Thursday, August 3, 2023

Bedah Buku Homo Deus (III)


 

HOMO DEUS: IMPLIKASI LOGIS

DAN KONSEKUENSI TINDAKNYA


Narasi Pembuka

H

omo Deus - A Brief History of Tomorrow (2016) merupakan satu dari trilogi Sapiens karya sejarawan berkebangsaan Israel, Yuval Noah Harari, professor Sejarah di the Hebrew University of Jerusalem. Karena ketiga karya tersebut saling terkait, ada baiknya saya menyebut juga dua karya lainnya, yaitu Homo Sapiens (2014) dan 21 Lessons for the 21st Century (2018). Ketiga buku ini membahas evolusi manusia (homo) berspesies sapiens (bijak) melalui tiga revolusi, diawali revolusi kognitif (70.000 tahun lalu), revolusi agrikultural (12.000 tahun lalu) dan revolusi sains (diawali sejak 500 tahun lalu). Kalau Homo Sapiens (sebagai karya terdahulu) membahas masa lalu manusia sapiens yang menyerobot dari antara berbagai spesies kehidupan dan menempatkan diri sebagai pemenang di puncak evolusi, maka Homo Deus (karya kedua) membahas masa depan ‘kepunahan’ Homo sapiens. Sementara trilogi terakhir yaitu 21 Lessons membahas masa kini-nya Homo sapiens, dimana teks (narasi) sebagai penuntun perjalanan sejarah makluk ‘bijak’ ini. Kemampuan mencipta narasi membuat homo sapiens mengungguli homo lainnya karena dengan itu Homo sapiens dapat mengkonsolidasi kelompok besar menjadi kekuatan untuk menghadapi makhluk lain.

           Meski unggul atas berbagai spesies, termasuk atas sesama homo lainnya, sapiens tidak berdaya dihadapan bentuk ancaman ‘alami’ lainnya. Sampai permulaan revolusi sains, Homo sapiens takluk pada tiga ancaman potensil sepanjang masa yang selalu mencengkeramnya, yaitu kelaparan, wabah penyakit, dan peperangan. Selama masa mencekam itu manusia telah berdoa kepada berbagai jenis tuhan, namun tidak pernah ada jawaban yang membantunya mengatasi satu pun ancaman. Revolusi sains perlahan-lahan membawa manusia kepada solusi, yang membuatnya sukses mengatasi ketiga musuh bebuyutan tersebut hingga tingkat yang minimal. Tetapi, setelah sukses tersebut sains membawa manusia terus bergerak lebih jauh meraih impian-impian barunya, yaitu kebahagiaan, keabadian, dan keilahian. Optimisme meraih impian baru itu membuat homo sapiens bermetamorfosa menjadi homo deus.

           Sebagai sejarawan, Harari membuat catatan reflektif dan retrospektif atas perjalanan evolusi Homo sapiens di masa lalu, kini dan masa depan. Hingga seratus ribu tahun lalu bumi masih dihuni sejumlah jenis manusia (species homo), antara lain homo Australopitecus (sejak 5 juta tahun lalu), homo Drylestes (150 juta tahun lalu), homo Erectus (1 juta tahun lalu), homo Soloensis (sekitar 1 juta tahun lalu), homo Floresiensis (sekitar 74-17 ribuan tahun lalu), homo Neandertalensis (40 ribu tahun lalu), dan lainnya. Dalam perjalanannya, homo sapiens berhasil menaklukkan ‘sepupu-sepupunya’ yang lain itu sehingga menjadi penguasa tunggal atas segala makluk bumi.

Tools Untuk Membedah

           Berakhirnya homo sapiens ditangan homo dues (HD) merupakan inti dari buku ini. Tepatnya lagi, transformasi homo sapiens ke HD menjadi pesan utama, terlepas dari persoalan apakah itu kabar baik atau kabar buruk. Pembedahan ini tidak dalam kerangka itu, melainkan menelisik konstruksi nalar karya HD, asumsi-asumsi filosofis dibaliknya, serta implikasi logis dan konsekuensi tindaknya.

