Friday, February 21, 2020

Konsep Ridho, Ikhtiar dan Do’a





KONSEP RIDHO, IKHTIAR dan DO’A
Oleh: A. Faisal Marzuki


PENDAHULUAN

R
asulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengucapkan di waktu pagi dan petang - rodhītu billāhi robbā wabil islāmi dīnā wabi muhammadin nabiyyā wa rosūla - niscaya Allāh meridhoinya,” HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-I, dan Al-Hakim. Haditsnya Marfu’.

Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaan (usaha, ikhtiar)-mu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan,  QS At-Taubah 9:105.

“Lahā mā kasabat wa ‘alayhā maktasabat”. -  “Dia mendapat (pahala, hasil usaha) dari kebajikan (amalan, menejemen yang baik) yang ia kerjakan; dan dia mendapat (siksa, ketidakberhasilan) dari (kejahatan, mismenejemen, salah niat) yang diperbuatnya”, QS Al-Baqarah 2:286.

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya…” (HR Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

“Ud’ūnī astajib lakum” - “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu”, “Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku (beribadah dan melaksanakan petunjuk-Nya) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina,” QS Al-Mu’min/Ghāfir 40:60

Berdasarkan dua sabda Rasul shallallāhu ‘alaihi wasallam dan tiga firman Allah subhānahu wa ta’ālā dapat dipahami bahwa Konsep Ridho dan Ikhtiar serta Do’a adalah pangkal dari segala amalan akan berhasil dan diterima. Berikut ini akan diterangkan hubungan antar Konsep Ridho, Konsep Ikhtiar serta Konsep Do’a yang saling kait berkait menjadi kesatuan yang perlu kita ketahui dan kemudian mengamalkannya. Dengan itu insya Allāh akan membuahkan hasil yang diridhoi-Nya dari ikhtiar yang diusahakan (dikerjakan) sebagaimana akan dipaparkan  berikut ini.





KONSEP RIDHO

Ridho-Nya adalah pangkal dari segala amalan akan diterima. Lawan dari kata ridho (rela, diterima) adalah tidak diridhoi (tidak direlakan, tidak diterima). Walaupun baik cara kerjanya, tapi jika dilaksanakan tidak dengan ke-ikhlas-an (terpaksa, niatnya lain) maka ridho (kerelaan) dari-Nya tidak akan datang. Maka sia-sialah pekerjaan kita. Tentu dalam hal ini, hendaknya usaha atau ikhtiar atau pelaksanaan yang kita kerjakan mendatangkan ridho-Nya.

Bagaimana cara menjemputnya?

Untuk mencapai ridho yang berdimensi menyeluruh, yaitu bernilai untuk kehidupan di dunia dan begitu pula di akhirat, maka ada satu sikap hati dan tekad yang kita tentukan terlebih dahulu sebelum berusaha atau bertindak seperti yang diajarkan Rasul shallallāhu ‘alaihi wasallam, yaitu:

Rodhītu billāhi robbā wabil islāmi dīnā wabi muhammadin nabiyyā wa rosūla. Maknanya, Niscaya Allāh meridhoinya, yaitu ada kerelaan lebih dulu dari manusia dengan keyakinan penuh bahwa “aku rela Allah menjadi Tuhanku, Islam menjadi agamaku, dan Muhammad menjadi Rasulku dan Nabiku, HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i, dan Al-Hakim - Haditsnya Marfu’.


Insya Allah segala amalan-amalan (kerja-kerja, usaha-usaha) dari niat atau tekad sebelum beramal kita tidak terbuang percuma, dengan kata lain diridhoi-Nya - berhasil baik di dunia maupun di akhirat.


KONSEP IKHTIAR

Perhatikanlah firman-firman Allah subhānahu wa ta’ālā yang berkaitan dengan keharusan berikhtiar para hambanya dalam mencapai sesuatu tujuan hidupnya yang artinya sebagai berikut:

Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaan (usaha, ikhtiar)-mu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan,  QS At-Taubah 9:105

Firman lainnya dari Allah subhānahu wa ta’ālā: 

“Lahā mā kasabat wa ‘alayhā maktasabat”. - “Dia mendapat (pahala, hasil usaha) dari kebajikan (amalan, menejemen yang baik) yang ia kerjakan; dan dia mendapat (siksa, ketidakberhasilan) dari (kejahatan, mismenejemen, salah niat) yang diperbuatnya”, QS Al-Baqarah 2:286.

