Thursday, August 3, 2023

Bedah Buku Homo Deus (IV)


HUBUNGAN MANUSIA DAN TEKNOLOGI

P

embedahan dengan tools pemikiran kritis telah menunjukkan bahwa informasi-informasi yang dijadikan dasar untuk membangun kesimpulan atas realisasi Homo Deus sangat kuat. Namun, dibangun di atas dasar asumsi filosofis dan POV (point of view) yang tidak seimbang (elemen keluasan/ breath). Pengambilalihan otoritas dari 'sapiens' ke 'Homo Deus' bisa jadi mendapat sambutan menggebu dari sejumlah kalangan, tetapi sekaligus kekhawatiran akan implikasinya, terutama karena Harari mengindikasikan sebuah masa depan dimana teknologi berkuasa atas manusia. Semua capaian manusia dan kecepatan teknologi yang dipresentasikan Harari memperkuat arah kepada realisasi impianimpian baru homo sapiens, yang intinya membuktikan bahwa teknologi segera mengambil alih kontrol atas dunia. Atas perkembangan mengkhawatirkan di atas, Harari mengajukan pertanyaan antisipatif, “adakah yang bisa menginjak rem?" [9]

           Dengan tegas dijawab sendiri, tidak! Dua alasan yang disampaikannya lebih bersifat teknis daripada substantif. [10] Untuk memberikan jawaban substantif perlu dibahas esensi teknologi secara filosofis guna mengungkap prasyarat kemungkinan ke arah itu.

           Mengingat pendekatan sains (evolusi) menolak metafisika, saya memilih menggunakan perspektif fenomenologi Heidegger untuk membedah karya yang telah menjadi international bestseller ini. Bagi Heidegger, teknologi bukanlah alat fisik, seperti batu untuk memecah buah sebagaimana digunakan moyang Homo Sapien, kapak untuk membelah pohon, hingga mesin ketik, lokomotif, lalu komputer, gatget, algoritma dan kecerdasan artifisial yang makin rumit. Teknologi secara esensial merupakan jejak manusia, yang dimaknai sebagai ketersingkapan (aletea) realitas atau kebenaran. Realitas tidak lain Dasein, yaitu manusia itu sendiri. Teknologi, secanggih apa pun, bukan ditemukan melainkan (hanya) disingkapkan, dan esensi sesungguhnya adalah penyingkapan diri Dasein. [11]  Teknologi telah terlebih dahulu tertanam (embedded) dalam kebudayaan, yang kemudian disingkapkan ke hadapan (her-vor-bringen/ bringing-forth). Tidak ada teknologi tanpa Dasein, dikarenakan teknologi adalah penanda eksistensial bagi Dasein. Sederhananya, dapatkah teknologi ada tanpa manusia? Bila Anda tersesat di sebuah planet antah-berantah tak dikenal, dan tiba-tiba menemukan sebuah alat yang memancarkan signal, apa kesimpulan logisnya? Ada manusia (Dasein), di sini!

           Memang, cara interpretasi Heidegger atas teknologi seperti di atas lalu dianggap lebih bersifat metafisik. Tetapi, apakah para evolusionis atau bahkan positivis akan menyangkal, bahwa dibalik teknologi selalu terdapat pembuatnya? Teknologi, secanggih apapun, tidak pernah membuat dirinya sendiri, juga tidak mengembangkan dirinya sendiri, bukan? Tekonogi adalah wayang, yang seberapa atraktif pun gerakan dan narasi yang disampaikannya, membutuhkan dalang!


CATATAN AKKHIR

SEBAGAI KESIMPULAN ANTISIPATIF

D

engan pemahaman teknologi seperti di atas, agama data dan tuhan algoritma semata-mata jejak homo sapiens. Maka, kesimpulan yang tak terhindarkan adalah: “agama data dan tuhan algoritma pada hakikatnya manifestasi pemujaan diri homo sapiens, terlebih khususnya, tentu saja para pencipta teknologi.” Sebagai proyeksi, konsepsi agama data merupakan ciptaan para teknolog agar memposisikan diri di puncak piramida kekuasaan masa depan. Kalau demikian, ternyata terdapat arah yang menginisiasi gerakan. Bukankah itu mengingkari nature evolusi yang diklaim buta (bergerak tanpa arah)?

           Homo dues bukanlah homo sapiens, melainkan sekelompok manusia elitis yang menginisiasi dan menjadi pelopor dalam pengembangan teknologi mutakhir, dengan impian besar mengejar kebahagiaan, keabadian, dan keilahian di dunia ini. Teknologi lalu dipersonifikasi sebagai makluk anonim yang disakralkan sebagai ‘penguasa dan tuhan,’ padahal dibalik itu sesungguhnya para teknologlah dalangnya. Dengan demikian, pertanyaan terakhir terjawab; bahwa teknologi bukanlah subyek otonom yang berdiri di luar manusia, lalu mengendalikannya. Manusia atau homo sapiens-lah penguasa atas teknologi, karenanya ia dapat memutuskan arah dan pemanfaatannya. Alasan teknis dari Harari yang menutup pintu bagi intervensi arah teknologi agar tidak mengancam masa depan seharusnya dapat diatasi. Contoh aktual, menghadapi kasus virus corona (covid-19) atau pandemik yang menjangkiti hampir 200 negara telah membuktikan, bahwa manusia seluruh dunia dapat menjalani program penguncian (lockdown) - tinggal di rumah atau setidaknya social distancing selama berjangkit. Bukankah itu menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial lantaran aktivitas-aktivitas perekonomian hampir sepenuhnya terhenti, juga kegiatan sosial yang menjadi ciri hakiki manusia sebagai zon politicon dapat ditunda? Toch, bisa berjalan, bukan?

           Sebagai ‘wahyu dalam kitab suci evolusi’ [12] Homo Deus memberikan gambaran masa depan yang tidak hanya suram melainkan juga gamang. Di satu sisi, ‘homo deus’ ditampilkan begitu digdaya menyingkirkan ‘homo sapiens’ dan Tuhan, lalu mengambilalih kendali atas dunia dan alam semesta. Namun, di sisi lain, kualitas tuhan yang ditawarkan Homo Deus hanyalah ‘serba super’ di atas manusia. Sebuah superioritas tanpa arah, tanpa dimensi ‘untuk apa’, karenanya menjadi ‘multistabilitas’ baik dalam tindak kebaikan maupun keburukan. Ini mungkin implikasi yang tidak penting bagi kaum evolusionis yang tidak terikat dengan nilai-nilai etis. Dalam kendali tuhan macam ini tidak dibutuhkan orientasi etis dan moral sebagai acuan. Meski demikian, perlu juga dipertimbangkan bahwa dunia yang kita hidupi tidak beroperasi semata-mata menurut hukum tunggal evolusi, bukan? Dan, catatan tambahan untuk “kedigdayaan homo deus” telah terbukti juga tidak berdaya dihadapan serangan pandemi covid-19, terbukti dengan kemampuannya menyebar di seluruh negara dan membunuh 13,3 - 16,6 juta orang, (CNBC Indonesia 5 Mei 2022).

           Sebagai bagian dari orang yang berdiri diatas perspektif penciptaan, saya kira para penganut iman tidak perlu terganggu. Toh, tuhan-nya ‘homo deus’ ciptaan teknologi artificial, meski memiliki kualitas-kualitas super melampaui manusia, yang karenanya sangat mungkin menguasai manusia. Namun, para ‘makluk tuhan’ itu lebih mirip para dewa Yunani di Olimpus dengan sifat-sifat khas manusia, hanya saja lebih super. Gambaran tuhan ‘homo deus’ sama sekali jauh dari gambaran agama-agama (khususnya agama Abrahamik) tentang Tuhan personal, dengan kualitas “serba maha baik.” [13] Figur tuhan homo deus tidak bisa menggantikan Tuhan (transenden) yang menjadi model kesempurnaan kebaikan dan cinta kasih. Dibalik misi ‘homo deus’ sesungguhnya terletak motif, “penguasaan sekelompok manusia atas manusia secara keseluruhan, dengan dibantu alat (teknologi).”

