HOMO DEUS, SINAR TERANG YANG MURAM
B |
uku
pertama Harari, Sapiens - A Brief Histoy of Humankind (2014), setelah
diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Inggris, langsung melejit masuk
daftar perbukuan dunia papan atas. Dalam usia yang relatif muda buat ukuran
sejarawan, Harari kemudian menjadi a
popular sage, seorang Alvin Toffler untuk era digital - Alvin
Toffler (1928 – 2016)
adalah seorang penulis, pengusaha, dan futurolog
Amerika. Ia dikenal
karena penelitiannya tentang efek sosial dari teknologi modern, termasuk
penelitian tentang revolusi digital dan komunikasi. Sekuel Sapiens dengan
judul yang tak kurang menarik, Homo Deus - A Brief History of Tomorrow. Harari
tampaknya akan mendulang kesuksesan sekali lagi.
Kekuatan Harari dalam buku ini masih terjaga
sintesis dan integrasi, dengan gaya bercerita yang terang, mengalir, cerdas. Sayangnya,
berbeda dengan buku sebelumnya Sapiens - A Brief History of Tomorrow, Homo Deus
menyampaikan perkembangan yang lumayan kelam, cenderung distopian, dengan
spekulasi terlalu jauh.
Profesor muda di Universitas Hebrew ini ialah
seorang penulis dengan bakat besar. Dalam melakukan sintesis dan integrasi,
Harari mengumpulkan begitu banyak temuan yang berserakan di berbagai disiplin
ilmu, menyatukannya dari sebuah sudut yang kerap tak terduga. Tidak
mengherankan jika Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi 2002, berkata bahwa
Harari ialah seorang penulis yang sanggup ‘menghibur, mengejutkan, memberi cara
pandang yang belum terpikirkan sebelumnya’. Dalam hal yang terakhir ini,
misalnya, sejak halaman-halaman pertama Homo Deus, kita sudah diberi woro-woro
(belum confirm, tapi sudah
mengumumkan) yang penuh gusto (penuh semangat). Sepanjang sejarah, manusia
menghadapi tiga persoalan fundamental, yaitu kelaparan, penyakit, dan perang.
Sekarang kelaparan memang masih ada, tetapi
jumlah orang meninggal karena obesitas sudah jauh lebih besar. Perang demikian
pula: “Di tahun 2012 perang menewaskan 120 ribu orang, sementara angka bunuh
diri sudah mencapai 800 ribu orang.” Mesiu dan agresi kini bertukar tempat
dengan melankoli dan depresi sebagai faktor penyebab kematian homo sapiens
dalam jumlah besar. Masih dalam bagian awal pula, Harari menjelaskan setelah berhasil
mengatasi ketiga persoalan fundamental tadi, manusia kini menetapkan sebuah
agenda besar yang lebih berani lagi. Katanya: “Humanity's
next targets are likely to be immortality, happiness and divinity...We will now
aim to overcome old age, and even death itself... And having raised humanity
above the beastly level of survival struggles, we will now aim to upgrade human
into gods, and turn Homo sapiens into Homo deus.” - “Target umat manusia
selanjutnya kemungkinan besar adalah keabadian, kebahagiaan, dan keilahian...
Kami sekarang akan bertujuan untuk mengatasi usia tua, dan bahkan kematian itu
sendiri... Dan setelah mengangkat umat manusia di atas tingkat perjuangan
bertahan hidup yang mengerikan, kami sekarang akan bertujuan untuk meningkatkan
manusia menjadi dewa, dan mengubah homo sapiens menjadi homo deus.”
Walaupun Harari menyajikan banyak hal menarik
dalam menjelaskan semua itu, konsepsi dasar yang menjadi penopang buku ini
sesungguhnya relatif sederhana, yaitu otak dan kemampuan kognisi manusia yang
terus berkembang tanpa batas. Konsep ini sebenarnya juga melandasi buku
sebelumnya (karena itu, bagian pertama Sapiens adalah The Cognitive
Revolution).
Dalam Homo Deus, konsep ini
menjadi lebih eksplisit dan lebih terinci, dibahas persinggungannya dengan
banyak elemen peradaban lainnya, seperti agama, negara, sistem ekonomi, serta
bagaimana ia -kemampuan kognisi manusia - berubah dalam dirinya sendiri.
