Saturday, November 2, 2019

Bagaimana Dunia Tanpa Manusia?




KATA PENGANTAR

K
alau ada waktu, sekurang-kurangnya sepekan sekali saya berolah raga jalan. Kebetulan kota tempat saya tinggal ini tidak begitu besar dan tidak pula kecil. Bandingan kawasan hunian sangat serasi sebagai sebuah kota yang bersih, sehat, nyaman dan manusiawi, namanya Rockville era 90-an dimana saya dulu tinggal selama 18 tahun.

Jarak tempuh yang saya ambil dalam berolah raga itu setidaknya 5 mil dengan waktu kira-kira kurang lebih satu jam. Lintasan yang paling saya sukai adalah park-area (hutan kecil yang ditata rapih, ada jalan setapak sebagai lintasan olah raga jalan atau lari dan sepeda) yang dekat dengan daerah hunian. Jadi tidak terlalu kesepian dalam kesendirian saya berolah raga.

Suatu ketika saya berada di deretan rumah-rumah yang cukup bagus dengan tanaman dan rumput yang rapih seperti rapihnya taman bunga di daerah Cibubur tepi jalan bebas hambatan Jagorawi. Melihat rumah-rumah itu terbuka juga wawasan kehidupan saya, perintang pikiran yang kadang kala kusut masai. Tengah asyik mencuri-pandang rumah-rumah orang yang terlampau lama dilihat-lihat, tiba-tiba terhenyak sadarkan diri dari keadaan satu rumah yang amat lain sekali dari rumah-rumah sekelilingnya. Hal ini mengundang daya paham dan hikmah dari kejadian itu sebagai bahan penulisan posting ini.

Kenapa saya menatap rumah yang satu itu dalam-dalam, tidak lain karena tak habis pikir dari brèngsèk-nya keadaan rumah itu. Hati saya berkata, “Kok kontras sekali dengan keadaan samping kiri-kanan rumah tetangganya”. Manusia yang ditakdirkan akrab sekali dengan sesuatu yang kasat mata, melihat dengan nyata rumput rumah itu telah tumbuh liar kemana-mana yang tingginya selutut saya. Pintunya sudah rèot. Pagar teralisnya sudah berkarat yang tidak ketolongan. Kaca jendelanya buram dan sebagiannya pecah. Cat dinding luarnya sudah tidak mengkilat lagi, bahkan ada bagian yang mengelupas. Atapnya ditumbuhi pohon menjalar. Saluran airnya dipenuhi dedaunan dari rontokan daun-daun pepohonan sekelilingnya. Tampaknya rumah tersebut tidak ada penghuninya. Saya terus terang tidak tahu persis keadaan di dalam rumah itu, karena terlarang masuk pekarangan rumah orang tanpa izin. Saya menduga keras sama brèngsèknya dengan keadaan diluar.

Demikianlah rumah jika tak bermanusia sangat terlantar dan merana. Dimana-mana berantakan dan serba tidak teratur. Kurang sedap dipandang mata. Terutama bagi orang yang peduli, keadaan itu menjadi masalah. Rasanya gatal sekali ingin memperbaikinya, lihat gambar.



Kebalikan dari rumah tetangga sekelilingnya. Rumah yang bermanusia rapih, indah dan menyenangkan. Tidak terlalu mewah, sederhanapun jadi jika dikelola dengan baik tak kalah indahnya dengan rumah mewah. Demikianlah rumah dengan manusia menjadi hidup, semarak dan menarik. Sedang tanpa manusia keadaannya jadi ‘ambaradul’ (kacau, berantakan).

Bagaimana prolog dan epilog dari tema yang berjudul BAGAIMANA DUNIA TANPA MANUSIA? - Analisa Peran Manusia Dalam Bermasyarakat. Ikutilah paparan atau pembahasan selanjutnya sebagaimana yang diuraikan dibawah ini.





