Thursday, December 13, 2018

Radikal Geliat Indonesia Maju




"Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh".


KATA PENGANTAR

A
pakah Makna “Radikal” Selalu Berkonotasi Negatif? Kata “radikal” dalam tinjauan historis Eropah yang sedang menggeliat hendak maju, adalah peralihan dari sistim raja absolut yang stagnan ke demokratis yang mereka yakini akan membuat progres.

Radikal”, dari kata Latin radix yang berarti akar. Selama akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mengidentifikasi pendukung reformasi yang kemudian menjadi Gerakan Radikal parlementer.

Selama abad ke-19 di Kerajaan Inggris, benua Eropa dan Amerika Latin, istilah “radikal datang untuk menunjukkan ideologi progresif. Secara historis, “radikalisme muncul pada tahun 1830-an di Britania Raya, seperti Gerakan Chartis, dan Belgia dengan adanya Revolusi 1830.

Karena kesejarahan Eropa dengan adanya tindakan “radikal” dari kesadaran para pemikir dan rakyat Eropa (Barat) menjadi maju dan berjaya hingga kini.

Tulisan berikut ini bahannya diambil dari kompasiana yang ditulis oleh Ujang Ti Bagus yang tajuknya saya beri nama RADIKAL GELIAT INDONESIA MAJU. Selamat menyimak. □ AFM


RADIKAL - GELIAT INDONESIA MAJU

M
alang amat nasib kata “radikal” dan “radikalisme”, seolah selalu diperuntukkan hanya sebagai kata atau istilah yang selalu bermakna negatif. Kata itu telah dijadikan simbol serta bahan hujatan. Menjadi kambing hitam dan sederet stigma negatif lainnya. Padahal yang salah sebenarnya bukanlah “radikal-radikalisme” dengan segala makna serta definisi pengertiannya. Tetapi ‘sesuatu’ di balik sikap-prinsip “radikal" itu yang persisnya tidak dipahaminya. Tentu saja, sesuatu yang dapat didefinisikan sebagai hal yang bukan positif - bagi yang tidak menyukainya.

Bila mendengar kata “radikal” diucapkan di media, pikiran masyarakat seolah terarah pada suatu yang negatif dan harus dihindari, mengapa? Mungkin pikiran sebagian masyarakat sudah terdoktrin oleh pihak yang bertujuan memparalelkan kalimat “radikal-radikalisme” hanya dengan hal hal yang negatif.

Pihak yang bertujuan mempopulerkan istilah radikalisme hanya dengan hal-hal yang bersifat negatif itu pula yang seolah punya ‘kata pengganti’ untuk menggusur makna “radikal-radikalisme” dari kamus - ranah kata-kata yang merujuk pada kebaikan dan kebajikan. Mereka menciptakan istilah “moderat” sebagai penggantinya.

Sebab itu coba kalau kita mendengar kalimat “moderat” diucapkan, maka pikiran masyarakat seolah terdoktrin ke arah prinsip yang seolah selalu “baik-benar dan bijak”. Bahkan tanpa masyarakat mengetahui secara jelas apa-bagaimana itu sikap yang “baik-benar dan bijak” itu. Kalau kata itu diucapkan maka sim salabim, fikiran masyarakat seolah langsung tertuju pada suatu yang ‘baik-benar-bijak’. Itulah salah satu kekuatan dari ‘sihir kata’ terhadap alam fikiran manusia


RADIKAL DALAM KAMUS BAHASA


K
amus bersifat netral karena, belum dimasuki “opini-sudut pandang manusiawi”. Agar bahasan kita dimulai dari ‘netralitas’, maka terlebih dahulu mari kita kembali ke mencari makna-definisi- pengertian kalimat “radikal” dalam seluruh kamus yang ada di seluruh dunia yang dimiliki oleh berbagai bangsa di dunia dengan bahasa yang berbeda-beda. Saya pikir walau makna dasarnya diucapkan dengan bahasa yang berbeda-beda tetapi pengertian dasarnya akan tetap sama. Dalam KBBI istilah radikal dikaitkan dengan: (1). [adjective] Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; (2). [politik dan pemerintahan] amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3). Maju dalam berpikir atau bertindak.

