mengakomodasi tuntutan kelompok non muslim.
 
Piagam Jakarta merupakan hasil rumusan bersama Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan.

Piagam ini ditandatangani tanggal 22 Juni 1945 oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim dan Mr. Muh. Yamin.

Tujuan diproklamirkannya kemerdekaan dan dibentuknya Negara Republik Indonesia tercantum di dalam Pembukaan UUD 45.

Berdasarkan urutan atau sistematikanya, maka empat tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia bersifat sebab-akibat.


Republik Indonesia negara kita
Penduduk beragam bersuku-suku
Banyak di desa, padat di kota
Berbeda adat, bermacam perilaku
Semua rakyat agar bersatu
Jangan mau diadu domba
Waktu susah saling membantu
Dalam kebaikan siap berlomba
Walau dihembus topan badai
Jadikan tujuan alat pemersatu
Supaya kita tak cerai berai
Antar kelompok saling bantu
Tujuan negara ada empat
Niat pertama
melindungi penduduk
Agar mereka tetap berdaulat
Tidak dijajah diaduk-aduk
Negara aman tenang bekerja
Produksi meningkat,
rakyat makmur
Dari Aceh hingga Papua
Cukup papan, sandang dan pangan, dan berhati luhur
□□□

Sumber:
 http://nanampek.nagari.or.id/c31.php
dan sumber-sumber lainnya □

Friday, May 26, 2017

Politik Santun Mohammad Natsir





POLITIK SANTUN


M
ohammad Natsir seakan berasal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang teguh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda.

Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.

Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rombeng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan anak-anak.

Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di antaranya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil di masa penjajahan Belanda. Mereka menghidupkan politik, bukan mencari hidup dari politik. Tentu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berperilaku miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang Indonesianis kenamaan, berkali-kali mengingatkan generasi muda Indonesia. Bila ingin mempelajari semangat berdemokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Amerika. “Pelajari saja masa demokrasi pada 1950-an,” katanya suatu kali.

Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, lebih dari 60 (sekarang 71) tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan seksual.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelataran kantornya bak ruang pamer mobil mewah dengan mengendarai kendaraan luar biasa mahal justru di saat kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang diwakilinya.

Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat. Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.

Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin keadaan baik itu bisa ditiru.

Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang, tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.

Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.

Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat. Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.

Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih, bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita akan bertemu dengan politikus yang sekaliber (atau malah lebih baik daripada seorang) Mohammad Natsir.


KEPRIBADIANNYA


Kepribadiannya:  “Kita Tidak Menemui Lagi Tokoh Seperti Ini Sekarang, Jaman Korupsi.”

Sang Menteri Penerangan RI itu sedang membereskan barang-barangnya di rumah tumpangannya di daerah Tanah Abang, Jakarta. Ia harus pergi dari rumah sahabatnya di Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito. Usianya hampir menginjak kepala empat, dan sang Menteri yang tadinya mengontrak rumah, lalu menumpang rumah, sekarang harus ikut Presiden ke Yogyakarta karena Jakarta mulai tak aman.

Barang-barang seadanya dibereskan. Tahun itu, 1946, sang Sultan Jogja memberikan wilayahnya agar dapat digunakan Pemerintah RI. Mohammad Natsir, menteri yang ‘gemar’  mengontrak rumah itu harus pergi meninggalkan keluarganya. Pergilah ia ke Yogyakarta. Di sana, ia menumpang di Paviliun Haji Agus Salim yang juga dipinjamkan oleh Raja Yogyakarta.

Salah seorang peneliti tentang gerakan Islam dari Cornell University, Mc. T Cahin bilang, kalau Pak Natsir sebenarnya tak ada tampang seperti Menteri. Jasnya bertambal, bajunya hanya ada dua stel dan sudah butut. Sampai dikisahkan Haji Agus Salim kalau stafnya  Pak Natsir patungan uang membelikan baju bagi Pak Menteri Penerangan. Kelak, saat memimpin Dewan Dakwah, kejadian Pak Natsir dibelikan baju terulang.

Episode Mengontrak rumah dan menumpang rumah Pak Natsir berakhir, ketika Pemerintah memberikan Rumah di dalam gang di Jalan Jawa, Jakarta. ‘Rumah untuk Menteri Penerangan’. Akhirnya sang Menteri kini punya rumah, walau tanpa perabot. Puterinya, Sitti Muchliesah bilang, “kami mengisi rumah dengan perabot bekas.”

Di dalam gang sempit, sang Menteri itu tinggal. Di sana, ia gemar menggunakan sepeda ontelnya untuk bepergian. Hingga tahun 1950, setelah Natsir melancarkan Mosi Integral, ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri, sebuah jabatan tertinggi di Indonesia saat itu yang menggunakan sistem presidensial. Menjadi orang nomor wahid di Bumi Pertiwi tak membuat Natsir menjadi glamor. Tak ada alphard, tangan super mahal, atau jadi sulit ditemui warga.