           Patut dikhawatirkan adalah implikasi logis dan konsekuensi tindaknya. “Perang antara dewa” menjadi niscaya, dan karena para dewa ini hanya punya kemampuan super tetapi bukan ‘kebaikan super’ maka potensinya terbuka pada proses dehumanisasi, demoralisasi, dan bahkan ke arah saling menghancurkan. Kalau gambaran perang antara para dewa Yunani kuno hanyalah proyeksi manusia tentang fenomena alam seperti halilintar, gempa, badai laut, puting beliung, epidemi, gagal panen, pelangi dan sebagainya, yang sesungguhnya tidak menimbulkan kerusakan dan efek saling menghancurkan, hal ini berbeda sama sekali dengan perang “manusia-manusia dewa”. Di sisi lain perang antara “manusia robot” melawan “manusia organik” juga terbuka lebar disebabkan motif kekuasaan selalu diiringi hasrat primitif untuk menguasai atau mencaplok (homo homini lopus - manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Masihkah dalam dunia masa depan yang dihuni homo deus hal-hal sejenis demokrasi, hak azasi manusia, hak pemilikan pribadi, hak hidup makluk, keseimbangan ekologi, kesetaraan gender dan sejenisnya dibutuhkan? Kalautidak, Dunia macam apa yang akan tercipta?

           Seperti ditekankan tentang perang narasi yang dimenangi Liberalisme, demikian pula HD menggambarkan kemenangan narasi teknologis-evolusionis atas narasi-narasi Penciptaan. Para penganut penciptaan terlalu terpaku pada narasi-narasi antik tanpa upaya mereproduksinya agar ikut menerangi jalan peradaban. Institusi religius masih percaya diri menggunakan lentera berbahan bakar biji kemiri dan kapas di ‘tol peradaban’ yang melaju dengan kecepatan cahaya di kosmos virtual. Kegagalan institusi-institusi religius menghadirkan narasi tandingan menyebabkan kemenangan narasi humanisme-evolusionis tidak terimbangi apalagi tersaingi. Diskusi-diskusi Harari tentang HD dalam berbagai forum publik lebih banyak dimitrakan dengan sesama penganut evolusi, termasuk dengan Richard Dawkins, makin memperkuat narasi evolusionis. Sementara kaum teolog belum muncul ke panggung untuk memberikan perspektif menanggapi HD, sebagaimana misalnya, ketika mereka sengit menghadapi Richard Dawkins lewat karyanya the God Delusion (2006) atau the Grand Designnya Stephen Hawking (2010).

           Lain dari itu, menurut saya cacat nalar Homo Deus terletak pada implikasi logis dan konsekuensi tindaknya. Dengan menyimpulkan bahwa cyborg (cybernetic organism – teori informasi / pengendalian organisme), algoritma, dan data menjadi agama masa depan, terdapat dua cacat nalar sekaligus.

           Pertama, materialisasi manusia dan tuhan. Harari memperlakukan manusia dan tuhan sebagai benda semata, dan menguliknya sebagai obyek bedah sebagaimana halnya mempreteli sebuah tengkorak pitecantropus untuk mendeteksi usia dan konteks historisnya. Dalam filsafat, khususnya Kantian, Tuhan bukan obyek pengetahuan, bahkan bukan obyek karena melamapaui obyek (melampaui Ada). Vitur-vitur kodrati manusia tidak memadai untuk mengetahui Tuhan, namun impian manusia memodelkan kesempurnaan kebaikan mengandaikan adanya sumber utama kesempurnaan, yaitu Tuhan. [14] Demikian juga, manusia bukan obyek tindakan bagi alat, sebaliknya justru subyek yang bertindak. Dalam filsafat fenomenologi sekalipun yang “mensetarakan subyek dan obyek atau pengamat dan amatan” inisiasi muncul dari pengamat yang terlebih dahulu mengarahkan intensionalitasnya.

           Hal lain yang patut diperlihatkan dari argumen HD adalah bahwa menyimpulkan tuhan (sebagai semata-mata fiksi) dalam ruang dan waktu planet bumi, apalagi hanya dalam rentangan 70.000 tahun di ‘ruang waktu kosmik’ bagaikan menyimpulkan semua materi planet dari sebutir debu di tungku dapur. Manusia sendiri juga bukan makluk singular (individu), seperti diperlakukan Harari sebagai obyek. Harari menyebut, “manusia telah mengambil alih kekuasaan gen, mengintervensinya dan meng-upgrade dirinya sendiri.” Dalam pernyataan tersebut, gen seolah diperlakukan sebagai entitas asing yang tidak menubuh. Pun, subyek dalam kalimat itu bukanlah manusia dalam pengertian species bernama homo sapiens, melainkan hanya sejumlah anggota dari species itu. Di sini, penyebutan subyek manusia menyamarkan pelaku yang lebih spesifik dan tertentu.

           Kedua, kesimpulan Harari menjadikan teknologi sebagai subyek, sementara manusia menjadi obyek. Seperti telah dibahas melalui kacamata fenomenologi Heidegger teknologi bukanlah alat, melainkan tertanam (embedded) atau terbingkai dalam kebudayaan. Artinya, teknologi merupakan penyingkapan kebenaran (aletea) yang tak lain ketersingkapan manusia (Dasein) itu sendiri. Dalam hal ini yang tersingkap adalah para teknolog / teknokrat (pembuat teknologi), maka subyektifikasi teknologi sesungguhnya menunjuk pada pembuat teknologi, sementara ‘manusia yang di-obyek-kan’ itu menunjuk manusia lain yang menjadi pengguna teknologi.

           Implikasi lainnya adalah, dari kesimpulan bahwa homo sapiens telah digantikan oleh homo deus, Harari membawa humanisme mencapai puncak baru dalam tangga evolusi. Boleh dikatakan antroposentrime ekstrim, terlihat dalam bangunan argumen dan teori-teori besar yang dipresentasikan Harari memposisikan manusia di ‘pusat tata surya’ sebagai tuhan. Ini hanya wajah lama yang disulap dan didekorasi ulang secara memukau dengan teori-teori terbaru dan hasil-hasil riset aktual dari berbagai bidang keilmuan, terutama sains. Pokok argumen Harari memperkuat posisi sebagai pendukung antropsentrisme (neohumanisme) yang melaju tanpa hambatan di jalur evolusi, sekaligus proklamasi realisasi masyarakat positivis melalui agama data dan tuhan algoritma. Di sini sains positivistik telah mengklaim kemenangannya! [Tamat]. □

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)

 

 Catatan Kaki:

[1] Ini sama sekali tidak berarti tools Pemikiran Kritis tidak memiliki cakupan memadai untuk melakukan asesmen terhadap sebuah bangunan nalar. Alasan lebih teknis adalah karena saya ingin membuat pembahasan yang lebih terukur terkait “hubungan manusia dan teknologi” yang menjadi pijakan Harari mencapai kesimpulan HD, yaitu “teknologi akan segera mengambil kendali dan menguasai manusia.” Pada tools Pemikiran Kritis, persoalan ini bisa ter-ases dalam elemen point of view dan assumptions, namun pembahasan akan terbatas.Untuk membuat ulasan lebih memadai dibutuhkan reflesksi filosofis.

[2] “Like it or not, we are members of a large and particularly noisy family called the great apes. Our closest living relatives include chimpanzees, gorillas and orang-utans. The chimpanzees are the closest. Just 6 million years ago, a single female ape had two daughters. One became the ancestor of all chimpanzees, the other is our own grandmother.”

[3] https://astrobiology.nasa.gov/news/looking-for-luca-the-last-universal- common-ancestor (diakses 12/08/2019)

[4] Posisi ini bisa dimengerti, dalam pengertian sebaiknya menjadi tugas mereka yang memiliki kompetensi dan spesialisasi pada bidang-bidang dimaksud. Seharusnya tokoh-tokoh agama, atau saintis teistik, atau para guru filsafat yang bediskusi dengan Harari untuk memberikan sudut pandang yang memadai terkait bidang-bidang yang terkait dalam analisis Harari.

[5] Halaman 336: “Homo sapiens is an obsolete algorithm. After all, what’s the advantage of humans over chickens? Only that in humans information flows in much more complex patterns than in chickens. Humans absorb more data, and process it using better algorithms.”

[6] Sayangnya, Harari tidak membahas, betapa kesuksesan memperpanjang usia manusia membawa konsekuensi munculnya beban baru terkait jumlah usia non produktif (seperti di Jepang). Betul, bahwa robot-robot telah diciptkan untuk membantu melayani para lansia itu, tetapi apakah itu memiliki dampak positif yang lebih besar atau sebaliknya?

