KATA PENGANTAR
K
|
alau ada waktu, sekurang-kurangnya sepekan
sekali saya berolah raga jalan. Kebetulan kota tempat saya tinggal ini tidak
begitu besar dan tidak pula kecil. Bandingan kawasan hunian sangat serasi
sebagai sebuah kota yang bersih, sehat, nyaman dan manusiawi, namanya Rockville
era 90-an dimana saya dulu tinggal selama 18 tahun.
Jarak tempuh yang saya ambil dalam berolah raga
itu setidaknya 5 mil dengan waktu kira-kira kurang lebih satu jam. Lintasan
yang paling saya sukai adalah park-area
(hutan kecil yang ditata rapih, ada jalan setapak sebagai lintasan olah raga
jalan atau lari dan sepeda) yang dekat dengan daerah hunian. Jadi tidak terlalu
kesepian dalam kesendirian saya berolah raga.
Suatu ketika saya berada di deretan rumah-rumah
yang cukup bagus dengan tanaman dan rumput yang rapih seperti rapihnya taman
bunga di daerah Cibubur tepi jalan bebas hambatan Jagorawi. Melihat rumah-rumah
itu terbuka juga wawasan kehidupan saya, perintang pikiran yang kadang kala
kusut masai. Tengah asyik mencuri-pandang rumah-rumah orang yang terlampau lama
dilihat-lihat, tiba-tiba terhenyak sadarkan diri dari keadaan satu rumah yang
amat lain sekali dari rumah-rumah sekelilingnya. Hal ini mengundang daya paham
dan hikmah dari kejadian itu sebagai bahan penulisan posting ini.
Kenapa saya menatap rumah yang satu itu
dalam-dalam, tidak lain karena tak habis pikir dari brèngsèk-nya keadaan rumah itu. Hati saya berkata, “Kok kontras
sekali dengan keadaan samping kiri-kanan rumah tetangganya”. Manusia yang
ditakdirkan akrab sekali dengan sesuatu yang kasat mata, melihat dengan nyata
rumput rumah itu telah tumbuh liar kemana-mana yang tingginya selutut saya.
Pintunya sudah rèot. Pagar teralisnya
sudah berkarat yang tidak ketolongan. Kaca jendelanya buram dan sebagiannya
pecah. Cat dinding luarnya sudah tidak mengkilat lagi, bahkan ada bagian yang
mengelupas. Atapnya ditumbuhi pohon menjalar. Saluran airnya dipenuhi dedaunan
dari rontokan daun-daun pepohonan sekelilingnya. Tampaknya rumah tersebut tidak ada penghuninya. Saya terus terang tidak tahu
persis keadaan di dalam rumah itu, karena terlarang masuk pekarangan rumah
orang tanpa izin. Saya menduga keras sama brèngsèknya
dengan keadaan diluar.
Demikianlah rumah jika tak bermanusia sangat
terlantar dan merana. Dimana-mana berantakan dan serba tidak teratur. Kurang
sedap dipandang mata. Terutama bagi orang yang peduli, keadaan itu menjadi
masalah. Rasanya gatal sekali ingin memperbaikinya, lihat gambar.
Kebalikan dari rumah tetangga sekelilingnya.
Rumah yang bermanusia rapih, indah dan menyenangkan. Tidak terlalu mewah,
sederhanapun jadi jika dikelola dengan baik tak kalah indahnya dengan rumah
mewah. Demikianlah rumah dengan manusia menjadi hidup, semarak dan menarik.
Sedang tanpa manusia keadaannya jadi ‘ambaradul’
(kacau, berantakan).
Bagaimana prolog dan epilog dari tema yang
berjudul BAGAIMANA DUNIA TANPA MANUSIA? - Analisa Peran Manusia Dalam Bermasyarakat. Ikutilah paparan atau pembahasan
selanjutnya sebagaimana yang diuraikan dibawah ini.
BAGAIMANA DUNIA TANPA MANUSIA?
