Oleh: Abdul
Khalik
“Saya sangat terkesan dengan negeri kelahiran saya. Saya sudah sering
keliling dunia, tapi rasanya tidak ada pemandangan seindah Maninjau. Desa itu
pun mempunyai arti penting bagi hidup saya. Begitu indahnya seakan-akan
mengundang kita untuk melihat alam yang ada dibalik pemandangan itu.” (Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka).
I
|
nilah pernyataan seorang putera asli kelahiran
Sungai Batang. Negeri di tepian danau Maninjau di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten,
Agam, Sumatera Barat. Salah satu kaldera gunung purba pulau Sumatera di masa
lalu yang keindahan dan kesuburannya, telah menyumbangkan begitu banyak
putera-putera terbaik bagi pembangunan negara ini, sejak dahulu hingga kini.
Tercatat sejumlah nama para inspirator dan pembaharu negara ini, lahir atau
dibesarkan dari rahim nagari-nagari (sebutan desa atau kampung) di tepian danau
Maninjau. Menyebut beberapa nama saja, misalnya DR. H.
Karim Amarullah (pembaharu Islam Abad 19), Buya Hamka (ulama besar dan
mantan Ketua MUI serta pahlawan nasional), Muhammad Nasir (mantan Perdana
Menteri, Ketua Masyumi dan pendiri DDII), Isa Anshary (politisi muslim
Masyumi).
Ada pula Buya AR Sutan Mansur (Ketua dan Tokoh Muhammadiyah), Muhammad
Nazir (Laksamana TNI AL dan pendiri Akademi AL), Rasuna Said (tokoh pendidikan
dan emansipasi wanita), R. St. Pamuntjak (diplomat ulung), Syafruddin
Prawiranegara (mantan Perdana Menteri PDRI dan Menteri Keuangan), Marzuki Yatim
(mantan Menteri), Kaharuddin (mantan Gubernur Sumbar) serta Nur Sutan Iskandar
(sastrawan). Atau yang terkini, misalnya mantan Menteri Sosial
Bachtiar Chamsyah, akademisi ITB Yasraf Amir Piliang dan novelis terkenal Ahmad
Fuadi.
Kesana lah aku dan keluarga mudiak (pulang kampung) untuk bertemu
keluarga yang masih ada. Plus menikmati keindahan danau Maninjau serta
merasakan berbagai sensasi tak terlupakan dari negeri itu, usai Idul
Fithri 1434H lalu. Aku merekam kuat perjalanan itu dan menyajikannya kepada
pembaca, sebagai bekal, jika nanti berkesempatan mengunjungi negeri nan elok
itu.
Menuju Maninjau
Dari Medan via jalan darat, saat sampai di kota Lubuk Sikaping, ibu kota
Kabupaten Pasaman, ada dua lintasan yang bisa digunakan. Di hari biasa, Anda
bisa menuju Maninjau via Bukittinggi, dengan lebih dulu melintasi Bonjol (kota
khatulistiwa) serta Palupuh (kecamatan heroik di masa perjuangan kemerdekaan).
Dari Bukittinggi menuju Padang, setibanya di Padang Luar, berbeloklah ke kanan
menuju Matur. Dari Matur, Anda akan menemukan sensasi kelok 44 yang terkenal
itu, sebelum tiba di nagari Maninjau.
Namun, saat liburan (Idul Fithri, Idul Adha, dsb), jangan coba-coba
melintasi jalur ini (seperti tersebut diatas). Dipastikan
akan terjebak dalam kemacatan parah. Melintaslah di jalan alternatif dari Lubuk
Sikaping menuju Lubuk Basung (ibu kota Kab. Agam) via Padang Sawah. Meski jalan
ini kecil, tapi cukup nyaman. Bahkan, jarak tempuh bisa dipersingkat hingga 40
km. Dari Lubuk Basung, kita akan langsung menuju Muko-muko di tepian danau
Maninjau.
