Monday, December 16, 2019

Kota Banten Ibarat Amsterdam




KATA PENGANTAR

T
ema asli adalah ‘Kota Banten Pernah Diibaratkan Amsterdam’ penulisnya DN. Halwany, namun dalam bab penutup adalah kami yang buat karena tersentuh dengan perjalanan sejarah Orde Reformasi yang ditulis oleh Rahadian Rundjan seorang esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah,  dengan tema “20 Tahun Reformasi - Apakah Reformasi di Indonesia Sudah Berjalan di Jalurnya yang Benar? [1]

Dalam salah satu paragraph tulisannya menyebut. “Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati”.

Uraian DN. Halwany ini sangat menarik dalam menggambarkan bagaimana usaha-usaha sultan memajukan negerinya sekaligus mempertahankan kedaulatan negerinya dari tangan asing dengan kolonialisme dan politik ‘devide et impera’ diantara penduduk dan negeri-negeri nusantara lainnya yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa.

‘Devide et impera’ adalah politik pecah belah, politik adu domba ini adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok yang tadinya besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah dikendalikan untuk kepentingannya. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Itulah teroris zaman tempo doeloe.

Awalnya, devide et impera merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 seperti Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis. Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga devide et impera tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik dalam negeri.

Akhirnya ‘devide et impera’ yang dilakukan negara asing ini telah berhasil meluluh lantakkan eksistensi kedaulatam negeri-negeri kesultanan sehingga takluk dibawah kolonialisme.

Baiklah paparan selanjutnya dapat diikuti seperti yang akan diuraikan berikut ini. Selamat menyimak. □ AFM



KOTA BANTEN
IBARAT AMSTERDAM


PENDAHULUAN

B
anten menurut data historis dan arkeologis kira-kira pada 450 tahun yang lalu, pada saat zaman Sultan Maulana Yusuf yang dikenal dengan julukan Penembahan Pakalangan yaitu sekitar tahun 1570, sudah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa dan Asia disekitarnya. Bahkan banyak pula melakukan manuver-manuver dalam sistem perdagangan, hal ini yang membuat cemas bangsa Eropa, karena dalam persaingan perdagangan internasional.

Banten merupakan pesaing yang cukup disegani oleh bangsa Eropa pada masa itu. Cerita ini merupakan bukti bahwa sistem perdagangan zaman kesultanan tidak dapat diremehkan. Terlebih dalam kemampuan berpolitik, seperti yang tersirat dalam buku berjudul “The Sultanate of Banten” secara resmi diserahkan oleh Duta Besar Perancis Patrick O’Cornesse, kepada bupati Serang Mas Ahmad Sampurna dipendopo kabupaten Serang beberapa tahun yang lalu.

Buku dalam bahasa Inggris dengan kata pengantar oleh Menteri Pendidikan pada saat itu dijabat bapak Fuad Hasan, isi dari buku ini merupakan hasil dari para peneliti yang bekerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Prancis dengan sasaran penelitian adalah untuk merawat dan merestorasikan kerajaan serta kesultanan Banten, penelitian ini berlangsung hingga tahun 1987. Menurut Dubes O’Cornesse, penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat kembali kebesaran masa silam bangsa Indonesia, terutama kesultanan Banten yang telah terkubur dalam tanah dan dalam arsip-arsip yang ada di Eropa.


USAHA-USAHA SULTAN MEMAJUKAN NEGRINYA

P
erancis atau bangsa Eropa lainnya, mengagumi Banten dan menjadikannya satu pelabuhan kosmopolitan besar pada abad 17, Banten di masa itu merupakan pusat peniagaan dunia, kemasyurannya tetap tersimpan dalam kenangan bangsa perancis kata O’Cornesse. Menurut catatan sejarah kesultanan Banten pada tahun 1527 berkembang menjadi pusat perdagangan, terutama pada tahun 1570 sampai abad ke-19. Kota Banten Lama yang didirikan 1526 dipesisir utara Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten), juga berkembang menjadi satu kota muslim yang tidak kalah baiknya dengan negara-negara Arab dalam memiliki istana, pasar dan juga masjid besar.