- Analisa Peran Manusia Dalam Bermasyarakat
Oleh: A. Faisal Marzuki
Dan
(ingatlah, ketahuilah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku
hendak menjadikan (manusia) khalifah di bumi…”[QS Al-Baqarah 2:30]
PROLOG
B
|
oleh jadi dari sudut pandang potensi kemampuan
manusia yang peduli dengan lingkungan itulah Tuhan menjadikan Adam as (baca: alaihis salam - semoga keselamatan dilimpahkan kepadanya) dan
menepis keberatan Malaikat. Tuhan tetap melanjutkan rencananya, meskipun para Malaikat
berkeberatan, karena menduga bahwa toh nantinya ciptaan baru itu akan seperti
makhluk yang sebelumnya. Malah proyek ‘Adam’ ini menjadi handalan-Nya. Terbukti
dengan kemampuan pengetahuan-nya yang
melebihi malaikat sebagaimana yang di kisahkan dalam firman Allah swt (baca subhana wa ta’ālā - Engkau yang Mahasuci dan Mahatinggi) yang
artinya:
(30). Dan
(ingatlah, ketahuilah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami
bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
(31).
Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda, pengetahuan) semuanya, kemudian
Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku
nama semua benda ini, jika kamu yang benar!”
(32).
Mereka (para Malaikat) menjawab,
“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami. Sungguh Engkalulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
(33). Dia
(Allah) berfirman, “wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka (para Malaikat)
nama-nama itu!” Setelah di (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman,
“Bukankah telah Aku katakan kepadamu (para Malaikat), bahwa Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang
kamu sembunyikan.” [QS Al-Baqarah 2:30-33]
Dengan pengetahuan itulah manusia dapat
menguasai dan melestarikan alam serta beradab atas sesamanya. Tentunya
peradaban manusia di dunia ini benar-benar
akan maju, asalkan saja mau belajar dan memahami ‘buku petunjuk’ dari yang
menciptakan kita dan alam semesta ini, yaitu Allāhu Rabb ‘Ālamin (baca: allāhu rabbul ‘ālamīn, artinya: Allah,
pencipta dan pemelihara dan pengendali suluruh alam semesta dengan segala
isinya).
Makhluk sebelum adanya manusia, telah ada yang
mendiami bumi ini. Tapi sayangnya hidupnya penuh dengan cara-cara hukum rimba -
tidak berperadaban, uncililized. Satu
memangsa yang lain. Yang kuat memangsa yang lemah. Yang berkuasa semena-mena
terhadap yang ‘dikuasainya’. Mau menang sendiri. Hidup yang penuh catastrophic - bencana besar, huru hara,
kerusuhan. Coba lihat dalam prasejarah, yaitu ketika Zaman Dinosaurus hidup sebagai
adikuasa di bumi. Hutan yang indah habis dilalapnya, karena porsi makanannya
bayak dan rakus. Dinosaurus sudah menggangu ekosistim
yang ada. Kalau lama dibiarkan hidup, pepohonan dan air semuanya menjadi punah
dan kering kerontang seperti planet Mars. Kita tahu Mars itu gersang, tak
berpenghuni. Kalau sudah begitu maka jangankan manusia mau tinggal, nyamukpun tidak mau,
karena sumber kehidupan tidak ada lagi.
Diserahkan pengelolaan bumi ini kepada tikus, maka
walaupun tidak sebesar dinosaurus, melainkan sangat kecil dibanding dinosaurus,
gudang beras yang sebesar Super Mall
Potomac Mill-pun menjadi kosong melompong dibuatnya. Apa lagi kepada monyet-monyet. Kita tahu
kerja monyet hanya bergayut dari pohon-ke-pohon, mencari kutu, memakan pisang
dan bersenggama melanjutkan keturunan, tapi tidak mengelola bumi
agar lebih terpelihara dan lebih seronok untuk dihuni. Kita tahu kesemua khewan
itu tak ada daya budaya yang lebih dari hanya sekedar mencari makan dalam hidupnya. Dengan kata lain tak mampu membangun peradaban di
bumi ini, kecuali manusia melalui ilmu dan teknologinya.