Otak dan perkembangan kognisi, di sinilah kita
harus memperhatikan lebih seksama penjelasan Harari, memisahkan yang pokok dari
cerita kembangan (rangkaian penguraiannya) yang menghanyutkan.
Pada intinya adalah ini, dalam mengejar agenda
besar tadi, menurut Harari, manusia harus semakin bersandar pada ilmu dan
teknologi baru, khususnya biologi dan ilmu komputer, beserta berbagai cabangnya
seperti ilmu saraf, life sciences,
dan artifical intelligence
(kecerdasan buatan).
Semakin berkembang, ilmu-ilmu
baru ini akan semakin menyingkap tabir yang selama ini masih misterius, yaitu
cara kerja otak manusia, proses berpikir dan mekanisme subjektifitas manusia
(perasaan, jiwa, kesadaran).
Inilah
yang Harari sebut sebagai the Sapiens black box.
Singkatnya, karena tuntutan riil, manusia mulai
membuka mahkotanya sendiri yang selama ini masih berupa misteri. Sejauh ini,
apa yang mereka temukan di sana? “They
discovered there neither soul, nor free will, nor self - but only genes,
hormones and neurons that obey the same physical and chemical laws governing
the rest of reality.” - “Mereka menemukan di sana tidak ada jiwa, atau
kehendak bebas, atau diri - tetapi hanya gen, hormon, dan neuron yang mematuhi
hukum fisik dan kimia yang sama yang mengatur realitas lainnya.” Perhatikan
anak kalimat terakhirnya: “...mengikuti hukum-hukum fisika dan kimia yang
selama ini juga mengatur realitas di sekeliling kita.”
Sistem kognitif Homo Sapiens
Algoritma yang digunakan Google dan Amazon
sesungguhnya sama dengan algoritma yang terjadi dalam sistem kognitif Homo
sapiens setiap kali manusia berpikir atau mengambil keputusan sehari-hari. Bedanya
hanya pada kompleksitas, tidak lebih.
Namun, masalahnya ialah persoalan
teknis semata. Semakin ilmu berkembang, semakin perbedaan ini akan teratasi - bahkan
sekian tahun silam, komputer IBM, Deep Blue, sudah sanggup mengalahkan
grandmaster catur terkemuka, Garry Kasparov.
Pada suatu titik, kemampuan algoritma
dalam komputer dan life sciences akan berkembang sedemikian rupa sehingga
melampaui kemampuan kognisi manusia dalam setiap bidang kehidupan, bukan hanya
di meja catur. Apalagi, internet kini semakin terhubung dalam berbagai
perangkat digital serta membentuk sebuah sistem yang populer disebut ‘internet of things’ (IoT).
Lewat sistem inilah data atau
informasi terus mengalir, terakumulasi menjadi big data yang berisi segala hal,
mulai kehidupan manusia yang paling pribadi hingga transaksi perdagangan dan
komunikasi satelit. Lewat semua itulah, Harari kemudian masuk poinnya yang
terpenting: dengan semakin berkembangnya kemampuan algoritma pada jaringan
komputer, dengan semakin berkembangnya life sciences dan ilmu saraf, apa yang
terjadi pada algoritma ‘mini’ yang beroperasi di dalam homo sapiens? Jawaban
Harari agak datar, tanpa ironi: keduanya akan bergabung, pada awalnya di
permukaan saja, tetapi semakin lama semakin mendalam serta pada akhirnya akan
menyatu dalam sistem kognitif yang sama. Pada saat itulah homo sapiens ‘will disintegrate from within’ (akan
hancur dari dalam / maksudnya berubah bentuk), bukan punah seperti homo neanderthalensis, melainkan berubah
bentuk menjadi homo deus, manusia yang (menyerupai) Tuhan.
Di tengah transformasi besar ini, segala hal berubah.
Dalam politik misalnya, Harari
berkata bahwa demokrasi akan runtuh: “Liberal
habits such as democratic elections will become obsolete, because Google will
be able to represent even my own political opinion better than I can.” - Kebiasaan
liberal seperti pemilihan umum yang demokratis akan menjadi usang, karena
Google bahkan akan mampu mewakili pendapat politik saya sendiri dengan lebih
baik daripada saya. Harari masih menjelaskan banyak hal lagi, tetapi
kira-kira itulah gambaran dasar yang ada dalam buku setebal 513 halaman ini.