[7] Dalam sebuah kuliahnya, Harari mengatakan, “bila saya (manusia) dan seekor simpanse dilepaskan di sebuah pulau kosong tak bepernghuni, saya yakin simpanse akan lebih kuat bertahan daripada saya.” Melalui pernyataan itu, Harari hendak menjelaskan bahwa tanpa kemampuan mengorganisir komunitas, manusia termasuk makluk yang sangat lemah secara individual. Harari bahkan menegaskan bahwa 70.000 tahun lalu, manusia hanya makluk lemah dan tak menonjol sama sekali seperti seekor ubur-ubur.

[8] Dataism religion dibahas secara khusus dalam bab 11, yang antara lain menjelaskan dataism sebagai berikut: “The universe consists of data flows, and the value of any phenomenon or entity is determined by its contribution to data processing.” (hal. 367)

[9] Halaman 50: “When people realise how fast we are rushing towards the great unknown, and that they cannot count even on death to shield them from it, their reaction is to hope that somebody will hit the brakes and slow us down. But we cannot hit the brakes.”

[10] Kedua alasan itu adalah, pertama: tidak ada yang tahu dimana letak rem untuk diinjak. Kedua; bila pun diketahui dan dilakukan akan menimbulkan keruntuhan ekonomi dunia dengan risiko yang besar.Ibid.

[11] Di sini kita bisa pahami kritik Max Weber sebagai instrumental rationality, yaitu ketika rasionalitas memuncak di teknologi, lalu seolah berarti berakhirnya rasionalitas. Teknologi sebagai wujud ‘rasionalitas’ sangat tergantung pada sekuens sebab-akibat (depends on the causal sequences or “if–then.”) Para penganut teori kritis seperti Herbet Marcuse, Habermas melanjutkan pemikiran Kant, Hegel, Marx, yang menentang instrumentasi rasionalitas (rasionalitas teknologi). Marcuse, misalnya akan mengganti atau membatasi rasionalitas instrumental dengan rasionalitas dialektik atau filosofis, bahkan mungkin mengganti sains dan teknologi tradisional dengan sains dan teknologi “terbebaskan” baru yang melayani nilai-nilai kemanusiaan. Lihat: Dusek, Val (2006). Philosophy of Technology, an Introduction, Blackwell Publishing. hal. 57-60.

[12] Harari nampak cukup rendah hati menghindari diposisikan futuristik. Ia mengakui hanya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan masa depan berdasarkan capaian-capaian dan obsesi homo sapiens sejauh ini yang diwakili para teknolog dan triliuner dunia.

[13] Pada hal.47 Harari memberi gambaran terang tentang homo dues: “keilahian bukankah kualitas metafisik yang samar. Dan, ia tidak sama dengan kemahakuasaan. Ketika berbicara tentang memperbaharui manusia menjadi tuhan, cobalah pikirkan dengan pemahaman tentang dewa-dewa Yunani atau Hindu, bukan Bapa di surga yang mahakuasa ala Injil. Keturunan-keturunan kita masih akan memiliki kelemahan-kelemahan, kekakuan-kekakuan, dan keterbatasan-keterbatasan, sebagaimana dimiliki Zeus dan Indra. Namun mereka bisa mencintai, membenci, menciptakan, dan menghancurkan dengan kekuatan yang jauh digdaya ketimbang kita.

[14] Dalam karyanya 21 Lessons for the 21st Centuries, Harari “mengkampanyekan” Secularism (Bab 14) sebagai satu dari ke-21 lessons, yang menurutnya dapat memprovidensi semua perangkat etis misalnya soal kebenaran, kebaikan, saling menolong dan sebagainya, tanpa sekat seperti terdapat dalam agama. Providensi itu membuat manusia tidak membutuhkan Tuhan. “Kalau orang saling berbuat baik, itu karena secara rasional bermanfaat bagi kebaikan bersama, bukan karena seorang kakek berjenggotsedang memandang dari atas sana mencatat semua tindak tanduk kita untuk memberi pukulan atau hadiah,” demikian kira-kira argumentasinya.

  

Kepustakaan:

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/15/115000120/5-hal-soal-buku-homo-deus-buku-yang-ramai-dibahas-di-twitter?page=all

https://mitimahasiswa.id/bedah-buku-homo-deus/

https://mediaindonesia.com/humaniora/111954/homo-deus-sinar-terang-yang-muram

https://ibtimes.id/homo-deus-ketika-manusia-menjadi-tuhan/

file:///C:/Users/afmar/Downloads/wtherik,+Manajer+Jurnal,+06.+Resensi+Buku-Homo+Deus.pdf   

Bedah Buku Homo Deus (III)


 

HOMO DEUS: IMPLIKASI LOGIS

DAN KONSEKUENSI TINDAKNYA


Narasi Pembuka

H

omo Deus - A Brief History of Tomorrow (2016) merupakan satu dari trilogi Sapiens karya sejarawan berkebangsaan Israel, Yuval Noah Harari, professor Sejarah di the Hebrew University of Jerusalem. Karena ketiga karya tersebut saling terkait, ada baiknya saya menyebut juga dua karya lainnya, yaitu Homo Sapiens (2014) dan 21 Lessons for the 21st Century (2018). Ketiga buku ini membahas evolusi manusia (homo) berspesies sapiens (bijak) melalui tiga revolusi, diawali revolusi kognitif (70.000 tahun lalu), revolusi agrikultural (12.000 tahun lalu) dan revolusi sains (diawali sejak 500 tahun lalu). Kalau Homo Sapiens (sebagai karya terdahulu) membahas masa lalu manusia sapiens yang menyerobot dari antara berbagai spesies kehidupan dan menempatkan diri sebagai pemenang di puncak evolusi, maka Homo Deus (karya kedua) membahas masa depan ‘kepunahan’ Homo sapiens. Sementara trilogi terakhir yaitu 21 Lessons membahas masa kini-nya Homo sapiens, dimana teks (narasi) sebagai penuntun perjalanan sejarah makluk ‘bijak’ ini. Kemampuan mencipta narasi membuat homo sapiens mengungguli homo lainnya karena dengan itu Homo sapiens dapat mengkonsolidasi kelompok besar menjadi kekuatan untuk menghadapi makhluk lain.

           Meski unggul atas berbagai spesies, termasuk atas sesama homo lainnya, sapiens tidak berdaya dihadapan bentuk ancaman ‘alami’ lainnya. Sampai permulaan revolusi sains, Homo sapiens takluk pada tiga ancaman potensil sepanjang masa yang selalu mencengkeramnya, yaitu kelaparan, wabah penyakit, dan peperangan. Selama masa mencekam itu manusia telah berdoa kepada berbagai jenis tuhan, namun tidak pernah ada jawaban yang membantunya mengatasi satu pun ancaman. Revolusi sains perlahan-lahan membawa manusia kepada solusi, yang membuatnya sukses mengatasi ketiga musuh bebuyutan tersebut hingga tingkat yang minimal. Tetapi, setelah sukses tersebut sains membawa manusia terus bergerak lebih jauh meraih impian-impian barunya, yaitu kebahagiaan, keabadian, dan keilahian. Optimisme meraih impian baru itu membuat homo sapiens bermetamorfosa menjadi homo deus.

           Sebagai sejarawan, Harari membuat catatan reflektif dan retrospektif atas perjalanan evolusi Homo sapiens di masa lalu, kini dan masa depan. Hingga seratus ribu tahun lalu bumi masih dihuni sejumlah jenis manusia (species homo), antara lain homo Australopitecus (sejak 5 juta tahun lalu), homo Drylestes (150 juta tahun lalu), homo Erectus (1 juta tahun lalu), homo Soloensis (sekitar 1 juta tahun lalu), homo Floresiensis (sekitar 74-17 ribuan tahun lalu), homo Neandertalensis (40 ribu tahun lalu), dan lainnya. Dalam perjalanannya, homo sapiens berhasil menaklukkan ‘sepupu-sepupunya’ yang lain itu sehingga menjadi penguasa tunggal atas segala makluk bumi.

Tools Untuk Membedah

           Berakhirnya homo sapiens ditangan homo dues (HD) merupakan inti dari buku ini. Tepatnya lagi, transformasi homo sapiens ke HD menjadi pesan utama, terlepas dari persoalan apakah itu kabar baik atau kabar buruk. Pembedahan ini tidak dalam kerangka itu, melainkan menelisik konstruksi nalar karya HD, asumsi-asumsi filosofis dibaliknya, serta implikasi logis dan konsekuensi tindaknya.