BAGAIMANA DUNIA TANPA MANUSIA?
- Analisa Peran Manusia Dalam Bermasyarakat
Oleh: A. Faisal Marzuki


Dan (ingatlah, ketahuilah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan (manusia) khalifah di bumi…”[QS Al-Baqarah 2:30]


PROLOG

B
oleh jadi dari sudut pandang potensi kemampuan manusia yang peduli dengan lingkungan itulah Tuhan menjadikan Adam as (baca: alaihis salam - semoga keselamatan dilimpahkan kepadanya) dan menepis keberatan Malaikat. Tuhan tetap melanjutkan rencananya, meskipun para Malaikat berkeberatan, karena menduga bahwa toh nantinya ciptaan baru itu akan seperti makhluk yang sebelumnya. Malah proyek ‘Adam’ ini menjadi handalan-Nya. Terbukti dengan kemampuan pengetahuan-nya yang melebihi malaikat sebagaimana yang di kisahkan dalam firman Allah swt (baca subhana wa ta’ālā - Engkau yang Mahasuci dan Mahatinggi) yang artinya:

(30). Dan (ingatlah, ketahuilah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

(31). Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda, pengetahuan) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar!”

(32). Mereka (para Malaikat)  menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkalulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

(33). Dia (Allah) berfirman, “wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka (para Malaikat) nama-nama itu!” Setelah di (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu (para Malaikat), bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” [QS Al-Baqarah 2:30-33]

Dengan pengetahuan itulah manusia dapat menguasai dan melestarikan alam serta beradab atas sesamanya. Tentunya peradaban manusia di dunia ini  benar-benar akan maju, asalkan saja mau belajar dan memahami ‘buku petunjuk’ dari yang menciptakan kita dan alam semesta ini, yaitu Allāhu Rabb ‘Ālamin (baca: allāhu rabbul ‘ālamīn, artinya: Allah, pencipta dan pemelihara dan pengendali suluruh alam semesta dengan segala isinya).

Makhluk sebelum adanya manusia, telah ada yang mendiami bumi ini. Tapi sayangnya hidupnya penuh dengan cara-cara hukum rimba - tidak berperadaban, uncililized. Satu memangsa yang lain. Yang kuat memangsa yang lemah. Yang berkuasa semena-mena terhadap yang ‘dikuasainya’. Mau menang sendiri. Hidup yang penuh catastrophic - bencana besar, huru hara, kerusuhan. Coba lihat dalam prasejarah, yaitu ketika Zaman Dinosaurus hidup sebagai adikuasa di bumi. Hutan yang indah habis dilalapnya, karena porsi makanannya bayak dan rakus. Dinosaurus sudah menggangu ekosistim yang ada. Kalau lama dibiarkan hidup, pepohonan dan air semuanya menjadi punah dan kering kerontang seperti planet Mars. Kita tahu Mars itu gersang, tak berpenghuni. Kalau sudah begitu maka jangankan manusia mau tinggal, nyamukpun tidak mau, karena sumber kehidupan tidak ada lagi.

Diserahkan pengelolaan bumi ini kepada tikus, maka walaupun tidak sebesar dinosaurus, melainkan sangat kecil dibanding dinosaurus, gudang beras yang sebesar Super Mall Potomac Mill-pun menjadi kosong melompong dibuatnya. Apa lagi kepada monyet-monyet. Kita tahu kerja monyet hanya bergayut dari pohon-ke-pohon, mencari kutu, memakan pisang dan bersenggama melanjutkan keturunan, tapi tidak mengelola bumi agar lebih terpelihara dan lebih seronok untuk dihuni. Kita tahu kesemua khewan itu tak ada daya budaya yang lebih dari hanya sekedar mencari makan dalam hidupnya. Dengan kata lain tak mampu membangun peradaban di bumi ini, kecuali manusia melalui ilmu dan teknologinya.


