HOMO DEUS: IMPLIKASI LOGIS
DAN KONSEKUENSI TINDAKNYA
Narasi Pembuka
H |
omo Deus - A Brief History of Tomorrow (2016)
merupakan satu dari trilogi Sapiens karya sejarawan berkebangsaan Israel, Yuval
Noah Harari, professor Sejarah di the Hebrew University of Jerusalem. Karena
ketiga karya tersebut saling terkait, ada baiknya saya menyebut juga dua karya
lainnya, yaitu Homo Sapiens (2014) dan 21 Lessons for the 21st Century (2018).
Ketiga buku ini membahas evolusi manusia (homo) berspesies sapiens (bijak)
melalui tiga revolusi, diawali revolusi kognitif (70.000 tahun lalu), revolusi
agrikultural (12.000 tahun lalu) dan revolusi sains (diawali sejak 500 tahun
lalu). Kalau Homo Sapiens (sebagai karya terdahulu) membahas masa lalu manusia
sapiens yang menyerobot dari antara berbagai spesies kehidupan dan menempatkan
diri sebagai pemenang di puncak evolusi, maka Homo Deus (karya kedua) membahas
masa depan ‘kepunahan’ Homo sapiens. Sementara trilogi terakhir yaitu 21
Lessons membahas masa kini-nya Homo sapiens, dimana teks (narasi) sebagai
penuntun perjalanan sejarah makluk ‘bijak’ ini. Kemampuan mencipta narasi
membuat homo sapiens mengungguli homo lainnya karena dengan itu Homo sapiens
dapat mengkonsolidasi kelompok besar menjadi kekuatan untuk menghadapi makhluk
lain.
Meski unggul atas berbagai spesies,
termasuk atas sesama homo lainnya, sapiens tidak berdaya dihadapan bentuk
ancaman ‘alami’ lainnya. Sampai permulaan revolusi sains, Homo sapiens takluk
pada tiga ancaman potensil sepanjang masa yang selalu mencengkeramnya, yaitu
kelaparan, wabah penyakit, dan peperangan. Selama masa mencekam itu manusia
telah berdoa kepada berbagai jenis tuhan, namun tidak pernah ada jawaban yang
membantunya mengatasi satu pun ancaman. Revolusi sains perlahan-lahan membawa
manusia kepada solusi, yang membuatnya sukses mengatasi ketiga musuh bebuyutan
tersebut hingga tingkat yang minimal. Tetapi, setelah sukses tersebut sains
membawa manusia terus bergerak lebih jauh meraih impian-impian barunya, yaitu
kebahagiaan, keabadian, dan keilahian. Optimisme meraih impian baru itu membuat
homo sapiens bermetamorfosa menjadi homo deus.
Sebagai sejarawan, Harari membuat
catatan reflektif dan retrospektif atas perjalanan evolusi Homo sapiens di masa
lalu, kini dan masa depan. Hingga seratus ribu tahun lalu bumi masih dihuni
sejumlah jenis manusia (species homo), antara lain homo Australopitecus (sejak
5 juta tahun lalu), homo Drylestes (150 juta tahun lalu), homo Erectus (1 juta
tahun lalu), homo Soloensis (sekitar 1 juta tahun lalu), homo Floresiensis
(sekitar 74-17 ribuan tahun lalu), homo Neandertalensis (40 ribu tahun lalu),
dan lainnya. Dalam perjalanannya, homo sapiens berhasil menaklukkan
‘sepupu-sepupunya’ yang lain itu sehingga menjadi penguasa tunggal atas segala
makluk bumi.
Tools
Untuk Membedah
Berakhirnya
homo sapiens ditangan homo dues (HD) merupakan inti dari buku ini. Tepatnya
lagi, transformasi homo sapiens ke HD menjadi pesan utama, terlepas dari
persoalan apakah itu kabar baik atau kabar buruk. Pembedahan ini tidak dalam
kerangka itu, melainkan menelisik konstruksi nalar karya HD, asumsi-asumsi
filosofis dibaliknya, serta implikasi logis dan konsekuensi tindaknya.
