Jangan
pernah merobohkan pagar,
tanpa
mengetahui mengapa didirikan.
Jangan
pernah mengabaikan tuntunan kebaikan,
tanpa
mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat
[Buya
Hamka]
Barang
siapa yang tidak memperhatikan sejarah,
maka akan
dirugikan oleh sejarah itu sendiri.
[A. F.
Marzuki]
Kata Pengantar
S
|
Sebagai warga dan bangsa Indonesia dan pengamat
sejarah Indonesia - baik yang masih warga negara maupun tidak, maka perlu
mempelajari sejarah Piagam Jakarta.
Dalam
pengkajian ini diperlukan adab integritas, karena hanya dengan sikap itu
pemahaman sejarah dapat dipahami dengan baik dari kebenaran sejarah yang
kemudianya membentuk negara Republik Indonesia ini. Untuk itu mari ikuti
tulisannya yang cukup melingkupi peristiwa yang terjadi.
Mudah-mudah
dengan tulisan ini kesalah pahaman dalam melihat sejarah dapat di jernihkan
seperti jernihnya mata air alami (natural
cristal clear) – yang tidak terkontaminasi rekayasa luar yang menutupi
kemurniannya. Kita tidak mau berpandangan yang berat sebelah - yang sering
dikatakan “tirani mayoritas” yang akan mendzalimi minoritas, atau sebaliknya
adanya “tirani minoritas” [1] mendzalimi mayoritas - yaitu mau keluar dari
negara kesatuan – merupakan kelanjutan politik devide et empera penjajah melalui tangan-tangan yang tidak
bertanggung jawab sampai saat ini belum pulih benar.
Cukuplah
sudah pengalaman devide et impere di
masa “percobaan penjajahan abadi” oleh negara kecil tapi menjadi kuat akibat
“kita” mau diadudoma. Bahkan sampai detik ini oleh negara-negara yang ingin
bahkan selalu mencoba-coba menduduki
tanah surga zamrud hijau nusantara katulistiwa ini. Caranya tidak lagi seperti
zaman kolonialisme, tapi dengan “silent
invasition” melalui orang dalam.
Dengan
itu ke dapan Indonesia tidak lagi terbebani oleh stigma
yang berkepanjangan seperti telah disebutkan itu,
melainkan membangun bangsa dan tanah tumpah darahnya agar maju, berkembang,
kuat dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia – baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghafur yaitu adalah sebuah negeri
yang subur dan makmur, adil dan aman. Dimana yang berhak akan mendapat haknya,
yang berkewajiban akan melaksanakan kewajibannya dan yang yang berbuat baik
akan mendapat anugerah sebesar kebaikannya. Tidak ada lagi kezaliman atau
cara-cara kezaliman yang menindas warga sendiri. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Awal pembentukan Piagam Jakarta
D
|
Dokumen historis berupa kompromi antara warga
Indonesia yang menghendaki dasar negara kebangsaan berdasarkan Islam dan
warga Indonesia berdasarkan kebangsaan nasional – lazimnya berpandangan seperti
nation-nya negara-negara Eropa, dalam
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
untuk menjembatani perbedaan dalam dasar negara tersebut – hubungan agama dan
negara. Nama lainnya adalah "Jakarta
Charter". Piagam Jakarta merupakan piagam atau naskah yang disusun
dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945.
Sebelumnya, BPUPKI dibentuk 29 April 1945 sebagai realisasi janji Jepang
untuk memberi kemerdekaan (kedaulatannya kembali) kepada Indonesia. Anggotanya
dilantik 28 Mei 1945 dan persidangan pertama dilakukan keesokan harinya sampai
dengan 1 Juni 1945. Sesudah itu dibentuk panitia kecil (9 orang) untuk
merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang dilontarkan oleh 3
pembicara pada persidangan pertama. Dalam masa reses terbentuk Panitia
Sembilan. Panitia ini menyusun naskah yang semula dimaksudkan sebagai teks
proklamasi kemerdekaan, namun akhirnya dijadikan Pembukaan atau Mukadimah dalam
UUD 1945. Naskah inilah yang disebut Piagam Jakarta.
Piagam
Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan
fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam
Jakarta (22 Juni 1945) yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Francisco (26
Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu merupakan sumber
berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Republik
Indonesia.
Berikut
ini butiran-butirannya yang sampai saat ini menjadi teks pembukaan UUD 1945.
“Bahwa
sesoenggoehnja kemerdekaan itoe ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe
maka pendjadjahan di atas doenia haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai
dengan peri-kemanoesiaan dan peri-keadilan.
Dan perdjoeangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakjat Indonesia ke-depan pintoe-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatoe, berdaulat, adil dan makmoer.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan jang loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.
Kemoedian daripada itoe, oentoek membentoek soeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap Bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada:
1.
Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi
pemeloek-pemeloeknja;
2.
Kemanoesiaan jang adil dan beradab;
3.
Persatoean Indonesia;
4.
Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/
perwakilan;
5.
Keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia.
Djakarta,
22-6-1945.
Panitia
Sembilan:
1. Ir.
Soekarno
2. Drs.
Mohammad Hatta
3. Mr.
A. A. Maramis
4.
Abikoesno Tjokrosoejoso
5.
Abdoel Kahar Moezakir
6. H.
Agoes Salim
7. Mr.
Achmad Soebarjo
8. KH.
Wahid Hasjim
9. Mr.
Moehammad Yamin.
Catatan: Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan
menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani seperti tersebut diatas.