Perlu kita ingat juga bahwa Harari
memberi catatan yang ditulisnya berulang-ulang bahwa Homo Deus bukanlah sebuah
buku untuk menyampaikan ‘prophecy, only probability’ - bukan
kepastian atau ramalan, melainkan kemungkinan.
Demikian tentu saja cara berkelit
yang tidak cukup meyakinkan untuk menutupi suasana muram di balik rangkaian
penjelasannya yang mengalir dengan gairah.
Pada esensinya, dia mengulang kembali cerita lama tentang tragedi
manusia.
Homo sapiens di abad ke-21 adalah
Ikarus, putra Daedalus dalam mitologi Yunani, dengan sayap baru berlapis
silikon, terbang penuh semangat mendekati matahari.
Harari dalam beberapa hal mengingatkan saya pada Francis Fukuyama.
Dalam tulisan singkatnya yang juga
menghentak, The End of History? (1989), dia menjelaskan bahwa sejarah
pertarungan gagasan untuk mencari bentuk masyarakat ideal telah berakhir dengan
kemenangan ide liberal dan sistem demokrasi.
Fukuyama dan Harari: apakah setiap
penulis dengan pendekatan yang sama, melihat gerak sejarah lewat satu atau dua
faktor fundamental, dan kemudian mencari the end point of everything,
harus selalu berakhir dengan muram dan kelam?
Hegel
sendiri, filsuf Jerman dua abad silam yang mengawali pendekatan semacam ini,
berkata bahwa the owl of Minerva (burung hantu Minerva) hanya mungkin
mengembangkan sayap setelah terbenamnya matahari.
Pengetahuan dan kearifan kita
dapatkan setelah sejarah ‘melengkapi tugas-tugasnya’. Dengan kata lain: suasana
muram itu, the doom and gloom (malapetaka dan kesuraman itu), apakah
semuanya merupakan sebentuk kearifan - a
kind of wisdom in twisted form (semacam kebijaksanaan dalam bentuk bengkok)
- untuk menghindari malapetaka di masa depan?
Harari tentu setuju. Akan tetapi, saya tidak yakin.
Barangkali masalahnya melekat pada
pendekatan atau cara pandang terhadap sejarah itu sendiri - Hegel versus
Thucydides dan Will Durant: siapa yang lebih mendekati kebenaran? Atau mungkin
juga soalnya bukan itu, melainkan lebih pada cara seorang penulis dalam melihat
fakta-fakta yang belum selesai atau pada proses yang sedang berlangsung,
sebelum pada akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan besar.
Ilmu komputer terus berkembang.
Demikian pula modifikasi cara kerja
algoritma pada Google, Facebook, Amazon, dan lainnya. Susunan saraf serta cara
kerja otak manusia juga sedang diteliti intensif dan saat ini masih dalam taraf
awal. Spekulasi atau proyeksi tentu bagian dari kreativitas berpikir manusia
dalam memberi makna proses perkembangan ini.
Akan
tetapi, kalau dengan itu semua kita kemudian meloncat terlalu jauh, lalu
menyimpulkan bahwa itulah the end point (titik akhir) yang akan mengubah
peradaban, termasuk membelokkan pola evolusi panjang manusia yang terjadi
sejauh ini - semua itu saya kira hanya membuktikan satu hal: sang penulis sudah
memiliki pendapat sendiri dan kemudian mengambil setiap fakta yang ada,
memerasnya, menyeleksinya to prove his or her point (untuk membuktikan
pendapatnya benar). □
HOMO DEUS: KETIKA MANUSIA MENJADI TUHAN
Prof. Yuval Noah Harari adalah
seorang gay Yahudi liberal, paduan identitas sangat pas untuk dikritisi karena
tidak mungkin manusia menjadi atau seperti Tuhan. Tuhan ya Tuhan yang
menciptakan alam semesta dengan segala isinya, dan manusia ya manusia yang di
ciptakan Tuhan. Bukunya yang berjudul Homo Deus - A Brief History of Tomorrow
merupakan buku lanjutan dari Sapiens: A Brief History of Humankind.