Kota Banten atau Bantahan menurut sebutan negara Eropa, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama Lada dan beliau berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para pedagang.

Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa. Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Perdagangan Lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis Lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu Lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Sepanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari Lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi dunia.

Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi Lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil Lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon Lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi Lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tindakan ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada’ - bahan rempah-rempah yang disukai Eropa, Arab dan lainnya.

Banten bertambah penting posisinya sebagai kota perdagangan internasional setelah Malaka jatuh ketangan Portugis. Selain Malaka, Banten menjadi pusat persaingan dan perebutan kongsi perdagangan Eropa, khususnya Belanda dan Portugis. Kedua raksasa Eropa ini terlibat pertempuran untuk merebutkan pasar dan pusat produksi Lada. Malaka akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1641. Portugis segera menjalin perdagangan dengan Makasar dan Banten. Banten Sadar pentingnya armada dagang untuk menguasai dan mempertahankan industri Lada, sekaligus berdagang langsung dengan Bangsa Eropa dan Asia lainnya.

Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan Makkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M/CE. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM/BCE) dan Plinius (akhir abad pertama M/CE). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).

Akhirnya pada tahun 1660-an Sultan Haji memerintahkan pembangunan armada kapal dagangnya dengan model seperti kapal-kapal Eropa, dan bangsa Inggris dipercaya untuk membangun armada tersebut. Kesultanan Banten memasuki persaingan perdagangan Lada internasional yang sangat ramai pada kurun waktu antara tahun 1651 dan tahun 1672. Akhirnya, sampai VOC (Belanda) merebut Banten pada tahun 1682, saat kekuasaan Sultan Agung Tirtayasa Abulfathi Abdul Fatah dan Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar.



PENUTUP

D
emikianlah sejarah Nusantara masa lalu yang tidak banyak di kenal oleh generasi muda sekarang tentang sisa-sisa kejayaan negeri-negeri di Nusantara ini. Kami salut dengan sultan-sultan di Nusantara ini yang telah cukup mewarnai kejayaan negeri-negeri Nusantara ini. Kalaulah tidak disadari jalannya sejarah bangsa ini yang perlu ‘tunggal ika’, maka Nusantara Indonesia ini hanya tinggal nama. Padahal kesultanan-kesultanan sejak dari Aceh, Riau, Sulawesi, Kalimantan, Maluku telah menyerahkan kedaulatannya demi ‘tunggal ika’ dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita perlu pemimpin dan politisi serta penegak hukum lainnya yang mempersatukan kita semua, dimana adanya Orde Reformasi adalah sebagai koreksi atas dua orde sebelumnya. Namun sebagaimana yang diingatkan oleh Rahadian Rundjan dalam tulisannya yang bertemakan ‘20 Tahun Reformasi - Apakah Reformasi di Indonesia Sudah Berjalan di Jalurnya yang Benar?’ Katanya, “Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal sehat, serta idealisme reformis sejati.” [1] Tidak membiar adanya ‘penghujam-purukkan’ salah satu agama yang telah rela mengganti Piagam Jakarta menjadi bagian dari dicantumkan dalam Preambul atau Pembukaan (Mukaddimah, Pendahuluan) UUD 1945, dan menghapus kalimat yang lainnya. [2]

Last but not least - “Jangan pernah merobohkan pagar, tanpa mengetahui mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan tuntunan kebaikan, tanpa mengetahui keburukan yang kemudian anda dapat”, Buya Hamka; “Barang siapa yang tidak memperhatikan sejarah, maka akan dirugikan oleh sejarah itu sendiri”, A. F. Marzuki. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



CATATAN KAKI
[1] https://www.dw.com/id/apakah-reformasi-di-indonesia-sudah-berjalan-di-jalurnya-yang-benar/a-43685560   □□


KEPUSTAKAAN
Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),
Katalogus Koleksi Data Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan &       Pembinaan Peninggalan Sejarah
Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di           Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,
(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama
(1993), Catatan Masa Lalu Banten   □□□