EPILOG
K
|
ita tidak banyak berharap kepada dinosaurus dan
tikus-tikus itu. Apalagi kepada monyet-monyet, selain kepada manusia. Kenapa,
karena manusia oleh pencipta-Nya diangkat dan dikukuhkan menjadi khalifah di
muka bumi yang sebelumnya telah ditawarkan kepada makhluk yang ada di seantero
jagat raya dan bumi, namun mereka menolaknya, sebagaimana firman Allah swt menyebutnya yang artinya:
Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat (sebagai khalifah di bumi) kepada (makhluk yang
berada di) langit, (makhluk lain yang berada di) bumi, dan (makhluk yang berada
di) gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir tidak akan (mampu) melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat (sebagai
khalifah di bumi) itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim (jika
amanah atau kepercayaan ini disalah gunakan) dan sangat bodoh (dikiranya Allah swt tidak mengetahuinya yang dengan itu
ia sebenarnya akan mendapat siksa yang sangat pedih). ” [QS Al-Ahzāb
33:72]
Ayat ke-72 dari Surah Al-Ahzāb
ini dikaitkan dengan ayat ke-30 dari Surah Al-Baqarah ini adalah menjelaskan
kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi yaitu manusia diberi tugas
untuk memelihara dan melestarikan alam dengan cara menggali, mengelola, dan
mengolah kekayaan alam guna dimanfaatkan demi kesejahteraan segenap manusia
tanpa merusak lingkungan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Untuk mewujudkan tugas yang mulia
tersebut, manusia selama hidup di dunia diwajibkan meningkatkan kemampuannya
baik fisik maupun rohaninya kearah yang lebih maju, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan maupun teknologi serta paham ilmu agamanya.
Dalam menjalankan tugas hidupnya
manusia diharuskan menjauhi sifat-sifat yang buruk yang menjadi penyebab
kerusakan tata hubungan antar manusia seperti pertumpahan darah maupun
kerusakan alam. Oleh karena itu senantiasa manusia dianjurkan selalu ingat
kepada Allah dengan berzikir, bertasbih, dan selalu menjalankan
perintah-perintah-Nya dan menjahui segala larangan-larangan-Nya.
Maka, rumah dari manusia khalifah rapih, indah
dan menyenangkan. Tidak terlalu mewah, sederhanapun jadi jika dikelola dengan
baik tak kalah indahnya dengan rumah mewah. Demikianlah rumah dengan manusia
khalifah menjadi hidup, semarak dan menarik.
Sebaliknya jika ada rumah berpenghuni manusia, rumah
dan halamannya seperti junk yard
(lapangan tempat barang rongsokan yang tidak terpakai lagi), berantakan. Ini
tandanya bukan manusia khalifah, melainkan manusia hidup dengan tabiat khewan
liar. Yaitu cuèk (masa bodoh, tak
peduli) dengan keadaan lingkungannya. Baginya yang penting perut kenyang dan
birahinya terpenuhi. Sebaliknya manusia yang bertabiat khalifah adalah manusia
yang peduli dengan lingkungannya secara proaktif, yaitu disamping peduli dengan
dirinya, peduli dengan keluarganya, juga peduli dengan masyarakat lingkungannya
sebagaimana sebuah Hadits mengatakan yang artinya:
Bahwa
Rasulullah saw (baca: shalallahu ‘alaihi wassalam, semoga
Allah swt memberikan shalawat dan
salam kepadanya) bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi manusia lainnya.”
Jadi, dalam melakukan kepeduliannya itu bekerjanya
dengan sebaik mungkin. Mengurus dengan selancar mungkin. Memperbaiki dengan
seindah mungkin. Menyelesaikan persoalan dengan setuntas mungkin.