           Saya akan menggunakan dua alat bedah. Pertama; Pemikiran Kritis (critical thinking) model Paulian untuk memperlihatkan konstruksi nalar HD. Pemikiran kritis Paulian memiliki setidaknya 25 alat kelengkapan untuk membedah “organ-organ penalaran,” yang terdistribusi dalam tiga domain, yaitu Elements of Reasoning (EoR), Universal Intellectual Standar (UIS), dan Intellectual Traits/Virtues (IT). EoR mencakup delapan aspek asesmen kritis antara lain, Point of View, Purpose, Assumption, Information (fact & evidence), Conclusion dan Implication. Sementara, UIS mencakup setidaknya sembilan elemen antaralain kedalaman (depth), keluasan (breath), logicalness, akurasi dan persisi. Unsur-unsur IT antara lain, intellectual humility, integrity, courage, dan fair-mindedness. Ketiga domain terintegrasi dalam kesatuan tindak, dimana UIS diterapkan pada EoR untuk membentuk IT. Namun, saya hanya menggunakan beberapa elemen terpilih, dengan memberi tekanan pada implikasi dan konsekuensi tindaknya.

           Tools pemikiran kritis nampaknya belum cukup mengurai organ inti lainnya yang menjadi penopang utama HD, yaitu ’teknologi’ yang diprediksi oleh Harari menjadi tuhan masa depan dalam kolaborasi dengan manusia sapiens. [1] Itulah sebabnya, saya membutuhkan alat bedah lain, yaitu ‘filsafat teknologi’ untuk memotret hubungan esensial antara homo sapiens dan teknologi. Lewat itu hendak diungkap seberapa erat homo sapiens terikat pada teknologi dan prospeknya menuju realisasi HD seperti diprediksi Harari “akan mengakhiri homo sapiens.” Pertanyaan kritis lain yang ingin dijawab lewat alat bedah ini adalah, apakah teknologi (menjadi tuhan) yang mengendalikan manusia, atau sebaliknya? Keduanya memiliki implikasi logis dan konsekuensi tindak yang diametrikal (berseberangan), dan terutama karena HD sudah tegas berposisi pada yang pertama.

Elemen-Element CT

           Elemen pertama yang perlu diperiksa adalah perspektif atau Point of View. Tujuannya untuk menyingkap titik-pijak filosofis yang menjadi fokus atau dasar membangun proyek megah HD. Umumnya, dalam tradisi intelektual, para ilmuan terkategori dalam dua posisi, yaitu sebagai penganut teori penciptaan atau pengikut teori evolusi. Kubu pertama mengasumsikan adanya titik awal ruang waktu, yang dengan demikian mengandaikan adanya penciptaan. Setidaknya, ada ‘ruang’ bagi narasi penciptaan. Dalam narasi ini kehidupan bergerak dan digerakkan oleh telos (tujuan) tertentu yang memberi orientasi. Kubu satunya lagi berpijak pada keyakinan filosofis bahwa ruang waktu tidak berawal dan tidak berakhir yang sepenuhnya digerakkan oleh hukum evolusi. Kehidupan bermula dari sebuah bakteri yang terus menerus berevolusi dalam rentang waktu kosmik, bertransformasi dari yang paling sederhana (sel tunggal) menjadi ragam makluk dan tumbuhan hingga mencapai yang paling rumit. Evolusi tidak memiliki tujuan atau araht ertentu melainkan terus bergerak berdasarkan hukum alam. Pun, evolusi tidak mengenal nilai baik, buruk, benar, salah, atau atribut lainnya terkait moral. Evolusi bergerak seperti “makluk buta.”

           Harari berpijak pada posisi kedua, yang secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora dikenal sebagai Darwinisme Sosial. Perspektif evolusi menjadi nadi terlihat dari semua bangunan argumentasinya, antara lain bisa ditunjukkan pada kutipan berikut:

“Suka tidak suka, kita adalah anggota dari famili besar dan sangat berisik yang disebut kera besar. Kerabat terdekat kita yang masih hidup antara lain simpanse, gorila, dan orang utan. Simpanse adalah yang terdekat. Hanya enam juta tahun lalu satu kera betina tunggal punya dua anak perempuan. Satu menjadi nenek moyang simpanse, satu lagi menjadi nenek buyut kita.” (Homo Sapiens, 2011: 13) [2]