SUMBER
http://perpushalwany.blogspot.com/2009/10/kota-banten-pernah-diibaratkan.html
https://www.dw.com/id/apakah-reformasi-di-indonesia-sudah-berjalan-di-jalurnya-yang-benar/a-43685560                                                       
Dan sumber-sumber lainnya. □□□□

Monday, November 18, 2019

Sejarah Nagari Sungai Batang Maninjau




PENGANTAR

S
umatra Barat (disingkat Sumbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatra dengan Padang sebagai ibu kotanya. Provinsi Sumatra Barat terletak sepanjang pesisir barat Sumatra bagian tengah, dataran tinggi Bukit Barisan di sebelah timur, dan sejumlah pulau di lepas pantainya seperti Kepulauan Mentawai. Dari utara ke selatan, provinsi dengan wilayah seluas 42.297,30 km² ini berbatasan dengan empat provinsi, yakni Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu.

Sumatra Barat adalah rumah bagi etnis Minangkabau, walaupun wilayah adat Minangkabau sendiri lebih luas dari wilayah administratif Provinsi Sumatra Barat saat ini. Provinsi ini berpenduduk sebanyak 4.846.909 jiwa dengan mayoritas beragama Islam. Provinsi ini terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota dengan pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di seluruh kabupaten (kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai) dinamakan sebagai nagari (desa).

Nama Provinsi Sumatra Barat bermula pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), di mana sebutan wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatra adalah Hoofdcomptoir van Sumatra's Westkust. Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatra mulai dari Barus sampai Inderapura.

Seiring dengan kejatuhan Kerajaan Pagaruyung, dan keterlibatan Belanda dalam Perang Padri, pemerintah Hindia Belanda mulai menjadikan kawasan pedalaman Minangkabau sebagai bagian dari Pax Nederlandica, kawasan yang berada dalam pengawasan Belanda, dan wilayah Minangkabau ini dibagi atas Residentie Padangsche Benedenlanden dan Residentie Padangsche Bovenlanden.

Selanjutnya dalam perkembangan administrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, daerah ini tergabung dalam Gouvernement Sumatra's Westkust, termasuk di dalamnya wilayah Residentie Bengkulu yang baru diserahkan Inggris kepada Belanda. Kemudian diperluas lagi dengan memasukkan Tapanuli dan Singkil. Namun pada tahun 1905, wilayah Tapanuli ditingkatkan statusnya menjadi Residentie Tapanuli, sedangkan wilayah Singkil diberikan kepada Residentie Atjeh. Kemudian pada tahun 1914, Gouvernement Sumatra's Westkust, diturunkan statusnya menjadi Residentie Sumatra's Westkust, dan menambahkan wilayah Kepulauan Mentawai di Samudera Hindia ke dalam Residentie Sumatra's Westkust, serta pada tahun 1935 wilayah Kerinci juga digabungkan ke dalam Residentie Sumatra's Westkust. Pasca pemecahan Gouvernement Sumatra's Oostkust, wilayah Rokan Hulu dan Kuantan Singingi diberikan kepada Residentie Riouw, dan juga dibentuk Residentie Djambi pada periode yang hampir bersamaan.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, Residentie Sumatra's Westkust berubah nama menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu. Atas dasar geostrategis militer, daerah Kampar dikeluarkan dari Sumatora Nishi Kaigan Shu dan dimasukkan ke dalam wilayah Rhio Shu.

Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah Sumatra Barat tergabung dalam provinsi Sumatra yang berpusat di Bukittinggi. Empat tahun kemudian, Provinsi Sumatra dipecah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Sumatra Barat beserta Riau dan Jambi merupakan bagian dari keresidenan di dalam Provinsi Sumatra Tengah. Pada masa PRRI, berdasarkan Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957, Provinsi Sumatra Tengah dipecah lagi menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Wilayah Kerinci yang sebelumnya tergabung dalam Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, digabungkan ke dalam Provinsi Jambi sebagai kabupaten tersendiri. Begitu pula wilayah Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi ditetapkan masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau.