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa Sapiens membahas tentang sejarah peradaban manusia, sedangkan Homo Deus
membahas tentang masa depan manusia. Perlu dipahami bahwa buku ini lebih banyak
menggunakan perspektif pemikiran barat pada umumnya. Memang diakui atau tidak,
hari ini baratlah yang memimpin perjalanan peradaban dunia di akhir milennium
II sampai permulaan milenium III ini.
Menuju Abad Modern
Pada abad pertengahan, proyek besar
kemanusiaan tidak pernah terlepas dari tiga hal: kelaparan, wabah, dan perang.
Kelaparan menjadi permasalahan yang tak dapat diselesaikan sampai revolusi
agraria pasca perang dunia I dan II.
Banyak contoh yang dapat diambil.
Wabah menjadi patogen yang sangat cepat menyebar dan mematikan. Ia berada
diluar jangkauan nalar manusia saat itu. Sedangkan perang akan terus berlaku
selama hukum rimba masih berjalan. Perdamaian hanya bersifat sementara dan
tidak pasti.
Tiga agenda besar kemanusiaan ini
relatif berkurang - untuk tidak mengatakan selesai - di abad 21. Orang yang
mati karena perang dan karena kekurangan makan lebih sedikit daripada orang
yang mati karena kelebihan makan, berupa obesitas, dan penyakit terkait
lainnya.
Korban
perang abad 21 lebih sedikit daripada korban ganasnya Coca-cola. Ini tidak
berarti menafikan kemiskinan dan kelaparan di negara-negara dunia ketiga.
Namun, dalam skala makro, peningkatan yang pesat akibat riset, kemajuan IPTEK,
ekonomi, dan dialog-dialog internasional telah mengakibatkan meningkatnya
kesejahteraan hidup manusia secara drastis.
Lantas, setelah semua permasalahan di
atas menjadi kurang signifikan, apa proyek kemanusiaan pada abad 21? Mari kita
lanjutkan pembahasannya.
Immortalitas
Masyarakat sekuler yang hari ini
menguasai peradaban meyakini bahwa kematian hanyalah masalah teknis tubuh
semata. Kita mati karena memang sudah waktunya mati. Namun, kita mati karena
sebab-sebab tertentu. Seperti jantung yang tidak berfungsi lagi dengan baik,
paru-paru yang terkena virus atau bakteri.
Atau ginjal yang tidak dapat memompa
racun, daging tumbuh di otak, tertabrak truk yang melaju kencang, terbakar api,
terseret banjir, tenggelam di laut, dan masalah-masalah teknis yang lain.
Padahal masalah teknis selalu menghadirkan solusi teknis, seperti gadget
sebagai solusi dari masalah teknis terbatasnya komunikasi. Sehingga dimungkinkan
bagi dunia kedokteran dan sains untuk menyelesaikan masalah-masalah teknis ini.
Prediksi ini bukan isapan jempol
semata. Para gerontolog (ahli ilmu tentang proses dan gejala penuaan) pada
tahun 2012 ditunjuk menjadi pelaksana proyek rekayasa di Google. Tahun
berikutnya, Google meluncurkan anak perusahaan bernama Calico dengan misi
mengerikan: “Mengatasi Kematian”.
Bill Maris, pemimpin perusahaan
pengelola investasi Google Venture mengatakan, “jika anda tanya saya hari ini
apakah mungkin hidup sampai 500 tahun, jawabannya adalah ya.”
Maris menopang kata-kata beraninya
dengan menginvestasikan uang yang besar. Google Ventures mengivestasikan 34
persen dari portofolionya yang bernilai $2 miliar dolar pada sejumlah start-up
yang menekuni sains kehidupan. Termasuk beberapa proyek ambisius pemanjangan
usia.
Dengan menggunakan sebuah analogi
sepak bola Amerika, Maris menjelaskan bahwa dalam perang melawan kematian,
“kami tidak berusaha memenangi beberapa meter. Kami berusaha memenangi
pertandingan.” Mengapa? “karena,” kata Maris, “lebih baik hidup daripada mati.”
Tentu Google tidak sendirian, ada banyak pesohor Silicon Valley yang menggarap
proyek demikian. Salah satunya adalah pendiri Paypall, Peter Thiel.
Sejatinya, perang melawan kematian
hanyalah kelanjutan dari perjuangan yang paling dibanggakan sepanjang zaman
melawan kelaparan dan penyakit, dan memanifestasikan nilai tertinggi budaya
kontemporer: nilai kehidupan manusia.