Proklamasi Kemerdekaan
Jakarta,
Jalan Pegangsaan 65, 17 Agustus 1945. Para aktivis dan pejuang kemerdekaan
berkumpul. Naskah proklamasi yang masih berbentuk tulisan tangan siap
dibacakan. Soekarno berdiri di depan mikropon didampingi Mohammad Hatta, membacakan
teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menyambut gegap gempita.
Menyemut di jalan-jalan sambil meneriakkan secara serempak satu kata: Merdeka!
Tetapi tahukah Anda? Ada peristiwa penting yang tidak diketahui oleh
sebagian orang, terutama generasi bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang
pembacaan naskah proklamasi, upacara dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang
berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan itu dilakukan oleh Dr. Moewardi yang
kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia Suwirjo, kemudian
setelah diawali pidato singkat, barulah Soekarno membacakan naskah proklamasi.
Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi dari buku Sekitar Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Sidik Kertapati.
Teks Proklamasi
Teks naskah
Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan Ir. Soekarno sendiri
sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) Drs. Mohammad
Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebarjo Djojoadisoerjo.
Adapun yang merumuskan proklamasi Kemerdekaan
Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima,
S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.
Para
pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun
Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut (untuk ditulis dan
dibacakan) adalah "penyerahan", "dikasihkan",
diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang dipilih adalah
"pemindahan kekuasaan". Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah
orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.
Berikut isi proklamasi tersebut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan
d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang
sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Naskah
Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat
sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B. M. Diah menyelamatkan naskah
bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19
hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei
1992.
Naskah baru setelah mengalami
perubahan
Teks Naskah Proklamasi Otentik yang ditempatkan
di Monumen Nasional.
Teks
naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan
sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil
ketikan oleh Mohamad ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil
dalam persiapan Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut:
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia
dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai
pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam
tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan
8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
(Keterangan:
Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi
Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan
kependekan dari angka "tahun
2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman
pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun
penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah “tahun 2605”.)
Pembacaan proklamasi kemerdekaan RI
Dan
tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada satupun tokoh
Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam suasana
kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam acara
tersebut. Ada dugaan, ketidakhadiran kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan
mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal dibacakan Soekarno dalam
proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang hadir ketika itu adalah:
Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo
Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo,
Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif
Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin
Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed
Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers),
Sjahrudin (Pers).
Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat
bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk
kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada
pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi
kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang
mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga
orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I
Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis.
Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam
Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut Pudja, dan
dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara mereka mewakili
masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke
kelompok mahasiswa yang memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini
juga menjadi tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang para
mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan itu
aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta
kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah
dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan
keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan rapat
dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta. Agenda
sidang dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang
tubuh UUD 45. Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi
pukul 11.30 WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan
terjadinya perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk
menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi
antara Kasman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A
Wahid Hasyim. Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai Soekarno
memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan menghindar
dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah
ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam Jakarta (yang telah
dibuat dan ditandatangani – artinya telah final). Soekarno kemudian hanya
mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi yang bernama Teuku Muhammad
Hassan.
Seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, “Lahirnya Undang-Undang Dasar
1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan
Kemerdekaan”, Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi
pemeluk-pemeluknya” ditiadakan, sehingga berbunyi: “Dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam.” Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku
secara umum di Indonesia.
Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian Ki Bagus
Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad Hassan
dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah pendiriannya. Di
sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang Muhammadiyah, melakukan
pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.
Dalam memoirnya yang berjudul ‘Hidup Adalah Perjuangan’, Kasman
menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia
mengatakan kepada Ki Bagus - saat pembicaraan terjadi tanggal 18 Agustus 1945:
“Kiai, kemarin – 17 Agustus 1945 - proklamasi kemerdekaan Indonesia
telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar
sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan
lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa
Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai,
sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang
tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih
berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil
(yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya
Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita
pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang
kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan
lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk
membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah
rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang
sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai,
tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas
ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita
kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang
berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.” (Hidup Adalah
Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).
Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan
perubahan yang diusulkan oleh Hatta, bahwa kata “Ketuhanan” ditambah dengan
”Ketuhanan Yang Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang
ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, bukan
yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti
Ketuhanan dalam Pancasila. “Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan
kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan
ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang
sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan
gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini
adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau
kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan
Soekarno sebagai ‘janji’ yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah
setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukan
ajaran-ajaran Islam dalam Undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.”Hanya
dengan kepastian dan jaminan 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan
dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat
Undang-undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam
undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk
menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain itu soal jaminan di
atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit,
dimana kalangan sekular selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah
diproklamasikan membutuhkan persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman
dalam memoirnya bahwa kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, di
mana bangsa ini butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu
perpecahan harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang
dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo
untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun
begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang
minoritas selalu membuat aksi politik yang memaksakan kehendak mereka.
Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari
15 menit seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta
dihapus. Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan
kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi
tersebut. Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule
dan batang tubuh UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
●
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti
dengan kata “Pembukaan”.
● Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
● Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
● Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Pada
saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD. Butir pertama yang
berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Drs. Mohammad Hatta atas usul A. A. Maramis
setelah berkonsultasi dengan - yang bukan anggota dari panitia Sembilan, yaitu
Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo [1] dan Ki Bagus Hadikusumo.
18 Agustus 1945, Dihapusnya Syariat Islam dalam Piagam Jakarta
Mohammad
Natsir menyebut Piagam Jakarta sebagai
tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia. Sayang,
sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam
Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya
disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir
menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja
ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24
jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,” insya
Allah umat Islam tidak akan lupa!”