Selanjutnya ibu kota provinsi Sumatra Barat yang baru ini masih tetap di Bukittinggi. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mei 1958 ibu kota provinsi dipindahkan ke Padang.





SEJARAH BERDIRINYA
NAGARI SUNGAI BATANG
MANINJAU, SUMATERA BARAT
Oleh: A. Faisal Marzuki


PENDAHULUAN

S
ungai Batang merupakan salah satu nagari yang berada di kecamatan Tanjung Raya, kabupaten Agam, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari Sungai Batang terletak di tepi Danau Maninjau. Nagari ini juga merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh Indonesia seperti Haji Abdul Karim Amarullah - HAMKA (lahir di Sungai Batang, 17 Februari 1908 - 24 Juli 1981, Nur Sutan Iskandar (lahir di Sungai Batang, 3 November 1893 - 28 November 1975), dan Marzoeki Jatim- ejaan baru: Marzuki Yatim (lahir di Sungai Batang, 4 Maret 1910 - 25 September 1976).

Administrasi wilayah Nagari Sungai Batang dengan batas-batas wilayah kanagarian ini adalah, sebelah Utara: Danau Maninjau dan Batang Maninjau; sebelah Timur: Kecamatan Matur; sebelah selatan: Nagari Tanjung Sani; dan sebelah Barat: Danau Maninjau.

Nagari Sungai Batang ini adalah salah satu nagari dari 9 (sembilan) nagari di kecamatan Tanjung Raya.  Yang lainnya adalah Bayua, Duo Koto, Koto Gadang Anam Koto, Koto Malintang, Koto Kaciak, Maninjau, Paninjauan, Tanjung Sani.


ASAL NAMA SUNGAI BATANG

Nagari atau kata ‘Nagari’ di Sumatera Barat, sama dengan ‘Desa’ di propinsi lainnya di Indonesia. Sungai Batang adalah sebuah Nagari (Desa) yang berada di Kabupaten Agam - salah satu Nagari - yang terdiri 82 Nagari yang ada. Nagari Sungai Batang berada di lingkaran - penduduk setempat menyebutnya salingka - Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Kenapa Nagari yang terletak disalah satu Nagari (Desa) di Kabupaten Agam ini dinamakan Sungai Batang. Mari ikuti bahasannya.

Mengenai nama Sungai Batang, ada dua versi riwayat yaitu, SungiaBatang dan Sungai di bawah Batang sebagai berikut:

1. Dari “SungiaBatang” 

Ada sebatang pohon kayu raksasa yang terakhir tumbang di Taruko Bancah, bernama kayu Bangka, letaknya di sebelah timur Muaro Pauh sekarang yang letaknya hampir ke kaki Bukit Bunian. Untuk merubuhkan batang pohon kayu raksasa ini pada pangkal batangnya sesuai dengan tingkat teknologi ketika itu yang belum ada bulldozer dan mesin gergaji besar, maka di bakarlah pangkal batang pohon raksasa tadi sampai tumbang. Lamanya proses pembakaran konon kabarnya memakan waktu selama tiga bulan 10 hari baru tumbang. 

Suatu malam batang raksasa ini rubuhlah ke bumi. Begitu hebat gelegarnya sampai terdengar kearah ilia (hilir). Oleh para peladang di Paninjauan yang mendengarkan suara gelegar tersebut, maka berucaplah seorang tua disana “Lah tasungia batang di arah mudiak”. Tasungia dalam bahasa Indonesianya adalah terjungkal, dan dia ingin mengatakan telah rubuh pokok batang raksasa yang berada di selatan (mudiak). Dari Kosa kata Sungia dan Batang  itulah asal mulanya kata “Sungai Batang”.

2.  Dari “Sungai di bawah Batang”

Setelah “Batang” tubuh pohon raksasa kayu Bangka rubuh dari bawahnya memancar air yang kemudian membesar dan mengalir ke “Sungai” Ligin di bawahnya. Nah berawal dari kata “Sungai” dan “Batang” tadilah berasal kata nama “Nagari Sungai Batang”

Demikianlah asal muasal nama Nagari atau Desa Sungai Batang ini dinamai oleh penduduk setempat yang mula-mula mendiami daerah tersebut berkisah diantara dua versi tersebut diatas, yang jelas cerita ini sangat diyakini oleh orang Sungai Batang sampai sekarang.