Di pinggiran jalan kedua lintasan itu, kita akan disuguhi pemandangan indah
berupa deretan perbukitan, persawahan, rumah bagonjong (rumah adat Minang)
serta tabek (kolam) yang menyejukkan mata. Kami memilih lintasan kedua, menuju
Maninjau, karena arah Bukittinggi kabarnya macat total.
Muko-muko salah satu nagari di tepian danau Maninjau. Desa ini terkenal
dengan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) yang memasok listrik untuk Kab.
Agam, Padang Pariaman hingga Padang. Di sini, Anda bisa memanjakan keluarga
dengan water park yang berada di areal sungai muko-muko, pintu keluar
air danau Maninjau.
Dari nagari Muko-muko menuju nagari Maninjau, jarak tempuhnya sekira 30
menit. Diperjalanan Anda akan melintasi sejumlah nagari dengan hamparan sawah
dibatasi perbukitan di sisi kiri. Di sisi kanan, terlihat lautan air tawar
dengan keramba menjorok ke tengah danau. “Tak muak-muak mata melihat
pemandangan ini,” kata Paktuo Muhammad Nur, 80, pedagang buah
Tebingtinggi, lahir di nagari Galapung, yang ikut rombongan kami.
Sebelum memasuki nagari Maninjau, kita akan melintasi kampungnya Bachtiar
Chamsyah dan keluarga pengusaha asal Medan Muhammad Arbie (Garuda Hotel Group),
bernama nagari Bayur. Kampung ini relatif lebih maju dibanding nagari-nagari
lain selingkar dana Maninjau. Pusat ekonomi Bayur disebut dengan ‘Pakan Rabaa,’
yang pekanannya setiap hari Rabu. Namun, geliat ekonomi di Bayur tidak
hanya saat Pakan Rabaa, tapi sepanjang hari, karena ditempat ini juga, ada
pusat transaksi hasil danau Maninjau, yakni ikan mujair.
Ikan mujair, merupakan hasil ternak keramba yang terkenal dari danau
Maninjau. Rata-rata panen dari usaha itu di selingkar danau, bisa mencapai 60
ton per hari, terang Menan, 65, warga pemilik keramba di Bayur. Ikan mujair
danau Maninjau disukai, karena rasa dagingnya berbeda dengan mujair kolam.
“Mujair sini tak bau lumpur, dan bersih” terang dia.
Hasil keramba ini, memenuhi pasar ikan di berbagai kota besar, mulai dari
Padang, Bukittinggi, Pekan Baru hingga ke Jambi dan Medan. “Kalau melihat
mujair yang hitam pekat dan besar, itu asalnya dari sini,” ujar seorang
peternak keramba.
Di kampung ini juga, ada masjid Raya Bayur, masjid terbesar di Kec. Tanjung
Raya yang mampu menampung 1.000 jemaah. “ Masjid ini dibangun parantau Bayur
yang sukses,” ujar seorang pedagang di depan masjid itu. Ornamen masjid itu
unik, karena ditata menggunakan model masjid-masjid Minang di masa lalu.
Misalnya kubah masjid yang terlihat khas, berupa ornamen gabungan budaya Minang
dan Islam.
Kalau lasak sedikit, Anda bisa mengunjungi kediaman keluarga mantan Mensos
RI Bachtiar Chamsyah. Lokasi kediamannya agak ke atas dari lintasan jalan
Bayur. Rumah itu berada di tengah hamparan sawah yang masih didiami keluarga
mantan politisi PPP itu.
Kami melintasi sebuah kampung antara Maninjau dan Bayur, yang menjadi lokasi destinasi wisata. Di kampung Gasang ini, banyak
ditemukan pemandian, hotel dan homestay
untuk wisatawan. Selain cafe dan restoran serta lapak pedagang yang menjual
aneka buah tangan dari hasil danau Maninjau. Misalnya, bada masiak (ikan
asli danau Maninjau yang diasapi), rinyuak (sejenis ikan teri halus yang sering
dijadikan peyek dan perencah gulai) atau ikan mujair asap.