Saya
akan menggunakan dua alat bedah. Pertama; Pemikiran Kritis (critical thinking)
model Paulian untuk memperlihatkan konstruksi nalar HD. Pemikiran kritis
Paulian memiliki setidaknya 25 alat kelengkapan untuk membedah “organ-organ
penalaran,” yang terdistribusi dalam tiga domain, yaitu Elements of Reasoning
(EoR), Universal Intellectual Standar (UIS), dan Intellectual Traits/Virtues
(IT). EoR mencakup delapan aspek asesmen kritis antara lain, Point of View,
Purpose, Assumption, Information (fact & evidence), Conclusion dan
Implication. Sementara, UIS mencakup setidaknya sembilan elemen antaralain
kedalaman (depth), keluasan (breath), logicalness, akurasi dan persisi.
Unsur-unsur IT antara lain, intellectual humility, integrity, courage, dan
fair-mindedness. Ketiga domain terintegrasi dalam kesatuan tindak, dimana UIS
diterapkan pada EoR untuk membentuk IT. Namun, saya hanya menggunakan beberapa
elemen terpilih, dengan memberi tekanan pada implikasi dan konsekuensi
tindaknya.
Tools pemikiran kritis nampaknya
belum cukup mengurai organ inti lainnya yang menjadi penopang utama HD, yaitu
’teknologi’ yang diprediksi oleh Harari menjadi tuhan masa depan dalam
kolaborasi dengan manusia sapiens. [1] Itulah sebabnya, saya membutuhkan alat
bedah lain, yaitu ‘filsafat teknologi’ untuk memotret hubungan esensial antara
homo sapiens dan teknologi. Lewat itu hendak diungkap seberapa erat homo sapiens
terikat pada teknologi dan prospeknya menuju realisasi HD seperti diprediksi
Harari “akan mengakhiri homo sapiens.” Pertanyaan kritis lain yang ingin
dijawab lewat alat bedah ini adalah, apakah teknologi (menjadi tuhan) yang
mengendalikan manusia, atau sebaliknya? Keduanya memiliki implikasi logis dan
konsekuensi tindak yang diametrikal (berseberangan), dan terutama karena HD
sudah tegas berposisi pada yang pertama.
Elemen-Element
CT
Elemen pertama yang perlu diperiksa
adalah perspektif atau Point of View. Tujuannya untuk menyingkap
titik-pijak filosofis yang menjadi fokus atau dasar membangun proyek megah HD.
Umumnya, dalam tradisi intelektual, para ilmuan terkategori dalam dua posisi,
yaitu sebagai penganut teori penciptaan atau pengikut teori evolusi. Kubu
pertama mengasumsikan adanya titik awal ruang waktu, yang dengan demikian
mengandaikan adanya penciptaan. Setidaknya, ada ‘ruang’ bagi narasi penciptaan.
Dalam narasi ini kehidupan bergerak dan digerakkan oleh telos (tujuan) tertentu
yang memberi orientasi. Kubu satunya lagi berpijak pada keyakinan filosofis
bahwa ruang waktu tidak berawal dan tidak berakhir yang sepenuhnya digerakkan
oleh hukum evolusi. Kehidupan bermula dari sebuah bakteri yang terus menerus
berevolusi dalam rentang waktu kosmik, bertransformasi dari yang paling
sederhana (sel tunggal) menjadi ragam makluk dan tumbuhan hingga mencapai yang
paling rumit. Evolusi tidak memiliki tujuan atau araht ertentu melainkan terus
bergerak berdasarkan hukum alam. Pun, evolusi tidak mengenal nilai baik, buruk,
benar, salah, atau atribut lainnya terkait moral. Evolusi bergerak seperti
“makluk buta.”
Harari
berpijak pada posisi kedua, yang secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dikenal sebagai Darwinisme Sosial. Perspektif evolusi menjadi nadi
terlihat dari semua bangunan argumentasinya, antara lain bisa ditunjukkan pada
kutipan berikut:
“Suka tidak suka, kita
adalah anggota dari famili besar dan sangat berisik yang disebut kera besar.