           Saya akan menggunakan dua alat bedah. Pertama; Pemikiran Kritis (critical thinking) model Paulian untuk memperlihatkan konstruksi nalar HD. Pemikiran kritis Paulian memiliki setidaknya 25 alat kelengkapan untuk membedah “organ-organ penalaran,” yang terdistribusi dalam tiga domain, yaitu Elements of Reasoning (EoR), Universal Intellectual Standar (UIS), dan Intellectual Traits/Virtues (IT). EoR mencakup delapan aspek asesmen kritis antara lain, Point of View, Purpose, Assumption, Information (fact & evidence), Conclusion dan Implication. Sementara, UIS mencakup setidaknya sembilan elemen antaralain kedalaman (depth), keluasan (breath), logicalness, akurasi dan persisi. Unsur-unsur IT antara lain, intellectual humility, integrity, courage, dan fair-mindedness. Ketiga domain terintegrasi dalam kesatuan tindak, dimana UIS diterapkan pada EoR untuk membentuk IT. Namun, saya hanya menggunakan beberapa elemen terpilih, dengan memberi tekanan pada implikasi dan konsekuensi tindaknya.

           Tools pemikiran kritis nampaknya belum cukup mengurai organ inti lainnya yang menjadi penopang utama HD, yaitu ’teknologi’ yang diprediksi oleh Harari menjadi tuhan masa depan dalam kolaborasi dengan manusia sapiens. [1] Itulah sebabnya, saya membutuhkan alat bedah lain, yaitu ‘filsafat teknologi’ untuk memotret hubungan esensial antara homo sapiens dan teknologi. Lewat itu hendak diungkap seberapa erat homo sapiens terikat pada teknologi dan prospeknya menuju realisasi HD seperti diprediksi Harari “akan mengakhiri homo sapiens.” Pertanyaan kritis lain yang ingin dijawab lewat alat bedah ini adalah, apakah teknologi (menjadi tuhan) yang mengendalikan manusia, atau sebaliknya? Keduanya memiliki implikasi logis dan konsekuensi tindak yang diametrikal (berseberangan), dan terutama karena HD sudah tegas berposisi pada yang pertama.

Elemen-Element CT

           Elemen pertama yang perlu diperiksa adalah perspektif atau Point of View. Tujuannya untuk menyingkap titik-pijak filosofis yang menjadi fokus atau dasar membangun proyek megah HD. Umumnya, dalam tradisi intelektual, para ilmuan terkategori dalam dua posisi, yaitu sebagai penganut teori penciptaan atau pengikut teori evolusi. Kubu pertama mengasumsikan adanya titik awal ruang waktu, yang dengan demikian mengandaikan adanya penciptaan. Setidaknya, ada ‘ruang’ bagi narasi penciptaan. Dalam narasi ini kehidupan bergerak dan digerakkan oleh telos (tujuan) tertentu yang memberi orientasi. Kubu satunya lagi berpijak pada keyakinan filosofis bahwa ruang waktu tidak berawal dan tidak berakhir yang sepenuhnya digerakkan oleh hukum evolusi. Kehidupan bermula dari sebuah bakteri yang terus menerus berevolusi dalam rentang waktu kosmik, bertransformasi dari yang paling sederhana (sel tunggal) menjadi ragam makluk dan tumbuhan hingga mencapai yang paling rumit. Evolusi tidak memiliki tujuan atau araht ertentu melainkan terus bergerak berdasarkan hukum alam. Pun, evolusi tidak mengenal nilai baik, buruk, benar, salah, atau atribut lainnya terkait moral. Evolusi bergerak seperti “makluk buta.”

           Harari berpijak pada posisi kedua, yang secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora dikenal sebagai Darwinisme Sosial. Perspektif evolusi menjadi nadi terlihat dari semua bangunan argumentasinya, antara lain bisa ditunjukkan pada kutipan berikut:

“Suka tidak suka, kita adalah anggota dari famili besar dan sangat berisik yang disebut kera besar. Kerabat terdekat kita yang masih hidup antara lain simpanse, gorila, dan orang utan. Simpanse adalah yang terdekat. Hanya enam juta tahun lalu satu kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi nenek moyang simpanse, satu lagi menjadi nenek buyut kita.” (Homo Sapiens, 2011: 13) [2]

           Para penganut evolusi juga meyakini, bahwa di suatu waktu, sekitar 4 milyar tahun lalu, semua makluk di bumi memiliki nenek moyang yang sama, yang disebut LUCA (Last Universal Common Ancestor). LUCA adalah sebuah mikroba primitif, yang metabolismenya tergantung pada hidrogen, karbon dioksida, dan nitorgen yang mengubahnya menjadi senyawa organik. Mikroba bersel tunggal inilah yang diyakini sebagai awal dari garis keturunan panjang yang merangkum semua kehidupan di Bumi. [3]

           Melalui sudut pandang seorang “Sejarawan Evolusionis” Harari sangat menguasai angel (sudut bidik), kerumitan tekstur dan ketajaman warna untuk menampilkan potret eksotik homo deus. Namun, dibalik kemegahan bangunan narasi HD, ia mengabaikan banyak sudut pandang, seperti filsafat, metafisika dan, tentu saja agama. Benar, bahwa sudutsudut pandang itu ikut dibincangkan, yaitu dengan mengambil ‘potongan potongan gelap’ untuk dijadikan latar ekstrim demi mempercantik tampilan HD, dan bukan membahas kekayaan sudut-sudut pandang itu secara substanstif-eksistensial [4] untuk berdialektika. Hal kedua yang bisa dibahas melalui ‘kacamata kuda evolusi’ adalah, semua argumen dan kesimpulan dalam buku ini dibangun diatas dasar keyakinan bahwa manusia adalah hewan, makluk biologis semata, sama dengan hewan lainnya, tidak lebih. Harus dicatat, bahwa Harari menjadi pejuang kesetaraan hak antara semua makhluk hidup. Dengan kedalaman itu, perspektif HD mendasarkan asumsi filosofisnya di atas ketiadaan metafisika dan absurdnya ‘realitas religius.’ Dengan kata lain, HD memilih lawan tanding yang tidak dihadirkan di panggung debat, kecuali secara in absentia sambil meyakinkan pembaca betapa tidak tertandinginya HD.

           Elemen CT lainnya adalah konsep. Homo deus merupakan konsep kunci yang menjadi jantung pembahasam buku ini, dengan menambahkan konsepkonsep pendukung lainnya yaitu teori evolusi, humanisme dan AI. Konsepkonsep tersebut merupakan empat teori besar yang dieksplorasi secara kaya melalui pembahasan literatur yang teliti.

           Sebagai evolusionis, Harari mengkonsepsikan pengkajian dengan ‘pisau analisis evolusi’ memperlakukan sejarah sebagai sesuatu apa adanya, dan bukan bersifat linear. Capaian-capaian homo sapiens (yang menjadi subyek sekaligus kambing hitam) semata-mata ‘bentangan datar’ sebuah lembar narasi, tanpa intensi mengatribusi titik start sebagai lebih rendah secara kualitatif daripada ujungnya. Sebagaimana evolusi, sejarah bergerak tanpa arah, tanpa tujuan, kecuali bahwa “kita telah ada di sini,” dan “nampaknya kita akan ke sana.” Di sini dan di sana tidak memiliki perbedaan level kualitas tertentu, hanya mencerminkan perbedaan tekstur dan kronologis.

           Lain dari itu, penulis meyakini sejarah sebagai ‘panggung tunggal homo sapiens’ yang awalnya berkonspirasi dengan tuhan (dan agama-agama bertuhan lewat ‘kesepakatan agrikultur’), tetapi kemudian melalui revolusi sains tuhan disingkirkan. Sebagai penguasa tunggal, homo sapiens pun mengejar takhta tuhan, menyingkirkannya lalu menjadi tuhan (homo deus) semata-mata karena memiliki kapasitas gigantik penguasaan data.

