Tuesday, September 13, 2016

Amazing Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh 2







A


walnya Belanda berharap menggunakan tenaga kerja Aceh, tetapi setelah upaya pendekatan gagal karena pekerja lokal tidak tertarik, juga karena perang terus berlanjut, rencana itu dibatalkan dan memilih memakai tenaga kerja orang China yang notabenenya nonmuslim.


Bahan bangunan yang dipakai didatangkan dari sejumlah negara. Batu bata dari Belanda, kayu jati dibawa dari Burma (British-India), marmer dari China, besi untuk jeruji jendela dan pagar teras kubah didatangkan dari Belgia dan Surabaya. Genteng keramik dibawa dari Palembang. Dalam hal ini Wihelmi berkomentar:

"Clearly the Dutch chose not to support the Acehnese economy but only brought in materials from abroad and from parts of Indonesia under Dutch control, so that the colonial economy could prosper from it,” tulis Wihelmina dalam tesis S2-nya.

Artinya: “Sangat jelas disini bahwa Belanda tidak ada niat sedikit pun membantu kemajuan pribumi Aceh dengan dibuktikan dari pengadaan bahan-bahan bangunan di datangkan dari luar negeri dan bagian lain dari Indonesia yang juga dikontol Belanda kecuali Aceh, dengan itu ekonomi Pemerintahan Kolonial (Belanda yang ada di Indonesia jajahannya) menjadi makmur” (tulis Wihelmina dalam tesis S2-nya.)



BAGI orang Aceh, model masjid yang dibangun Belanda tidak lazim pada masa itu. Dari mana Bruins mendapat idenya? Adakah bangunan serupa di belahan dunia lain atau model bangunan apa yang merasuki benak Bruins? Berpuluh tahun kemudian, sejumlah peneliti dalam dan luar negeri menjadikan arsitektur Masjid Raya Baiturrahman sebagai objek penelitian.

Bagi Wihelmina, tiga lengkungan setengah lingkaran di pintu masuk Masjid Raya yang ditopang tiang bulat menyerupai The Court of Myrtles, salah satu bagian dari Alhambra, istana raja sekaligus benteng di Kota Granada, Spanyol. Terletak di atas bukit, istana megah dengan gaya arsitektur yang menawan ini dibangun pada masa kejayaan Islam di Spanyol pada abad ke-13.

“Pintu masuk masjid dengan motif ukiran segi empat berbentuk diagonal di atasnya mirip dengan yang di Alhambra. Bruins mungkin melihatnya dalam publikasi tentang Alhambra yang dipamerkan di Prancis dalam waktu yang hampir bersamaan dengan perencanaan masjid di Aceh,” tulis Wihelmina.

Pola hampir sama juga ditemukan pada Masjid Cordoba, Spanyol. Bedanya, kata Wihelmina, lengkungan tapal kuda di masjid yang kini dijadikan gereja itu berbentuk setengah lingkaran, sedangkan di Masjid Raya Banda Aceh lengkungannya meruncing di tengah.

Bangunan Dalam Masjid Arsitektural ala Masjid Cordoba

Pola geometris yang terdapat pada jeruji jendela, menurut Wihelmina, adalah pola Mesir yang ditemukan dalam buku berisi kumpulan pola dan arsitektur Arab karya Emile Prisse d’Avennes yang diterbitkan di Prancis pada 1869-1877. Buku ini hingga kini masih menjadi rujukan arsitektur Arab. Pola serupa juga ditemukan dalam buku legendaris karya J. Bourgoin berjudul Les Elements del art arabe: le sifat des entralacs. Buku ini dipamerkan di Paris pada 1879.

Sebagian besar isi buku Prisse d’Avennes berkaitan dengan arsitektur Mamluk dari pertengahan abad ke-13 hingga abad ke-16. Salah satu tujuan penerbitan buku itu untuk melayani desain arsitek Eropa. “Mungkin Bruins telah melihat desain ini dalam buku-buku itu mengingat penerbitannya berdekatan dengan tahun ia mulai merancang masjid,” tulis Wihelmina. Wihelmina bersandar pada kenyataan bahwa budaya Prancis sangat dihormati di Belanda saat itu. Selain itu, buku-buku berbahasa Prancis diminati kaum elite dan akademisi Belanda.

Wihelmina memberi catatan tentang penggunaan unsur delapan lubang cahaya berbentuk bulat. Kata dia, pola itu sering dipakai di Gereja Gotik. Arsitektur Gotik berkembang dari Prancis sekitar abad ke-13 hingga 16. Konsep ini hadir dari keyakinan bahwa Tuhan hadir di mana saja seperti cahaya.

