A
|
walnya
Belanda berharap menggunakan tenaga kerja Aceh, tetapi setelah upaya pendekatan
gagal karena pekerja lokal tidak tertarik, juga karena perang terus berlanjut,
rencana itu dibatalkan dan memilih memakai tenaga kerja orang China yang
notabenenya nonmuslim.
Bahan
bangunan yang dipakai didatangkan dari sejumlah negara. Batu bata dari Belanda,
kayu jati dibawa dari Burma (British-India), marmer dari China, besi untuk
jeruji jendela dan pagar teras kubah didatangkan dari Belgia dan Surabaya.
Genteng keramik dibawa dari Palembang. Dalam hal ini Wihelmi berkomentar:
"Clearly
the Dutch chose not to support the Acehnese economy but only brought in
materials from abroad and from parts of Indonesia under Dutch control, so that
the colonial economy could prosper from it,” tulis Wihelmina dalam tesis
S2-nya.
Artinya:
“Sangat jelas disini bahwa Belanda tidak ada niat sedikit pun membantu kemajuan
pribumi Aceh dengan dibuktikan dari pengadaan bahan-bahan bangunan di datangkan
dari luar negeri dan bagian lain dari Indonesia yang juga dikontol Belanda kecuali
Aceh, dengan itu ekonomi Pemerintahan Kolonial (Belanda yang ada di Indonesia jajahannya)
menjadi makmur” (tulis Wihelmina dalam tesis S2-nya.)
BAGI
orang Aceh, model masjid yang dibangun Belanda tidak lazim pada masa itu. Dari
mana Bruins mendapat idenya? Adakah bangunan serupa di belahan dunia lain atau
model bangunan apa yang merasuki benak Bruins? Berpuluh tahun kemudian,
sejumlah peneliti dalam dan luar negeri menjadikan arsitektur Masjid Raya
Baiturrahman sebagai objek penelitian.
Bagi
Wihelmina, tiga lengkungan setengah lingkaran di pintu masuk Masjid Raya yang
ditopang tiang bulat menyerupai The Court of Myrtles, salah satu bagian
dari Alhambra, istana raja sekaligus benteng di Kota Granada, Spanyol. Terletak
di atas bukit, istana megah dengan gaya arsitektur yang menawan ini dibangun
pada masa kejayaan Islam di Spanyol pada abad ke-13.
“Pintu
masuk masjid dengan motif ukiran segi empat berbentuk diagonal di atasnya mirip
dengan yang di Alhambra. Bruins mungkin melihatnya dalam publikasi tentang
Alhambra yang dipamerkan di Prancis dalam waktu yang hampir bersamaan dengan
perencanaan masjid di Aceh,” tulis Wihelmina.
Pola
hampir sama juga ditemukan pada Masjid Cordoba, Spanyol. Bedanya, kata
Wihelmina, lengkungan tapal kuda di masjid yang kini dijadikan gereja itu
berbentuk setengah lingkaran, sedangkan di Masjid Raya Banda Aceh lengkungannya
meruncing di tengah.
Bangunan Dalam Masjid Arsitektural ala Masjid Cordoba
Pola
geometris yang terdapat pada jeruji jendela, menurut Wihelmina, adalah pola
Mesir yang ditemukan dalam buku berisi kumpulan pola dan arsitektur Arab karya
Emile Prisse d’Avennes yang diterbitkan di Prancis pada 1869-1877. Buku ini
hingga kini masih menjadi rujukan arsitektur Arab. Pola serupa juga ditemukan
dalam buku legendaris karya J. Bourgoin berjudul Les Elements del art arabe:
le sifat des entralacs. Buku ini dipamerkan di Paris pada 1879.
Sebagian
besar isi buku Prisse d’Avennes berkaitan dengan arsitektur Mamluk dari
pertengahan abad ke-13 hingga abad ke-16. Salah satu tujuan penerbitan buku itu
untuk melayani desain arsitek Eropa. “Mungkin Bruins telah melihat desain ini
dalam buku-buku itu mengingat penerbitannya berdekatan dengan tahun ia mulai
merancang masjid,” tulis Wihelmina. Wihelmina bersandar pada kenyataan bahwa
budaya Prancis sangat dihormati di Belanda saat itu. Selain itu, buku-buku
berbahasa Prancis diminati kaum elite dan akademisi Belanda.
Wihelmina
memberi catatan tentang penggunaan unsur delapan lubang cahaya berbentuk bulat.
Kata dia, pola itu sering dipakai di Gereja Gotik. Arsitektur Gotik berkembang
dari Prancis sekitar abad ke-13 hingga 16. Konsep ini hadir dari keyakinan
bahwa Tuhan hadir di mana saja seperti cahaya.
Adapun
hiasan bunga memanjang di kedua sisi di atas lengkungan pintu masuk, Wihelmina
menduga Bruins terinspirasi dari ornamen serupa di Masjid Tala’i ibnu Ruzzik
yang dibangun pada abad ke-12. Pola itu juga terdapat dalam buku Prisse
d’Avennes.