Jadi makna “radikal” dalam kamus itu tak langsung menunjuk pada suatu nilai tertentu atau suatu pandangan yang bersifat positif atau negatif. Makna dasar dari kata-kata dalam kamus itu netral - belum dimasuki atau dibingkai oleh opini serta pandangan-pandangan manusiawi. Nah makna radikal itu menjadi berkonotasi ‘negatif’ itu, setelah dibingkai oleh opini serta kacamata sudut pandang tertentu.

   Agar makna dari kata “radikal” itu kembali ke dasarnya yang bersifat netral, maka sebelumnya mari kita pahami bahwa sifat-watak-tindakan-perbuatan hingga ke prinsip serta filosofi radikal itu bisa benar dan bisa pula salah. Bisa baik bisa pula tidak baik. Bergantung pada ‘sesuatu’ yang ada di belakangnya atau yang melatar belakanginya. Sesuatu itu bisa niat-prinsip-tujuan maupun konsep.

Jadi bila suatu sikap-tindakan-perbuatan dilakukan dan dianggap “radikal”, maka janganlah sifat radikal atau radikalisme-nya itu yang disalahkan, tetapi salahkan prinsip atau tujuan atau konsep yang melatarbelakanginya. Karena “radikal-radikalisme” sebagai sikap maupun cara atau spirit itu tak berkonotasi langsung atau tak paralel dengan ketidakbenaran atau ketidakbaikan.

Contoh, bila buruh dianggap bersikap “radikal” dalam menyampaikan tuntutannya, maka jangan menyalahkan sikap radikalnya. Karena tanpa sikap atau spirit radikal, maka bagaimana mereka bisa memiliki semangat yang menggebu dalam mengungkap tuntutannya. Tetapi salahkan poin-poin tertentu dari tuntutannya bila ada yang dianggap salah.

Demikian pula bila sopir angkot atau pegawai negeri mogok, maka analisis poin yang dianggap benar serta salah nya. Jangan pernah secara langsung menyalahkan kaum buruh, sopir angkot, pegawai negeri, nelayan, buruh tani dlsb. yang langsung melabelkan stigma “radikal-radikalis-radikalisme” pada mereka. Karena menurut kamus, makna “radikal” itu tak langsung berkonotasi atau paralel dengan hal-hal yang salah dan buruk.

   Jangan lalu sebagai penggantinya mereka semua disuruh bersikap “moderat”. Misal, bila makna dari kalimat itu saja tidak mereka pahami maksud tujuannya, atau bila penggunaan istilah “moderat” itu ditujukan untuk “membunuh” sikap atau spirit radikalnya sehingga-atau agar pihak tertentu menjadi lemah lembut - jinak, adem ayem dalam mengungkap tuntutan atau keinginannya.

Jangan pernah menyatakan: “kaum buruh, sopir angkot, nelayan dlsb. yang berdemo atau yang menyatakan tuntutannya itu salah karena bersikap radikal”.

Dengan kata lain sifat-watak-tabiat-spirit-semangat radikal itu perlu - tak harus dipadamkan atau ditakuti atau secara langsung distigmakan secara negatif. Tetapi yang harus dianalisis serta dinilai benar-salah, baik-buruk nya, adalah ide-gagasan-konsep-prinsip-niat-keyakinan dlsb. dibalik spirit radikal itu.

   Secara netral dan adil, demikian pula sikap serta penilaian terhadap ormas keagamaan. Jangan mereka secara langsung disalahkan atau langsung distigmakan secara negatif hanya karena memperlihatkan sikap atau spirit radikal, lalu menghadapkannya dengan sikap ‘moderat’ dalam bingkai benar-salah, baik-buruk. Yang harus dianalisis adalah substansi-intisari-landasan dari apa yang menjadi tuntutan mereka, lalu dinilai benar-salah, baik-buruk nya atau dibuat pemilahan antara benar-salah, baik-buruk nya. Jangan semua lantas dianggap salah-buruk hanya karena dinyatakan dengan spirit radikalisme.