Adapun hiasan bunga memanjang di kedua sisi di atas lengkungan pintu masuk, Wihelmina menduga Bruins terinspirasi dari ornamen serupa di Masjid Tala’i ibnu Ruzzik yang dibangun pada abad ke-12. Pola itu juga terdapat dalam buku Prisse d’Avennes.

Peneliti lain yang membedah arsitektur Masjid Raya adalah Izziah. Ia mengepalai Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Pada 2009, ketika meraih gelar S3 dari University of Adelaide, Australia, Izziah merampungkan tesis berjudul “Architecture and the Politics of Identity in Indonesia; A Study of the Cultural History of Aceh.”

Menurut Izziah, Masjid Raya bergaya Mughal. Ini adalah genre arsitektur yang berkembang di India. Gaya ini muncul di Taj Mahal, bangunan megah dan bernilai seni tinggi di India yang dibangun selama 22 tahun pada kurun waktu 1630-1653 oleh Kekaisaran Mughal.

“Gaya Mughal ini dapat dilihat dari kubah Masjid Raya yang sama dengan kubah-kubah Taj Mahal. Memang ada pengaruh Eropa, tapi gaya Mughal lebih dominan,” kata Izziah.

Izziah sepakat gaya Eropa muncul di masjid raya dalam bentuk corak ukiran dan penggunaan material berupa batu bata dan konstruksi beton yang kokoh. Begitu pula dengan lengkungan-lengkungan dan motif daun-daunnya. “Namun begitu, gaya Mughal tetap lebih dominan karena Belanda menjadikan India sebagai rujukan,” ujarnya.

Wihelmina sependapat kubah masjid mengingatkan pada gaya Mughal. Namun, tetap saja Masjid Raya juga mewarisi gaya Moorish yang muncul di Alhambra dan Masjid Cordoba. Istilah Moorish merujuk pada bangsa Moor dari Afrika yang kemudian menguasai Spanyol sebelum runtuhnya kejayaan Islam di sana.

Penulis Belanda sendiri membandingkan Masjid Raya dengan bangunan di Eropa. J. Kreemer, misalnya, menyebut secara keseluruhan Masjid Raya dibangun dengan gaya Byzantium. Istilah ini merujuk pada gaya arsitektur Yunani kuno dari Byzantium yang kini dikenal dengan nama Istanbul, Ibu Kota Turki.

Gaya Byzantium ini tidak hanya dipakai untuk masjid, tetapi juga gereja. Bentuknya berkubah seperti masjid, tapi ada salib di atasnya seperti banyak ditemukan di gereja Rusia.

Senada dengan Kreemer, penulis Belanda lain, K.F.H van Langen membandingkan Masjid Raya dengan Hagia Sophia di Istanbul. Hagia Sophia awalnya adalah gereja, lalu difungsikan sebagai masjid pada 1453. Tanda salib di puncak kubah diganti dengan bulan sabit. Belakangan, bangunan ini dijadikan museum.

Munculnya percampuran gaya arsitektur membuat Wihelmina sampai pada kesimpulan: Masjid Raya benar-benar punya akar internasional. Para ahli lain menyebut Masjid Raya bergaya elektik, percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai negara.

Kamal Arief juga sepakat. Kata Kamal, Masjid Raya mengadopsi gaya arsitektur kolonial yang banyak muncul di India dan semenanjung Malaya saat itu. “Makanya hadir bentuk lengkung-lengkung bergaya Mughal bercampur gaya Eropa, Timur Tengah, dan unsur tropis.”

Bagaimana sambutan masyarakat Aceh terhadap masjid itu? Tengoklah apa yang ditulis J. Kreemer. Katanya, orang Aceh tampak acuh tak acuh terhadap masjid baru itu. Kreemer juga menyebut tentang sepucuk surat yang dilayangkan Gubernur Jenderal K. van der Heijden kepada pemerintah kolonial di Batavia, tertanggal 19 Februari 1879.

Heijden melaporkan tentang kesulitan yang dialami Belanda untuk melibatkan orang Aceh dalam pembangunan masjid. Sebab, masyarakat Aceh ketika itu menganggap shalat di masjid yang dibangun oleh "kaphé" tidak sah. Akibatnya, hanya sedikit orang yang shalat di sana.

Maka, jadilah masjid yang megah itu hanya untuk kegiatan saat memotong sapi menyambut uroe meugang. Artinya, harapan Belanda menjadikan Masjid Raya sebagai simbol perdamaian tak terwujud. Nyatanya, perang gerilya terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian.

Penolakan tak hanya datang dari orang Aceh, tapi juga di negeri Belanda. Mereka protes karena pemerintahnya menghabiskan banyak uang membangun rumah ibadah untuk masyarakat yang menganut agama yang berbeda dengan mereka.

Een ledig monument onzer dwaasheld (sebuah monumen yang gagal, hasil dari kebodohan kita),” kata Snouck Hurgronje pada 1899.

