Monday, December 16, 2019

Kota Banten Ibarat Amsterdam




KATA PENGANTAR

T
ema asli adalah ‘Kota Banten Pernah Diibaratkan Amsterdam’ penulisnya DN. Halwany, namun dalam bab penutup adalah kami yang buat karena tersentuh dengan perjalanan sejarah Orde Reformasi yang ditulis oleh Rahadian Rundjan seorang esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah,  dengan tema “20 Tahun Reformasi - Apakah Reformasi di Indonesia Sudah Berjalan di Jalurnya yang Benar? [1]

Dalam salah satu paragraph tulisannya menyebut. “Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati”.

Uraian DN. Halwany ini sangat menarik dalam menggambarkan bagaimana usaha-usaha sultan memajukan negerinya sekaligus mempertahankan kedaulatan negerinya dari tangan asing dengan kolonialisme dan politik ‘devide et impera’ diantara penduduk dan negeri-negeri nusantara lainnya yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa.

‘Devide et impera’ adalah politik pecah belah, politik adu domba ini adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok yang tadinya besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah dikendalikan untuk kepentingannya. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Itulah teroris zaman tempo doeloe.

Awalnya, devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis. Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga devide et impera tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik dalam negeri.

Akhirnya ‘devide et impera’ yang dilakukan negara asing ini telah berhasil meluluh lantakkan eksistensi kedaulatam negeri-negeri kesultanan sehingga takluk dibawah kolonialisme.

Baiklah paparan selanjutnya dapat diikuti seperti yang akan diuraikan berikut ini. Selamat menyimak. □ AFM



KOTA BANTEN
IBARAT AMSTERDAM


PENDAHULUAN

B
anten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional.

Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa itu. Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemampuan berpolitik, seperti yang tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang lalu.

Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa Indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa.


USAHA-USAHA SULTAN MEMAJUKAN NEGRINYA

P
erancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse. Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi pusat perdagangan, terutama pada tahun 1570 sampai abad ke-19. Kota Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang tidak kalah baiknya dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.

Kota Banten atau Bantahan menurut sebutan negara Eropa, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama Lada dan beliau berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para pedagang.

Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa. Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Perdagangan Lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis Lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu Lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari Lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi dunia.

Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi Lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil Lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon Lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi Lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tindakan ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada’ - bahan rempah-rempah yang disukai Eropa, Arab dan lainnya.

Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk merebutkan pasar dan pusat produksi Lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri Lada, sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya.

Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan Makkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M/CE. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM/BCE) dan Plinius (akhir abad pertama M/CE). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).

Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut. Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan Lada internasional yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672. Akhirnya, sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682, saat kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.



PENUTUP

D
emikianlah sejarah Nusantara masa lalu yang tidak banyak di kenal oleh generasi muda sekarang tentang sisa-sisa kejayaan negeri-negeri di Nusantara ini. Kami salut dengan sultan-sultan di Nusantara ini yang telah cukup mewarnai kejayaan negeri-negeri Nusantara ini. Kalaulah tidak disadari jalannya sejarah bangsa ini yang perlu ‘tunggal ika’, maka Nusantara Indonesia ini hanya tinggal nama. Padahal kesultanan-kesultanan sejak dari Aceh, Riau, Sulawesi, Kalimantan, Maluku telah menyerahkan kedaulatannya demi ‘tunggal ika’ dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita perlu pemimpin dan politisi serta penegak hukum lainnya yang mempersatukan kita semua, dimana adanya Orde Reformasi adalah sebagai koreksi atas dua orde sebelumnya. Namun sebagaimana yang diingatkan oleh Rahadian Rundjan dalam tulisannya yang bertemakan ‘20 Tahun Reformasi - Apakah Reformasi di Indonesia Sudah Berjalan di Jalurnya yang Benar?’ Katanya, “Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati.” [1] Tidak membiar adanya ‘penghujam-purukkan’ salah satu agama yang telah rela mengganti Piagam Jakarta menjadi bagian dari dicantumkan dalam Preambul atau Pembukaan (Mukaddimah, Pendahuluan) UUD 1945, dan menghapus kalimat yang lainnya. [2]

Last but not least - “Jangan pernah merobohkan pagar, tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan, tanpa mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat”, Buya Hamka; “Barang siapa yang tidak memperhatikan sejarah, maka akan dirugikan oleh sejarah itu sendiri”, A. F. Marzuki. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



CATATAN KAKI
[1] https://www.dw.com/id/apakah-reformasi-di-indonesia-sudah-berjalan-di-jalurnya-yang-benar/a-43685560   □□


KEPUSTAKAAN
Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),
Katalogus Koleksi Data Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan &       Pembinaan Peninggalan Sejarah
Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di           Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,
(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama
(1993), Catatan Masa Lalu Banten   □□□


SUMBER
http://perpushalwany.blogspot.com/2009/10/kota-banten-pernah-diibaratkan.html
https://www.dw.com/id/apakah-reformasi-di-indonesia-sudah-berjalan-di-jalurnya-yang-benar/a-43685560                                                       
Dan sumber-sumber lainnya. □□□□