MENGIRIM PENJELAJAH UNTUK SURVEY

Nagari Sungai Batang yang luasnya +   17,38 kilometer persegi dengan jumlah Penduduk sekarang berjumlah 5668 jiwa, yang dahulunya berasal dari daerah IV koto Kabupaten Agam yaitu, Sianok, Koto Gadang, Guguak, Tabek Sarojo, Koto Tuo, Balingka, Malalak dan Sungai Landia, ada juga dari Kurai dan Banuhampu.

Dalam perjalanan waktu terjadi gelombang perpindahan penduduk dari timur ke barat, yang disebabkan oleh pertambahan jumlah manusia yang tak seimbang dengan luas areal pertanian yang semakin sempit, sehingga kemudian perpindahan ini sampai ke Matur dan Lawang setelah Pauah dan Parik Panjang pun melimpah. Dari hari kehari pun masyarakat berkembang hingga memenuhi sampai ke Padang Gelanggang, dan tahun pun berganti manusia bertambah banyak, untuk pengembangan dan perluasan daerah di Padang Gelanggang pun tak memungkinkan lagi, dikarenakan Padang Gelanggang yang sempit dan berbukit serta mempunyai jurang yang sangat dalam (sekarang menjadi kelok 44), maka timbullah ide bagi para Niniak Mamak untuk turun ke Ranah Barat menuju hutan subur memagar Danau, lalu dibentuklah expedisi petualang untuk “Meninjau-ninjau” kesana. Setelah segala persiapan keberangkatan selesai, maka dilepaslah dua rombongan penjelajah. Satu kelompok ke utara dengan menuruni jurang lewat Puncak Lawang, untuk selanjutnya mengambil jalur ke hiliran Danau. Satu lagi mengarah ke selatan dengan menempuh ngarai lewat Pintu Aua, terus melereng Bukik (bukit) Silayu sampai ke Kampung Panji sekarang. Itulah dua pintu gerbang menuju wilayah operasional Lawang yang juga berarti pintu.

Setelah beberapa lama melakukan penjelajahan, kedua kelompok ini kembali ke daerah Matur untuk melaporkan hasil penelitiannya kepada Niniak Mamak. Maka para Niniak Mamak sebagai perancang expedisi menetapkan untuk membuka hutan (manaruko), membangun sawah ladang serta pemukiman di daerah temuan baru itu. Setelah beberapa musim berlalu akhirnya daerah baru itu berhasil digarap menjadi sawah, ladang dan permukiman penduduk. Yang ke utara mendirikan pemukiman di daerah yang sekarang bernama Nagari Paninjauan, dan yang ke selatan membangun wilayah pemukiman menjadi “Nagari Sungai Batang”.


CIKAL BAKAL NAGARI SUNGAI BATANG

Berhari-hari rombongan yang ditugaskan ke hulu Danau meneliti daerah yang memungkinkan untuk lahan pertanian, akhirnya mereka menemukan satu dataran rendah berhutan rawa, disana mengalir dua anak sungai yang tak pernah kering, serta banyak tumbuh mata air. Inilah lahan yang sangat ideal untuk persawahan. Kemudian arah ke timurnya berjejer bukit-bukit kecil dan lembah yang cocok untuk perladangan dan permukiman. Areal inilah yang sekarang bernama Bancah di Jorong Nagari. Dengan jumlah pekerja serta peralatan yang memadai sesuai dengan zaman itu, mulailah mereka menebangi pohon-pohon kayu.  Untuk merobohkan kayu-kayu ukuran raksasa tidaklah mungkin mempergunakan kampak sampai tuntas, melainkan setelah itu dengan cara membakar pangkal batangnya, dibekas tekukan kampak dihidupkan bara api. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan api membakar barulah batang kayu tersebut tumbang sendiri. Rumpun dan jaringan akarnya tidak sampai terbakar, tapi dibiarkan sampai lapuk didalam tanah. Nah bekas-bekas rumpun kayu yang sudah hancur itu meninggalkan lubuk lumpur yang cukup dalam, yang sampai sekarang masih bisa ditemui apa yang disebut orang dengan “sawah dalam”. Kalau saat menanamnya tidak memakai pelampung, bisa tenggelam kedalam lumpur.

