Thursday, August 3, 2023

Bedah Buku Homo Deus (II)

 


HOMO DEUS, SINAR TERANG YANG MURAM

B

uku pertama Harari, Sapiens - A Brief Histoy of Humankind (2014), setelah diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris, langsung melejit masuk daftar perbukuan dunia papan atas. Dalam usia yang relatif muda buat ukuran sejarawan, Harari kemudian menjadi a popular sage, seorang Alvin Toffler untuk era digital - Alvin Toffler (1928 – 2016) adalah seorang penulis, pengusaha, dan futurolog Amerika. Ia dikenal karena penelitiannya tentang efek sosial dari teknologi modern, termasuk penelitian tentang revolusi digital dan komunikasi. Sekuel Sapiens dengan judul yang tak kurang menarik, Homo Deus - A Brief History of Tomorrow. Harari tampaknya akan mendulang kesuksesan sekali lagi.

Kekuatan Harari dalam buku ini masih terjaga sintesis dan integrasi, dengan gaya bercerita yang terang, mengalir, cerdas. Sayangnya, berbeda dengan buku sebelumnya Sapiens - A Brief History of Tomorrow, Homo Deus menyampaikan perkembangan yang lumayan kelam, cenderung distopian, dengan spekulasi terlalu jauh.

Profesor muda di Universitas Hebrew ini ialah seorang penulis dengan bakat besar. Dalam melakukan sintesis dan integrasi, Harari mengumpulkan begitu banyak temuan yang berserakan di berbagai disiplin ilmu, menyatukannya dari sebuah sudut yang kerap tak terduga. Tidak mengherankan jika Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi 2002, berkata bahwa Harari ialah seorang penulis yang sanggup ‘menghibur, mengejutkan, memberi cara pandang yang belum terpikirkan sebelumnya’. Dalam hal yang terakhir ini, misalnya, sejak halaman-halaman pertama Homo Deus, kita sudah diberi woro-woro (belum confirm, tapi sudah mengumumkan) yang penuh gusto (penuh semangat). Sepanjang sejarah, manusia menghadapi tiga persoalan fundamental, yaitu kelaparan, penyakit, dan perang.

Sekarang kelaparan memang masih ada, tetapi jumlah orang meninggal karena obesitas sudah jauh lebih besar. Perang demikian pula: “Di tahun 2012 perang menewaskan 120 ribu orang, sementara angka bunuh diri sudah mencapai 800 ribu orang.” Mesiu dan agresi kini bertukar tempat dengan melankoli dan depresi sebagai faktor penyebab kematian homo sapiens dalam jumlah besar. Masih dalam bagian awal pula, Harari menjelaskan setelah berhasil mengatasi ketiga persoalan fundamental tadi, manusia kini menetapkan sebuah agenda besar yang lebih berani lagi. Katanya: Humanity's next targets are likely to be immortality, happiness and divinity...We will now aim to overcome old age, and even death itself... And having raised humanity above the beastly level of survival struggles, we will now aim to upgrade human into gods, and turn Homo sapiens into Homo deus.” - “Target umat manusia selanjutnya kemungkinan besar adalah keabadian, kebahagiaan, dan keilahian... Kami sekarang akan bertujuan untuk mengatasi usia tua, dan bahkan kematian itu sendiri... Dan setelah mengangkat umat manusia di atas tingkat perjuangan bertahan hidup yang mengerikan, kami sekarang akan bertujuan untuk meningkatkan manusia menjadi dewa, dan mengubah homo sapiens menjadi homo deus.”

Walaupun Harari menyajikan banyak hal menarik dalam menjelaskan semua itu, konsepsi dasar yang menjadi penopang buku ini sesungguhnya relatif sederhana, yaitu otak dan kemampuan kognisi manusia yang terus berkembang tanpa batas. Konsep ini sebenarnya juga melandasi buku sebelumnya (karena itu, bagian pertama Sapiens adalah The Cognitive Revolution).

Dalam Homo Deus, konsep ini menjadi lebih eksplisit dan lebih terinci, dibahas persinggungannya dengan banyak elemen peradaban lainnya, seperti agama, negara, sistem ekonomi, serta bagaimana ia -kemampuan kognisi manusia - berubah dalam dirinya sendiri.