Pak Natsir dipaksa pindah karena dinilai rumahnya yang sempit dan kusam di Jalan Jawa tak pantas buat orang sekelas Perdana Menteri. Akhirnya ia pindah ke rumah dinas di Jl. Proklamasi (tempat Soekarno tinggal). Di sana pun, ia tak pernah menggunakan fasilitas Negara untuk keperluan pribadi dan keluarga, apalagi pelesiran ke luar negeri. Anak Perdana Menteri itu tetap naik sepeda tuanya untuk sekolaj. Istrinya tetap menghidangkannya makanan.

Syahdan, seorang sahabat Natsir, Khusni Muis yang pernah jadi Ketua Muhammadiyah datang ke Jakarta untuk urusan Partai (saat itu Muhammadiyah menjadi bagian dari Masyumi). Usai pertemuan, Khusni yang datang jauh dari Kalimantan itu ingin meminjam uang Pak Perdana Menteri untuk ongkos pulang. “Maaf, saya tidak ada uang karena belum gajian,” kata Natsir. Akhirnya Natsir pun meminjam uang dari kas Majalah Alhikmah (Masyumi) yang ia pimpin. (Tempo, Politik Santun di antara Dua Rezim).

Bisa dibayangkan kalau sekarang orang nomor wahid, seorang Presiden RI nggakpunya uang. Menteri-menterinya ngutang. Anggota-anggota Dewan sekarang, jangankan untuk pesan spanduk mukanya untuk ditempel di tiang dan pohon, memegang uang saja  tidak. Tak hanya ngutang, Pak Natsir pun pernah mengurus urusan tikar dan bedug.

Perdana Menteri ngurusi bedug?

Seorang warga tiba-tiba datang ke kantor PM Natsir mengadukan masalah tikar yang rusak dan bedug yang pecah di Mesjid Kramat Sentiong. Sekretaris PM, bilang,” Buat apa soal-soal begitu kamu bawa-bawa ke Perdana Menteri?” “Tapi Pak Natsir mau menerima dan mau menyelesaikan masalah itu,” kata warga. “Perdana Menteri ngurusin bedug?” itu kan soal kecil,” kata Sekretaris.

Pak Natsir yang juga ada di sana akhirnya menjawab,” Bagi kita, tak ada soal besar atau soal kecil. Bedug pecah, itu mungkin soal kecil bagi kita, tapi bagi orang kampung, itu soal besar!” katanya. Akhirnya Pak Natsir pun mengurusi masalah bedug dan tikar, dan segera menyelesaikannya.

Saat Pak Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada tahun 1951, Ibu Maria Ulfa bilang kalau ada dana taktis sisa untuk hak Perdana Menteri. Dengan senyum Natsir hanya menggelengkan kepala. “Berikan ke koperasi karyawan,” katanya, dan akhirnya dalam kantong Natsir tak mampir sepeser pun uang haknya.

Setelah itu, Pak Natsir menyupir mobil dinas ke Istana Presiden, memarkirkan mobil di sana, dan bersiap pulang ke rumahnya di dalam lorong Jakarta, Jalan Jawa. Ia pun berboncengan sepeda ontel dengan supirnya, pulang ke rumah, lepas sudah bebannya sebagai Perdana Menteri.

Hari-hari berikutnya, saat Pak Natsir dipenjara, rumah dan hartanya disita. Ia tak punya apa-apa. Sang mantan Perdana Menteri, Mantan Ketua Partai Masyumi ini mengisi hari-harinya seperti laiknya gurunya Haji Agus Salim, dengan pola hidup ‘nomaden’. Dari satu kontrakkan ke kontrakkan lain, ia lalui dalam usia senjanya.

Menyusuri jalanan becek dari satu rumah ke rumah lain, hingga kawannya merasa kasihan, menjual rumahnya dengan ‘harga teman’. Natsir pun tak menyanggupinya karena tak punya uang. Karena kebaikan sahabatnya, ia pun diberi kesempatan untuk menyicil dalam beberapa tahun. Walhasil, sang mantan Perdana Menteri ini mengais pinjaman untuk Rumah di Jalan Blora pada kawan-kawannya.

Dalam akhir hayatnya, ia tetap sederhana

Ruang kesederhanaan yang mengisi para pemimpin negeri, mengisi nurani rakyat. Ketika Menteri Keuangan tak Punya Uang. Ketika Menteri Mengontrak Rumah. Ketika Wapres tak Mampu membeli sepatu. Ketika orang nomor satu ini pun mengikuti jejak-jejak mereka, orang-orang besar. Semoga kelak, muncul kembali sosok-sosok mereka di negeri ini.


Sumber:

Majalah Tempo Edisi Mohammad Natsi: Politik Santun Mohammad Natsir
www.islampos.com