Selama belum menghasilkan, para pekerja bergantian bolak balik ke Matur untuk mengambil bekal, sehingga jalur perlintasan mereka ini kemudian bernama kampung Labuah, artinya jalan. Setelah mulai berangsur panen, barulah mulai membuat dangau-dangau sederhana untuk menetap sementara. Lokasinya di lereng bukit kecil. Disini mereka menanam sayur mayur kebutuhan sehari-hari, disamping belajar menangkap ikan di tepian danau. Tempat inilah awal pemukiman yang lazim disebut ‘taratak”, yang sekarang bernama Kampung Koto Tuo.

Melihat prospek Bancah yang menjanjikan, menyusullah orang-orang disekitar Matur dan IV Koto membuka lahan. Gelombang kedatangan ini ditampung di Koto Tuo, sehingga lama kelamaan kampung ini padat oleh berbagai suku. Terpaksalah pendatang awal mengalah dan pindah ke daerah bukit sebelahnya bernama Guguak. Para tamu ini mendapatkan daerah persawahan nomor dua, artinya lahan tanpa mata air, yaitu di sebelah utaranya sawah Bancah arah ke Batang Ranggeh. Untuk perairannya mereka membangun irigasi yang sumber airnya dari bawah Kampung Guguak, disitu ditemui mata air permanen dengan debit air melimpah. Lalu dibangunlah semacam waduk penampungan untuk dialirkan kepersawahan secara bergiliran (batipak). Waduk tersebut kemudian bernama Aiya Salubuak.


BERDIRINYA NAGARI SUNGAI BATANG  

Hasil panen setiap tahun berlimpah ruah, pohonpisang sudah menghasilkan, kelapa mulai berbuah, sayur mayur tumbuh subur, sehingga di pasarkan sampai ketanah leluhur IV Koto, perkembangan penduduk begitu pesat. Kampuang Guguak telah menjalar ke timur kemudian membentuk komunitas Kampung Balai.

Sebahagian berinisiatif meluaskan taruko ke daerah selatan yang kemudian berbentuk kampong Batung Panjang. Dari transit Koto Tuo berangsur pindah ke Ikue Pisang dan Koto Tenggai (koto Tinggi). Perluasan sawahpun sampai ke timur menuju ‘lembah’ kaki bukit. Pelan-pelan daerah perlintasan jalur ke Matur sudah dibuka dan membangun kampung yang bernama Labuah. 

Maka dalam perkembangan selanjutnya daerah asal membentuk Jorong bernama Nagari, di selatan mendirikan Jorong Batung Panjang dan di timur berdiri Jorong Labuah, dengan jorong inilah terbentuknya sebuah Nagari bernama Nagari Sungai Batang, lihat Gambar-1 dan Gambar-2.

Gambar-1
 
Gambar-2

Syarat untuk berdirinya suatu nagari ada 5 yaitu:

  • Babalai bamunsajik
  • Balabuah batapian
  • Basasok bajarami
  • Bapandam bapakuburan
  • Ba-ka ampek suku


Semua itu telah terpenuhi. Balai sebagai sarana musyawarah dan pasar sudah berdiri di Jorong Nagari, begitu juga Mesjid Jamiak di Aiya Salubuak. Labuah sebagai sarana lalu lintas serta tapian tempat mandi lengkap di setiap Jorong yang tiga.

Sasok Jarami yang berarti lahan perladangan dan persawahan membentang luas dan berproduksi sesuai kebutuhan masyarakat. Pemakaman umum disediakan di tempat tertentu bernama Pandam.  