Kerabat terdekat kita yang masih hidup antara lain simpanse, gorila, dan orang
utan. Simpanse adalah yang terdekat. Hanya enam juta tahun lalu satu kera
betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi nenek moyang simpanse,
satu lagi menjadi nenek buyut kita.” (Homo Sapiens, 2011: 13) [2]
Para
penganut evolusi juga meyakini, bahwa di suatu waktu, sekitar 4 milyar tahun
lalu, semua makluk di bumi memiliki nenek moyang yang sama, yang disebut LUCA
(Last Universal Common Ancestor). LUCA adalah sebuah mikroba primitif, yang
metabolismenya tergantung pada hidrogen, karbon dioksida, dan nitorgen yang
mengubahnya menjadi senyawa organik. Mikroba bersel tunggal inilah yang
diyakini sebagai awal dari garis keturunan panjang yang merangkum semua
kehidupan di Bumi. [3]
Melalui sudut pandang seorang
“Sejarawan Evolusionis” Harari sangat menguasai angel (sudut bidik), kerumitan
tekstur dan ketajaman warna untuk menampilkan potret eksotik homo deus. Namun,
dibalik kemegahan bangunan narasi HD, ia mengabaikan banyak sudut pandang,
seperti filsafat, metafisika dan, tentu saja agama. Benar, bahwa sudutsudut
pandang itu ikut dibincangkan, yaitu dengan mengambil ‘potongan potongan gelap’
untuk dijadikan latar ekstrim demi mempercantik tampilan HD, dan bukan membahas
kekayaan sudut-sudut pandang itu secara substanstif-eksistensial [4] untuk
berdialektika. Hal kedua yang bisa dibahas melalui ‘kacamata kuda evolusi’
adalah, semua argumen dan kesimpulan dalam buku ini dibangun diatas dasar
keyakinan bahwa manusia adalah hewan, makluk biologis semata, sama dengan hewan
lainnya, tidak lebih. Harus dicatat, bahwa Harari menjadi pejuang kesetaraan
hak antara semua makhluk hidup. Dengan kedalaman itu, perspektif HD mendasarkan
asumsi filosofisnya di atas ketiadaan metafisika dan absurdnya ‘realitas
religius.’ Dengan kata lain, HD memilih lawan tanding yang tidak dihadirkan di
panggung debat, kecuali secara in absentia sambil meyakinkan pembaca betapa
tidak tertandinginya HD.
Elemen
CT lainnya adalah konsep. Homo deus merupakan konsep kunci yang menjadi jantung
pembahasam buku ini, dengan menambahkan konsepkonsep pendukung lainnya yaitu
teori evolusi, humanisme dan AI. Konsepkonsep tersebut merupakan empat teori
besar yang dieksplorasi secara kaya melalui pembahasan literatur yang teliti.
Sebagai
evolusionis, Harari mengkonsepsikan pengkajian dengan ‘pisau analisis evolusi’
memperlakukan sejarah sebagai sesuatu apa adanya, dan bukan bersifat linear.
Capaian-capaian homo sapiens (yang menjadi subyek sekaligus kambing hitam)
semata-mata ‘bentangan datar’ sebuah lembar narasi, tanpa intensi mengatribusi
titik start sebagai lebih rendah secara kualitatif daripada ujungnya.
Sebagaimana evolusi, sejarah bergerak tanpa arah, tanpa tujuan, kecuali bahwa
“kita telah ada di sini,” dan “nampaknya kita akan ke sana.” Di sini dan di
sana tidak memiliki perbedaan level kualitas tertentu, hanya mencerminkan
perbedaan tekstur dan kronologis.
Lain
dari itu, penulis meyakini sejarah sebagai ‘panggung tunggal homo sapiens’ yang
awalnya berkonspirasi dengan tuhan (dan agama-agama bertuhan lewat ‘kesepakatan
agrikultur’), tetapi kemudian melalui revolusi sains tuhan disingkirkan.
Sebagai penguasa tunggal, homo sapiens pun mengejar takhta tuhan,
menyingkirkannya lalu menjadi tuhan (homo deus) semata-mata karena memiliki
kapasitas gigantik penguasaan data.
Evolusi
sejarah juga merupakan sebuah ‘pertarungan narasi’ diawalnya. Terkaparnya
berbagai spesies lain di tangan hewan bijak (homo sapiens) merupakan hasil dari
keunggulan menata narasi. Sebagaiamana halnya Soeharto di era Orde Baru
mencengkram tahkta kekuasaan selama 30-an tahun dengan berpagut pada selembar
narasi buta bernama SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), demikianlah homo
sapiens mengawali dengan narasi-narasi tutur mitos, lalu fiksi tersurat bernama
kitab suci, kemudian berkembang ke fiksi agama, negara,ideologi, keuangan, dan
sebagainya. Narasi-narasi ini membantu mengkonsolidasi soliditas homo sapiens
dalam jumlah sangat besar sehingga membangun kekuatan superior yang tak
terdandingi mahkluk manapun. Tetapi, masa depan tidak lagi membutuhkan narasi
fiktif macam itu, melainkan data. Karenanya, pertaruangan masa depan adalah
penguasaan data. Itulah sebabnya dataisme menjadi agama masa depan, agama-nya
homo dues.