Konsep Ikhtiar yang terbaik dilakukan dengan ilmunya. Dalam hal ini ilmu menejemen. Secara umum ilmu manajemen disebutkan bahwa ilmu menejemen yang berhasil setidaknya ada 4 unsur yang disebut “P” “O” “A” “C” yang mesti diketahui lebih dahulu arti dan maksud dari kata tersebut, setelah paham baru dikerjakan sesuai dengan urutannya yaitu P->O->A->C.

Artinya, suatu amalan atau pekerjaannya akan tercapai (sukses) perlu “ilmu”, dalam hal ini ilmu menejemen - bagaimana cara melaksanakannya dengan baik agar berhasil, sebagai berikut.

Adanya Unsur “P” (Planning -> Perencanaan):

Untuk mencapai tujuan mesti tahu apa yang akan dicapai, perlu niat dulu:

Innamal a’mālu binniat wa likulli mā amrī mā nawa’” - “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya…” (HR Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Dari niat ini dibuatlah perencanaan yang sesuai dengan apa yang ingin dituju. Berangkat dari niat yang hendak dicapai atau dituju itu baru membuat  perencanaan.

Adanya Unsur “O” (Organizing - Pengorganisasian):

Tergantung seberapa besar niat atau tujuan yang hendak dicapai. Tujuannya besar perlu pengorganisasian yang besar dan ini tidak bisa dikerjakan sendiri, perlu bantuan atau kerja sama dengan selain dirinya dalam “teamwork”. Perlu dibentuk organisasi, misalnya ada ketua, sekretaris, bendahara dan team lainnya. Ada departemen-departemen yang bertalian dengan tujuan yang akan dicapai, perlu peralatan, kantor dst. Kalau tujuannya sebatas pribadi maka cukup dikerjakan sendiri. Semuanya amalan (pekerjaan) mesti konsisten dengan niat (tekad), dikerjakan dengan waktu yang cukup efisien, terencana dan profesional.

Adanya Unsur “A” (Actuating - Pelaksanaan):

Unsur aksi “A” (pelaksanaan) ini mesti dilaksanakannya (dikerjakan) sesuai dengan “P” (perencanaan) yang telah ditetapkan. Melalui atau dengan cara “O” (organizing) terorganisir atau terkoordinasi baik, yaitu sebagai kelanjutan dari “P” dan “O” diatas.

Adanya Unsur “C” (Controlling - Pengendalian):

Contoh sederhananya dari pengendalian adalah seperti dalam berkendaraan untuk sampai ketujuan atau tempat yang dimaksud, kendaraannya mesti disetir. Perlunya disetir atau dikendalikan kendaraan (dalam hal ini maksudnya organisasi), dengan itu kendaraan (organisasi) yang disetir (yang dikendalikan) mesti sesuai berada pada jalan yang langsung membawanya agar sampai ke tempat yang dituju.

Dengan adanya pengendalian (“C”) ini maksudnya adalah agar niat atau rencana yang dibuat membawa dan sampai kepada tujuan yang hendak dituju. Dengan dicapainya tujuan sesuai rencana (“P”) yang  diorganisir rapih (“O”) dan dilaksanakan atau dikerjakan (“A”) secara terkendali (“C”) sampai pada tujuan yang dimaksud, inilah yang disebut sukses. Ilmu menejemen dalam unsur-unsur “POAC” ini boleh disebut menjalankan “sunatullah”-Nya - ikhtiar sebagai sunatullah yang mesti dikerjakan.

Ridho atau keberhasilan datang sesuai dengan adanya “niat” - tujuannya. Dikerjakan dengan ikhlas, dan sabar yang proaktif yang disertai ilmunya.

Jadi, berikhtiar adalah wajib. Maka barangsiapa mau berikhtiar, ikhtiarnya akan dicatat sebagai ibadah. Jika ikhtiarnya membuahkan hasil, maka setidaknya ia akan mendapat dua keuntungan. Pertama, ia akan memperoleh pahala dari Allah subhānahu wa ta’ālā. Kedua, ia akan mendapat keberhasilan atau manfaat dari apa yang telah ia usahakan.

Tetapi jika ikhtiarnya belum berhasil, maka setidaknya ia akan mendapat pahala dari Allah subhānahu wa ta’ālā, karena sudah berusaha (berikhtiar). Jika ia sabar, karena belum berhasil sambil berintrospeksi atau memperbaikinya - tidak putus asa, maka ia akan mendapatkan pahala yang berlipat.