Peneliti
lain yang membedah arsitektur Masjid Raya adalah Izziah. Ia mengepalai Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Pada 2009, ketika meraih
gelar S3 dari University of Adelaide, Australia, Izziah merampungkan tesis
berjudul “Architecture and the Politics of Identity in Indonesia; A Study of
the Cultural History of Aceh.”
Menurut
Izziah, Masjid Raya bergaya Mughal. Ini adalah genre arsitektur yang berkembang
di India. Gaya ini muncul di Taj Mahal, bangunan megah dan bernilai seni tinggi
di India yang dibangun selama 22 tahun pada kurun waktu 1630-1653 oleh
Kekaisaran Mughal.
“Gaya
Mughal ini dapat dilihat dari kubah Masjid Raya yang sama dengan kubah-kubah
Taj Mahal. Memang ada pengaruh Eropa, tapi gaya Mughal lebih dominan,” kata
Izziah.
Izziah
sepakat gaya Eropa muncul di masjid raya dalam bentuk corak ukiran dan
penggunaan material berupa batu bata dan konstruksi beton yang kokoh. Begitu
pula dengan lengkungan-lengkungan dan motif daun-daunnya. “Namun begitu, gaya
Mughal tetap lebih dominan karena Belanda menjadikan India sebagai rujukan,”
ujarnya.
Wihelmina
sependapat kubah masjid mengingatkan pada gaya Mughal. Namun, tetap saja Masjid
Raya juga mewarisi gaya Moorish yang muncul di Alhambra dan Masjid Cordoba.
Istilah Moorish merujuk pada bangsa Moor dari Afrika yang kemudian menguasai
Spanyol sebelum runtuhnya kejayaan Islam di sana.
Penulis
Belanda sendiri membandingkan Masjid Raya dengan bangunan di Eropa. J. Kreemer,
misalnya, menyebut secara keseluruhan Masjid Raya dibangun dengan gaya
Byzantium. Istilah ini merujuk pada gaya arsitektur Yunani kuno dari Byzantium
yang kini dikenal dengan nama Istanbul, Ibu Kota Turki.
Gaya
Byzantium ini tidak hanya dipakai untuk masjid, tetapi juga gereja. Bentuknya
berkubah seperti masjid, tapi ada salib di atasnya seperti banyak ditemukan di
gereja Rusia.
Senada
dengan Kreemer, penulis Belanda lain, K.F.H van Langen membandingkan Masjid
Raya dengan Hagia Sophia di Istanbul. Hagia Sophia awalnya adalah gereja, lalu
difungsikan sebagai masjid pada 1453. Tanda salib di puncak kubah diganti
dengan bulan sabit. Belakangan, bangunan ini dijadikan museum.
Munculnya
percampuran gaya arsitektur membuat Wihelmina sampai pada kesimpulan: Masjid
Raya benar-benar punya akar internasional. Para ahli lain menyebut Masjid Raya
bergaya elektik, percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai negara.
Kamal
Arief juga sepakat. Kata Kamal, Masjid Raya mengadopsi gaya arsitektur kolonial
yang banyak muncul di India dan semenanjung Malaya saat itu. “Makanya hadir
bentuk lengkung-lengkung bergaya Mughal bercampur gaya Eropa, Timur Tengah, dan
unsur tropis.”
Bagaimana
sambutan masyarakat Aceh terhadap masjid itu? Tengoklah apa yang ditulis J.
Kreemer. Katanya, orang Aceh tampak acuh tak acuh terhadap masjid baru itu.
Kreemer juga menyebut tentang sepucuk surat yang dilayangkan Gubernur Jenderal
K. van der Heijden kepada pemerintah kolonial di Batavia, tertanggal 19
Februari 1879.
Heijden
melaporkan tentang kesulitan yang dialami Belanda untuk melibatkan orang Aceh
dalam pembangunan masjid. Sebab, masyarakat Aceh ketika itu menganggap shalat
di masjid yang dibangun oleh "kaphé" tidak sah. Akibatnya, hanya
sedikit orang yang shalat di sana.
Maka,
jadilah masjid yang megah itu hanya untuk kegiatan saat memotong sapi menyambut
uroe meugang. Artinya, harapan Belanda menjadikan Masjid Raya sebagai
simbol perdamaian tak terwujud. Nyatanya, perang gerilya terus berlangsung
hingga bertahun-tahun kemudian.
Penolakan
tak hanya datang dari orang Aceh, tapi juga di negeri Belanda. Mereka protes
karena pemerintahnya menghabiskan banyak uang membangun rumah ibadah untuk
masyarakat yang menganut agama yang berbeda dengan mereka.
“Een
ledig monument onzer dwaasheld (sebuah monumen yang gagal, hasil dari
kebodohan kita),” kata Snouck Hurgronje pada 1899.