Harari juga melandaskan premis-premis
dan analisisnya diatas sikap atau keyakinan mendasar (filosofis) pada
“kesetaraan ekologis.” Manusia (homo sapiens) tidak seharusnya mengklaim secara
sepihak diri (spesiesnya) sebagai ‘makhluk istimewa’ yang melegitimasi hak
vetonya atau “hak berkuasanya” atas eksistensi makhluk lain. Yang membedakan
manusia dengan ayam (misalnya), hanyalah pada kapasitas penyimpan data; tidak
lebih tidak kurang. Namun, dibalik sikap rendah hati (intellectual humility)
ini, Harari mereduksi manusia pada sekadar kapasitas penyimpan datanya, tidak
lebih. [5]
Penggunaan informasi-informasi
pendukung sangat memadai, akurat, dan aktual. Antara lain data terbaru evolusi,
antropologi, AI dan berbagai hasil ekperimen terkait kesadaran, ragam
eksperimen sains dan bioteknologi seperti robot nano bakteri dan virus, dan
sebagainya. Secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Berbagai
data pembanding yang menunjukkan bahwa masalah kelaparan, wabah, dan perang
telah sukses ditangani manusia sehingga bukan lagi ancaman sebagaimana ratusan
tahun lalu. Meski belum sepenuhnya bisa dihilangkan, dengan bantuan sains dan
teknologi telah terbukti dapat dikendalikan oleh manusia sehingga ketiganya
tidak lagi menjadi momok menakutkan. [6]
2. Penelitian
terbaru yang membuktikan bukan hanya manusia yang memiliki kesadaran, melainkan
juga makhluk lain. Percobaaan terhadap monyet, tikus, burung, simpanse, kuda
dan lainnya dikonfirmasi dalam Deklarasi Cambridge 2012 kemudian diikuti
Amandamen UU di Selandia Baru, lalu Kanada yang mengakui hewan memiliki nyawa
(kesadaran) (Hal.140-145). Bukti-bukti penelitian ini mendukung argumen Harari
bahwa manusia bukanlah species istimewa diantara species lainnya, kecuali bahwa
manusia punya kemampuan mengorganisir kelompok besar itulah yang membuatnya
mampu mengungguli hewan mana pun. [7] Hal lain yang ingin dibuktikan misalnya
impian akan kebahagiaan tidak terletak pada sesuatu di luar sana, jauh di Surga
misalnya, melainkan dapat dipicu di sebuah titik yang tepat dalam kesadaran
(neuron), karenanya bisa dialami di sini, sekarang, di dunia!
3. Algoritma
dan big data sebagai tuhan dan agama baru yang ‘lebih mengerti’ selera dan
kebutuhan manusia daripada manusia itu sendiri, serta penciptaan robot-robot
cerdas berukuran nano yang dapat membunuh bakteri-bakteri dan virus dalam tubuh
yang membahayakan kehidupan. Termasuk didalamnya, manusia cyborg (cyber
organism) yang merupakan ‘perkawinan’ manusia dan teknologi. Sukses ini
membuktikan peran Tuhan tidak lagi dibutuhkan, karena keinginan, harapan, dan
penyakit dapat diatasi secara teknis dengan teknologi. Manusia akhirnya
dimungkinkan hidup abadi (dan tetap muda) sebab intervensi gen dapat
meregenerasi sel-sel, dan robot-robot nano yang disuntikkan membunuh virus dan
bakteri yang berpotensi membahayakan organ-organ dalam tubuh sebelum sempat
beroperasi.
4.
Berbagai penelitian dan data yang menunjukkan
bahwa evolusi telah diatasi dan digantikan oleh intervensi intelegensia, narasi
inter subyektifitas atau narasi ideologis yang mengalahkan narasi sains
sehingga merusak ekosistem dan tatanan iklim, dst (hal 173-174). Di sini
sebenarnya mau dibuktikan adalah evolusi dipercepat menjadi revolusi, sehingga
semua impian masa depan tidak lagi dipasrahkan pada kerja evolusi yang lamban
melainkan diintervensi sehingga lebih cepat.