KONSEP DO’A

Untuk memperlancar atau mempermudah ikhtiar kita dalam mencapai keberhasilan, kita perlu dan bahkan mesti melakukan do’a sebagai usaha bathiniah. Allah subhānahu wa ta’ālā berfirman dalam Surah Al-Mu’min/ Ghāfir:
 
“Ud’ūnī astajib lakum” Artinya: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu”, QS Al-Mu’min/Ghāfir 40:60.

Allah subhānahu wa ta’ālā akan memberikan jawaban atau merespons apa yang menjadi keinginan atau usaha kita, kalau kita berdo’a kepada-Nya (sebelum berikhtiar, berusaha). Dimana hikmah berdo’a kepada Allah subhānahu wa ta’ālā dalam kaitannnya dengan ikhtiar (usaha, kerja) adalah bahwa do’a akan mendekatkan kita kepada Allah subhānahu wa ta’ālā, dan karenanya akan memperlancar tercapainya apa yang kita usahakan.

Hikmah lain adalah bahwa dengan berdo’a, kita akan terhindar dari klaim bahwa keberhasilan kita semata-mata karena ikhtiar (usaha, kerja) kita sendiri - tanpa campur tangan dari Allah subhānahu wa ta’ālā. Tentu berfikir semacam itu akan menjadi kesombongan yang luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku (beribadah dan melaksanakan petunjuk-Nya) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina,” QS Al-Mu’min/Ghāfir 40:60

Jadi Do’a dan Ikhtiar memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ketika kerja misalnya dari 8 pagi sampai 4 sore, sepekan 5 hari kerja, ini membuat orang semakin tenggelam dan terikat pada pekerjaan. Dalam suasana rutinitas seperti itu, kadangkala menimbulkan kebosanan yang bisa menjadi malas dalam bekerja. Dalam kondisi semacam itu tentu semakin dibutuhkan kekuatan dan dorongan atau motivasi untuk bekerja baik, dengan berdo’a dapat menjadi kekuatan bagi orang beriman jangan sampai timbul malas atau bosan. Maka do’a yang dimaksud sebagai pendorong kerja yang harus ditingkatkan supaya kerja tetap ikhlas dalam segala aspek.

Kesimpulannya, berdo’a mempunyai peranan penting dalam pekerjaan kita. Dapat disebut antara lain: Do’a dapat menjadi daya dorong bagi kita untuk bekerja lebih tekun, lebih tabah dan tawakal. Apabila sudah kehilangan makna dalam memenuhi kebutuhan hidup perlu ikhtiar (bekerja), maka berdo’a dapat memurnikan pola kerja, motivasi dan orientasi kerja kita. Do’a juga dapat menimbulkan kesabaran proaktif yang sangat efektif dalam bekerja. Do’a dapat menjadikan kerja manusia menjadi ikhlas.


PENUTUP

Demikianlah paparan dari tema seperti tersebut diatas menjadikan kita lebih mengetahui hubungan proporsional (kait berkait) antar RidhoNya - disukaiNya, Ikhtiar (termasuk niat sepelaku) - keharusan bekerja untuk mendapatkan rezeki dalam memenuhi keperluan hidup dan pengembangan usaha, dan Do’a - memohon kepada-Nya yang dapat menghindari atau setidaknya meringankan stress dan kebosanan dalam bekerja.

Kalau tidak diatasi dapat mengakibatkan apa yang hendak dituju tidak berhasil, karena akan berpengaruh kepada pekerjaan yang sedang dilakukan - bekerjanya menjadi tidak seprofesional (sebaik) mungkin, maka hasil kerjanya tidak baik. Akibat yang lebih jauh lagi adalah sebagai pegawai bisa diberhentikan, sebagai pengusaha usaha perusahaannya merugi atau bangkrut. Sebagai organisasi dakwah tidak menjadi efektif. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan menjadi berantakan karena disebab bukan atas keikhlasan bersama melainkan (niat) egodiri masing-masing yang lebih menonjol. Tentu hal-hal yang terakhir itu tidak diinginkan.