Ikan bada masiak, rinyuak dan mujair asap, dijual eceran. Cukup dengan
mengeluarkan kocek Rp 20 ribu Anda akan mendapatkan panganan itu
sekira 500 gram. Ada juga peyek rinyuak yang khas menemani perjalanan, seharga
Rp
10 ribu
perbungkus.
Terdapat pula aneka makanan dan kue-mue asli Minang di jual di tepian
jalan. Jika musim durian (biasanya bulan Juli-Agustus), buahan beraroma sengit
itu, sangat istimewa di kampung selingkar danau Maninjau, karena durian
Maninjau menjadi salah satu buah terbaik di ranah Minang.
Lima tahun lalu, ada tempat pemandian air panas di nagari Gasang. Sumber
airnya berasal dari perut perbukitan. Tapi tempat itu, tidak terlihat lagi.
Entah sudah hilang, akibat gempa beberapa tahun sesudahnya. Sesampai di
Maninjau, aku langsung menuju kampung halaman orang tua di nagari Galapung.
Besok aku bertekad menyusuri kembali nagari di sekeliling danau itu.
Warisan Yang Nelangsa
Tak jelas sejak kapan nagari-nagari selingkar danau Maninjau pertama kali
dihuni. Tapi dari berbagai keterangan dan fakta yang dihimpun, tanah ini sudah
ditinggali sejak berabad-abad lalu. Amir Sjarifoeddin Tj. A, penulis buku
‘Minangkabau, Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol,’ (2012), menyebutkan Maninjau menjadi salah satu bagian dari Luhak nan tigo,
yakni Luhak Agam. Sehingga Maninjau termasuk dalam wilayah inti dari ranah
Minangkabau.
Keesokan hari, dari nagari Galapung, aku langsung mendatangi nagari Buya
Hamka. Ternyata, hingga kini, warisan kerajaan yang pernah berkuasa di Maninjau
di masa lalu, masih bisa ditemukan di Sungai Batang. Aku sempat melihat istana
lama serta kediaman datuk/wali nagari/penghulu nagari selingkar Maninjau,
berada di nagari Sungai Batang Ateh. Istana itu terbuat dari kayu keras yang
kokoh dan diperkirakan berusia lebih dari 2 Abad. Namun, bangunan itu terlihat
kusam dan tidak terurus, didiami keluarga dari penghulu itu. Saat kusambangi,
bangunan itu terkunci. Dari keterangan, keluarga itu lagi pergi ke luar daerah.
Dari istana itu, hamparan danau Maninjau bisa dilihat sejauh mata
memandang. Ke ramudiak (arah hilir) ada dua rumah gadang lain, yakni
kediaman holf bestuur (asisten wedana) Sungai Batang yang kini masih
ditinggali keturunannya. “Dulu kantornya masih ada, pas disamping rumah, tapi
sudah rubuh,” ujar guide kami, yang mengaku pengurus Perpustakaan Buya
Hamka.
Dulu nagari Sungai Batang ramai, tambah mantan jurnalis yang minta namanya
tak dimuat. Namun sesudah terjadi peristiwa pemberontakan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) 1958-1960, kampung itu berubah sunyi dan
ditinggal warganya.
Aku, sempat diajak melihat lokasi pertempuran antara TNI dengan tentara
PRRI di sekitar Sungai Batang. Guide itu, menunjukkan padaku perbukitan
yang jadi markas TNI serta diinformasikan pula sejumlah gua di lereng bukit
yang jadi markas tentara PRRI. “Di sini pertempuran antara TNI dan PRRI sengit,
bekas-bekasnya masih ada,” ujar dia.