Ada
baiknya membahas juga elemen Inferensi /Kesimpulan. Dengan menggunakan
hasil-hasil penelitian termutakhir dan eksperimen berbasis teknologi, Harari
memiliki fondasi kokoh membangun argumen menjawab purpose (tujuan) dan
questions (masalah) yang dibahas dalam buku ini. Secara sederhana formulasi
purpose Harari adalah menjelaskan perjalanan sejarah homo sapiens dalam tiga
tahap revolusi, dengan penekanan pada revolusi sains yang mengantar Homo Deus
ke takhta kuasa menggantikan posisi homo sapiens.
Dengan
demikian, permasalahan (Questions) yang ingin dibahas adalah bagaimana
perjalanan homo sapiens dari ‘sekadar’ sejenis hewan primata yang sama dengan
hewan lainnya, sukses mengatasi ketiga ancaman kehidupan, lalu bertransformasi
menjadi homo deus?
Harari
mencapai kesimpulannya (inference) secara meyakinkan, dengan dukungan data dan
argumentasi yang kaya. Namun, tidak berarti tidak ada ruang untuk diskusi.
Pertama: dengan mengabaikan
arah perkembangan homo sapiens dalam tarikan kemajuan tanpa disadari juga
mengabaikan ‘fakta rekam jejak historis.’ Bertitik tolak dari ‘tingkat narasi
primitif’ dengan bangunan insting ke penciptaan bahasa sederhana, lalu ke kitab
suci dan narasi sains bagaimana pun telah menggambarkan semacam tren kemajuan
dari sudut pandang ‘kualitas narasi’ baik secara substantif-kualitatif maupun
kuantitatif. Kenyataan itu tidak dapat dipahami sekadar sebagai kronologi yang
mencatatkan urutan even, melainkan sebuah pergerakan kualitatif yang
memungkinkan cakupan konsolidasi komunitas semakin luas. Homo sapiens tidak
lagi terkotak-kotak pada lingkup kesukuan, nasionalitas, religiusitas, tetapi
bahkan dapat mengorganisir diri melampaui semua itu lalu mengacu narasi baru
bernama kemanusiaan.
Kedua:
Harari juga menyimpulkan bahwa Homo Deus bukanlah sebuah prediksi ilmiah,
melainkan kemungkinan logis berdasarkan capaian-capaian homo sapiens saat ini.
Teknosains telah membantu manusia melakukan terobosan-terobosan tak terduga dan
mencapai kemajuan menjanjikan menuju keniscayaan mencapai ketiga impian baru
homo sapiens, yaitu kebahagiaan, keabadian dan keilahian. Disamping sifatnya
yang spekulatif, pencapaian itu tidaklah dalam pengertian denotatif. Keabadian,
kebahagiaan dan keilahian yang dikejar itu bersifat relatif dan terbatas,
dibandingkan, misalnya dengan keabadian dalam ajaran agama yang sifatnya kekal
tiada akhir. Abadi dalam pengertian sebenar-benarnya. Tidak hanya relatif,
capaian itu juga bersifat kontingen dalam artian tergantung pada hal-hal diluar
makna itu. Misalnya, sifat keilahian itu melekat hanya ketika kapasitas data
sangat berlimpah sedemikian sehingga menjadi sumber yang memprovidensi ‘segala
kebutuhan data’ warga homo deus. Jenis kebutuhan diluar data tidak dapat
disediakan oleh keiliahian homo deus.
Ketiga:
tersingkirnya tuhan (narasi kitab suci) oleh narasi sains. Tuhan tidak lagi
relevan, karena homo sapiens dengan capaian-capaian teknologis telah membawanya
ke takhta kuasa tuhan itu sendiri. Homo sapiens tidak saja sukses menyingkirkan
tuhan dari sejarah, melainkan bertransformasi menjadi tuhan. Di sini homo deus
tidak lain puncak dari impian humanisme modern, sebuah capaian yang, sekali
lagi, tidak sekadar kronologis melainkan kualitatif dengan arah yang bisa
diprediksi, bukan? Dengan kata lain, HD mengandung kampanye neohumanisme, pada
saat yang sama memperjuangkan kesetaraan makluk?!