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua Umum
Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan, ”Piagam
Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga
berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian di dalam rapat
”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam beberapa
menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah yang mendorong
dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan
Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa
itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan seperti “permainan
sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia. Sementara Natsir
mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen,
yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa
Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal
18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan.” Menyambut
proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal
18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata
Natsir.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan tujuh kata
tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat
Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha-oesaha Persiapan
Kemerdekaan (Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan, “Bung Hatta
adalah orang yang paling bertanggung jawab terhapuskannya “tujuh kata” dari
Piagam Jakarta. Beliau konsisten mengikuti ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus “tujuh kata” tanpa berunding dengan
tokoh-tokoh Islam yang menyusun “perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H
Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Beliau hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam
Jakarta dengan janji bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) yang akan dibentuk. Pertimbangan beliau hanya
didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari Indonesia Timur.
Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia Timur yang resmi,
yakni D. G. Ratulangie, Mr. J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta Rani, Andi
Sultan Daeng Raja, dan Mr. Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan,
ikhtiar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang
mengaku mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain
makin memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang
berusaha memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma,
bahkan tidak pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti
Allah Subhana wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Kusuma juga menuliskan keterangan yang berbeda
dengan buku-buku sejarah dan pernyataan Kaman Singodimejo yang menyebut KH A
Wahid Hasyim ikut dalam lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma
mengatakan, saat lobi terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya. ”Keterangan
Bung Hatta bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH
A Wahid Hasyim tidak sesuai dengan kenyataan,” tegas Kusuma. Selain itu, tokoh
Masyumi Prawoto Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran KH A Wahid Hasyim
dalam lobi tersebut.
Kronologis penghapusan 7
kata versi Hatta
Sikap
Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi politik
dengan tokoh-tokoh yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan
dengan keras oleh KH Isa Anshari, “Benarkah langkah Hatta tersebut dilakukan
atas keberatan kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur sebagaimana
disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)? Tapi kenapa Hatta
sendiri tidak melibatkan A. A. Maramis yang Kristen dan menjadi salah satu
penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta minta persetujuan K. H.
Wachid Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan Piagam Jakarta yang
mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus Hadikusumo yang
tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?
Untuk menepis segala tudingan itu, belakangan Hatta menceritakan
kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku Sekitar
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia:
“Pada sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon dari Tuan
Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima seorang
Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat
penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku
persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai
utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik,
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian
kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya
mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu
dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar, berarti mengadakan
diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika ”diskriminasi” itu
ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia…
Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan perasaan
pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun. Mungkin
waktu itu Mr. A. A. Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya
untuk Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang
beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu
diskriminasi…
Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia
merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini
didengung-dengungkan “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, perkataannya
itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di mukaku perjuanganku yang
lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai
Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah Indonesia merdeka yang
baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu
hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar
Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan
menguasa. Setelah aku terdiam sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari
dalam sidang panitia persiapan kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang
sangat penting itu. Aku minta ia menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang
berhati panas dan berkeras kepala itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh
propaganda Belanda…”
Benarkah keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang datang
membawa pesan penting dari kelompok Kristen di Indonesia Timur? Kenapa pesan
dan peristiwa penting dalam pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu memunculkan
pengakuan Hatta yang sangat naif bahwa dirinya lupa tentang nama opsir
tersebut? Sebuah logika sederhana akan mengatakan, jika ada seorang yang
membawa pesan penting, apalagi ini menyangkut masalah bangsa dan akan
mempengaruhi sejarah bangsa ke depan, tentu Anda akan bertanya nama dari
pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti adanya pertemuan itu, seharusnya
Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!
Karena Hatta mengaku lupa nama Opsir
itu, padahal peristiwa sejarah yang sangat penting membutuhkan detil peristiwa
yang valid, maka tak heran jika ada yang meragukan keterangan Hatta soal opsir
Jepang itu?
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr. Sujono Martosewojo dkk,
dalam buku ”Mahasiswa ’45 Prapatan 10”, anggapan bahwa ada opsir Jepang yang
datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945 kemungkinan
karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang menemani
Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit,
dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira
sebagai opsir Jepang oleh Hatta.
Seperti ditulis di atas, bahwa Dr. Sam
Ratulangi mendatangi kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00, tanggal 17
Agustus 1945, dan meminta mereka untuk terlibat dalam usaha penghapusan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta
mengatur pertemuan pada sore harinya, maka keterangan Hatta soal adanya
pertemuan dengan opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu
dalam sebuah diskusi tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan
segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam
kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa dia berdusta.”
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan di
Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius
opsir Jepang itu adalah Dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagai an
astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang politisi
Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).
Umat Islam dan bangsa ini sampai saat
ini masih menyimpan pertanyaan besar, kenapa Hatta memilih berunding dengan
tokoh-tokoh Islam yang bukan penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta
tidak berunding dengan tokoh Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih
memilih mendengarkan ”pesan” yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut?
Selubung kabut sejarah ini harus diungkap, demi sebuah kejujuran sejarah, demi
kebenaran sesungguhnya!
Kisah Kasman Singodimejo
dan Terhapusnya Piagam Jakarta
Seperti
diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman Singodimejo [2] yang
diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah
saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal
kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.
Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya
mengatakan, sikap itu diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang
baru saja diproklamirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan
”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.
Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo, ia
menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai
anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan
Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa Barat. Sebagai
Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk
tidak jatuh ke tangan Jepang.