RADIKAL DALAM CONTOH
 
B
erbagai contoh yang ‘adil dan netral’. Selain mengacu pada kamus sebagai landasan tempat manusia mencari makna dasar tiap kata-kalimat maka mari kita ungkap contoh-contoh dari sikap-tindakan-perbuatan-konsep-spirit-mental “radikal” yang melandasi berbagai tindakan manusia dari berbagai golongan yang terkait dengan istilah ‘radikal’ menurut kamus KBBI.

□ Keluarga pasien cenderung ingin mengobati saudara mereka yang kakinya terkena kanker dengan cara ‘halus’, misal dengan ramuan tradisional. Karena menolak radioterapi, kemoterapi, dan amputasi kalau berobat di rumahsakit. Malah tim dokter memilih bersikap “radikal” dengan meminta keluarga pasien mengijinkan team dokter melakukan amputasi, karena bila tidak diamputasi itu lebih membahayakan bagi organ tubuh yang lain.

□ Karena kecenderungan penyalahgunaan narkotika di masyarakat cenderung meningkat, maka BNN beserta instrumen kenegaraan yang lain berkoordinasi untuk melakukan tindakan “radikal” terhadap pengguna serta pengedar narkotika.

□ Ketika cara cara diplomatis sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil, malahan penjajah Belanda menunjukkan gelagat ingin kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia. Maka para pemimpin serta pejuang kemerdekaan memilih bersikap “radikal” terhadap penjajah hingga meletus pertempuran diberbagai tempat. Tetapi sekarang kita tahu bahwa sikap-spirit serta mental radikal dari para pejuang masa lalu itu telah membuahkan hasil yang manis yang kini kita nikmati. Yaitu merdeka dari penjajahan yang menyengsarakan.

Dan banyak lagi contoh sikap-tindakan serta perbuatan “radikal” yang dapat dinilai baik dan benar, karena hasil yang diperoleh adalah suatu yang baik. Dari contoh-contoh itu, ternetralisirlah penggunaan istilah “radikal-radikalisme” yang cenderung diarahkan atau mengarah hanya pada hal yang dianggap negatif.

   Jadi sikap-tindakan “radikal” itu terkadang diperlukan pada situasi-keadaan yang memang sudah pada waktunya harus bersikap demikian, dan akan dianggap keliru kalau pada saat harus bersikap “radikal”, malah bersikap sebaliknya alias ‘anti klimaks’, misal karena takut distigmakan secara negatif.

Itulah, kaum buruh, sopir, nelayan, petani, dokter, birokrat hingga agamawan dan berbagai profesi lain di masyarakat tentu memiliki parameter benar-salah, baik-buruk tersendiri, dan tahu kapan harus bersikap lemah lembut - tidak radikal, serta kapan harus bersikap “radikal” yang menurut kamus maknanya berkaitan dengan “kembali pada atau berpegang pada hal yang prinsipil - mendasar.”

Jangan sampai ada yang di stel harus “tidak radikal” sementara situasi dan keadaan justru menuntut tindakan yang lebih “radikal”, semisal dokter harus mengamputasi atau petugas BNN yang dituntut harus bersikap lebih keras atau polisi terhadap para penjahat yang makin berani, atau agamawan terhadap kemaksiatan di masyarakat di daerah tertentu yang sudah massif, misalnya.

   Jadi jangan sampai istilah “radikal-radikalisme” ini seolah dibuat hanya untuk kepentingan stigmatis terhadap kelompok atau sikap atau ideologi tertentu. Jangan sampai masyarakat trauma atau phobia terhadap makna kata tersebut hingga takut mengungkap apa yang mereka yakini sebagai kebaikan dan kebenaran yang justru mungkin bermanfaat bagi umat manusia di dunia hingga akhirat.

