Kata Pengantar
Barang siapa yang tidak memperhatikan sejarah, maka akan
dirugikan oleh sejarah itu sendiri. [A. F. Marzuki]
T
|
ulisan (esei, makalah) dengan
tema seperti tersebut diatas disusun oleh Lukman Hakiem. Ia adalah
seorang Redaktur Majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (1989-1997). Beliau juga sebagai penulis biografi
Sekretaris Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, H. Buchari Tamam (1992); penulis biografi
juru bicara Masyumi Dr. Anwar Harjono, S.H. (1993); dan penyunting ulang Alam
Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito (2014), dan sejumlah
buku lain.
Tulisan ini dipersiapkannya sebagai bahan
untuk “Diskusi Bulanan” NGOBRAS (Ngobrol Bareng Sejarah Indonesia), Sabtu 19
Desember 2015, di Aula STID M. Natsir, Gedung Menara Dakwah Lantai 4, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.
Pembina blog ini tertarik atas tema dari tulisan
tersebut, karena bahasan dalam makalah (hubungan) “Agama dan Negara”
akhir-akhir ini diluar atu tidak berdasar dari konteks pemikiran tokoh-tokoh
yang telah meletakkan dasar-dasar negara yang sebenarnya dari perjalanan awal
negara ini sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pikiran-pikiran dari tokoh penyusun Konstitusi dalam
hubungannya antara “Agama dan Negara” ini telah bertukar pikiran (lobby) dan musyawarah (rapat) sejak
sebelum proklamasi sampai ke Majelis Konstituante yang mengalami perdebatan
yang panjang sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang akhirnya menghasilkan “Undang-Undang
Dasar 1945” (UUD-45) yang ada kaitannya dengan “Piagam Jakarta”, baca juga
(klik--->) Sejarah
Piagam Jakarta. Disini dengan sangat jelas sekali tercermin bagaimana
hubungan “Negara dan Agama” dalam “Pancasila” sebagai dasar negara dan UUD-45.
Pada tulisan ini dilampiri pula “Piagam Jakarta” dan “Pembukaan UUD-45”.
Paparan selanjutnya yang menjelaskan hubungan “Agama
dan Negara” ini dapat diikuti tulisannya seperti berikut dibawah ini. Billāhit
Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM
AGAMA DAN NEGARA
Membaca Pemikiran M. Natsir
Bagi Natsir, perumusan Pancasila adalah hasil
musyawarah para pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di
tahun 1945. Natsir percaya, di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang
berkumpul itu, yang sebagian besar beragama Islam, pastilah tidak akan
membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan
dengan asas dan ajaran Islam.
Setelah Mosi Integral berhasil, saya dipercaya jadi
perdana menteri, satu hal yang semula tidak saya pikirkan. Saya juga heran. Asa
Bafagih, wartawan harian Merdeka, bertanya kepada (Presiden) Sukarno tentang
siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Sukarno, “Ya, siapa lagi kalau bukan
Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui
konstitusi.”
I - Siapa M. Natsir?
M
|
Natsir atau Mohammad Natsir (1908-1993) adalah
seorang intelektual yang dalam kata-katanya sendiri, “diisap politik” [1] Sejak
muda, ia telah merumuskan berbagai pikirannya. Sejak masih sebagai pelajar
sekolah menengah Algemeene Middlebare School (Sekolah Menengah Atas)
Natsir telah aktif menulis di majalah bulanan Pembela Islam dan An-Noer
(Het Licht, majalah bulanan yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Jong
Islamieten Bond/JIB). Dalam usia 23 tahun pada 1931 terbit dua bukunya: Komt
tot het Gebed dan Muhammad als Profeet. Pada 1932 terbit Gouden
Regels uit den Qur’an. Pada 1933 keluar bukunya De Islamietische Vrouw
en haar Recht. Dan pada 1934 muncul bukunya Het Vasten. Semua karya
Natsir di masa ini ditulis dalam bahasa Belanda karena ditujukan terutama
kepada para pemuda yang tergabung dalam JIB. [2] Pada 1936 untuk pertama
kalinya terbit karya Natsir dalam bahasa Indonesia yang ditulisnya bersama
Prof. C.P. Kemal Schoemaker, berjudul Cultuur Islam. Antara 1936-1941,
Natsir aktif menulis dalam majalah Pandji Islam, Pedoman Masjarakat,
dan Al-Manar - tiga majalah yang terbit sebelum perang dan tersebar ke
seluruh Indonesia.