Setelah sukses melobi Ki Bagus
Hadikusumo dan rapat memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
tersebut, malam harinya Kasman gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia
tak bicara, diam membisu:
“Alangkah terkejut saya waktu mendapat
laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah
mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di
Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti
anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota
bene, Latief sebelum itu, bahkan sebelum memberi laporannya telah meminta maaf
terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat
berbuat apa-apa. Saya mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk
orang lain bersalah. Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah,
mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi
panggilan Bung Karno!?
….malamnya tanggal (18 Agustus malam
menjelang 19 Agustus 1945) itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya
tidak banyak bicara, sayapun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di
hati. Siapa yang harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini
ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah
senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam
memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang
mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan,
mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih
bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya
sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung
jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman
sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman
Harun, saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18
Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak
lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di Podium”
yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila
sebagai dasar negara. Berikut kutipan pidatonya:
“Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan
Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu
itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out
daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak
pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus
Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam
untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot
saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr. T. M. Hassan
sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya
dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan
bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang
Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan
seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai
dengan wafatnya…
Gentlement agreement
itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji”
yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami
golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan
Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T. M. Hassan, Bung Karno dan
Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran
uraian saya ini….
Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, saudara ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut penunaian
“janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr. Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi?
Saya persilakan saudara Prof. Mr. Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara
tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan
Islam telah difait-a complikan dengan
suatu janji dan atau harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan
yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan
Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak
boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a
compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada
meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api mengusulkan
Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang sangat luar
biasa. Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya
mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan golongan lain
untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah
sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk
digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam.
Sedangkan Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam
tempayan”, yang diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang
universal itu, yaitu Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang
mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan itu
adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih
daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu,
lama kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang
keramat, ya sebagai supergeloof yang
tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi
di Konstituante sini. Masya Allah!”
Dekrit Presiden dan
Status Piagam Jakarta
Perdebatan dalam Sidang Majelis
Konstituante memang berjalan sengit. Inilah sidang yang memakan waktu cukup
lama, dari tahun 1956 sampai dengan 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng
aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana
saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan
lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara.
Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara
terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu
bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante
yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti
yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan suara dalam
rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali
kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada
UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya. Voting itu
menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18
Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada
4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959,
pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA / PANGLIMA
TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah
untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap
rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak
memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan
sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak
menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas
yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa
dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar
rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa
menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945
berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan
utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan
Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5
Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno.
Penutup
P
|
Profesor A Sanusi,
seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang
disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement
dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam
Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam
dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi
kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu
rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian
yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang
banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang
Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD
1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar
bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan demikian,
perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan
kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar
itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan
syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk
mendasarkan aktivitas keagamaanya.
KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan
18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan: “Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka
hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam
Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi
Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan
kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya
dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap
perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.”
Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Studi
Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES,
1985) mengatakan konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara
pendukung Pancasila dan Islam. Menurut Ma’arif, konsideran tersebut mempunyai
makna konstitusional, meskipun implisit, namun gagasan melaksanakan syariat
Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil
terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari
ini, disamping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa ditulis oleh Prof Hazairin,
yang mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959
sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha
penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut
maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan
absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi,
karena desakan waktu.
Penghapusn tujuh kata
dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam
yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno
jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi
“rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke
konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden
tersebut? Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal AH
Nasution. Mengenai hal ini bisa dilihat dalam buku Islam di Mata Para Jenderal,
(Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang memuat hasil wawancara dengan
Jenderal Nasution.
Santri dan ulama menjadi tulang punggung
jihad di era kemerdekaan Indonesia. Keterangan ini dikuatkan oleh pengakuan
tokoh NU, KH Saifudin Zuhri yang menceritakan bahwa suatu hari di awal bulan
Juli 1959 pada pukul 01.30 dini hari ia ditelepon KH Idham Chalid. Kepada
Zuhri, Kiai Idham Chalid memintanya datang ke rumahnya di jalan Jogja 51 dini
hari itu juga, terkait dengan rencana kedatangan dua orang pejabat amat
penting. Pukul 02.00 lebih sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai Chalid. Tak
berapa lama datang dua orang pejabat penting itu, yang tak lain adalah Jenderal
A. H Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/Menteri Keamanan dan Pertahanan, dan
Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM (Corp Polisi Militer) seluruh Indonesia.
Kedua orang pejabat
tentara itu meminta saran kepada dua orang tokoh NU tersebut terkait rencana
keberangkatan mereka untuk menemui Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari
kalangan tentara saat itu ingin mengusulkan kepada presiden Soekarno agar UUD
1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, dua orang
petinggi militer itu meminta saran kepada tokoh NU untuk memberikan materi apa
saja yang akan dimasukan dalam dekrit.
“Isinya terserah
pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam
Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid. “Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam
itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta
diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana sikap NU
apabila presiden menempuh jalan dekrit?” Tanya Nasution.
“Kami tidak bisa katakan,
itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab Kiai Idham
Chalid. (Lihat M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan
Fikih dalam Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, 1998, cet. Kedua,
hal. 286).
Soal keterlibatan
Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan syarat
Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap
NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan
seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam buku “NU
vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU
terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut: “Pada tahun 1959, NU
bersedia kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam Jakarta
diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan Undang-Undang Dasar tersebut.
Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah
demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran
yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak
berhenti di situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya
mengupayakan “seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis
dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan pembentukan Mahkamah
Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar kehidupan hukum positif
negara RI.”