Yang penting adalah menjaga agar sikap radikal itu dilandasi oleh niat baik dan benar serta berakibat baik bagi masyarakat serta umat manusia pada umumnya - tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak baik dan tidak benar.

   Intinya, bila ditanya tentang sikap “radikal-radikalisme” maka tak perlu langsung ingat pada stigma tertentu, dan tak perlu terdoktrin lalu memperhadapkannya dengan sikap “moderat” misal yang orang awam terkadang bingung makna pengertian hakikinya.

Tetapi ingatlah bahwa ada radikal yang baik dan benar semisal sikap pejuang kemerdekaan terhadap para penjajah atau sikap agamawan-kaum bermoral terhadap kemaksiatan yang merusak akhlak.

Dan ada tindakan radikal yang tidak baik dan tidak benar, seperti tindakan bom bunuh diri yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban fihak yang tidak bersalah.

   Satu hal lagi yang ingin saya ingatkan, bahwa makna dasar dari kata “radikal” dalam kamus adalah: “kembali ke dasar”. Tapi kini, seolah telah terjadi pergeseran nilai sehingga makna “radikal” yang harus difahami publik itu selalu harus ‘keras’ dan makna keras itu harus difahami sebagai ‘salah’. Disini sepertinya telah terjadi semacam indoktrinasi ke alam fikiran publik dan itu dilakukan lebih untuk kepentingan ideologis sehingga makna “radikal” pun menjadi lebih berbau ideologis - tidak lagi filosofis.

Padahal kalau kata “radikal” itu lebih dimaknai sesuai pengertian dasarnya yaitu “radix” yang artinya “akar” maka radikal berarti “kembali ke akar”, dan lalu kita boleh bertanya: Kalau suatu kelompok berkeinginan kembali ke akar yang menjadi dasar dari keyakinan mereka maka apakah itu suatu yang salah?

Contoh, bila kelompok beragama ingin kembali ke akar yang menjadi dasar dari keyakinan mereka dan menolak faham-faham yang dianggap merusak keyakinan dasar mereka maka, apakah itu suatu yang salah?

Atau, apakah kaum beragama lantas disalahkan dengan menggunakan bingkai “radikalisme” padahal mereka hanya ingin kembali ke akar yang menjadi dasar keyakinan mereka?

Contoh, adanya faham-faham yang bagi kaum muslim dinilai dapat merusak tauhid semacam berkembangnya prinsip “pluralism” yang beranggapan semua agama sebagai ‘benar’ secara konseptual, sedang bagi kaum muslim akar dari konsep tauhid yang benar adalah percaya hanya pada (kebenaran) Tuhan yang hanya satu. Maka lalu kaum muslim memproklamirkan penolakan terhadap prinsip demikian. Dan itulah contoh “radikalisme” yang bermakna ‘kembali ke akar yang benar’ dan itu tak lalu harus dimaknai sebagai ‘keras’ yang kemudian selalu diasosiasikan sebagai salah secara ideologis.

Walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada radikalisme yang memang dapat kita maknai secara negatif semisal radikalisme yang berkaitan dengan terorisme bom bunuh diri, misalnya. Tetapi itu tak lantas menjadi alasan untuk menggenelarisir tiap segala suatu yang dianggap ‘keras’ sebagai selalu bermakna negatif utamanya yang terkait issue atau masalah keagamaan.


PENUTUP

D
emikianlah uraian tajuk diatas sebagai pelajaran kita bersama, bagaimana cara memandang, menyikapi, bersimpati atau tidak bersimpati, suka atau tidak suka, benar atau tidak benar - sebagai anak bangsa yang sedang tumbuh, berkembang, besar, kuat, maju dan jaya.

Yang jelas karena ke-radikal-an Eropa lah yang membuat Barat dan Dunia maju, sebagaimana diulas dalam Kata Pengantar diatas. Semoga hati kita bisa tercerahkan dari tulisan ini. Ever Onward, Never Retreat. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Sumber:
www.kompasiana.com [Apakah makna radikal selalu berkonotasi negatif?]
en.wikipedia.org [Radicalism-historical] □□