Seumpama rumah seperti yang saya cerita diatas
itu. Rumah rapih bukan terjadi dengan sendirinya seperti hikayat 1001 malam,
apalagi mengorganisir manusia. Umumnya manusia itu penuh ‘kerèwèlan’. Dipaksa dia tidak mungkin, karena manusia bukan
robot. Malah kalau dilakukan juga hasilnya akan ‘negatif’. Dipermukaan
akur-akur saja, tapi didalamnya penuh keingkaran, atau bagi yang opportunistic yang penting dapat duitnya. Dibiarkan mengerti sendiri saja
juga tidak mungkin, karena manusia bukan malaikat yang kepatuhannya sudah
menjadi budayanya. Dalam diri malaikat telah dipasang perangkat ‘kesadaran
kepatuhan’. Berlainan dengan manusia dalam kepatuhannya memerlukan learning process. Karena itu manusia
perlu da’i, juga perlu guru, perlu orang tua (dalam organisasi popular disebut
Pembina). Manusia perlu ‘perkumpulan’ seperti dalam keluarga. Tapi itu saja
tidak cukup. Manusia perlu juga paguyuban atau organisasi. Tegasnya
berorganisasi, bermasyarakat, bernegara dan berantar negara. Manusia perlu
kesadaran sesama sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
Wahai
Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]
Apa arti dan makna berta’aruf ini? Prinsip Ta’aruf ini
meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf
yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup,
keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja
sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling
bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.
Setelah kita mengetahui paradigma
diatas, mari kita analisis kenyataan dalam menghadapi persoalan manusia dalam
masyarakat atau organisasi tidak mungkin hanya dengan mengucapkan ‘sim salabim',
segala sesuatu akan beres. Habis itu ongkang-ongkang kaki. Organisasi yang baik
tentu ada anggotanya yang mengurusinya sebagai kewajiban yang harus mesti
dilakukan, seperti layaknya rumah diatas. Tentunya rumah perlu dipelihara.
Dindingnya perlu dicat secara berkala agar tetap menarik. Atapnya perlu diperiksa
agar jangan sampai kemasukan air ketika hujan datang. Rumputnya perlu dipangkas
setiap kali tumbuh. Lantainya mesti disapu dan dipel. Cendelanya mesti
dibersihkan. Sampah yang ada harus dibuang. Perabotan dan hiasan yang ada di
rumah mesti ditata. Dengan demikian baru rumahnya menjadi nyaman dan layak
untuk dihuni.
Begitu pula mengurus organisasi -
masyarakat dan negara bahkan dunia. Mengurus membutuhkan waktu, ketekunan,
kesabaran, dan kehati-hatian. Apalagi manusia itu isi kepalanya dan maunya
masing-masing boleh jadi berlainan sebagai makhluk individual, padahal manusia
juga sebagai makhluk sosial yang perlu musyawarah untuk mengambil keputusan
bersama demi kepentingan bersama.
Organisasi membutuhkan pembinaan terus
menurus. Orang didalamnya perlu banyak belajar bagaimana berkomunikasi. Hatinya
perlu kearifan, kesabaran dan lapang dada terutama dalam menghadapi perbedaan
kemauan atau pendapat yang mesti diselesaikan dengan sebaik mungkin. Dalam
mengurus berlu team-work yang erat
dalam semangat dan kondisi saling menasehati, tanggung jawab, menerima dan
memberi, saling menghargai, peduli dan kemauan bekerja sungguh-sungguh. Emosi
sesama dalam menyelesaikan perbedaan pendapat bisa saja terjadi, tapi jangan
sampai menjadi perpecahan kalau dilandasi prinsip seperti tersebut diatas.
Pepatah menyatakan rambut sama hitam, pendapat bisa berlainan. Dalam hal ini musyawarah
(komunikasi) benar-benar sangat diperlukan.
Musyawarah agar berhasil diperlukan
pengetahuan berorganisasi yang baik, bukan berdasarkan ego atau emosi yang cenderung perasaan
subyektif pribadi yang menonjol. Pengetahuan tabiat atau tingkah laku dalam
berorganisasi manusia ini yang disebut ‘organizational
behavior’ telah menjadi studi atau penelitian khusus bagi pakar ilmu jiwa.
Mula-mula organisasi berdiri karena
adanya kesatuan kemauan dan cita-cita, namun masih dalam tahap garis besar.