Sikap para aktivis NU
terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai
di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam
pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai
bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada bulan April 1966, para aktivis NU yang
berkumpul di Bogor, Jawa Barat, kembali menegaskan dukungannya terhadap Piagam
Jakarta sebagai berikut:
1. Karena negara dilandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta, jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
2. Dengan demikian, perjuangan partai harus ditujukan untuk
mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap para aktivis NU dulu dan sekarang tentu
saja berbeda. Sejak NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap
NU terhadap Piagam Jakarta, bahkan secara umum terhadap penegakkan syariat
Islam, terkesan anti dan melakukan penentangan yang keras. Apalagi, sejak virus
“Sepilis” (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) mewabah di kalangan anak-anak
muda NU dan sebagian oknum kiai NU, Piagam Jakarta justru dianggap sebagai
ancaman terhadap NKRI dan pluralisme.
Belakangan, para aktivis NU
yang tergabung dalam jajaran para pengasong paham Sepilis bahkan menerbitkan
sebuah buku propaganda yang sangat tendensius mengadu-domba antar elemen umat
Islam dan antar elemen umat Islam dengan bangsa Indonesia umumnya, yang
berjudul ‘Ilusi Negara Islam’. Buku tersebut, menyerang upaya umat Islam untuk
mengembalikan Piagam Jakarta.
Bahkan, berkolaborasi dengan
kelompok Kristen, para pengasong Sepilis itu juga menyerang Perda-perda Anti
Maksiat yang secara konstitusional lahir dari upaya yang legal dan demokratis.
Mereka menyebut perda-perda tersebut sebagai upaya menegakkan semangat Piagam
Jakarta dan syariat Islam secara umum.
Kutipan yang disebutkan itu sebenarnya tidak
menggambarkan kesejarahan Piagam Jakarta seperti yang telah dibahas bahwa dari
kalimat dekrit yang disampaikan Presiden Soekarno, sampai saat ini, fakta hukum
Piagam Jakarta sebenarnya masih berlaku. Status hukum Piagam Jakarta sampai
saat ini adalah sesuatu yang ”menjiwai” dan sebagai ”rangkaian kesatuan” dari
UUD 1945. Jadi, tinggal kita umat Islam meminta kepada pemerintah untuk
mengumumkan kepada masyarakat bahwa Piagam Jakarta adalah hak konstitusional
umat Islam yang sampai saat ini masih berlaku. Sebagai sebuah fakta hukum, (dengan
itu) semestinya pemerintah (yang berintegritas) harus memberlakukan Piagam
Jakarta tersebut bagi umat Islam!
Demikianlah catatan-catatan Sejarah Piagam Jakarta yang telah berserakan
disana-sini yang kami kumpulkan dan tuliskan kembali agar generasi yang tidak
mengalami sendiri dari perjalanan sejarah Indonesia - kejadian perpolitikan
zaman 7 Presiden yang kami (penyusun tulisan tajuk ini) alami sendiri.
Kalau
kita tidak memperhatikan sejarah, maka selanjutnya jangan menyesal kalau
sejarah itu akan memakan atau menggilas Anda sendiri sebagaimana quotasi ini:
Barang siapa yang tidak memperhatikan sejarah, maka akan dirugikan oleh sejarah
itu sendiri. [A. F. Marzuki]. Billahit
Taufiq wal-Hadayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Tirani
Minoritas - Tanggal 22 Juni bagi umat Islam di Indonesia adalah hari yang
sangat bersejarah. Pada hari itu, sebuah gentlement
agreement, perjanjian luhur yang dibuat oleh tokoh-tokoh nasional,
berhasil merumuskan sebuah tonggak sejarah bagi cita-cita penegakan syariat
Islam di Indonesia. Pada 22 Juni 1945, tokoh-tokoh nasional yang tergabung
dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terdiri
dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A. A. Maramis, Haji Agus Salim,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Abdul Wahid Hasjim,
menandatangani sebuah kesepakatan yang kemudian disebut dengan “Piagam
Jakarta”.
Naskah Piagam Jakarta yang dilahirkan dari hasil
konsensus bersama, dengan mencurahkan segala pikiran dan tenaga, kemudian
menjadi Mukaddimah (Preambule) dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Mukaddimah ini kemudian dibacakan oleh Soekarno pada
sidang paripurna, 10 Juli 1945. Berikut isi Mukaddimah UUD 1945 itu:
Pembukaan
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang
berbahagia, dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur.
Setelah membacakan Mukaddimah yang mendasari UUD
1945 hasil rumusan sidang, Soekarno mengatakan bahwa segenap pikiran para
peserta sudah terpenuhi dengan baik. “Masuk di dalamnya
ketuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat
Islam”, ujarnya sambil menyebut beberapa pikiran tentang nasionalisme,
persatuan, kemanusiaan, kemerdekaan dan keadilan sosial. Karena itu, kata
Seokarno, panitia sidang berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan dan mempersatukan
segenap aliran yang ada di kalangan anggota BPUPKI.
Allahyarham Mohammad Natsir menyebut
Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah tercapainya cita-cita Islam di bumi
Indonesia. Umat Islam ketika itu menyambutnya dengan suka cita, karena
harapan untuk bisa menjalankan syariat Islam yang diatur oleh negara akan bisa
terlaksana. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu: “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah
hadiah terbesar bagi umat Islam yang memang memiliki cita-cita kemerdekaan
dalam bingkai Islam.
Jenderal Abdul Haris Nasution, dalam
sebuah pidatonya mengatakan, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah, selamat
sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” ujarnya. A.H.