           Evolusi sejarah juga merupakan sebuah ‘pertarungan narasi’ diawalnya. Terkaparnya berbagai spesies lain di tangan hewan bijak (homo sapiens) merupakan hasil dari keunggulan menata narasi. Sebagaiamana halnya Soeharto di era Orde Baru mencengkram tahkta kekuasaan selama 30-an tahun dengan berpagut pada selembar narasi buta bernama SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), demikianlah homo sapiens mengawali dengan narasi-narasi tutur mitos, lalu fiksi tersurat bernama kitab suci, kemudian berkembang ke fiksi agama, negara,ideologi, keuangan, dan sebagainya. Narasi-narasi ini membantu mengkonsolidasi soliditas homo sapiens dalam jumlah sangat besar sehingga membangun kekuatan superior yang tak terdandingi mahkluk manapun. Tetapi, masa depan tidak lagi membutuhkan narasi fiktif macam itu, melainkan data. Karenanya, pertaruangan masa depan adalah penguasaan data. Itulah sebabnya dataisme menjadi agama masa depan, agama-nya homo dues.

           Harari juga melandaskan premis-premis dan analisisnya diatas sikap atau keyakinan mendasar (filosofis) pada “kesetaraan ekologis.” Manusia (homo sapiens) tidak seharusnya mengklaim secara sepihak diri (spesiesnya) sebagai ‘makhluk istimewa’ yang melegitimasi hak vetonya atau “hak berkuasanya” atas eksistensi makhluk lain. Yang membedakan manusia dengan ayam (misalnya), hanyalah pada kapasitas penyimpan data; tidak lebih tidak kurang. Namun, dibalik sikap rendah hati (intellectual humility) ini, Harari mereduksi manusia pada sekadar kapasitas penyimpan datanya, tidak lebih. [5]

           Penggunaan informasi-informasi pendukung sangat memadai, akurat, dan aktual. Antara lain data terbaru evolusi, antropologi, AI dan berbagai hasil ekperimen terkait kesadaran, ragam eksperimen sains dan bioteknologi seperti robot nano bakteri dan virus, dan sebagainya. Secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut:

1.     Berbagai data pembanding yang menunjukkan bahwa masalah kelaparan, wabah, dan perang telah sukses ditangani manusia sehingga bukan lagi ancaman sebagaimana ratusan tahun lalu. Meski belum sepenuhnya bisa dihilangkan, dengan bantuan sains dan teknologi telah terbukti dapat dikendalikan oleh manusia sehingga ketiganya tidak lagi menjadi momok menakutkan. [6]

2.    Penelitian terbaru yang membuktikan bukan hanya manusia yang memiliki kesadaran, melainkan juga makhluk lain. Percobaaan terhadap monyet, tikus, burung, simpanse, kuda dan lainnya dikonfirmasi dalam Deklarasi Cambridge 2012 kemudian diikuti Amandamen UU di Selandia Baru, lalu Kanada yang mengakui hewan memiliki nyawa (kesadaran) (Hal.140-145). Bukti-bukti penelitian ini mendukung argumen Harari bahwa manusia bukanlah species istimewa diantara species lainnya, kecuali bahwa manusia punya kemampuan mengorganisir kelompok besar itulah yang membuatnya mampu mengungguli hewan mana pun. [7] Hal lain yang ingin dibuktikan misalnya impian akan kebahagiaan tidak terletak pada sesuatu di luar sana, jauh di Surga misalnya, melainkan dapat dipicu di sebuah titik yang tepat dalam kesadaran (neuron), karenanya bisa dialami di sini, sekarang, di dunia!

3.    Algoritma dan big data sebagai tuhan dan agama baru yang ‘lebih mengerti’ selera dan kebutuhan manusia daripada manusia itu sendiri, serta penciptaan robot-robot cerdas berukuran nano yang dapat membunuh bakteri-bakteri dan virus dalam tubuh yang membahayakan kehidupan. Termasuk didalamnya, manusia cyborg (cyber organism) yang merupakan ‘perkawinan’ manusia dan teknologi. Sukses ini membuktikan peran Tuhan tidak lagi dibutuhkan, karena keinginan, harapan, dan penyakit dapat diatasi secara teknis dengan teknologi. Manusia akhirnya dimungkinkan hidup abadi (dan tetap muda) sebab intervensi gen dapat meregenerasi sel-sel, dan robot-robot nano yang disuntikkan membunuh virus dan bakteri yang berpotensi membahayakan organ-organ dalam tubuh sebelum sempat beroperasi.

4.    Berbagai penelitian dan data yang menunjukkan bahwa evolusi telah diatasi dan digantikan oleh intervensi intelegensia, narasi inter subyektifitas atau narasi ideologis yang mengalahkan narasi sains sehingga merusak ekosistem dan tatanan iklim, dst (hal 173-174). Di sini sebenarnya mau dibuktikan adalah evolusi dipercepat menjadi revolusi, sehingga semua impian masa depan tidak lagi dipasrahkan pada kerja evolusi yang lamban melainkan diintervensi sehingga lebih cepat.

           Ada baiknya membahas juga elemen Inferensi /Kesimpulan. Dengan menggunakan hasil-hasil penelitian termutakhir dan eksperimen berbasis teknologi, Harari memiliki fondasi kokoh membangun argumen menjawab purpose (tujuan) dan questions (masalah) yang dibahas dalam buku ini. Secara sederhana formulasi purpose Harari adalah menjelaskan perjalanan sejarah homo sapiens dalam tiga tahap revolusi, dengan penekanan pada revolusi sains yang mengantar Homo Deus ke takhta kuasa menggantikan posisi homo sapiens.

           Dengan demikian, permasalahan (Questions) yang ingin dibahas adalah bagaimana perjalanan homo sapiens dari ‘sekadar’ sejenis hewan primata yang sama dengan hewan lainnya, sukses mengatasi ketiga ancaman kehidupan, lalu bertransformasi menjadi homo deus?

           Harari mencapai kesimpulannya (inference) secara meyakinkan, dengan dukungan data dan argumentasi yang kaya. Namun, tidak berarti tidak ada ruang untuk diskusi.

           Pertama: dengan mengabaikan arah perkembangan homo sapiens dalam tarikan kemajuan tanpa disadari juga mengabaikan ‘fakta rekam jejak historis.’ Bertitik tolak dari ‘tingkat narasi primitif’ dengan bangunan insting ke penciptaan bahasa sederhana, lalu ke kitab suci dan narasi sains bagaimana pun telah menggambarkan semacam tren kemajuan dari sudut pandang ‘kualitas narasi’ baik secara substantif-kualitatif maupun kuantitatif. Kenyataan itu tidak dapat dipahami sekadar sebagai kronologi yang mencatatkan urutan even, melainkan sebuah pergerakan kualitatif yang memungkinkan cakupan konsolidasi komunitas semakin luas. Homo sapiens tidak lagi terkotak-kotak pada lingkup kesukuan, nasionalitas, religiusitas, tetapi bahkan dapat mengorganisir diri melampaui semua itu lalu mengacu narasi baru bernama kemanusiaan.

           Kedua: Harari juga menyimpulkan bahwa Homo Deus bukanlah sebuah prediksi ilmiah, melainkan kemungkinan logis berdasarkan capaian-capaian homo sapiens saat ini. Teknosains telah membantu manusia melakukan terobosan-terobosan tak terduga dan mencapai kemajuan menjanjikan menuju keniscayaan mencapai ketiga impian baru homo sapiens, yaitu kebahagiaan, keabadian dan keilahian. Disamping sifatnya yang spekulatif, pencapaian itu tidaklah dalam pengertian denotatif. Keabadian, kebahagiaan dan keilahian yang dikejar itu bersifat relatif dan terbatas, dibandingkan, misalnya dengan keabadian dalam ajaran agama yang sifatnya kekal tiada akhir. Abadi dalam pengertian sebenar-benarnya. Tidak hanya relatif, capaian itu juga bersifat kontingen dalam artian tergantung pada hal-hal diluar makna itu. Misalnya, sifat keilahian itu melekat hanya ketika kapasitas data sangat berlimpah sedemikian sehingga menjadi sumber yang memprovidensi ‘segala kebutuhan data’ warga homo deus. Jenis kebutuhan diluar data tidak dapat disediakan oleh keiliahian homo deus.

           Ketiga: tersingkirnya tuhan (narasi kitab suci) oleh narasi sains. Tuhan tidak lagi relevan, karena homo sapiens dengan capaian-capaian teknologis telah membawanya ke takhta kuasa tuhan itu sendiri. Homo sapiens tidak saja sukses menyingkirkan tuhan dari sejarah, melainkan bertransformasi menjadi tuhan. Di sini homo deus tidak lain puncak dari impian humanisme modern, sebuah capaian yang, sekali lagi, tidak sekadar kronologis melainkan kualitatif dengan arah yang bisa diprediksi, bukan? Dengan kata lain, HD mengandung kampanye neohumanisme, pada saat yang sama memperjuangkan kesetaraan makluk?!