Menurut
Kamal Arif, fakta penolakan itu menunjukkan ide membangun kembali masjid itu
semata-mata untuk kepentingan strategi kolonial Belanda, tetapi tidak memiliki
makna sosial bagi rakyat Aceh dan Belanda.
Siang itu,
ketika kami berdiri di halamannya dan menghujam pandangan ke arah masjid,
bangunan itu jauh lebih besar. Ukurannya yang semula hanya 624 meter persegi,
kini menjadi 4.760 meter persegi. Jumlah jamaah yang tertampung mencapai 9.000
orang.
Kubahnya
telah bertambah menjadi tujuh. Empat menara menjulang: dua di sisi kiri dan
kanan, dua lainnya di belakang. Pintu masuknya kini menjadi tujuh, tiga di depan,
dua di sisi kiri, dan dua di kanan. Ruang utama yang dibangun pada 1881
kini terasa kecil, hanya menempati satu dari 35 blok berukuran 12 x 12 meter.
Jangan harap akan melihat wujud awal yang mirip salib di denah awal.
Bentuknya
kini menjadi empat persegi panjang. Blok itu dipakai sebagai tempat salat kaum
perempuan. Ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an berwarna kuning dengan latar
hijau masih tertera di ke empat sisi dinding atas di bawah kubah pertama.
Atap
masjid kini ditopang 20 tiang besar berbentuk persegi empat seukuran pelukan
dua orang dewasa. Setiap tiang besar dikelilingi empat tiang bulat dengan
ukuran lebih kecil. Ini belum termasuk ratusan penopang lain yang
ada di sela-sela tiang utama.
Warna
dalam masjid umumnya putih. Namun pada beberapa ukiran dan hiasan terdapat
warna berbeda. Ada hijau tua, kuning emas, cokelat, merah tua, dan bahkan warna
ungu seperti terlihat pada langit-langit masjid bagian tengah dan belakang.
Relief Arabesk juga mendominasi dinding-dinding bagian dalam masjid. Lokasi
imam berdiri saat memimpin salat dibuat agak menjorok ke dalam. Berbentuk
gerbang, bagian dalamnya dilapisi sejenis plat warna kuning emas. Di sana juga
terpampang ukiran aksara Arab dengan warna serupa, lihat Gambar Lokasi Imam
Shalat Berdiri.
Relief Arabesk style di dinding-dinding dalam Masjid
Masjid
karya De Bruins itu memang telah mengalami beberapa perombakan. Pada 1936,
Gubernur Jenderal A.P.H. van Aken menambah dia kubah di sebelah kiri dan
kanannya. Penambahan kubah dirancang oleh arsitek Aceh bernama Insinyur Thaher.
Desainnya tetap bersandar menduplikasi rancangan De Bruins, termasuk
ukiran-ukiran dan ornamen.
Perubahan
itu otomatis menghilangkan denah berbentuk salib. Perubahannya tak berhenti di
situ. Masjid raya mengalami beberapa kali perluasan sesudahnya, termasuk
menghadirkan kolam dan sebuah menara besar di depannya, lihat ‘Menara dan Kolam’-nya
terlihat sedikit dalam gambar dibawah ini.
Menara Luar Masjid dilihat Malam Hari
Pemandangan Luar Masjid Disertai lapangan luas, kolam, dan Pintu Gerbang
Dengan
segala keindahan dan sejarahnya itulah masjid raya berhasil menarik perhatian
dunia. Huffington Post, media online yang berkantor di Amerika
Serikat, belum lama ini memasukkannya dalam daftar 100 masjid mengagumkan di
dunia. Sementara raksasa internet Yahoo menempatkannya di urutan 10
besar terindah dunia.
Demikianlah
riwayat sejarah Masjid Raya Baiturrahman bermula dari penolakan adanya Masjid
Raya Baiturrahman ini, ketika di bangun oleh Belanda yang tengah menjajah Aceh dan bagian
lainnya dari Indonesia saat itu, kini menjelma menjadi ikon kebanggaan rakyat
Aceh, Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Baca
juga Bangunan Kejayaan Islam di Spanyol2
Sumber:
https://halidaernita.wordpress.com/
http://www.kompasiana.com/nurdinmuhammad/kilas-balik-8-tahun-gempa-tsunami-aceh-renungan-dan-pembelajaran-bagi-manusia_551b37e8813311e5169de59a
Majalah The Attjeh
http://atjehpost.co/berita2/read/Amazing-Baiturrahman-Kisah-Awal-Mula-Masjid-Raya-Banda-Aceh-4881
http://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2016/08/bangunan-peninggalan-kejayaan-islam-di.html
http://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2016/08/bangunan-peninggalan-kejayaan-islam-di_1.html
https://serambiaceh.wordpress.com/2013/01/22/sekilas-sejarah-masjid-baiturahman-aceh/□□□