Apa implikasinya? Implikasi yang paling nampak
adalah punahnya tuhan. Bila tuhan yang dipunahkan itu dipahami dari sudut
pandang filsafat Nietzsche, maka sains (dengan narasi tunggalnya) sesungguhnya
menjadi tuhan baru. Artinya, tuhan tidak punah melainkan digantikan. Ini
implikasi logis dari analiasis ‘sejarah species evolusi,’ tetapi tentu akan
memberi implikasi paling luas pada etika dan agama. Dengan cara pandang ‘kepunahan
tuhan’ HD tidak membawa manusia kepada nihilisme Nietzschean, melainkan hanya
pergantian posisi dengan tuhan lain bernama sains dan bawaannya seperti
algoritma, data, dan sejensinya.Bisa juga disimpulkan bahwa kesimpulan Harari
tentang agama data dan tuhan algoritma merupakan puncak capaian positivisme,
yang memang ‘mengideologikan’ data material sebagai ukuran kebenaran. Dengan
demikian, HD ingin membuktikan kebenaran positivisme, bahkan menggenapi
idealisme pembentukan masyarakat positivist. Harus diingat, bahwa dataisme
adalah positivisme!
Akhirnya, seperti kegalauan Nietzsche
menghadapi krisis psikologis pasca membunuh tuhan, demikian pula manusia
menjadi robot-robot tanpa nurani etispasca ‘membunuh homo sapiens.’ Itulah
implikasi yang paling gamblang. Dengan mereduksi manusia dan makhluk lain
sebatas pada ‘kapasitasnya menyimpan data, [8]’ individu-individu yang tidak
‘melek data’ dapat disingkirkan dari ‘surga data’ dalam obsesi Harari. ‘Surga’
adalah kelimpahandata sementara “dosa dan neraka” adalah ketiadaan data. Makna
seorang individu diukur dari kemampuan dan loyalitasnya mempersembahkan data
kepada ‘tuhan data,’ sementara yang tidak akan dianggap memberontak terhadap
tuhan. Di sini manusia masa depan ala HD mengalami defisit atau penciutan habis-habisan,
termasuk kehilangan keunikan individualistiknya sebab tersedot dalam
universalitas dunia (kosmologi) data. Lain dari itu, struktur sosial (sistema
klas) akan mengalami rekonstruksi, dimana para penguasa data/teknologi
menempati puncak piramida, sementara tuna teknologi akan tergeletak di dasar.
Kolaborasi penguasa teknologi dan pemilik modal yang memiliki ambisi yang sama
pada citacita baru homo sapiens akan menciptakan sebuah kelas sosial baru yang
super kuat karena menempatkan diri sebagai tuhan, dalam dunia baru yang
dibangunnya dimana Tuhan (transenden) telah disingkirkan. Penyingkiran Tuhan
dengan sendirinya juga menyingkirkan pengikut-Nya, sebab dunia baru homo dues
merupakan dunia tanpa Tuhan: melainkan dunianya para tuhan sebagaimana diwakilkan
oleh sebutan itu (homo deus = manusia dewa).
Bersikap kokoh pada fatsun evolusi,
Harari menegaskan bahwa ia tidak sedang memberi arah pada sejarah. Tetapi ini
bisa juga dipandang sebagai bentuk cuci tangan atas konsekuensietis moral yang
kemungkinan ditimbulkannya. Bukankah sejarah juga telah menunjukkan banyaknya
capaian justru diarahkan oleh fiksifiksi yang bersumber dari fantasi liar para
pioner peradaban? Saya menduga, Harari menyadari konsekuensi ini karenanya ia
mencoba cuci tangan dan membersihkan diri. Tetapi, mengapa ia memerlukan itu?
Konsekuensi etis yang paling serius adalah lenyapnya nilai-nilai khas manusia
yang menjadi fondasi bagi terbangunnya tatanan dan tertib social. Artinya,
manusia jatuh ke dalam nihilisme, atau semacam nilai baru yang direkontruksi
dimana ‘tuhan teknologi’ sebagai sumber baru. Dan itu berarti manusia
sepenuhnya telah menyerahkan diri ke haribaan teknologi, menyembah dan
menjadikannya pusat orientasi kehidupan. Menurut saya, pola ini tidak berbeda
dengan era dimana manusia menyembah patung-patung berhala buatan tangannya.
Yang membedakan, tentu saja “patung buatan para nabi lembah Silicon”lebih
powerful, automatisasi, dan beroperasi dalam skala gigantik. Peradaban akhirnya
berputar kembali ke era ‘primitif’ ketika manusia belum mengenal Tuhan langit
sehingga menyembah obyek kasat mata. [Bersambung].□ AFM
Bedah Buku Homo Deus