Nasution adalah jenderal yang cukup disegani di kalangan angkatan darat, dan
pelaku sejarah yang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional.
Pada peringatan 18 tahun Piagam
Jakarta, 22 Juni 1963 di Jakarta, Jenderal Nasution menceritakan latarbelakang
perjalanan bagi terciptanya suatu kesepakatan nasional, gentlement agreement
(perjanjian luhur), yang sesuai dengan cita-cita Islam. Jenderal Nasution
mengatakan, Piagam Jakarta muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama
yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan
yang akan digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim oleh para ulama,
dan tercatat dalam arsip, ada sekitar 52 ribu surat dari seluruh Indonesia.
Karena itu, Jenderal Nasution mengatakan, “Bagaimanapun juga, Piagam Jakarta
banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat dari alim ulama dan
pemimpin-pemimpin Islam,” jelas Nasution yang sudah mendapat gelar Jenderal
Besar dari pemerintah.
Kalau kita melihat pada fakta sejarah,
dimana santri dan kiai terlibat dalam front-front jihad untuk mengusir
penjajah, maka bisa dipastikan bahwa 52 ribu isi surat yang dikirim oleh para
alim ulama tersebut berisi aspirasi agar negara yang nantinya merdeka, berdiri
tegak dengan cita-cita dasar penegakan syariat Islam. Apalagi, perjalanan hukum
Islam di Nusantara bukan hal yang baru. Banyak hukum-hukum adat pada masa lalu,
yang mengadopsi syariat Islam.
Setelah Soekarno membacakan Mukaddimah
UUD 1945, yang di antaranya berisi, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
upaya-upaya untuk menghapus kata-kata tersebut terus berdatangan dari kelompok
non-Muslim. Salah satunya dari tokoh Kristen asal Maluku, Latuharhary, yang
menyatakan bahwa kalimat tersebut mengkhawatirkan bagi pemeluk agama lain.
Kekhawatiran Latuharhary disampaikan hanya selang sehari setelah Soekarno
membacakan Mukaddimah UUD 1945 tersebut. Soekarno kemudian mengingatkan pada
anggota sidang bahwa Preambule (Mukaddimah) itu adalah suatu jerih payah
antara golongan Islam dan kebangsaan. “Kalau kalimat itu tidak dimasukkan,
tidak bisa diterima oleh kaum Islam,” kata Soekarno.
Selain Latuharhary, seorang anggota
Panitia Hukum Dasar yang menganut ajaran kebatinan, Wongsonagoro dan Hoesein
Djadjadiningrat, juga memprotes soal kalimat yang memasukkan kewajiban syariat
Islam tersebut. Mereka mengatakan, kalimat tersebut seolah-olah adalah paksaan
dari negara bagi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. Protes mereka
kemudian dipatahkan oleh Soekarno, dengan menegaskan, “Anak kalimat itu
merupakan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan, yang hanya
didapat dengan susah payah.”
KH
A Wahid Hasyim
Pada 15 Juli 1945, KH Wahid Hasyim
(ayahanda Gus Dur) mengusulkan agar presiden wajib beragama Islam. Usulan
tersebut mendapat sambutan dari KH Masjkur, yang mengatakan, jika ada kewajiban
menjalankan syariat Islam, maka presiden haruslah seorang Muslim. Usul ini
awalnya ditolak oleh Soekarno, dengan alasan bisa merusak kesepakatan yang
sudah ditandatangani pada 22 Juni tersebut.
Penolakan oleh Soekarno membuat Abdul
Kahar Muzakkir, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta berang. Sambil
menggebrak meja, ia mengatakan, “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia
merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang
menyebut-nyebut agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal
itu!” sindirnya.
Selain Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo
yang merupakan tokoh Muhammadiyah juga menyemprot Soekarno karena menolak
usulan “presiden wajib beragama Islam”. Ki Bagus mengatakan, “Saya berlindung
kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali
diterangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak
bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar
Muzakkir tadi. Kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata
negara ini tidak berdiri di atas Islam dan negara akan netral,” tegasnya.
Perdebatan hari itu berlangsung buntu.
Sampai keesokan harinya, Soekarno yang mengaku tak bisa tidur lantaran itu,
meminta kepada kalangan Kristen untuk menerima usulan dari tokoh-tokoh Islam. “Saya
minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara
(kalangan Kristen, pen) menjalankan offer ini kepada tanah air
dan bangsa kita,” pinta Soekarno sambil mengatakan bahwa hal ini mungkin sangat
berat bagi orang Kristen, karena mengorbankan keyakinan mereka. Kesepakatan
akhirnya dicapai bulat. Diterima semua pihak. Usul agar presiden adalah orang
Indonesia asli yang beragama Islam dan kewajiban menjalankan syariat Islam
disepakati.
Soekarno
Membacakan Proklamasi Kemerdekaan RI
Namun, upaya menghapus keyakinan Islam
dalam Mukaddimah UUD 1945 terus dilakukan. Kelompok Kristen nampaknya masih
terus keberatan dengan naskah Piagam Jakarta. Mereka kasak-kusuk mencari
dukungan, agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berisi kewajiban
menjalankan syariat Islam, bisa dihapuskan. Mereka terus melakukan lobi-lobi
politik, sampai-sampai tak ada satu pun dari mereka (kalangan Kristen) hadir di
Jalan Pegangsaan 56, ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17
Agustus 1945, dibacakan. Banyak yang tak tahu, bahwa sebelum Soekarno
membacakan naskah proklamasi, terlebih dulu dibacakan Piagam Jakarta. Naskah
Piagam Jakarta dibacakan oleh Dr Moewardi.