Apa implikasinya? Implikasi yang paling nampak adalah punahnya tuhan. Bila tuhan yang dipunahkan itu dipahami dari sudut pandang filsafat Nietzsche, maka sains (dengan narasi tunggalnya) sesungguhnya menjadi tuhan baru. Artinya, tuhan tidak punah melainkan digantikan. Ini implikasi logis dari analiasis ‘sejarah species evolusi,’ tetapi tentu akan memberi implikasi paling luas pada etika dan agama. Dengan cara pandang ‘kepunahan tuhan’ HD tidak membawa manusia kepada nihilisme Nietzschean, melainkan hanya pergantian posisi dengan tuhan lain bernama sains dan bawaannya seperti algoritma, data, dan sejensinya.Bisa juga disimpulkan bahwa kesimpulan Harari tentang agama data dan tuhan algoritma merupakan puncak capaian positivisme, yang memang ‘mengideologikan’ data material sebagai ukuran kebenaran. Dengan demikian, HD ingin membuktikan kebenaran positivisme, bahkan menggenapi idealisme pembentukan masyarakat positivist. Harus diingat, bahwa dataisme adalah positivisme!

           Akhirnya, seperti kegalauan Nietzsche menghadapi krisis psikologis pasca membunuh tuhan, demikian pula manusia menjadi robot-robot tanpa nurani etispasca ‘membunuh homo sapiens.’ Itulah implikasi yang paling gamblang. Dengan mereduksi manusia dan makhluk lain sebatas pada ‘kapasitasnya menyimpan data, [8]’ individu-individu yang tidak ‘melek data’ dapat disingkirkan dari ‘surga data’ dalam obsesi Harari. ‘Surga’ adalah kelimpahandata sementara “dosa dan neraka” adalah ketiadaan data. Makna seorang individu diukur dari kemampuan dan loyalitasnya mempersembahkan data kepada ‘tuhan data,’ sementara yang tidak akan dianggap memberontak terhadap tuhan. Di sini manusia masa depan ala HD mengalami defisit atau penciutan habis-habisan, termasuk kehilangan keunikan individualistiknya sebab tersedot dalam universalitas dunia (kosmologi) data. Lain dari itu, struktur sosial (sistema klas) akan mengalami rekonstruksi, dimana para penguasa data/teknologi menempati puncak piramida, sementara tuna teknologi akan tergeletak di dasar. Kolaborasi penguasa teknologi dan pemilik modal yang memiliki ambisi yang sama pada citacita baru homo sapiens akan menciptakan sebuah kelas sosial baru yang super kuat karena menempatkan diri sebagai tuhan, dalam dunia baru yang dibangunnya dimana Tuhan (transenden) telah disingkirkan. Penyingkiran Tuhan dengan sendirinya juga menyingkirkan pengikut-Nya, sebab dunia baru homo dues merupakan dunia tanpa Tuhan: melainkan dunianya para tuhan sebagaimana diwakilkan oleh sebutan itu (homo deus = manusia dewa).

           Bersikap kokoh pada fatsun evolusi, Harari menegaskan bahwa ia tidak sedang memberi arah pada sejarah. Tetapi ini bisa juga dipandang sebagai bentuk cuci tangan atas konsekuensietis moral yang kemungkinan ditimbulkannya. Bukankah sejarah juga telah menunjukkan banyaknya capaian justru diarahkan oleh fiksifiksi yang bersumber dari fantasi liar para pioner peradaban? Saya menduga, Harari menyadari konsekuensi ini karenanya ia mencoba cuci tangan dan membersihkan diri. Tetapi, mengapa ia memerlukan itu? Konsekuensi etis yang paling serius adalah lenyapnya nilai-nilai khas manusia yang menjadi fondasi bagi terbangunnya tatanan dan tertib social. Artinya, manusia jatuh ke dalam nihilisme, atau semacam nilai baru yang direkontruksi dimana ‘tuhan teknologi’ sebagai sumber baru. Dan itu berarti manusia sepenuhnya telah menyerahkan diri ke haribaan teknologi, menyembah dan menjadikannya pusat orientasi kehidupan. Menurut saya, pola ini tidak berbeda dengan era dimana manusia menyembah patung-patung berhala buatan tangannya. Yang membedakan, tentu saja “patung buatan para nabi lembah Silicon”lebih powerful, automatisasi, dan beroperasi dalam skala gigantik. Peradaban akhirnya berputar kembali ke era ‘primitif’ ketika manusia belum mengenal Tuhan langit sehingga menyembah obyek kasat mata. [Bersambung].□ AFM

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)

 


Bedah Buku Homo Deus (II)

 


HOMO DEUS, SINAR TERANG YANG MURAM

B

uku pertama Harari, Sapiens - A Brief Histoy of Humankind (2014), setelah diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris, langsung melejit masuk daftar perbukuan dunia papan atas. Dalam usia yang relatif muda buat ukuran sejarawan, Harari kemudian menjadi a popular sage, seorang Alvin Toffler untuk era digital - Alvin Toffler (1928 – 2016) adalah seorang penulis, pengusaha, dan futurolog Amerika. Ia dikenal karena penelitiannya tentang efek sosial dari teknologi modern, termasuk penelitian tentang revolusi digital dan komunikasi. Sekuel Sapiens dengan judul yang tak kurang menarik, Homo Deus - A Brief History of Tomorrow. Harari tampaknya akan mendulang kesuksesan sekali lagi.

Kekuatan Harari dalam buku ini masih terjaga sintesis dan integrasi, dengan gaya bercerita yang terang, mengalir, cerdas. Sayangnya, berbeda dengan buku sebelumnya Sapiens - A Brief History of Tomorrow, Homo Deus menyampaikan perkembangan yang lumayan kelam, cenderung distopian, dengan spekulasi terlalu jauh.

Profesor muda di Universitas Hebrew ini ialah seorang penulis dengan bakat besar. Dalam melakukan sintesis dan integrasi, Harari mengumpulkan begitu banyak temuan yang berserakan di berbagai disiplin ilmu, menyatukannya dari sebuah sudut yang kerap tak terduga. Tidak mengherankan jika Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi 2002, berkata bahwa Harari ialah seorang penulis yang sanggup ‘menghibur, mengejutkan, memberi cara pandang yang belum terpikirkan sebelumnya’. Dalam hal yang terakhir ini, misalnya, sejak halaman-halaman pertama Homo Deus, kita sudah diberi woro-woro (belum confirm, tapi sudah mengumumkan) yang penuh gusto (penuh semangat). Sepanjang sejarah, manusia menghadapi tiga persoalan fundamental, yaitu kelaparan, penyakit, dan perang.

Sekarang kelaparan memang masih ada, tetapi jumlah orang meninggal karena obesitas sudah jauh lebih besar. Perang demikian pula: “Di tahun 2012 perang menewaskan 120 ribu orang, sementara angka bunuh diri sudah mencapai 800 ribu orang.” Mesiu dan agresi kini bertukar tempat dengan melankoli dan depresi sebagai faktor penyebab kematian homo sapiens dalam jumlah besar. Masih dalam bagian awal pula, Harari menjelaskan setelah berhasil mengatasi ketiga persoalan fundamental tadi, manusia kini menetapkan sebuah agenda besar yang lebih berani lagi. Katanya: Humanity's next targets are likely to be immortality, happiness and divinity...We will now aim to overcome old age, and even death itself... And having raised humanity above the beastly level of survival struggles, we will now aim to upgrade human into gods, and turn Homo sapiens into Homo deus.” - “Target umat manusia selanjutnya kemungkinan besar adalah keabadian, kebahagiaan, dan keilahian... Kami sekarang akan bertujuan untuk mengatasi usia tua, dan bahkan kematian itu sendiri... Dan setelah mengangkat umat manusia di atas tingkat perjuangan bertahan hidup yang mengerikan, kami sekarang akan bertujuan untuk meningkatkan manusia menjadi dewa, dan mengubah homo sapiens menjadi homo deus.”