           Para penganut evolusi juga meyakini, bahwa di suatu waktu, sekitar 4 milyar tahun lalu, semua makluk di bumi memiliki nenek moyang yang sama, yang disebut LUCA (Last Universal Common Ancestor). LUCA adalah sebuah mikroba primitif, yang metabolismenya tergantung pada hidrogen, karbon dioksida, dan nitorgen yang mengubahnya menjadi senyawa organik. Mikroba bersel tunggal inilah yang diyakini sebagai awal dari garis keturunan panjang yang merangkum semua kehidupan di Bumi. [3]

           Melalui sudut pandang seorang “Sejarawan Evolusionis” Harari sangat menguasai angel (sudut bidik), kerumitan tekstur dan ketajaman warna untuk menampilkan potret eksotik homo deus. Namun, dibalik kemegahan bangunan narasi HD, ia mengabaikan banyak sudut pandang, seperti filsafat, metafisika dan, tentu saja agama. Benar, bahwa sudutsudut pandang itu ikut dibincangkan, yaitu dengan mengambil ‘potongan potongan gelap’ untuk dijadikan latar ekstrim demi mempercantik tampilan HD, dan bukan membahas kekayaan sudut-sudut pandang itu secara substanstif-eksistensial [4] untuk berdialektika. Hal kedua yang bisa dibahas melalui ‘kacamata kuda evolusi’ adalah, semua argumen dan kesimpulan dalam buku ini dibangun diatas dasar keyakinan bahwa manusia adalah hewan, makluk biologis semata, sama dengan hewan lainnya, tidak lebih. Harus dicatat, bahwa Harari menjadi pejuang kesetaraan hak antara semua makhluk hidup. Dengan kedalaman itu, perspektif HD mendasarkan asumsi filosofisnya di atas ketiadaan metafisika dan absurdnya ‘realitas religius.’ Dengan kata lain, HD memilih lawan tanding yang tidak dihadirkan di panggung debat, kecuali secara in absentia sambil meyakinkan pembaca betapa tidak tertandinginya HD.

           Elemen CT lainnya adalah konsep. Homo deus merupakan konsep kunci yang menjadi jantung pembahasam buku ini, dengan menambahkan konsepkonsep pendukung lainnya yaitu teori evolusi, humanisme dan AI. Konsepkonsep tersebut merupakan empat teori besar yang dieksplorasi secara kaya melalui pembahasan literatur yang teliti.

           Sebagai evolusionis, Harari mengkonsepsikan pengkajian dengan ‘pisau analisis evolusi’ memperlakukan sejarah sebagai sesuatu apa adanya, dan bukan bersifat linear. Capaian-capaian homo sapiens (yang menjadi subyek sekaligus kambing hitam) semata-mata ‘bentangan datar’ sebuah lembar narasi, tanpa intensi mengatribusi titik start sebagai lebih rendah secara kualitatif daripada ujungnya. Sebagaimana evolusi, sejarah bergerak tanpa arah, tanpa tujuan, kecuali bahwa “kita telah ada di sini,” dan “nampaknya kita akan ke sana.” Di sini dan di sana tidak memiliki perbedaan level kualitas tertentu, hanya mencerminkan perbedaan tekstur dan kronologis.

           Lain dari itu, penulis meyakini sejarah sebagai ‘panggung tunggal homo sapiens’ yang awalnya berkonspirasi dengan tuhan (dan agama-agama bertuhan lewat ‘kesepakatan agrikultur’), tetapi kemudian melalui revolusi sains tuhan disingkirkan. Sebagai penguasa tunggal, homo sapiens pun mengejar takhta tuhan, menyingkirkannya lalu menjadi tuhan (homo deus) semata-mata karena memiliki kapasitas gigantik penguasaan data.

           Evolusi sejarah juga merupakan sebuah ‘pertarungan narasi’ diawalnya. Terkaparnya berbagai spesies lain di tangan hewan bijak (homo sapiens) merupakan hasil dari keunggulan menata narasi. Sebagaiamana halnya Soeharto di era Orde Baru mencengkram tahkta kekuasaan selama 30-an tahun dengan berpagut pada selembar narasi buta bernama SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), demikianlah homo sapiens mengawali dengan narasi-narasi tutur mitos, lalu fiksi tersurat bernama kitab suci, kemudian berkembang ke fiksi agama, negara,ideologi, keuangan, dan sebagainya. Narasi-narasi ini membantu mengkonsolidasi soliditas homo sapiens dalam jumlah sangat besar sehingga membangun kekuatan superior yang tak terdandingi mahkluk manapun. Tetapi, masa depan tidak lagi membutuhkan narasi fiktif macam itu, melainkan data. Karenanya, pertaruangan masa depan adalah penguasaan data. Itulah sebabnya dataisme menjadi agama masa depan, agama-nya homo dues.