Tokoh-tokoh yang hadir ketika
Proklamasi Republik Indonesia dibacakan, adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid
Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo
Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati, Ny. SK
Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA),
Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih
(PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer,
Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers). Sekali lagi, tak
ada dari kelompok Kristen yang hadir. Seharusnya, dalam suasana kemerdekaan dan
untuk menunjukkan rasa persatuan, kalangan Kristen hadir dalam pembacaan naskah
proklamasi tersebut. Apalagi, proklamasi itu disiarkan ke seluruh pelosok
negeri, bahkan ke luar negeri.
Belakangan diketahui, para aktivis
Kristen tidak hadir karena sibuk kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan
lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Berkat lobi-lobi politik kepada Mohammad Hatta dan pendekatan kepada
tokoh-tokoh Islam yang dikenal tegas seperti Ki Bagus Hadikusumo, dan sedikit
ancaman bahwa rakyat Indonesia Timur akan melepaskan diri jika kalimat dalam
Piagam Jakarta itu tetap ada, akhirnya kalimat “Dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Penghapusan itu
terjadi hanya selang sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, yaitu
pada 18 Agustus 1945.
Dalam hitungan kurang dari 15 menit
seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus.
Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut.
Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh
UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
Pertama,
kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti
dengan kata “Pembukaan”.
Kedua,
anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti
dengan, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga,
kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang Indonesia asli
dan beragama Islam seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1,
diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam.”
Keempat,
terkait perubahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi, “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara
berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Kesepakatan yang dihasilkan dari hasil
peras otak dan pengorbanan tenaga serta waktu dari para tokoh nasional,
akhirnya bisa diubah hanya dalam tempo singkat, 15 menit. Padahal, Jakarta
Charter atau Piagam Jakarta adalah keinginan mayoritas umat Islam, dan telah
disepakati sebelumnya pada 22 Juni 1945 oleh perwakikan tokoh-tokoh nasional
sebagai gentlement agreement. Inilah yang disebut dengan makar jahat
kelompok sekular dalam menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Padahal,
Piagam Jakarta inilah tonggak awal dari upaya menegakkan syariat Islam di
Indonesia.
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam
di negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, saat itu dengan sedih
dan perih mengatakan, ”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah,
dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa
ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18
Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?
Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa
Anshari dan Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari
menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan
seperti ”permainan sulap” dan “pat-gulipat politik” yang diliputi kabut
rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai
ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi
juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan,
peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa
dilupakan. ”Menyambut proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut
hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat
Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.
Kisah di balik penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta adalah bukti dari tirani minoritas, yang menelikung sebuah
kesepakatan luhur bangsa ini. Aksi telikung menelikung dan pat-gulipat politik,
terus mereka lakukan sampai hari ini, ketika umat Islam berusaha memperjuangkan
aspirasi penegakan syariat Islam. [AW/salam-online.com]
[2] Kasman Singodimedjo - Tahun-tahun berlalu. Namun
sedih dalam benak Kasman Singodimedjo tak juga beranjak. Airmatanya menetes
saban mengingat perannya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
pada pagi 18 Agustus 1945. “Saya lah yang ikut bertanggung jawab dalam masalah
ini (menghapus tujuh kata Piagam Jakarta-red), dan semoga Allah mengampuni dosa
saya,” kata Kasman seperti ditulis cendikiawan Muhammadiyah Lukman Harun dalam
Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun.
Menurut Lukman dalam sejumlah pertemuan Kasman kerap mengungkapkan kesedihan serupa. Kesedihan Kasman bukan tanpa alasan.
Pagi itu, Sabtu 18 Agustus 1945, usia republik belum genap sehari. Rencananya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan bersidang dengan agenda mengesahkan UUD 1945, mengangkat presiden dan wakil presiden, serta mengangkat kepala daerah. Namun sidang yang dijadwalkan dimulai pukul 09.00 WIB terpaksa molor beberapa jam. Sebab, ada persoalan sensitif dan krusial yang mesti segera diselesaikan lebih dahulu oleh sejumlah anggota PPKI.
Persoalan itu ialah tuntutan menghapus tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945 yang saat itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Tujuh kata dimaksud terdapat dalam kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Wakil Ketua PPKI, Mohammad Hatta mengungkapkan tuntutan tersebut datang kepadanya dari para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur pada sore 17 Agustus 1945 melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Pemuka agama Kristen dan Katolik menilai kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bersifat diskriminatif terhadap kelompok non-Muslim.
Bung Hatta yang termasuk perumus Piagam Jakarta di Panitia Sembilan menolak anggapan itu. Dia menjelaskan kalimat yang mewajibkan penerapan syariat Islam tidak bertujuan mendiskriminasikan kelompok minoritas. Sebab kalimat itu hanya berlaku bagi para pemeluk Islam. Apalagi, kalimat itu juga telah disetujui A. A. Maramis yang merepresentasikan kelompok non-Muslim di Panitia Sembilan.
“Aku mengatakan bahwa itu bukan diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam,” kenang Hatta dalam buku Di Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Namun penjelasan Bung Hatta tak berbuahhasil. Opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen dan Protestan akan tetap bersikukuh meminta tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Jika kalimat itu tetap dipertahankan, mereka mengancam Indonesia Timur tidak akan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Bung Hatta akhirnya mengalah dan berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang PPKI besok (18 Agustus 1945). Bung Hatta sadar jika republik yang baru diproklamasikan pecah, maka Belanda akan mudah kembali menjajah. “Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai,” kenang Hatta.