Dengan itu kesuksesan akan dapat dicapai bila ada pemahaman sebagaimana yang disebutkan dalam dua Hadits dan tiga Firman-Nya beserta penjelasannya sebagaimana disebutkan diatas. Semoga apa yang disampaikan dalam tulisan ini bermanfaat hendaknya bagi kita semua, baik di dunia maupun di akhirat, āmīn. Wallāhu A’lam bish-Shawāb. Germantown, MD. 27 Jumādī Tsāni 1441 / 21 Februari 2020 M. □ AFM

Tuesday, February 11, 2020

Konsep Sabar




KONSEP SABAR
Oleh A. Faisal Marzuki

Demi masa (keadaan, waktu). Sungguh, manusia berada (dalam keadaan) rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran (bersabar). (QS Al-‘Ashr 103:1-3)

Payung memang tak menghentikan hujan, tetapi dengan payung kita mampu berjalan dalam hujan tanpa kebasahan. Begitu juga dengan KESABARAN. Ia mungkin tak memberi kita kemenangan, tapi ia mampu memberi kita kekuatan untuk menghadapi berbagai cobaan dan masalah yang kita hadapi.


PENDAHULUAN

S
abar, ialah tahan menderita atas yang tidak disenangi dan dengan rela dan menyerahkan diri (tawakal) kepada Allah. Dengan demikian sabar yang benar, ialah sabar yang menyerahkan diri (tawakal) kepada Allah dan menerima ketetapan-Nya yang telah terjadi (namun tetap proaktif) dengan dada yang lapang, bukan karena terpaksa.

Sabar adalah produk dari mengingat janji-janji Allah, yang akan diberikan kepada orang-orang - atas kejadian yang telah menimpanya - yang rela memikul kesusahannya; melaksanakan amal-amal bakti yang walaupun sukar dikerjakan; rela menanggung kepahitan, karena mengekang diri dari syahwat yang diharamkan serta ia sadar bahwa segala rencana itu dari perbuatan Allah dan dari tasharruf-Nya (ucapan-Nya) kepada makhluk-Nya.

Sesungguhnya sabar adalah salah satu kekuatan jiwa yang dapat memasukkan peraturan-Nya ke dalam segala amal jiwa itu. Apabila sabar dapat berjalan dengan baik dalam segala urusan, maka ia akan memelihara manusia dari kerugian. la akan melindungi hak manusia dari perkosaan nafsu tamak yang angkara murka. la memelihara kemuliaan manusia di ketika tertimpa hal-hal yang tidak disukai. Hal ini telah dinyatakan dalam firman-Nya dalah Surah al-‘Ashr yang artinya:

Demi masa (keadaan, waktu). Sungguh, manusia berada (dalam keadaan) rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran (bersabar). (QS Al-‘Ashr 103:1-3)

Sesempurna-sempurna sabar, ialah sabar atas mengerjakan sesuatu syariat dengan terus-menerus, baik di kala senang maupun di kala susah. Maka di ketika berhembus badai syahwat menggoncangkan itikad, hanya sabar sajalah yang dapat; menetapkan iman dengan memaksakan diri supaya berhenti di perbatasan syara'. Sabar adalah sesuatu yang (sudah menjadi) melekat  dalam jiwa. Dengan kekuatan melekat itu, mudahlah kita memikul beban yang berat dan rela menanggung akibat yang tidak disenangi selama kita di jalan kebenaran.


MAKNA SABAR & MANIFESTASINYA

Makna sabar adalah suatu budi pekerti atau akhlak yang dari padanya memancar perangai, tabiat atau perilaku utama dalam dirinya. Karena itu, tidak ada kerugian yang lebih besar dari pada kerugian kehilangan kesabaran. Maka tiap-tiap orang, masyarakat atau bangsa yang telah lemah sifat sabarnya, maka lemahlah sifat-sifat utama yang lain-lain dan hilanglah kekuatannya.

Harus dimaklumi serta disadari bahwa mencari ketetapan pada sesuatu pekerjaan, menimbang sesuatu urusan dengan sematang-matangnya sebelum diambil sesuatu keputusan, termasuk pula ke dalam kategori sabar. Firman Allah swt yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasiq datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobosan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (QS Al-Hujurāt 49:6).

… Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS Az-Zumar 39:10)

 … Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. (QS Āli-‘lmrān 3:146).

Adapun cara mengambil pertolongan dengan sabar dan cara menghasilkannya, ialah kita melihat sebab-sebab yang memalingkan diri manusia dari syariat, seperti mengikuti syahwat atau hawanafsu. Sesudah itu kita membanding dan mengukur syahwat-syahwat atau hawanafsu itu dengan janji-janji Allah atau ancaman-Nya. Kemudian kita memperhatikan, selanjutnya memelihara diri dari ancaman Allah lebih sangat patut dan bahwa janji-janji Allah itu lebih layak diharap dan dipinta. Kalau sudah sedemikian, kita pun dapat bersabar dari menuruti keinginan-keinginan syahwat atau hawanafsu lainnya. Dengan berlaku sabar, maka terpeliharalah kita dari keterjerumusan kubangan dosa. Firman Allah swt menyebutkan yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (atas segala peristiwa yang melemahkan iman atau yang merusak tali silaturahim hablum minan nās) dan bertawakallah  kepada Allah agar kamu beruntung. (QS Āli-‘lmrān 3:200).