Saat berjalan, guide kami nyeletuk; “Jangan lihat Sungai Batang sekarang
ini. Sebelum PRRI ramai. Tapi sekarang macam kota mati. Banyak rumah dan lahan
yang ditinggal,” terang dia. Dicontohkannya kemasyhuran Sungai Batang, yakni
keberadaan maktab ‘Ihya Ulumuddin’ yang didirikan DR. H. Karim Amarullah,
tempat dimana Buya Hamka awalnya dikenalkan dengan ajaran Islam.
Di masa lalu, dia mengisahkan, banyak santri dari manca negara, mulai Malaysia,
Thailand hingga Filiphina bersekolah di maktab (Sungai Batang, Maninjau) itu. Alasannya, maktab itu menjadi batu loncatan untuk bisa diterima di
University Al Azhar Kairo, Mesir. Di masa Menteri Pendidikan Daoed Yoesoef,
maktab itu berubah status menjadi madrasah tsanawiyah, sehingga kemasyhurannya
hilang. “Ini salah satu cara pemerintah merusak sistem pendidikan Islam di
sini,” ujar guide itu, dengan nada sinis.
Tak hanya itu, aku juga mengunjungi sejumlah tempat yang menjadi warisan
para inspirator dan pembaharu dari Maninjau. Di antaranya, rumah kediaman dan
perpustakaan Buya Hamka, tempat kelahiran Nur Sutan Iskandar, tempat kelahiran
Rasuna Said. Rumah tua dan surau (mushalla) DR.H. Abdul Karim Amarullah (ayah
Buya Hamka), masjid Syekh Amarullah (buyut Buya Hamka) dan rumah Muhammad
Nasir.
Di perpustakaan Buya Hamka Sungai Batang, aku menyempatkan diri melihat
sejumlah foto dokumentasi ulama yang terkenal hingga ke manca negara itu. Di
rumah itu, masih bisa dilihat tempat tidur, kursi/meja dan tongkat Buya Hamka.
Ada juga sejumlah foto dokumentasi ulama yang wafat pada 1980 itu. Juga
dokumentasi foto sejumlah ulama pembaharu Islam (kaum muda) asal Minangkabau,
misalnya Syekh Ahmad Khatib, Zainuddin El Labay, Syekh M. Jamil Jambek, Syekh
M. Thahir Jalaluddin Al Azhary serta DR. H. Karim Amarullah.
Penjaga perpustakaan Safaruddin Imam Batuah, mengatakan rata-rata
pengunjung perpustakaan itu berkisar 10-20 orang perhari. Di hari-hari besar, misalnya Idul Fithri pengunjung bisa membludak. Wisatawan
yang datang juga berasal dari berbagai daerah dan mancanegara. Beberapa
keluarga berlogat Melayu, diperkirakan berasal dari Malaysia, terlihat
mengunjungi perpustakaan itu.
Saat asik mengamati perpustakaan itu, salah seorang pengunjung bertanya kepada
penjaga pustaka itu. “Ada foto keluarga Hamka bernama Wadud? “ ujar tamu itu.
Sontak, wajah Safaruddin, terlihat berubah. Perubahan itu, bisa aku
tangkap. Penasaran, aku memburu tamu yang bertanya itu, siapa gerangan orang
bernama Wadud itu.
Terungkaplah sebuah kisah yang berusaha disembunyikan selama ini. Wadud,
merupakan adik tiri Hamka lain ibu yang murtad masuk Kristen, ketika dia
merantau ke Amerika. Ketika Wadud pulang ke kampung, masyarakat Maninjau heboh,
karena adik Hamka itu melakukan missi Kristenisasi di ranah Minang. “Wadud ini
sempat membuat heboh dan dia diusir, karena menjalankan Kristenisasi di
Padang,” ujar tamu itu.