Otak dan perkembangan kognisi, di sinilah kita harus memperhatikan lebih seksama penjelasan Harari, memisahkan yang pokok dari cerita kembangan (rangkaian penguraiannya) yang menghanyutkan.

Pada intinya adalah ini, dalam mengejar agenda besar tadi, menurut Harari, manusia harus semakin bersandar pada ilmu dan teknologi baru, khususnya biologi dan ilmu komputer, beserta berbagai cabangnya seperti ilmu saraf, life sciences, dan artifical intelligence (kecerdasan buatan).

Semakin berkembang, ilmu-ilmu baru ini akan semakin menyingkap tabir yang selama ini masih misterius, yaitu cara kerja otak manusia, proses berpikir dan mekanisme subjektifitas manusia (perasaan, jiwa, kesadaran).

Inilah yang Harari sebut sebagai the Sapiens black box.

Singkatnya, karena tuntutan riil, manusia mulai membuka mahkotanya sendiri yang selama ini masih berupa misteri. Sejauh ini, apa yang mereka temukan di sana? They discovered there neither soul, nor free will, nor self - but only genes, hormones and neurons that obey the same physical and chemical laws governing the rest of reality.” - “Mereka menemukan di sana tidak ada jiwa, atau kehendak bebas, atau diri - tetapi hanya gen, hormon, dan neuron yang mematuhi hukum fisik dan kimia yang sama yang mengatur realitas lainnya.” Perhatikan anak kalimat terakhirnya: “...mengikuti hukum-hukum fisika dan kimia yang selama ini juga mengatur realitas di sekeliling kita.”

Sistem kognitif Homo Sapiens

Algoritma yang digunakan Google dan Amazon sesungguhnya sama dengan algoritma yang terjadi dalam sistem kognitif Homo sapiens setiap kali manusia berpikir atau mengambil keputusan sehari-hari. Bedanya hanya pada kompleksitas, tidak lebih.

           Namun, masalahnya ialah persoalan teknis semata. Semakin ilmu berkembang, semakin perbedaan ini akan teratasi - bahkan sekian tahun silam, komputer IBM, Deep Blue, sudah sanggup mengalahkan grandmaster catur terkemuka, Garry Kasparov.

           Pada suatu titik, kemampuan algoritma dalam komputer dan life sciences akan berkembang sedemikian rupa sehingga melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan, bukan hanya di meja catur. Apalagi, internet kini semakin terhubung dalam berbagai perangkat digital serta membentuk sebuah sistem yang populer disebut ‘internet of things’ (IoT).

           Lewat sistem inilah data atau informasi terus mengalir, terakumulasi menjadi big data yang berisi segala hal, mulai kehidupan manusia yang paling pribadi hingga transaksi perdagangan dan komunikasi satelit. Lewat semua itulah, Harari kemudian masuk poinnya yang terpenting: dengan semakin berkembangnya kemampuan algoritma pada jaringan komputer, dengan semakin berkembangnya life sciences dan ilmu saraf, apa yang terjadi pada algoritma ‘mini’ yang beroperasi di dalam homo sapiens? Jawaban Harari agak datar, tanpa ironi: keduanya akan bergabung, pada awalnya di permukaan saja, tetapi semakin lama semakin mendalam serta pada akhirnya akan menyatu dalam sistem kognitif yang sama. Pada saat itulah homo sapiens ‘will disintegrate from within’ (akan hancur dari dalam / maksudnya berubah bentuk), bukan punah seperti homo neanderthalensis, melainkan berubah bentuk menjadi homo deus, manusia yang (menyerupai) Tuhan.

Di tengah transformasi besar ini, segala hal berubah.

           Dalam politik misalnya, Harari berkata bahwa demokrasi akan runtuh: Liberal habits such as democratic elections will become obsolete, because Google will be able to represent even my own political opinion better than I can.” - Kebiasaan liberal seperti pemilihan umum yang demokratis akan menjadi usang, karena Google bahkan akan mampu mewakili pendapat politik saya sendiri dengan lebih baik daripada saya. Harari masih menjelaskan banyak hal lagi, tetapi kira-kira itulah gambaran dasar yang ada dalam buku setebal 513 halaman ini.