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta, (kesenangan) jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata innā lillāhi wa innā ilaihi rōjiūn (sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami kembali - sabar). “Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah 2:155-157).

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga), atas kesabaran mereka, dan disana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam. (QS Al-Furqān 25:75).

… Dan orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah 2:177).


JENIS-JENIS SABAR

Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tiga macam sabar yaitu,

Pertama: Menahan diri dari berbuat jahat dan menuruti hawa nafsu dan dari melakukan segala rupa pekerjaan yang dapat menghinakan diri atau mencemarkan nama baik.

Kedua: Menahan kesusahan, kepedihan dan kesengsaraan dalam menjalankan sesuatu kewajiban.

Ketiga: menahan diri dari "surut ke belakang" di tempat-tempat yang tidak patut dan tidak layak kita mengundurkan diri, seperti di kala menegakkan kebenaran, menyebarkan kemaslahatan, menjaga dan memelihara kemuliaan diri, bangsa dan Agama. Sabar yang ketiga inilah yang disebut berani (syaja'ah). Memang sabar itu menghendaki syaja'ah. Maka berlaku sabar dan berani, adalah tugas-tugas hidup manusia.

Sabar dan berani adalah pokok kebahagiaan, pangkal keutamaan. Berani itu sebenarnya suatu bagian dari sabar dan dengan demikian nyatalah, bahwa berani menyikapi kesulitan (prihatin) termasuk ke dalam sabar. Firman Allah swt menyebutkan yang artinya:

… Dan orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. … (QS Al-Baqarah 2:177).

Berlaku sabar dalam kemiskinan (kemelaratan), maksudnya ialah tidak mengeluh dan mengadu kepada siapapun, bukan tidak berusaha menghilangkan kemiskinan itu. Berlaku sabar dalam peperangan ialah tidak lari dari medan perang. Kata sebahagian hukama (orang cerdik pandai - KBBI): "Bukanlah sabar yang dipuji, menahan diri bekerja dari pagi hingga petang, untuk mencari sesuap nasi; karena sabar yang serupa itu terdapat juga pada binatang-binatang. Sabar yang dipuji ialah menahan diri dari surut ke belakang; menahan diri dalam menanggung berbagai kesusahan; menahan diri dari menuruti hawa-nafsu kemarahan dan serakah (tamak, loba). Sifat “sabar dan berani”, adalah tiang Agama, karena itu wajib terdapat (ada) pada tiap-tiap pribadi muslim.

Apabila kita selidiki sebab-sebab kemajuan Islam dan umatnya di masa dahulu, maka nyatalah bahwa sabar dan berani yang dimiliki oleh para sahabatlah yang menjadi sumber kekuatan utama.

Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib ra pernah berkata: "Ambillah dari padaku lima perkara. Pertama: Jangan anda mengharapkan seseorang selain dari Tuhan-mu. Kedua: Jangan anda takuti sesuatu pun, selain dari kemurkaan Ilahi. Ketiga: Jangan anda segan mempelajari yang belum diketahui, walaupun dari siapa saja. Keempat: Hendaklah anda berani mengatakan "belum mengetahui" apa yang belum anda ketahui. Kelima: Hendaklah anda senantiasa berlaku sabar, karena sabar itu adalah kepala (pokok dari adanya) iman".

Sahabat Ali ra pernah juga berkata: "Orang yang bersabar itu, pasti mendapat kemenangan, walaupun (mungkin) hasilnya terlambat." Sabar dan berani itulah yang meninggikan sesuatu bangsa dan meninggikan sesuatu umat. Karena itulah al-Qur'an memerintahkan kita supaya berlaku sabar dan berani.

Sabar (dan berani) itu adalah tabiat atau perilaku yang di dukung (atau dibawa) al-Qur'an. Banyak sungguh ayat al-Qur'an yang menggerakkan kita supaya berlaku sabar, bahkan lebih dari tujuh puluh ayat yang membicarakan sifat sabar ini. Diantaranya firman Tuhan yang artinya:

… Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. (QS Luqmān 31:17).