Ketika
Marzuki Yatim, tahun 1958, ketika itu sebagai anggota DPR pergi ke Amerika
selama tiga bulan lebih atas undangan US State Depertment, buya Hamka menitip
pesan untuk menemui adiknya Wadud, sebagai bagian dari perhatian kepada adiknya
untuk tetap dalam Islam. (1)
Tahun 2005 lalu, Wadud meninggal di Amerika. Namun, dari keterangan
Safaruddin, Wadud dibuang dari keluarga Amarullah, karena berpindah agama.
Saudara Hamka itu berasal dari istri DR. H. Karim Amarullah bernama Hindun.
Namun, bukan anak kandung DR. H. Karim Amarullah,
melainkan anak tiri.
Kembali ke awal cerita. Perpustakan Buya Hamka ini didirikan atas
prakasa ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). “Inilah fakta bagaimana orang
luar menghargai Buya Hamka, sementara negeri sendiri mengabaikannya,” keluh
Safaruddin. Hingga kini, terang dia, perpustakaan itu didanai ahli waris,
melalui penjualan buku-buku Buya Hamka mencapai 137 judul. Belakangan diakui
perhatian pemerintah mulai ada pula. Namun, di perpustaakn itu cuma terlihat
belasan judul buku saja. Salah satunya ‘Tafsir Al Azhar’ yang fenomenal itu.
Aku membeli buku Hamka berjudul ‘Tasawuf Modern’ sebagai kenang-kenangan.
Harganya mahal, untuk satu buku dengan kualitas cetak yang buruk, satu makalah
stensilah Hamka yang digabung plus satu novel Nur Sutan Iskandar ‘Salah
Pilih’, aku harus merogoh kocek Rp 200 ribu. Tapi aku maklum, karena dana itu juga diperuntukkan merawat
warisan sang inspirator itu.
Nasib warisan yang lebih trragis, justru terlihat di tempat kelahiran
sastarawan angkatan pujangga baru Nur Sutan Iskandar. Tempat kelahirannya yang
juga di nagari Sungai Batang itu, hanya dipugar sekali, yakni pada 1996. Rumah
tua keluarga itu, kelihatan kian ringkih di makan usia.
Di beranda rumah itu, ada taman bacaan masyarakat (TBM) Nur Sutan Iskandar.
Pengelola TBM Jusni, 25, mengaku dari 82 judul tulisan Nur Sutan Iskandar,
hanya terdapat 14 judul saja koleksi di TBM itu. “Itupun merupakan bantuan
Baperasda Sumbar. Sekali saja dibantu, sampai kini ndak ado lai,” ujar
mantu dari cucu novelis masa lalu itu. Prihatin dengan kondisi TBM itu, saya
memberikan saran-saran mengembangan TBM dan memberikan hadiah beberapa buku
yang saya bawa.
Di perjalanan dari Sungai Batang menuju Maninjau, aku menyempatkan diri
berziarah ke makam dan kediaman DR. H. Karim Amarullah serta Syekh Amarullah (ayah dan buyut Buya Hamka).
Makam keduanya berada di halaman rumah, terlihat masih terawat. Saat ini,
rumah itu ditinggali kerabat Hamka. Di dalam hanya terlihat peralatan rumah
tangga dan sejumlah buku tua di atas rak ruang tamu serta foto keluarga dari
masa lalu lengket di dinding rumah.
Selain itu, juga mengunjungi masjid Taqwa Syekh Amarullah di Sungai Batang
Ateh. Sayangnya di masjid yang baru direnovasi itu, aku tak mendapatkan
keterangan apapun. Tapi posisi masjid yang berada dibawah istana Maninjau yang
kuceritakan di atas. Aku yakin masjid itu dulunya rumah ibadah resmi dari
kenagarian Maninjau/Sungai Batang.