Menurut Kamal Arif, fakta penolakan itu menunjukkan ide membangun kembali masjid itu semata-mata untuk kepentingan strategi kolonial Belanda, tetapi tidak memiliki makna sosial bagi rakyat Aceh dan Belanda.

Siang itu, ketika kami berdiri di halamannya dan menghujam pandangan ke arah masjid, bangunan itu jauh lebih besar. Ukurannya yang semula hanya 624 meter persegi, kini menjadi 4.760 meter persegi. Jumlah jamaah yang tertampung mencapai 9.000 orang.

Kubahnya telah bertambah menjadi tujuh. Empat menara menjulang: dua di sisi kiri dan kanan, dua lainnya di belakang. Pintu masuknya kini menjadi tujuh, tiga di depan, dua di sisi kiri, dan dua di kanan.  Ruang utama yang dibangun pada 1881 kini terasa kecil, hanya menempati satu dari 35 blok berukuran 12 x 12 meter. Jangan harap akan melihat wujud awal yang mirip salib di denah awal.

Bentuknya kini menjadi empat persegi panjang. Blok itu dipakai sebagai tempat salat kaum perempuan.  Ukiran kaligrafi ayat Al-Qur’an berwarna kuning dengan latar hijau masih tertera di ke empat sisi dinding atas di bawah kubah pertama.

Atap masjid kini ditopang 20 tiang besar berbentuk persegi empat seukuran pelukan dua orang dewasa. Setiap tiang besar dikelilingi empat tiang bulat dengan ukuran lebih kecil.  Ini belum termasuk ratusan penopang lain yang  ada di sela-sela tiang utama.

Warna dalam masjid umumnya putih. Namun pada beberapa ukiran dan hiasan terdapat warna berbeda. Ada hijau tua, kuning emas, cokelat, merah tua, dan bahkan warna ungu seperti terlihat pada langit-langit masjid bagian tengah dan belakang.

Relief Arabesk juga mendominasi dinding-dinding bagian dalam masjid. Lokasi imam berdiri saat memimpin salat dibuat agak menjorok ke dalam. Berbentuk gerbang, bagian dalamnya dilapisi sejenis plat warna kuning emas. Di sana juga terpampang ukiran aksara Arab dengan warna serupa, lihat Gambar Lokasi Imam Shalat Berdiri.

Relief Arabesk style di dinding-dinding dalam Masjid


Masjid karya De Bruins itu memang telah mengalami beberapa perombakan. Pada 1936, Gubernur Jenderal A.P.H. van Aken menambah dia kubah di sebelah kiri dan kanannya. Penambahan kubah dirancang oleh arsitek Aceh bernama Insinyur Thaher. Desainnya tetap bersandar menduplikasi rancangan De Bruins, termasuk ukiran-ukiran dan ornamen.

Perubahan itu otomatis menghilangkan denah berbentuk salib. Perubahannya tak berhenti di situ. Masjid raya mengalami beberapa kali perluasan sesudahnya, termasuk menghadirkan kolam dan sebuah menara besar di depannya, lihat ‘Menara dan Kolam’-nya terlihat sedikit dalam gambar dibawah ini.

Menara Luar Masjid dilihat Malam Hari

Pemandangan Luar Masjid Disertai lapangan luas, kolam, dan Pintu Gerbang


Dengan segala keindahan dan sejarahnya itulah masjid raya berhasil menarik perhatian dunia. Huffington Post, media online yang berkantor di Amerika Serikat, belum lama ini memasukkannya dalam daftar 100 masjid mengagumkan di dunia. Sementara raksasa internet Yahoo menempatkannya di urutan 10 besar terindah dunia.

            Demikianlah riwayat sejarah Masjid Raya Baiturrahman bermula dari penolakan adanya Masjid Raya Baiturrahman ini, ketika di bangun oleh  Belanda yang tengah menjajah Aceh dan bagian lainnya dari Indonesia saat itu, kini menjelma menjadi ikon kebanggaan rakyat Aceh, Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM





Sumber:

https://halidaernita.wordpress.com/

http://www.kompasiana.com/nurdinmuhammad/kilas-balik-8-tahun-gempa-tsunami-aceh-renungan-dan-pembelajaran-bagi-manusia_551b37e8813311e5169de59a

Majalah The Attjeh

http://atjehpost.co/berita2/read/Amazing-Baiturrahman-Kisah-Awal-Mula-Masjid-Raya-Banda-Aceh-4881

http://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2016/08/bangunan-peninggalan-kejayaan-islam-di.html

http://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2016/08/bangunan-peninggalan-kejayaan-islam-di_1.html

https://serambiaceh.wordpress.com/2013/01/22/sekilas-sejarah-masjid-baiturahman-aceh/□□□