Walaupun Harari menyajikan banyak hal menarik dalam menjelaskan semua itu, konsepsi dasar yang menjadi penopang buku ini sesungguhnya relatif sederhana, yaitu otak dan kemampuan kognisi manusia yang terus berkembang tanpa batas. Konsep ini sebenarnya juga melandasi buku sebelumnya (karena itu, bagian pertama Sapiens adalah The Cognitive Revolution).

Dalam Homo Deus, konsep ini menjadi lebih eksplisit dan lebih terinci, dibahas persinggungannya dengan banyak elemen peradaban lainnya, seperti agama, negara, sistem ekonomi, serta bagaimana ia -kemampuan kognisi manusia - berubah dalam dirinya sendiri.

Otak dan perkembangan kognisi, di sinilah kita harus memperhatikan lebih seksama penjelasan Harari, memisahkan yang pokok dari cerita kembangan (rangkaian penguraiannya) yang menghanyutkan.

Pada intinya adalah ini, dalam mengejar agenda besar tadi, menurut Harari, manusia harus semakin bersandar pada ilmu dan teknologi baru, khususnya biologi dan ilmu komputer, beserta berbagai cabangnya seperti ilmu saraf, life sciences, dan artifical intelligence (kecerdasan buatan).

Semakin berkembang, ilmu-ilmu baru ini akan semakin menyingkap tabir yang selama ini masih misterius, yaitu cara kerja otak manusia, proses berpikir dan mekanisme subjektifitas manusia (perasaan, jiwa, kesadaran).

Inilah yang Harari sebut sebagai the Sapiens black box.

Singkatnya, karena tuntutan riil, manusia mulai membuka mahkotanya sendiri yang selama ini masih berupa misteri. Sejauh ini, apa yang mereka temukan di sana? They discovered there neither soul, nor free will, nor self - but only genes, hormones and neurons that obey the same physical and chemical laws governing the rest of reality.” - “Mereka menemukan di sana tidak ada jiwa, atau kehendak bebas, atau diri - tetapi hanya gen, hormon, dan neuron yang mematuhi hukum fisik dan kimia yang sama yang mengatur realitas lainnya.” Perhatikan anak kalimat terakhirnya: “...mengikuti hukum-hukum fisika dan kimia yang selama ini juga mengatur realitas di sekeliling kita.”

Sistem kognitif Homo Sapiens

Algoritma yang digunakan Google dan Amazon sesungguhnya sama dengan algoritma yang terjadi dalam sistem kognitif Homo sapiens setiap kali manusia berpikir atau mengambil keputusan sehari-hari. Bedanya hanya pada kompleksitas, tidak lebih.

           Namun, masalahnya ialah persoalan teknis semata. Semakin ilmu berkembang, semakin perbedaan ini akan teratasi - bahkan sekian tahun silam, komputer IBM, Deep Blue, sudah sanggup mengalahkan grandmaster catur terkemuka, Garry Kasparov.

           Pada suatu titik, kemampuan algoritma dalam komputer dan life sciences akan berkembang sedemikian rupa sehingga melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan, bukan hanya di meja catur. Apalagi, internet kini semakin terhubung dalam berbagai perangkat digital serta membentuk sebuah sistem yang populer disebut ‘internet of things’ (IoT).

           Lewat sistem inilah data atau informasi terus mengalir, terakumulasi menjadi big data yang berisi segala hal, mulai kehidupan manusia yang paling pribadi hingga transaksi perdagangan dan komunikasi satelit. Lewat semua itulah, Harari kemudian masuk poinnya yang terpenting: dengan semakin berkembangnya kemampuan algoritma pada jaringan komputer, dengan semakin berkembangnya life sciences dan ilmu saraf, apa yang terjadi pada algoritma ‘mini’ yang beroperasi di dalam homo sapiens? Jawaban Harari agak datar, tanpa ironi: keduanya akan bergabung, pada awalnya di permukaan saja, tetapi semakin lama semakin mendalam serta pada akhirnya akan menyatu dalam sistem kognitif yang sama. Pada saat itulah homo sapiens ‘will disintegrate from within’ (akan hancur dari dalam / maksudnya berubah bentuk), bukan punah seperti homo neanderthalensis, melainkan berubah bentuk menjadi homo deus, manusia yang (menyerupai) Tuhan.

Di tengah transformasi besar ini, segala hal berubah.

           Dalam politik misalnya, Harari berkata bahwa demokrasi akan runtuh: Liberal habits such as democratic elections will become obsolete, because Google will be able to represent even my own political opinion better than I can.” - Kebiasaan liberal seperti pemilihan umum yang demokratis akan menjadi usang, karena Google bahkan akan mampu mewakili pendapat politik saya sendiri dengan lebih baik daripada saya. Harari masih menjelaskan banyak hal lagi, tetapi kira-kira itulah gambaran dasar yang ada dalam buku setebal 513 halaman ini.

           Perlu kita ingat juga bahwa Harari memberi catatan yang ditulisnya berulang-ulang bahwa Homo Deus bukanlah sebuah buku untuk menyampaikan ‘prophecy, only probability’ - bukan kepastian atau ramalan, melainkan kemungkinan.

           Demikian tentu saja cara berkelit yang tidak cukup meyakinkan untuk menutupi suasana muram di balik rangkaian penjelasannya yang mengalir dengan gairah.

Pada esensinya, dia mengulang kembali cerita lama tentang tragedi manusia.

           Homo sapiens di abad ke-21 adalah Ikarus, putra Daedalus dalam mitologi Yunani, dengan sayap baru berlapis silikon, terbang penuh semangat mendekati matahari.

Harari dalam beberapa hal mengingatkan saya pada Francis Fukuyama.

           Dalam tulisan singkatnya yang juga menghentak, The End of History? (1989), dia menjelaskan bahwa sejarah pertarungan gagasan untuk mencari bentuk masyarakat ideal telah berakhir dengan kemenangan ide liberal dan sistem demokrasi.

           Fukuyama dan Harari: apakah setiap penulis dengan pendekatan yang sama, melihat gerak sejarah lewat satu atau dua faktor fundamental, dan kemudian mencari the end point of everything, harus selalu berakhir dengan muram dan kelam?

           Hegel sendiri, filsuf Jerman dua abad silam yang mengawali pendekatan semacam ini, berkata bahwa the owl of Minerva (burung hantu Minerva) hanya mungkin mengembangkan sayap setelah terbenamnya matahari.

           Pengetahuan dan kearifan kita dapatkan setelah sejarah ‘melengkapi tugas-tugasnya’. Dengan kata lain: suasana muram itu, the doom and gloom (malapetaka dan kesuraman itu), apakah semuanya merupakan sebentuk kearifan - a kind of wisdom in twisted form (semacam kebijaksanaan dalam bentuk bengkok) - untuk menghindari malapetaka di masa depan?

Harari tentu setuju. Akan tetapi, saya tidak yakin.

           Barangkali masalahnya melekat pada pendekatan atau cara pandang terhadap sejarah itu sendiri - Hegel versus Thucydides dan Will Durant: siapa yang lebih mendekati kebenaran? Atau mungkin juga soalnya bukan itu, melainkan lebih pada cara seorang penulis dalam melihat fakta-fakta yang belum selesai atau pada proses yang sedang berlangsung, sebelum pada akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan besar.

Ilmu komputer terus berkembang.

           Demikian pula modifikasi cara kerja algoritma pada Google, Facebook, Amazon, dan lainnya. Susunan saraf serta cara kerja otak manusia juga sedang diteliti intensif dan saat ini masih dalam taraf awal. Spekulasi atau proyeksi tentu bagian dari kreativitas berpikir manusia dalam memberi makna proses perkembangan ini.

           Akan tetapi, kalau dengan itu semua kita kemudian meloncat terlalu jauh, lalu menyimpulkan bahwa itulah the end point (titik akhir) yang akan mengubah peradaban, termasuk membelokkan pola evolusi panjang manusia yang terjadi sejauh ini - semua itu saya kira hanya membuktikan satu hal: sang penulis sudah memiliki pendapat sendiri dan kemudian mengambil setiap fakta yang ada, memerasnya, menyeleksinya to prove his or her point (untuk membuktikan pendapatnya benar). □


HOMO DEUS: KETIKA MANUSIA MENJADI TUHAN

           Prof. Yuval Noah Harari adalah seorang gay Yahudi liberal, paduan identitas sangat pas untuk dikritisi karena tidak mungkin manusia menjadi atau seperti Tuhan. Tuhan ya Tuhan yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, dan manusia ya manusia yang di ciptakan Tuhan. Bukunya yang berjudul Homo Deus - A Brief History of Tomorrow merupakan buku lanjutan dari Sapiens: A Brief History of Humankind.

           Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sapiens membahas tentang sejarah peradaban manusia, sedangkan Homo Deus membahas tentang masa depan manusia. Perlu dipahami bahwa buku ini lebih banyak menggunakan perspektif pemikiran barat pada umumnya. Memang diakui atau tidak, hari ini baratlah yang memimpin perjalanan peradaban dunia di akhir milennium II sampai permulaan milenium III ini.

Menuju Abad Modern

           Pada abad pertengahan, proyek besar kemanusiaan tidak pernah terlepas dari tiga hal: kelaparan, wabah, dan perang. Kelaparan menjadi permasalahan yang tak dapat diselesaikan sampai revolusi agraria pasca perang dunia I dan II.

           Banyak contoh yang dapat diambil. Wabah menjadi patogen yang sangat cepat menyebar dan mematikan. Ia berada diluar jangkauan nalar manusia saat itu. Sedangkan perang akan terus berlaku selama hukum rimba masih berjalan. Perdamaian hanya bersifat sementara dan tidak pasti.

           Tiga agenda besar kemanusiaan ini relatif berkurang - untuk tidak mengatakan selesai - di abad 21. Orang yang mati karena perang dan karena kekurangan makan lebih sedikit daripada orang yang mati karena kelebihan makan, berupa obesitas, dan penyakit terkait lainnya.

           Korban perang abad 21 lebih sedikit daripada korban ganasnya Coca-cola. Ini tidak berarti menafikan kemiskinan dan kelaparan di negara-negara dunia ketiga. Namun, dalam skala makro, peningkatan yang pesat akibat riset, kemajuan IPTEK, ekonomi, dan dialog-dialog internasional telah mengakibatkan meningkatnya kesejahteraan hidup manusia secara drastis.

           Lantas, setelah semua permasalahan di atas menjadi kurang signifikan, apa proyek kemanusiaan pada abad 21? Mari kita lanjutkan pembahasannya.

Immortalitas

           Masyarakat sekuler yang hari ini menguasai peradaban meyakini bahwa kematian hanyalah masalah teknis tubuh semata. Kita mati karena memang sudah waktunya mati. Namun, kita mati karena sebab-sebab tertentu. Seperti jantung yang tidak berfungsi lagi dengan baik, paru-paru yang terkena virus atau bakteri.

           Atau ginjal yang tidak dapat memompa racun, daging tumbuh di otak, tertabrak truk yang melaju kencang, terbakar api, terseret banjir, tenggelam di laut, dan masalah-masalah teknis yang lain. Padahal masalah teknis selalu menghadirkan solusi teknis, seperti gadget sebagai solusi dari masalah teknis terbatasnya komunikasi. Sehingga dimungkinkan bagi dunia kedokteran dan sains untuk menyelesaikan masalah-masalah teknis ini.

           Prediksi ini bukan isapan jempol semata. Para gerontolog (ahli ilmu tentang proses dan gejala penuaan) pada tahun 2012 ditunjuk menjadi pelaksana proyek rekayasa di Google. Tahun berikutnya, Google meluncurkan anak perusahaan bernama Calico dengan misi mengerikan: “Mengatasi Kematian”.

           Bill Maris, pemimpin perusahaan pengelola investasi Google Venture mengatakan, “jika anda tanya saya hari ini apakah mungkin hidup sampai 500 tahun, jawabannya adalah ya.”

           Maris menopang kata-kata beraninya dengan menginvestasikan uang yang besar. Google Ventures mengivestasikan 34 persen dari portofolionya yang bernilai $2 miliar dolar pada sejumlah start-up yang menekuni sains kehidupan. Termasuk beberapa proyek ambisius pemanjangan usia.

           Dengan menggunakan sebuah analogi sepak bola Amerika, Maris menjelaskan bahwa dalam perang melawan kematian, “kami tidak berusaha memenangi beberapa meter. Kami berusaha memenangi pertandingan.” Mengapa? “karena,” kata Maris, “lebih baik hidup daripada mati.” Tentu Google tidak sendirian, ada banyak pesohor Silicon Valley yang menggarap proyek demikian. Salah satunya adalah pendiri Paypall, Peter Thiel.

           Sejatinya, perang melawan kematian hanyalah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan sepanjang zaman melawan kelaparan dan penyakit, dan memanifestasikan nilai tertinggi budaya kontemporer: nilai kehidupan manusia.

           Kita secara terus-menerus diingatkan bahwa kehidupan manusia adalah hal yang paling sakral di alam semesta. Deklarasi universal hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB setelah perang dunia II menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling fundamental.

           Karena kematian jelas melanggar hak ini, maka kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan, dan kita akan berperang habis-habisan melawannya. Jadi, proyek besar manusia abad 21 adalah membunuh kematian.

Kebahagiaan

           Dalam perkembangannya muncul satu masalah yang sangat krusial yang dihadapi oleh manusia. Kemajuan dalam semua bidang, terutama ketika memasuki abad modern. Ternyata tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan manusia.

           Selama ribuan tahun manusia hidup, teka-teki kebahagiaan belum juga selesai. Angka bunuh diri, depresi, kemarahan, dan lain-lain terus ada dan tetap ada. Ratusan nabi, filosof, psikolog, cerdik cendekia, dan bijak bestari datang untuk memberikan nasehat tentang kebahagiaan, rasanya tidak pernah cukup.

           Pada abad 20, GDP per kapita mungkin menjadi tolak ukur tertinggi untuk mengevaluasi keberhasilan bangsa. Dari perspektif ini, Singapura, yang setiap warganya menghasilkan rata-rata barang dan jasa bernilai $56.000 dalam setahun, adalah negara yang lebih berhasil dari Costa Rica yang warganya hanya memproduksi $14.000 pertahun misalnya.

           Namun, kini para pemikir, politisi, dan bahkan ekonom menyerukan penambahan atau bahkan mengganti GDP dengan GDH (Gross Domestic Happines). Manusia tidak ingin memproduksi. Manusia ingin bahagia. Maka proyek meraih kebahagiaan sejati menjadi proyek terpenting kedua setelah keabadian.

Homo Deus dan Upaya Menjadi “Tuhan”

           Hingga saat ini, kekuatan manusia yang semakin meningkat bertumpu terutama pada peningkatan alat-alat eksternal kita. Pada masa depan, hal itu mungkin akan lebih bertumpu pada peningkatan tubuh dan pikiran manusia. Maka, meningkatkan manusia menjadi tuhan akan menempuh satu dari tiga jalan ini: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda non-organik.

           Dalam rekayasa biologis, kita tidak pernah berfikir bahwa homo sapiens adalah stasiun terakhir kita sebagai manusia. Rekayasa cyborg malah selangkah lebih maju. Ia akan menggabungkan tubuh organik dengan alat-alat organic. Seperti tangan bionik, mata artifisial, atau jutaan robot nano yang menavigasi aliran darah manusia, mendiagnosa, dan memperbaiki kerusakan. Pasien lumpuh sudah belajar mengoperasikan komputer dengan helm elektrik “pembaca pikiran”.

           Pada abad ke-21, proyek besar ketiga manusia adalah mendapatkan kekuatan ilahiah. Kemudian meningkatkan Homo sapiens menadi Homo deus. Proyek ketiga ini jelas memasukkan dua proyek pertama, dan digerakkan oleh keduanya.

           Kita menginginkan kekuatan kemampuan untuk merekayasa ulang tubuh dan pikiran kita secara berurutan, di atas semua itu, untuk meloloskan diri dari usia tua, kematian, dan penderitaan. Sayangnya, 3 proyek raksasa diatas diperkirakan hanya dapat dinikmati oleh kelompok WEIRD (western, educated, industrialised, rich, dan democratic). Lantas, bagaimana dengan masyarakat diluar kelompok tersebut?

           Mereka akan tertinggal di stasiun yang membawa Homo Sapiens menuju Homo Deus. Kesenjangan antara barat yang superior dengan kita yang inferior akan semakin lebar. Teknologi mereka akan semakin berkembang dengan sangat pesat. Sementara kita akan terus berdebat masalah poligami atau hukum memakai cadar. Selamat tertinggal! [Bersambung] □ AFM

 

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)