Aku juga menyempatkan sholat zhuhur di masjid raya Bancah, kampung di
antara Sungai Batang dan Maninjau. Masjid ini salah satu yang tertua di
selingkar danau Maninjau, berdiri pada 1907. Keistimewaannya, karena arsitektur
dan tatanannya yang tidak berubah. Ada gapura di depan halaman dan kolam
mengelilingi masjid, dengan jendela yang lebar, persis berada di tepian danau. Guide
kami, mengatakan pada 1960-1965, nagari Bancah menjadi salah satu basis gerakan
PKI di Maninjau.
Di nagari Maninjau, aku mencari lokasi kediaman dan kelahiran tokoh
pendidikan dan emansipasi wanita Hj. Rasuna Said. Beberapa warga sekitar yang
kutanya, menunjukkan salah satu rumah tua yang kondisinya tak terurus. Mereka
mengakui rumah tua berloteng dan berarsitektur Eropah itu, tempat kelahiran
Rasuna Said.
Bangunan itu kini berubah menjadi mushalla, tempat kaum ibu di kampung itu
mengaji. Kondisi rumah itu compang camping. Beberapa bagian dinding rumah sudah
lepas. Di halaman rumah terpampang tulisan, “rumah ini milik H. Muhammad Said.’
Mungkin yang dimaksud adalah ayah dari tokoh pendidik itu.
Di seberang jalan, ada madrasah ibtidaiyah Hj. Rasuna Said. Namun, warga
mengatakan sekolah itu bukan tempat tokoh pendidik itu mengajar. “Sekolahnya
yang dulu dipinggir danau sudah hancur dan tak ada lagi,” terang tetangga di
sekitar kediaman itu.
Kabarnya, kini hanya ada seorang cucu keluarga Rasuna Said di Maninjau yang
menjaga seluruh aset peninggalan pahlawan modernitas wanita itu. Tapi aku tak
berhasil menemuinya. Yang kulihat sebelumnya, salah satu dari dua rumah
peninggalan keluarga Rasuna Said, di kampung lain, tertulis pamlet ‘rumah ini
dijual.’ Rumah tua dibangun 1872 itu, kelihatan megah jika dibanding
rumah-rumah disekitarnya. Agaknya, keluarga Rasuna Said, kala itu, dari
kalangan terpandang dan kaya.
Sedangkan tempat tinggal Muhammad Nasir setelah pindah dari negeri
kelahirannya di nagari Sumpur, Kec. Alahan Panjang, Kab. Solok, kini tak ada lagi.
Informasi yang kuterima tapak rumah itu ada di kelokan pertama Maninjau dari
kelok 44 menuju Matur. Karena infonya rumah itu sudah tak ada lagi, aku
mengurungkan niat melacaknya.
Ternyata, sebagian besar warisan para inspirator dan pembaharu Maninjau itu
dalam kondisi nelangsa. Aku terpekur, membayangkan kebesaran jasa mereka di
masa lalu, terabaikan oleh perjalanan waktu. Jika sudah demikian nama besar pun
tak mampu menolong harta yang tertinggal. Semua akan sirna dan hilang ditelan
zaman.
Jam di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul 16.30. Perlahan matahari
condong ke Barat, menyinari sebagian sisi perbukitan danau Maninjau. Kami
memutuskan kembali pulang ke Galapung. Di perjalanan baru tersadar, keasikan
malacak kisah masa lalu sang inspirator dan pembaharu Maninjau itu, membuat
kami tak sempat makan siang. Walaupun begitu, aku merasa puas, ketika esok
harinya kembali meninggalkan Maninjau, pulang ke kampung kelahiranku. Selamat
tinggal Maninjau, jika panjang umur aku akan datang kembali. □
Catatan Kaki:
[1] Dari
admin blog yang mengisahkan langsung kepada kami ketika akan berangkat ke
Amerika Serikat ketika itu. Titipan pesan itu langsung diberikan buya Hamka
karena keluarga kami sering berkunjung kesana, terutama di hari Raya.
Sumber:
http://abdulkhalik-news.blogspot.com/2015/01/maninjau-negeri-para-inspirator-dan.html□□□