Kita secara terus-menerus diingatkan
bahwa kehidupan manusia adalah hal yang paling sakral di alam semesta.
Deklarasi universal hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB setelah perang
dunia II menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah nilai kemanusiaan yang paling
fundamental.
Karena kematian jelas melanggar hak
ini, maka kematian adalah kejahatan melawan kemanusiaan, dan kita akan
berperang habis-habisan melawannya. Jadi, proyek besar manusia abad 21 adalah
membunuh kematian.
Kebahagiaan
Dalam perkembangannya muncul satu
masalah yang sangat krusial yang dihadapi oleh manusia. Kemajuan dalam semua
bidang, terutama ketika memasuki abad modern. Ternyata tidak berbanding lurus
dengan kebahagiaan manusia.
Selama ribuan tahun manusia hidup,
teka-teki kebahagiaan belum juga selesai. Angka bunuh diri, depresi, kemarahan,
dan lain-lain terus ada dan tetap ada. Ratusan nabi, filosof, psikolog, cerdik
cendekia, dan bijak bestari datang untuk memberikan nasehat tentang
kebahagiaan, rasanya tidak pernah cukup.
Pada abad 20, GDP per kapita mungkin
menjadi tolak ukur tertinggi untuk mengevaluasi keberhasilan bangsa. Dari
perspektif ini, Singapura, yang setiap warganya menghasilkan rata-rata barang
dan jasa bernilai $56.000 dalam setahun, adalah negara yang lebih berhasil dari
Costa Rica yang warganya hanya memproduksi $14.000 pertahun misalnya.
Namun, kini para pemikir, politisi,
dan bahkan ekonom menyerukan penambahan atau bahkan mengganti GDP dengan GDH
(Gross Domestic Happines). Manusia tidak ingin memproduksi. Manusia ingin
bahagia. Maka proyek meraih kebahagiaan sejati menjadi proyek terpenting kedua
setelah keabadian.
Homo Deus dan Upaya Menjadi “Tuhan”
Hingga saat ini, kekuatan manusia
yang semakin meningkat bertumpu terutama pada peningkatan alat-alat eksternal
kita. Pada masa depan, hal itu mungkin akan lebih bertumpu pada peningkatan
tubuh dan pikiran manusia. Maka, meningkatkan manusia menjadi tuhan akan
menempuh satu dari tiga jalan ini: rekayasa biologis, rekayasa cyborg, dan
rekayasa benda-benda non-organik.
Dalam rekayasa biologis, kita tidak
pernah berfikir bahwa homo sapiens adalah stasiun terakhir kita sebagai
manusia. Rekayasa cyborg malah selangkah lebih maju. Ia akan menggabungkan
tubuh organik dengan alat-alat organic. Seperti tangan bionik, mata artifisial,
atau jutaan robot nano yang menavigasi aliran darah manusia, mendiagnosa, dan
memperbaiki kerusakan. Pasien lumpuh sudah belajar mengoperasikan komputer
dengan helm elektrik “pembaca pikiran”.
Pada abad ke-21, proyek besar ketiga
manusia adalah mendapatkan kekuatan ilahiah. Kemudian meningkatkan Homo sapiens
menadi Homo deus. Proyek ketiga ini jelas memasukkan dua proyek pertama, dan
digerakkan oleh keduanya.
Kita
menginginkan kekuatan kemampuan untuk merekayasa ulang tubuh dan pikiran kita
secara berurutan, di atas semua itu, untuk meloloskan diri dari usia tua, kematian,
dan penderitaan. Sayangnya, 3 proyek raksasa diatas diperkirakan hanya dapat
dinikmati oleh kelompok WEIRD (western, educated, industrialised,
rich, dan democratic). Lantas, bagaimana dengan masyarakat diluar
kelompok tersebut?
Mereka
akan tertinggal di stasiun yang membawa Homo Sapiens menuju Homo Deus.
Kesenjangan antara barat yang superior dengan kita yang inferior akan semakin
lebar. Teknologi mereka akan semakin berkembang dengan sangat pesat. Sementara
kita akan terus berdebat masalah poligami atau hukum memakai cadar. Selamat
tertinggal! [Bersambung] □ AFM
Bedah Buku Homo Deus