EPILOG

K
ita tidak banyak berharap kepada dinosaurus dan tikus-tikus itu. Apalagi kepada monyet-monyet, selain kepada manusia. Kenapa, karena manusia oleh pencipta-Nya diangkat dan dikukuhkan menjadi khalifah di muka bumi yang sebelumnya telah ditawarkan kepada makhluk yang ada di seantero jagat raya dan bumi, namun mereka menolaknya, sebagaimana firman Allah swt menyebutnya yang artinya:

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat (sebagai khalifah di bumi) kepada (makhluk yang berada di) langit, (makhluk lain yang berada di) bumi, dan (makhluk yang berada di) gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan (mampu) melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat (sebagai khalifah di bumi) itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim (jika amanah atau kepercayaan ini disalah gunakan) dan sangat bodoh (dikiranya Allah swt tidak mengetahuinya yang dengan itu ia sebenarnya akan mendapat siksa yang sangat pedih). ” [QS Al-Ahzāb 33:72]

Ayat ke-72 dari Surah Al-Ahzāb ini dikaitkan dengan ayat ke-30 dari Surah Al-Baqarah ini adalah menjelaskan kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi yaitu manusia diberi tugas untuk memelihara dan melestarikan alam dengan cara menggali, mengelola, dan mengolah kekayaan alam guna dimanfaatkan demi kesejahteraan segenap manusia tanpa merusak lingkungan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

Untuk mewujudkan tugas yang mulia tersebut, manusia selama hidup di dunia diwajibkan meningkatkan kemampuannya baik fisik maupun rohaninya kearah yang lebih maju, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi serta paham ilmu agamanya.

Dalam menjalankan tugas hidupnya manusia diharuskan menjauhi sifat-sifat yang buruk yang menjadi penyebab kerusakan tata hubungan antar manusia seperti pertumpahan darah maupun kerusakan alam. Oleh karena itu senantiasa manusia dianjurkan selalu ingat kepada Allah dengan berzikir, bertasbih, dan selalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjahui segala larangan-larangan-Nya.

Maka, rumah dari manusia khalifah rapih, indah dan menyenangkan. Tidak terlalu mewah, sederhanapun jadi jika dikelola dengan baik tak kalah indahnya dengan rumah mewah. Demikianlah rumah dengan manusia khalifah menjadi hidup, semarak dan menarik.

Sebaliknya jika ada rumah berpenghuni manusia, rumah dan halamannya seperti junk yard (lapangan tempat barang rongsokan yang tidak terpakai lagi), berantakan. Ini tandanya bukan manusia khalifah, melainkan manusia hidup dengan tabiat khewan liar. Yaitu cuèk (masa bodoh, tak peduli) dengan keadaan lingkungannya. Baginya yang penting perut kenyang dan birahinya terpenuhi. Sebaliknya manusia yang bertabiat khalifah adalah manusia yang peduli dengan lingkungannya secara proaktif, yaitu disamping peduli dengan dirinya, peduli dengan keluarganya, juga peduli dengan masyarakat lingkungannya sebagaimana sebuah Hadits mengatakan yang artinya:

Bahwa Rasulullah saw (baca: shalallahu ‘alaihi wassalam, semoga Allah swt memberikan shalawat dan salam kepadanya) bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Jadi, dalam melakukan kepeduliannya itu bekerjanya dengan sebaik mungkin. Mengurus dengan selancar mungkin. Memperbaiki dengan seindah mungkin. Menyelesaikan persoalan dengan setuntas mungkin.