           Perlu kita ingat juga bahwa Harari memberi catatan yang ditulisnya berulang-ulang bahwa Homo Deus bukanlah sebuah buku untuk menyampaikan ‘prophecy, only probability’ - bukan kepastian atau ramalan, melainkan kemungkinan.

           Demikian tentu saja cara berkelit yang tidak cukup meyakinkan untuk menutupi suasana muram di balik rangkaian penjelasannya yang mengalir dengan gairah.

Pada esensinya, dia mengulang kembali cerita lama tentang tragedi manusia.

           Homo sapiens di abad ke-21 adalah Ikarus, putra Daedalus dalam mitologi Yunani, dengan sayap baru berlapis silikon, terbang penuh semangat mendekati matahari.

Harari dalam beberapa hal mengingatkan saya pada Francis Fukuyama.

           Dalam tulisan singkatnya yang juga menghentak, The End of History? (1989), dia menjelaskan bahwa sejarah pertarungan gagasan untuk mencari bentuk masyarakat ideal telah berakhir dengan kemenangan ide liberal dan sistem demokrasi.

           Fukuyama dan Harari: apakah setiap penulis dengan pendekatan yang sama, melihat gerak sejarah lewat satu atau dua faktor fundamental, dan kemudian mencari the end point of everything, harus selalu berakhir dengan muram dan kelam?

           Hegel sendiri, filsuf Jerman dua abad silam yang mengawali pendekatan semacam ini, berkata bahwa the owl of Minerva (burung hantu Minerva) hanya mungkin mengembangkan sayap setelah terbenamnya matahari.

           Pengetahuan dan kearifan kita dapatkan setelah sejarah ‘melengkapi tugas-tugasnya’. Dengan kata lain: suasana muram itu, the doom and gloom (malapetaka dan kesuraman itu), apakah semuanya merupakan sebentuk kearifan - a kind of wisdom in twisted form (semacam kebijaksanaan dalam bentuk bengkok) - untuk menghindari malapetaka di masa depan?

Harari tentu setuju. Akan tetapi, saya tidak yakin.

           Barangkali masalahnya melekat pada pendekatan atau cara pandang terhadap sejarah itu sendiri - Hegel versus Thucydides dan Will Durant: siapa yang lebih mendekati kebenaran? Atau mungkin juga soalnya bukan itu, melainkan lebih pada cara seorang penulis dalam melihat fakta-fakta yang belum selesai atau pada proses yang sedang berlangsung, sebelum pada akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan besar.

Ilmu komputer terus berkembang.

           Demikian pula modifikasi cara kerja algoritma pada Google, Facebook, Amazon, dan lainnya. Susunan saraf serta cara kerja otak manusia juga sedang diteliti intensif dan saat ini masih dalam taraf awal. Spekulasi atau proyeksi tentu bagian dari kreativitas berpikir manusia dalam memberi makna proses perkembangan ini.

           Akan tetapi, kalau dengan itu semua kita kemudian meloncat terlalu jauh, lalu menyimpulkan bahwa itulah the end point (titik akhir) yang akan mengubah peradaban, termasuk membelokkan pola evolusi panjang manusia yang terjadi sejauh ini - semua itu saya kira hanya membuktikan satu hal: sang penulis sudah memiliki pendapat sendiri dan kemudian mengambil setiap fakta yang ada, memerasnya, menyeleksinya to prove his or her point (untuk membuktikan pendapatnya benar). □


HOMO DEUS: KETIKA MANUSIA MENJADI TUHAN

           Prof. Yuval Noah Harari adalah seorang gay Yahudi liberal, paduan identitas sangat pas untuk dikritisi karena tidak mungkin manusia menjadi atau seperti Tuhan. Tuhan ya Tuhan yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya, dan manusia ya manusia yang di ciptakan Tuhan. Bukunya yang berjudul Homo Deus - A Brief History of Tomorrow merupakan buku lanjutan dari Sapiens: A Brief History of Humankind.

           Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sapiens membahas tentang sejarah peradaban manusia, sedangkan Homo Deus membahas tentang masa depan manusia. Perlu dipahami bahwa buku ini lebih banyak menggunakan perspektif pemikiran barat pada umumnya. Memang diakui atau tidak, hari ini baratlah yang memimpin perjalanan peradaban dunia di akhir milennium II sampai permulaan milenium III ini.

Menuju Abad Modern

           Pada abad pertengahan, proyek besar kemanusiaan tidak pernah terlepas dari tiga hal: kelaparan, wabah, dan perang. Kelaparan menjadi permasalahan yang tak dapat diselesaikan sampai revolusi agraria pasca perang dunia I dan II.

           Banyak contoh yang dapat diambil. Wabah menjadi patogen yang sangat cepat menyebar dan mematikan. Ia berada diluar jangkauan nalar manusia saat itu. Sedangkan perang akan terus berlaku selama hukum rimba masih berjalan. Perdamaian hanya bersifat sementara dan tidak pasti.

           Tiga agenda besar kemanusiaan ini relatif berkurang - untuk tidak mengatakan selesai - di abad 21. Orang yang mati karena perang dan karena kekurangan makan lebih sedikit daripada orang yang mati karena kelebihan makan, berupa obesitas, dan penyakit terkait lainnya.

           Korban perang abad 21 lebih sedikit daripada korban ganasnya Coca-cola. Ini tidak berarti menafikan kemiskinan dan kelaparan di negara-negara dunia ketiga. Namun, dalam skala makro, peningkatan yang pesat akibat riset, kemajuan IPTEK, ekonomi, dan dialog-dialog internasional telah mengakibatkan meningkatnya kesejahteraan hidup manusia secara drastis.

           Lantas, setelah semua permasalahan di atas menjadi kurang signifikan, apa proyek kemanusiaan pada abad 21? Mari kita lanjutkan pembahasannya.

Immortalitas

           Masyarakat sekuler yang hari ini menguasai peradaban meyakini bahwa kematian hanyalah masalah teknis tubuh semata. Kita mati karena memang sudah waktunya mati. Namun, kita mati karena sebab-sebab tertentu. Seperti jantung yang tidak berfungsi lagi dengan baik, paru-paru yang terkena virus atau bakteri.

           Atau ginjal yang tidak dapat memompa racun, daging tumbuh di otak, tertabrak truk yang melaju kencang, terbakar api, terseret banjir, tenggelam di laut, dan masalah-masalah teknis yang lain. Padahal masalah teknis selalu menghadirkan solusi teknis, seperti gadget sebagai solusi dari masalah teknis terbatasnya komunikasi. Sehingga dimungkinkan bagi dunia kedokteran dan sains untuk menyelesaikan masalah-masalah teknis ini.

           Prediksi ini bukan isapan jempol semata. Para gerontolog (ahli ilmu tentang proses dan gejala penuaan) pada tahun 2012 ditunjuk menjadi pelaksana proyek rekayasa di Google. Tahun berikutnya, Google meluncurkan anak perusahaan bernama Calico dengan misi mengerikan: “Mengatasi Kematian”.

           Bill Maris, pemimpin perusahaan pengelola investasi Google Venture mengatakan, “jika anda tanya saya hari ini apakah mungkin hidup sampai 500 tahun, jawabannya adalah ya.”

           Maris menopang kata-kata beraninya dengan menginvestasikan uang yang besar. Google Ventures mengivestasikan 34 persen dari portofolionya yang bernilai $2 miliar dolar pada sejumlah start-up yang menekuni sains kehidupan. Termasuk beberapa proyek ambisius pemanjangan usia.

           Dengan menggunakan sebuah analogi sepak bola Amerika, Maris menjelaskan bahwa dalam perang melawan kematian, “kami tidak berusaha memenangi beberapa meter. Kami berusaha memenangi pertandingan.” Mengapa? “karena,” kata Maris, “lebih baik hidup daripada mati.” Tentu Google tidak sendirian, ada banyak pesohor Silicon Valley yang menggarap proyek demikian. Salah satunya adalah pendiri Paypall, Peter Thiel.