           Harari juga melandaskan premis-premis dan analisisnya diatas sikap atau keyakinan mendasar (filosofis) pada “kesetaraan ekologis.” Manusia (homo sapiens) tidak seharusnya mengklaim secara sepihak diri (spesiesnya) sebagai ‘makhluk istimewa’ yang melegitimasi hak vetonya atau “hak berkuasanya” atas eksistensi makhluk lain. Yang membedakan manusia dengan ayam (misalnya), hanyalah pada kapasitas penyimpan data; tidak lebih tidak kurang. Namun, dibalik sikap rendah hati (intellectual humility) ini, Harari mereduksi manusia pada sekadar kapasitas penyimpan datanya, tidak lebih. [5]

           Penggunaan informasi-informasi pendukung sangat memadai, akurat, dan aktual. Antara lain data terbaru evolusi, antropologi, AI dan berbagai hasil ekperimen terkait kesadaran, ragam eksperimen sains dan bioteknologi seperti robot nano bakteri dan virus, dan sebagainya. Secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut:

1.     Berbagai data pembanding yang menunjukkan bahwa masalah kelaparan, wabah, dan perang telah sukses ditangani manusia sehingga bukan lagi ancaman sebagaimana ratusan tahun lalu. Meski belum sepenuhnya bisa dihilangkan, dengan bantuan sains dan teknologi telah terbukti dapat dikendalikan oleh manusia sehingga ketiganya tidak lagi menjadi momok menakutkan. [6]

2.    Penelitian terbaru yang membuktikan bukan hanya manusia yang memiliki kesadaran, melainkan juga makhluk lain. Percobaaan terhadap monyet, tikus, burung, simpanse, kuda dan lainnya dikonfirmasi dalam Deklarasi Cambridge 2012 kemudian diikuti Amandamen UU di Selandia Baru, lalu Kanada yang mengakui hewan memiliki nyawa (kesadaran) (Hal.140-145). Bukti-bukti penelitian ini mendukung argumen Harari bahwa manusia bukanlah species istimewa diantara species lainnya, kecuali bahwa manusia punya kemampuan mengorganisir kelompok besar itulah yang membuatnya mampu mengungguli hewan mana pun. [7] Hal lain yang ingin dibuktikan misalnya impian akan kebahagiaan tidak terletak pada sesuatu di luar sana, jauh di Surga misalnya, melainkan dapat dipicu di sebuah titik yang tepat dalam kesadaran (neuron), karenanya bisa dialami di sini, sekarang, di dunia!

3.    Algoritma dan big data sebagai tuhan dan agama baru yang ‘lebih mengerti’ selera dan kebutuhan manusia daripada manusia itu sendiri, serta penciptaan robot-robot cerdas berukuran nano yang dapat membunuh bakteri-bakteri dan virus dalam tubuh yang membahayakan kehidupan. Termasuk didalamnya, manusia cyborg (cyber organism) yang merupakan ‘perkawinan’ manusia dan teknologi. Sukses ini membuktikan peran Tuhan tidak lagi dibutuhkan, karena keinginan, harapan, dan penyakit dapat diatasi secara teknis dengan teknologi. Manusia akhirnya dimungkinkan hidup abadi (dan tetap muda) sebab intervensi gen dapat meregenerasi sel-sel, dan robot-robot nano yang disuntikkan membunuh virus dan bakteri yang berpotensi membahayakan organ-organ dalam tubuh sebelum sempat beroperasi.

4.    Berbagai penelitian dan data yang menunjukkan bahwa evolusi telah diatasi dan digantikan oleh intervensi intelegensia, narasi inter subyektifitas atau narasi ideologis yang mengalahkan narasi sains sehingga merusak ekosistem dan tatanan iklim, dst (hal 173-174). Di sini sebenarnya mau dibuktikan adalah evolusi dipercepat menjadi revolusi, sehingga semua impian masa depan tidak lagi dipasrahkan pada kerja evolusi yang lamban melainkan diintervensi sehingga lebih cepat.