Seumpama rumah seperti yang saya cerita diatas itu. Rumah rapih bukan terjadi dengan sendirinya seperti hikayat 1001 malam, apalagi mengorganisir manusia. Umumnya manusia itu penuh ‘kerèwèlan’. Dipaksa  dia tidak mungkin, karena manusia bukan robot. Malah kalau dilakukan juga hasilnya akan ‘negatif’. Dipermukaan akur-akur saja, tapi didalamnya penuh keingkaran, atau bagi yang opportunistic yang penting dapat duitnya. Dibiarkan mengerti sendiri saja juga tidak mungkin, karena manusia bukan malaikat yang kepatuhannya sudah menjadi budayanya. Dalam diri malaikat telah dipasang perangkat ‘kesadaran kepatuhan’. Berlainan dengan manusia dalam kepatuhannya memerlukan learning process. Karena itu manusia perlu da’i, juga perlu guru, perlu orang tua (dalam organisasi popular disebut Pembina). Manusia perlu ‘perkumpulan’ seperti dalam keluarga. Tapi itu saja tidak cukup. Manusia perlu juga paguyuban atau organisasi. Tegasnya berorganisasi, bermasyarakat, bernegara dan berantar negara. Manusia perlu kesadaran sesama sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]

Apa arti dan makna berta’aruf ini? Prinsip Ta’aruf ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.

Setelah kita mengetahui paradigma diatas, mari kita analisis kenyataan dalam menghadapi persoalan manusia dalam masyarakat atau organisasi tidak mungkin hanya dengan mengucapkan ‘sim salabim', segala sesuatu akan beres. Habis itu ongkang-ongkang kaki. Organisasi yang baik tentu ada anggotanya yang mengurusinya sebagai kewajiban yang harus mesti dilakukan, seperti layaknya rumah diatas. Tentunya rumah perlu dipelihara. Dindingnya perlu dicat secara berkala agar tetap menarik. Atapnya perlu diperiksa agar jangan sampai kemasukan air ketika hujan datang. Rumputnya perlu dipangkas setiap kali tumbuh. Lantainya mesti disapu dan dipel. Cendelanya mesti dibersihkan. Sampah yang ada harus dibuang. Perabotan dan hiasan yang ada di rumah mesti ditata. Dengan demikian baru rumahnya menjadi nyaman dan layak untuk dihuni.

Begitu pula mengurus organisasi - masyarakat dan negara bahkan dunia. Mengurus membutuhkan waktu, ketekunan, kesabaran, dan kehati-hatian. Apalagi manusia itu isi kepalanya dan maunya masing-masing boleh jadi berlainan sebagai makhluk individual, padahal manusia juga sebagai makhluk sosial yang perlu musyawarah untuk mengambil keputusan bersama demi kepentingan bersama.

Organisasi membutuhkan pembinaan terus menurus. Orang didalamnya perlu banyak belajar bagaimana berkomunikasi. Hatinya perlu kearifan, kesabaran dan lapang dada terutama dalam menghadapi perbedaan kemauan atau pendapat yang mesti diselesaikan dengan sebaik mungkin. Dalam mengurus berlu team-work yang erat dalam semangat dan kondisi saling menasehati, tanggung jawab, menerima dan memberi, saling menghargai, peduli dan kemauan bekerja sungguh-sungguh. Emosi sesama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat bisa saja terjadi, tapi jangan sampai menjadi perpecahan kalau dilandasi prinsip seperti tersebut diatas. Pepatah menyatakan rambut sama hitam, pendapat bisa berlainan. Dalam hal ini musyawarah (komunikasi) benar-benar sangat diperlukan.

Musyawarah agar berhasil diperlukan pengetahuan berorganisasi yang baik, bukan berdasarkan ego atau emosi yang cenderung perasaan subyektif pribadi yang menonjol. Pengetahuan tabiat atau tingkah laku dalam berorganisasi manusia ini yang disebut ‘organizational behavior’ telah menjadi studi atau penelitian khusus bagi pakar ilmu jiwa.