Tahun berjalan penduduk Nagari Sungai Batang sudah memenuhi syarat bahkan lebih. Suku Caniago di Guguak dan Balai, Suku Tanjuang di Ikue Pisang, Suku Guci dan suku Koto di Koto Tenggai, Suku Pili dan Sikumbang di Jorong Labuah serta suku Jambak dan suku Melayu di Batung Panjang.

Setelah beberapa generasi kebelakang Nagari Sungai Batang telah berkembang menjadi 4 jorong dengan masuknya Jorong Batu Ajuang. 

Dan menurut keterangan angku Lukman Dt. Bagindo yang sekarang telah bergelar Bandaro Nan Panjang dan Angku Dt. Rajo Mainpuni bahwa sekitar tahun 1915. 

Peraturan Pemerintah Belanda sangat kejamnya seperti pemungutan blasteng (pajak) dan uang rodi (uang kerja paksa) dan sulitnya kepala Nagari Sungai Batang mencapai daerah subarang atau daerah rantau, maka diadakan mufakat oleh Kepala Nagari Sungai Batang dengan Kepala Nagari Tanjung Sani beserta Niniak Mamak dengan keputusan pertukaran Daerah yaitu:

  • Jorong Tanjung Sani dan Jorong Data Kampung Dadok pemerintahannya masuk ke Nagari Sungai Batang.
  • Jorong Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan Sigiran, Sungai Tampang sampai kedalam gadang Arikir, Lubuak Sao Koto Panjang, masuk Pemerintahan Nagari Tanjung Sani.
  • Adat istiadat sako dan pusako tetap sepertia biasa.


Maka dengan masuknya Jorong Tanjung Sani dan Jorong Data dan di tambah dengan di jadikannya Kubu sebagai satu jorong, maka jumlah jorong di nagari Sungai Batang menjadi 7 (tujuh) Jorong.


PENUTUP

D
emikianlah sejarah dari berdirinya Nagari Sungai Batang yang berada di salah satu sisi Salingka (selingkar) Danau Maninjau yang dikagumi Buya Hamka - kelahiran Nagari Sungai Batang - sendiri, lihat Gambar-3 dengan menyebutkan:


Saya sangat terkesan dengan negeri kelahiran saya. Saya sudah sering keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan seindah Maninjau. Desa itu pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu.” (Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka).

Gambar-3

Begitu pula Bung Karno, nama lengkapnya Ir. Haji Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia pernah berkunjung ke Maninjau. Setelah mengelilingi daerah ini beliau sangat terpesona - mempunyai kesan amazing - kepada daerah ini. Kesan amazing ini beliau ucapkan dalam bentuk sebuah pantun:

"Jika adik memakan pinang, Makanlah dengan sirih hijau. Jika Adik datang ke Minang, Jangan lupa singgah ke Maninjau."  [Soekarno]

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Artinya Di setiap tempat atau wilayah memiliki sejarah, adat dan kebudayaan serta keindahan tersendiri yang lain dari yang lain. Itulah Indonesia, nusantara zamrud katulitiwa. Dalam hal ini, Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Salam Takzim penulis. Billāhit taufiq wal-Hidāyah. □ AFM



Mari lihat pula video youtube klik (--->) “Kawasan Konservasi DanauManinjau” yang proyeknya berada di Nagari Sungai Batang ini. Setelah itu klik panah yang terdapat pada video youtube ini.





Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sumatra_Barat
https://mobileapps.wikiwand.com/id/Sungai_Batang,_Tanjung_Raya,_Agam
https://en.wikipedia.org/wiki/Hamka
https://id.wikipedia.org/wiki/Nur_Sutan_Iskandar
https://id.wikipedia.org/wiki/Marzuki_Yatim
sungai-batang.blogspot.com/2015/06/asal-muasal-nama-nagari-sungai-batang.html
http://sungai-batang.blogspot.com/2014/08/mengirim-penjelajah-untuk-survay.html
http://sungai-batang.blogspot.com/2015/05/berdirinya-nagari-sungai-batang.html
https://www.youtube.com/embed/pe8ngxe42Ag   □□