Setelah itu masuk ketahap pengorganisasian yang rinci yaitu siapa yang menjadi
pengurusnya. Apa tujuan, misi dan visinya Kemudian semuanya itu dituangkan
menjadi program kerja. Ada Anggaran Dasarnya dan Anggaran Rumah Tangganya, Sering disebut AD/ART di Amerika disebut 'By Laws', Biasanya pribadi-pribadi yang datang dari berbagai latar
belakangan pengalaman, pendidikan, pengetahuan, umur, asal daerah, adat istiadat serta cara
berfikir dan bertingkah yang belum saling mengenal, yang kesemuanya itu belum
akrab harus menerima kenyataan yang berbeda. Biasanya pada umumnya belum ‘sreg’ (belum harmonis). Dalam tahap ini terjadilah silang pendapat yang sering membawa
ketegangan. Orang luar menyangka terjadi perpecahan namun sebenarnya tidak. Learning process sedang bekerja.
Memang
kalau tidak pandai-pandai membawakannya dan memperturutkan emosi serta
mendengarkan hasutan dan berita buruk pihak luar yang tidak senang atas
keberadaannya, maka bisa terjadi perpecahan. Dalam tahap ini diuji keteguhan tekad
dalam pendiriannya serta kejujuran sesama dan saling percaya. Hukum the survival of the fittest bekerja.
Ikrarnya dalam ujian, semu atau atau sebenarnya terlihat disini. Kemudian perlu
adanya kejujuran dan kepercayaan dalam beraktifitas. Jika teguh dengan ikrar
yang menjadi tekadnya, ada saling percaya dan jujur sesama, maka akan mampu
mengendalikan emosi pribadi yang cètèk
(dangkal) dalam menghadapi tiupan ‘fitnah’ yang ada, caranya dengan
berkomunikasi secara terbuka.
Setelah tahap itu dilalui yang sering
disebut sebagai storming phase,
terjadi tahap normal. Cirinya pertikaian pendapat berkurang. Tahap ini boleh
disebut sabagai tahap tenang, karena masing-masing pribadi sudah saling kenal
baik. Kadang-kadang rasa tenggangnya lebih banyak dari keberanian dalam
mengungkapan hal yang ‘baru’ tapi baik buat kemajuan organisasi. Dengan demikian pada tahap tenang ini, tidak
berarti baik selalu. Penajaman ide atau kreatif yang baru berkurang, berarti laju pemikiran kreatif
menjadi lambat. Gairah mencari metoda-metoda baik menurun. Dalam hal ini
pimpinan organisasi mesti pandai dan selalu berusaha kreatif untuk menghidupkan
pemikiran dan semangat yang bergairah dalam memajukan organisasi. Motivasi yang
jitu diharapkan disini. Setelah tahap-tahap itu semua dilalui, barulah
organisasi ini menjalankan performancenya
dengan mantap. Hanya dengan cara-cara dan pemahaman semacam itulah organisasi
dapat hidup langgeng dan maju dalam mencapai cita-citanya yang mulia ini.
AKHIRUL KALAM
D
|
emikianlah Al-Qur’an telah
memberikan petunjuk dan pengajaran serta gambaran kepada ummat manusia bahwa
dari mana asal manusia, apa dan siapa manusia, serta peran apa dan bagaimana
semestinya mengambil posisinya dalam kehidupannya di bumi ini.
Isi paradigma (ajaran, prinsip, konsep) yang bersumber dari Al-Qur'an
benar-benar amazing dan mencerahkan
kehidupan manusia di bumi yang berisi menyerukan hubungan baik sesama manusia
yang amat diperlukan di milenium ke-3 seperti telah diterangkan diatas dengan
konsep 3T1I-Nya sebagai kuncinya. Tidak ada alternatif lain yang lebih baik dan
sempurna bagi ummat manusia dalam bermasyarakat, berorganisasi, kecuali seperti
pengajaran yang ada dari konsep 3T1I-Nya yaitu Ta’aruf; Tafahum;
Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T)
Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan
hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah
hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi,
tidak saling memerangi.
Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū)
satu sama lainnya. Wahai Ulil Albāb! Be
wise, be smart! Billāhit Taufiq
wal Hidāyah. □ AFM
SUMBER:
A. Faisal Marzuki, Etika Sosial Abu
Ayyub, Desah Rasio & Rasa Nurani Dari Washington D.C., Tema 1, Bagaimana Dunia
Tanpa Manusia? Hal. 1 s/d 8 □□