           Ada baiknya membahas juga elemen Inferensi /Kesimpulan. Dengan menggunakan hasil-hasil penelitian termutakhir dan eksperimen berbasis teknologi, Harari memiliki fondasi kokoh membangun argumen menjawab purpose (tujuan) dan questions (masalah) yang dibahas dalam buku ini. Secara sederhana formulasi purpose Harari adalah menjelaskan perjalanan sejarah homo sapiens dalam tiga tahap revolusi, dengan penekanan pada revolusi sains yang mengantar Homo Deus ke takhta kuasa menggantikan posisi homo sapiens.

           Dengan demikian, permasalahan (Questions) yang ingin dibahas adalah bagaimana perjalanan homo sapiens dari ‘sekadar’ sejenis hewan primata yang sama dengan hewan lainnya, sukses mengatasi ketiga ancaman kehidupan, lalu bertransformasi menjadi homo deus?

           Harari mencapai kesimpulannya (inference) secara meyakinkan, dengan dukungan data dan argumentasi yang kaya. Namun, tidak berarti tidak ada ruang untuk diskusi.

           Pertama: dengan mengabaikan arah perkembangan homo sapiens dalam tarikan kemajuan tanpa disadari juga mengabaikan ‘fakta rekam jejak historis.’ Bertitik tolak dari ‘tingkat narasi primitif’ dengan bangunan insting ke penciptaan bahasa sederhana, lalu ke kitab suci dan narasi sains bagaimana pun telah menggambarkan semacam tren kemajuan dari sudut pandang ‘kualitas narasi’ baik secara substantif-kualitatif maupun kuantitatif. Kenyataan itu tidak dapat dipahami sekadar sebagai kronologi yang mencatatkan urutan even, melainkan sebuah pergerakan kualitatif yang memungkinkan cakupan konsolidasi komunitas semakin luas. Homo sapiens tidak lagi terkotak-kotak pada lingkup kesukuan, nasionalitas, religiusitas, tetapi bahkan dapat mengorganisir diri melampaui semua itu lalu mengacu narasi baru bernama kemanusiaan.

           Kedua: Harari juga menyimpulkan bahwa Homo Deus bukanlah sebuah prediksi ilmiah, melainkan kemungkinan logis berdasarkan capaian-capaian homo sapiens saat ini. Teknosains telah membantu manusia melakukan terobosan-terobosan tak terduga dan mencapai kemajuan menjanjikan menuju keniscayaan mencapai ketiga impian baru homo sapiens, yaitu kebahagiaan, keabadian dan keilahian. Disamping sifatnya yang spekulatif, pencapaian itu tidaklah dalam pengertian denotatif. Keabadian, kebahagiaan dan keilahian yang dikejar itu bersifat relatif dan terbatas, dibandingkan, misalnya dengan keabadian dalam ajaran agama yang sifatnya kekal tiada akhir. Abadi dalam pengertian sebenar-benarnya. Tidak hanya relatif, capaian itu juga bersifat kontingen dalam artian tergantung pada hal-hal diluar makna itu. Misalnya, sifat keilahian itu melekat hanya ketika kapasitas data sangat berlimpah sedemikian sehingga menjadi sumber yang memprovidensi ‘segala kebutuhan data’ warga homo deus. Jenis kebutuhan diluar data tidak dapat disediakan oleh keiliahian homo deus.

           Ketiga: tersingkirnya tuhan (narasi kitab suci) oleh narasi sains. Tuhan tidak lagi relevan, karena homo sapiens dengan capaian-capaian teknologis telah membawanya ke takhta kuasa tuhan itu sendiri. Homo sapiens tidak saja sukses menyingkirkan tuhan dari sejarah, melainkan bertransformasi menjadi tuhan. Di sini homo deus tidak lain puncak dari impian humanisme modern, sebuah capaian yang, sekali lagi, tidak sekadar kronologis melainkan kualitatif dengan arah yang bisa diprediksi, bukan? Dengan kata lain, HD mengandung kampanye neohumanisme, pada saat yang sama memperjuangkan kesetaraan makluk?!