Mula-mula organisasi berdiri karena adanya kesatuan kemauan dan cita-cita, namun masih dalam tahap garis besar. Setelah itu masuk ketahap pengorganisasian yang rinci yaitu siapa yang menjadi pengurusnya. Apa tujuan, misi dan visinya Kemudian semuanya itu dituangkan menjadi program kerja. Ada Anggaran Dasarnya dan Anggaran Rumah Tangganya, Sering disebut AD/ART di Amerika disebut 'By Laws', Biasanya pribadi-pribadi yang datang dari berbagai latar belakangan pengalaman, pendidikan, pengetahuan, umur, asal daerah, adat istiadat serta cara berfikir dan bertingkah yang belum saling mengenal, yang kesemuanya itu belum akrab harus menerima kenyataan yang berbeda. Biasanya pada umumnya belum ‘sreg’ (belum harmonis). Dalam tahap ini terjadilah silang pendapat yang sering membawa ketegangan. Orang luar menyangka terjadi perpecahan namun sebenarnya tidak. Learning process sedang bekerja.

Memang kalau tidak pandai-pandai membawakannya dan memperturutkan emosi serta mendengarkan hasutan dan berita buruk pihak luar yang tidak senang atas keberadaannya, maka bisa terjadi perpecahan. Dalam tahap ini diuji keteguhan tekad dalam pendiriannya serta kejujuran sesama dan saling percaya. Hukum the survival of the fittest bekerja. Ikrarnya dalam ujian, semu atau atau sebenarnya terlihat disini. Kemudian perlu adanya kejujuran dan kepercayaan dalam beraktifitas. Jika teguh dengan ikrar yang menjadi tekadnya, ada saling percaya dan jujur sesama, maka akan mampu mengendalikan emosi pribadi yang cètèk (dangkal) dalam menghadapi tiupan ‘fitnah’ yang ada, caranya dengan berkomunikasi secara terbuka.

Setelah tahap itu dilalui yang sering disebut sebagai storming phase, terjadi tahap normal. Cirinya pertikaian pendapat berkurang. Tahap ini boleh disebut sabagai tahap tenang, karena masing-masing pribadi sudah saling kenal baik. Kadang-kadang rasa tenggangnya lebih banyak dari keberanian dalam mengungkapan hal yang ‘baru’ tapi baik buat kemajuan organisasi. Dengan demikian pada tahap tenang ini, tidak berarti baik selalu. Penajaman ide atau kreatif yang baru  berkurang, berarti laju pemikiran kreatif menjadi lambat. Gairah mencari metoda-metoda baik menurun. Dalam hal ini pimpinan organisasi mesti pandai dan selalu berusaha kreatif untuk menghidupkan pemikiran dan semangat yang bergairah dalam memajukan organisasi. Motivasi yang jitu diharapkan disini. Setelah tahap-tahap itu semua dilalui, barulah organisasi ini menjalankan performancenya dengan mantap. Hanya dengan cara-cara dan pemahaman semacam itulah organisasi dapat hidup langgeng dan maju dalam mencapai cita-citanya yang mulia ini.


AKHIRUL KALAM

D
emikianlah Al-Qur’an telah memberikan petunjuk dan pengajaran serta gambaran kepada ummat manusia bahwa dari mana asal manusia, apa dan siapa manusia, serta peran apa dan bagaimana semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi ini.

Isi paradigma (ajaran, prinsip, konsep) yang bersumber dari Al-Qur'an benar-benar amazing dan mencerahkan kehidupan manusia di bumi yang berisi menyerukan hubungan baik sesama manusia yang amat diperlukan di milenium ke-3 seperti telah diterangkan diatas dengan konsep 3T1I-Nya sebagai kuncinya. Tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan sempurna bagi ummat manusia dalam bermasyarakat, berorganisasi, kecuali seperti pengajaran yang ada dari konsep 3T1I-Nya yaitu Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.

Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Wahai Ulil Albāb! Be wise, be smart! Billāhit Taufiq wal Hidāyah. □ AFM


SUMBER:
A. Faisal Marzuki, Etika Sosial Abu Ayyub, Desah Rasio & Rasa Nurani Dari Washington D.C., Tema 1, Bagaimana Dunia Tanpa Manusia? Hal. 1 s/d 8 □□