           Sejatinya, perang melawan kematian hanyalah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan sepanjang zaman melawan kelaparan dan penyakit, dan memanifestasikan nilai tertinggi budaya kontemporer: nilai kehidupan manusia.

           Kita secara terus-menerus diingatkan bahwa kehidupan manusia adalah hal yang paling sakral di alam semesta. Deklarasi universal hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB setelah perang dunia II menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling fundamental.

           Karena kematian jelas melanggar hak ini, maka kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan, dan kita akan berperang habis-habisan melawannya. Jadi, proyek besar manusia abad 21 adalah membunuh kematian.

Kebahagiaan

           Dalam perkembangannya muncul satu masalah yang sangat krusial yang dihadapi oleh manusia. Kemajuan dalam semua bidang, terutama ketika memasuki abad modern. Ternyata tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan manusia.

           Selama ribuan tahun manusia hidup, teka-teki kebahagiaan belum juga selesai. Angka bunuh diri, depresi, kemarahan, dan lain-lain terus ada dan tetap ada. Ratusan nabi, filosof, psikolog, cerdik cendekia, dan bijak bestari datang untuk memberikan nasehat tentang kebahagiaan, rasanya tidak pernah cukup.

           Pada abad 20, GDP per kapita mungkin menjadi tolak ukur tertinggi untuk mengevaluasi keberhasilan bangsa. Dari perspektif ini, Singapura, yang setiap warganya menghasilkan rata-rata barang dan jasa bernilai $56.000 dalam setahun, adalah negara yang lebih berhasil dari Costa Rica yang warganya hanya memproduksi $14.000 pertahun misalnya.

           Namun, kini para pemikir, politisi, dan bahkan ekonom menyerukan penambahan atau bahkan mengganti GDP dengan GDH (Gross Domestic Happines). Manusia tidak ingin memproduksi. Manusia ingin bahagia. Maka proyek meraih kebahagiaan sejati menjadi proyek terpenting kedua setelah keabadian.

Homo Deus dan Upaya Menjadi “Tuhan”

           Hingga saat ini, kekuatan manusia yang semakin meningkat bertumpu terutama pada peningkatan alat-alat eksternal kita. Pada masa depan, hal itu mungkin akan lebih bertumpu pada peningkatan tubuh dan pikiran manusia. Maka, meningkatkan manusia menjadi tuhan akan menempuh satu dari tiga jalan ini: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan rekayasa benda-benda non-organik.

           Dalam rekayasa biologis, kita tidak pernah berfikir bahwa homo sapiens adalah stasiun terakhir kita sebagai manusia. Rekayasa cyborg malah selangkah lebih maju. Ia akan menggabungkan tubuh organik dengan alat-alat organic. Seperti tangan bionik, mata artifisial, atau jutaan robot nano yang menavigasi aliran darah manusia, mendiagnosa, dan memperbaiki kerusakan. Pasien lumpuh sudah belajar mengoperasikan komputer dengan helm elektrik “pembaca pikiran”.

           Pada abad ke-21, proyek besar ketiga manusia adalah mendapatkan kekuatan ilahiah. Kemudian meningkatkan Homo sapiens menadi Homo deus. Proyek ketiga ini jelas memasukkan dua proyek pertama, dan digerakkan oleh keduanya.

           Kita menginginkan kekuatan kemampuan untuk merekayasa ulang tubuh dan pikiran kita secara berurutan, di atas semua itu, untuk meloloskan diri dari usia tua, kematian, dan penderitaan. Sayangnya, 3 proyek raksasa diatas diperkirakan hanya dapat dinikmati oleh kelompok WEIRD (western, educated, industrialised, rich, dan democratic). Lantas, bagaimana dengan masyarakat diluar kelompok tersebut?

           Mereka akan tertinggal di stasiun yang membawa Homo Sapiens menuju Homo Deus. Kesenjangan antara barat yang superior dengan kita yang inferior akan semakin lebar. Teknologi mereka akan semakin berkembang dengan sangat pesat. Sementara kita akan terus berdebat masalah poligami atau hukum memakai cadar. Selamat tertinggal! [Bersambung] □ AFM

 

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)