Apa implikasinya? Implikasi yang paling nampak adalah punahnya tuhan. Bila tuhan yang dipunahkan itu dipahami dari sudut pandang filsafat Nietzsche, maka sains (dengan narasi tunggalnya) sesungguhnya menjadi tuhan baru. Artinya, tuhan tidak punah melainkan digantikan. Ini implikasi logis dari analiasis ‘sejarah species evolusi,’ tetapi tentu akan memberi implikasi paling luas pada etika dan agama. Dengan cara pandang ‘kepunahan tuhan’ HD tidak membawa manusia kepada nihilisme Nietzschean, melainkan hanya pergantian posisi dengan tuhan lain bernama sains dan bawaannya seperti algoritma, data, dan sejensinya.Bisa juga disimpulkan bahwa kesimpulan Harari tentang agama data dan tuhan algoritma merupakan puncak capaian positivisme, yang memang ‘mengideologikan’ data material sebagai ukuran kebenaran. Dengan demikian, HD ingin membuktikan kebenaran positivisme, bahkan menggenapi idealisme pembentukan masyarakat positivist. Harus diingat, bahwa dataisme adalah positivisme!

           Akhirnya, seperti kegalauan Nietzsche menghadapi krisis psikologis pasca membunuh tuhan, demikian pula manusia menjadi robot-robot tanpa nurani etispasca ‘membunuh homo sapiens.’ Itulah implikasi yang paling gamblang. Dengan mereduksi manusia dan makhluk lain sebatas pada ‘kapasitasnya menyimpan data, [8]’ individu-individu yang tidak ‘melek data’ dapat disingkirkan dari ‘surga data’ dalam obsesi Harari. ‘Surga’ adalah kelimpahandata sementara “dosa dan neraka” adalah ketiadaan data. Makna seorang individu diukur dari kemampuan dan loyalitasnya mempersembahkan data kepada ‘tuhan data,’ sementara yang tidak akan dianggap memberontak terhadap tuhan. Di sini manusia masa depan ala HD mengalami defisit atau penciutan habis-habisan, termasuk kehilangan keunikan individualistiknya sebab tersedot dalam universalitas dunia (kosmologi) data. Lain dari itu, struktur sosial (sistema klas) akan mengalami rekonstruksi, dimana para penguasa data/teknologi menempati puncak piramida, sementara tuna teknologi akan tergeletak di dasar. Kolaborasi penguasa teknologi dan pemilik modal yang memiliki ambisi yang sama pada citacita baru homo sapiens akan menciptakan sebuah kelas sosial baru yang super kuat karena menempatkan diri sebagai tuhan, dalam dunia baru yang dibangunnya dimana Tuhan (transenden) telah disingkirkan. Penyingkiran Tuhan dengan sendirinya juga menyingkirkan pengikut-Nya, sebab dunia baru homo dues merupakan dunia tanpa Tuhan: melainkan dunianya para tuhan sebagaimana diwakilkan oleh sebutan itu (homo deus = manusia dewa).

           Bersikap kokoh pada fatsun evolusi, Harari menegaskan bahwa ia tidak sedang memberi arah pada sejarah. Tetapi ini bisa juga dipandang sebagai bentuk cuci tangan atas konsekuensietis moral yang kemungkinan ditimbulkannya. Bukankah sejarah juga telah menunjukkan banyaknya capaian justru diarahkan oleh fiksifiksi yang bersumber dari fantasi liar para pioner peradaban? Saya menduga, Harari menyadari konsekuensi ini karenanya ia mencoba cuci tangan dan membersihkan diri. Tetapi, mengapa ia memerlukan itu? Konsekuensi etis yang paling serius adalah lenyapnya nilai-nilai khas manusia yang menjadi fondasi bagi terbangunnya tatanan dan tertib social. Artinya, manusia jatuh ke dalam nihilisme, atau semacam nilai baru yang direkontruksi dimana ‘tuhan teknologi’ sebagai sumber baru. Dan itu berarti manusia sepenuhnya telah menyerahkan diri ke haribaan teknologi, menyembah dan menjadikannya pusat orientasi kehidupan. Menurut saya, pola ini tidak berbeda dengan era dimana manusia menyembah patung-patung berhala buatan tangannya. Yang membedakan, tentu saja “patung buatan para nabi lembah Silicon”lebih powerful, automatisasi, dan beroperasi dalam skala gigantik. Peradaban akhirnya berputar kembali ke era ‘primitif’ ketika manusia belum mengenal Tuhan langit sehingga menyembah obyek kasat mata. [Bersambung].□ AFM

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)