Tegasnya, Allah sangat menyukai keberanian (menghadapi kenyataan yang ada atau sudah terjadi) dan (dengan itu) mewajibkan kita bersabar dan menahan diri, tidak mundur kebelakang dalam menghadapi bencana dan menolak gangguan, walaupun sekurang-kurangnya ada niat dan tekad mempersiapkan diri jangan terjadi lagi atau mengatasinya.

Sungguh Islam itu menghendaki agar umatnya bersifat sabar dan berani, karena sifat kecut dan surut ke belakang tidak berani menghadapi bencana, membawa kepada kemunduran dan kehinaan. Firman Allah swt yang artinya:

… Dan mereka berkata: “Jangan kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah (Muhammad), “Api neraka jahannam lebih panas,” jika mereka mengetahui. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat. (QS At-Taubah 9:81-82)

Tidak ada suatu sifat yang lebih buruk dan lebih hina selain dari sifat penakut dan pengecut. Sifat penakut, apabila telah berakar dalam jiwa seseorang atau masyarakat dan sesuatu bangsa, maka kehinaan dan kerendahan sajalah yang menjadi nasib orang, masyarakat dan bangsa itu. Orang, masyarakat dan bangsa yang penakut, bukan saja menjadi lemah dan tidak berkemajuan, tetapi juga akhirnya akan kehilangan eksistensinya.

Sifat penakut itulah yang menghambat kita bergerak, yang menghalangi kita berjuang dan yang menyurutkan kita dari melangkah maju ke muka. Untuk memberanikan kita dan menghidupkan sifat sabar yang proaktif, Tuhan berfirman yang artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS Al-Baqarah 2:154).

Sifat penakut tidak sedikit pun berpadanan dengan semangat iman dan Islam. Orang yang mukmin, percaya sungguh, bahwa baik buruk itu semata-mata datangnya dari ketetapan, kehendak (Qada) dan ketentuan, kepastian (Qadar) dari Allah sendiri. Maka apa alasannya kita memiliki sifat penakut dan pengecut?

Sifat penakut itu timbulnya karena kurang percaya kepada janji-janji Allah dan karena kebodohan semata-mata. Maka barangsiapa menyangka, bahwa iman dapat berkumpul dengan sifat penakut di dalam jiwa, nyatalah orang itu menipu dirinya sendiri.


HIKMAH SABAR

Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie Tuhan yang bersifat Rauf (Terbaik, Pengasih) dan Rahim (Penyayang), menggerakkan kita kepada sabar dan berhati-hati serta cermat dalam melaksanakan segala rupa pekerjaan, agar kita menjadi orang yang berbuat baik.

Tuhan telah menjadikan sabar itu dari tanda kekukuhan cita-cita. Tuhan telah menerangkan, bahwa umat yang dahulu mendapat kebaikan yang sempurna lantaran sabar dan ada umat yang mendapat dua ganda pahala disebabkan sabar. Tuhan juga menerangkan bahwa inayat (pertolongan dan bantuan)-Nya dilimpahkan atas orang-orang yang sabar. Seterusnya, Tuhan memerintahkan kita supaya mempergunakan sabar itu menjadi senjata sakti buat mencapai tiap-tiap maksud; bahkan Tuhan mewajibkan kita bersabar.

Maka apakah gerangan rahasia-rahasia sabar itu? Manusia bila dapat bersabar dan tidak berkeluh kesah jika tertimpa bencana dan kesulitan, akan dapat mematahkan tipu muslihat musuhnya dan menggembirakan temannya, dan sanggup berpikir jauh untuk melepaskan diri dari bencana yang menimpanya.

Kalau ia dimusuhi oleh seseorang dan menerimanya dengan kesabaran, maka ia (dengan kesabaran yang pro aktif) sanggup menanti waktu yang terbaik untuk membalasnya, jika ia kehendaki.


PENUTUP

Apabila ia menyelesaikan sesuatu pekerjaan dengan bersenjatakan sabar, besarlah harapan akan diperolehnya penyelesaian yang baik. Sebaliknya, jika ia menjauhkan sabar, maka ia tidak akan dapat mencapai maksudnya. Kalaupun juga dapat dicapainya, pasti tidak akan kekal. Karena apa? Karena, berdasarkan hawanafsunya saja, bukan dijalan yang semestinya, sebab amalan itu bergantung kepada “niat-nya” dan di “jalan-Nya serta ridho-Nya”. Semoga bermanfaat. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. Germantown, MD. 17 Jumādī Tsāni 1441 / 11 Februari 2020 M. □ AFM



Referensi:
http://eprints.walisongo.ac.id/2915/4/1103027_Bab%203.pdf