Esok paginya sebelum rapat PPKI dimulai, Bung Hatta mendiskusikan (melobi) tuntutan para pemuka agama Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur bersama sejumlah tokoh Islam. Mereka yang terlibat ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman Singodimedjo.
Debat Sengit Menghapus Tujuh Kata Piagam Jakarta
Kasman menggambarkan sengit dan tegangnya
suasana saat lobi di pagi itu. Menurutnya, semula tokoh-tokoh Islam sukar
menerima tuntuntan para pemuka agama Katolik dan Kristen dari Indonesia Timur.
Namun akhirnya mereka mengalah karena saat itu republik membutuhkan persatuan
untuk mendapat dukungan dan simpati dunia.
Salah satu tokoh Islam yang saat itu paling bersikeras menolak penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ialah Ketua Umum Muhammadiyah sekaligus anggota Panitia Sembilan Ki Bagus Hadikusumo.
Kasman mengatakan, pagi itu Sukarno yang merupakan Ketua PPKI memang sengaja memintanya bergabung sebagai anggota tambahan PPKI. Selain Kasman ada lima orang lain yang juga diminta Sukarno bergabung sebagai anggota tambahan PPKI. Mereka ialah: Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Mr. Iwa Kusumasumantri, dan Mr. Ahmad Subarjo.
Namun Sukarno punya tugas khusus untuk Kasman yakni membujuk Ki Bagus Hadikusomo agar berkenang menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sukarno percaya Kasman yang juga warga Muhammadiyah dapat melunakan pendirian Ki Bagus. Sebab lobi sejumlah tokoh Islam seperti K.H Wachid Hasjim, Teuku M.Hasan, hingga Bung Hatta tidak mampu melunakan pendirian Ki Bagus mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Sukarno sendiri menurut Kasman tampak tidak ingin terlibat dalam proses lobi menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. “Mungkin karena beliau sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan terutama sebagai peserta dari Panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya,” kata Kasman.
Mulanya Kasman keberatan memenuhi permintaan Sukarno. Sebab tujuh kata dalam Piagam Jakarta merupakan hal prinsip bagi umat Islam dalam bernegara. Namun Kasman pun sadar situasi sangat mendesak. PPKI harus segera bersidang mengesahkan UUD 1945 dan memilih presiden dan wakil presiden. Jika terus berdebat, maka republik yang baru sehari diproklamasikan itu terancam bubar.
Dengan menggunakan Bahasa Jawa halus Kasman akhirnya berkenan membujuk Ki Bagus.
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau Bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini Bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan tingil-tingil. Yang tongol-tongol itu ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan moderen. Adapun yang tingil-tingil adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang moderen juga. Jika kita cekcok pasti kita akan konyol,” kata Kasman kepada Ki Bagus.
Kasman juga mengingatkan dalam Undang-Undang Dasar yang akan disahkan hari itu terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan lagi Majelis Permusyawaratan Rakyat akan melakukan penyempurnaan isi Undang-Undang Dasar. Sehingga tidak ada salahnya bagi umat Islam mengalah sementara menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi Indonesia merdeka yang berdaulat, adil, makmur, dan diridhai Allah SWT.
Mendengar penjelasan Kasman, Ki Bagus bersedia mengendurkan pendirian dan menerima usul penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dan akhirnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu berganti menjadi kalimat: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
“Pada waktu itu kami dapat menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan mengggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’,” kata Kasman.
Kendati begitu setelah enam bulan UUD 1945 disahkan, karena situasi republik yang tidak menentu akibat agresi militer Belanda, MPR tidak pernah bersidang untuk memperbaiki isi Pembukaan UUD 1945 sebagaimana aspirasi sejumlah tokoh Islam. □□
Kepustakaan:
●Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan,” Jakarta: LP3ES,
1985
●Andree Feillard, NU Vis-a-Vis
Negara:Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, Yogyakarta:LKiS, 2008, Cet.Kedua
●Endang Saifuddin Anshari, Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar negara Republik
Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Edisi Ketiga, cet.
Pertama
Gatot Indroyono (ed), Islam di Mata
Para Jenderal, Jakarta: Penerbit Mizan, 1997
●Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 70 Tahun, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1982
●Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari
Keadilan dan Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono, SH, Jakarta: Penerbit Media
Dakwah, 1993
●M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan
Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustakan
Utama, 1998
●M. Natsir, Agama dan negara dalam
Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001
●Prof. Dr Hazairin, S.H, Demokrasi
Pancasila, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990, cet. Ke-6
●Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta”
Tinjauan Hukum dan Sejarah,”Jakarta: 2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan
ulama, Habaib dan tokoh Islam di Jakarta, 22 Mei 2007).
●R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha-oesaha
Persiapan Kemerdekaan, Jakarta: Badan Penerbit PH-UI, 2004
●Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17
Agustus 1945, Jakarta: Jajasan Djambatan, 1964, cet. Ke-3□□□
Sumber:
https://www.kiblat.net/2014/08/18/18-agustus-1945-dihapusnya-syariat-islam-dalam-piagam-jakarta/
https://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Jakarta
http://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/16/07/21/oa7f1n392-air-mata-hilangnya-tujuh-kata-piagam-jakarta-part1
https://www.salam-online.com/2012/06/penghapusan-syariat-islam-dalam-piagam-jakarta-cermin-tirani-minoritas.html
Dan sumber-sunber lainnya. □□□□