Tema tulisan Natsir mencakup banyak hal. Dia
menulis soal-soal kebudayaan, filsafat, pendidikan, politik, dan agama. Akan
tetapi, dari keseluruhan tema yang menjadi objek tulisannya, terlihat sangat
jelas kepedulian utama Natsir adalah agama, dalam hal ini terutama sekali
hubungan antara agama (Islam) dengan negara. Bagi Natsir, yang sering orang
lupakan jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah bahwa dalam
pengertian Islam yang dinamakan agama itu bukanlah semata-mata peribadatan
dalam istilah sehari-hari itu saja seperti shalat dan puasa itu, akan tetapi
yang dinamakan “Agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi semua
kaidah-kaidah, hudud-hudud (batas-batas), dalam mu’amalah
(pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh
Islam. [3]
Oleh karena Natsir sangat intens mengkaji dan
menawarkan gagasan persatuan agama dengan negara, ditambah dengan sikap
politiknya yang sangat transparan menawarkan Islam sebagai dasar negara di
Majelis Konstituante - lembaga negara yang dibentuk melalui pemilihan umum 1955
untuk menyusun konstitusi [4] nama Natsir selalu dilekatkan kepada cita-cita
pembentukan Negara Islam, bahkan distigmakan sebagai tokoh yang anti-Pancasila.
II - Pemikiran M. Natsir
Islam sebagai tolok ukur, [5] itulah arus utama
(mainstream) dalam pemikiran Natsir mengenai “persatuan agama dengan
negara”. Natsir berpendapat, memang Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak perlu menyuruh mendirikan negara. Dengan atau tanpa Islam,
negara bisa berdiri, dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di
mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.
Dengan nada retorik, Natsir menegaskan, di zaman unta dan pohon korma, ada
negara; di zaman kapal terbang, ada negara. Tentang ada negara yang teratur,
dan ada yang kurang teratur, menurut Natsir, adalah soal biasa. Akan tetapi,
bagaimana pun kedua-duanya adalah negara. Dengan, atau tidak dengan Islam!
Yang dibawa oleh Nabi Muhammad, lanjut Natsir,
ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat
dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk
mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun di dalam negara itu, untuk
keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan kesentosaan
umum. [6]
Merujuk kepada QS Al-Dzariyat ayat 56, Natsir
mengatakan bahwa cita-cita seorang Muslim ialah menjadi hamba Allah dengan arti
yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Untuk
mencapai tujuan itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan yang harus
berlaku saat kita berhubungan dengan Tuhan, dan ketika berhubungan dengan
sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan mu’amalah
sesama makhluk, menurut Natsir ada garis-garis besar berupa kaidah yang
berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta
kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang. Yang terakhir ini, kata Natsir,
tidak lebih tidak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan
kenegaraan. [7]
Bagi Natsir, negara bukanlah tujuan. Negara
hanyalah alat. Tujuannya, dalam kata-kata Natsir ialah kesempurnaan
berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan
manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat.
[8]
Sampai di sini, jelas bagi kita, Islam sebagai
tolok ukur yang digagas dan diperjuangkan oleh Natsir bukan sekadar berlakunya
secara formal Islam sebagai dasar negara. Yang lebih ditekankan oleh Natsir
ialah berlakunya nilai-nilai Islam di dalam kehidupan berpribadi,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan tujuan dan cita-cita
seorang Muslim.
Natsir berpendapat, suatu negeri yang
pemerintahannya tidak memedulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan
dungu, tidak mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar tidak
tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala-kepala (negara dan
pemerintahannya) menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau
memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu
sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan takhyul dan khurafat
merajalela, sebagaimana keadaaan Turki di zaman sultan-sultannya yang terakhir,
maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintah Islam. [9]
Terhadap pemerintahan semacam itu, Natsir
mengingatkan pengertian demokrasi di dalam Islam yang memberikan hak kepada
kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang zalim.
Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat
untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan, jikalau
perlu. Dalam rangka ini, Natsir mengutip hadits riwayat Nasai sebagai
berikut: “Pernah orang bertanya kepada Rasulullah, apakah yang sebaik-baik
jihad? Dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan
barang yang hak terhadap sultan yang zalim.” [10]
Dengan pendirian seperti itu, Natsir tidak
canggung membela Pancasila dalam kaitannya dengan Islam. Dalam pidato berjudul
“Sumbangan Islam Bagi Perdamaian Dunia” di Karachi, Pakistan, pada 9 April
1952, Natsir antara lain berkata: “Pakistan adalah negara Islam. Hal itu pasti,
baik oleh kenyataan penduduknya maupun oleh gerak-gerik haluan negaranya. Dan
saya katakan Indonesia juga adalah negara Islam, oleh kenyataan bahwa Islam
diakui sebagai agama dan panutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak
disebutkan dalam konstitusi bahwa Islam itu adalah agama negara. Indonesia
tidak memisahkan agama dari (masalah) kenegaraan. Dengan tegas Indonesia menyatakan
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah
yang lima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh
negara dan bangsa Indonesia.” [11]
Lebih setahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei
1953, dalam Kuliah Umum di Universitas Indonesia, berjudul “Negara Nasional dan
Cita-cita Islam” yang diselenggarakan atas permintaan Ketua Umum Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), A. Dahlan Ranuwihardjo, Presiden (1945-1967)
Sukarno saat menguraikan kedudukan Pancasila dan Islam secara khusus
menyinggung pidato Natsir itu: “Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku
tidak bisa mengatakan lebih daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar
Masyumi, Mohammad Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan
ceramah di hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau
mengatakan bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.” [12]
Pada tahun berikutnya, di majalah Hikmah
29 Mei 1954, Natsir menurunkan tulisan berjudul “Apakah Pancasila Bertentangan
dengan Ajaran Al-Qur’an?” Bagi Natsir, perumusan Pancasila adalah hasil
musyawarah para pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di
tahun 1945. Natsir percaya, di dalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang
berkumpul itu, yang sebagian besar beragama Islam, pastilah tidak akan
membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan
dengan asas dan ajaran Islam. Dengan nada retorik, Natsir bertanya,
bagaimana mungkin Al-Qur’an:
- ….yang memancarkan tauhid, dapat apriori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa?
- ….yang ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adalah ijtima’iyah bisa apriori bertentangan dengan Keadilan Sosial?
- ….yang justeru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad (diktatur) sewenang-wenang, serta meletakkan dasar masyarakat dalam susunan pemerintahan, dapat apriori bertentangan dengan apa yang dinamakan Kedaulatan Rakyat?
- ….yang menegakkan istilah islahu bainan nas (damai antara manusia) sebagai dasar-dasar yang pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dapat apriori bertentangan dengan apa yang disebur Perikemanusiaan?
- ….yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, apriori dapat dikatakan bertentangan dengan Kebangsaan? [13]
Dalam tulisannya itu, Natsir mengkonstatir mulai
terdengar pendapat-pendapat yang menempatkan Al-Qur’an di satu fihak dan
Pancasila di fihak lain dalam suasana antagonisme. Seolah-olah antara
tujuan Islam dan Pancasila itu terdapat pertentangan dan pertikaian yang sudah
nyata dan tak “kenal damai” dan tidak dapat disesuaikan. Dengan nada yang
sangat kuat sebagai seorang pemimpin, Natsir menulis: “Dengan
sepenuh-penuh keyakinan sebagai seorang Muslim yang berdiri atas kalimah syahadat,
dan lantaran itu sebagai patriot yang cinta kepada tanah air dan bangsa, saya
berseru supaya jangan terburu-buru memberikan suatu kualifikasi dan keputusan,
apabila vonis dan keputusan itu semata-mata didasarkan atas istilah-istilah
yang oleh masing-masing pemakainya diberi tafsiran sendiri-sendiri, sebab
bukanlah dengan cara demikian kita seharusnya memandang pokok persoalannya.” [14]
Natsir sangat yakin dalam pangkuan Al-Qur’an,
Pancasila akan hidup subur. Satu dengan yang lain tidak apriori
bertentangan tetapi tidak pula identik. Natsir yakin, di atas tanah dan iklim
Islam-lah, Pancasila akan hidup subur. Sebab iman dan kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa itu tidak dapat ditumbuhkan dengan semata-mata hanya mencantumkan
kata-kata dan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu saja di dalam perumusan
Pancasila.
Berlainan soalnya, kata Natsir, apabila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sekadar buah bibir. Bagi orang-orang yang
jiwanya sebenarnya skeptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi
orang ini, dalam ayunan langkahnya yang pertama saja Pancasila sudah
lumpuh. Apabila sila yang pertama itu, yang hakikatnya urat-tunggal bagi
sila-sila berikutnya sudah tumbang, maka seluruh sila lainnya akan hampa dan amorph,
tidak mempunyai bentuk yang tentu. Yang tinggal adalah kerangka Pancasila
yang mudah sekali dipergunakan untuk penutup tiap-tiap langkah perbuatan yang tanpa
sila, tidak berkesusilaan sama sekali. [15]
III - Majelis Konstituente
Pertanyaan yang selalu muncul, mengapakah dalam
pidato di Majelis Konstituante, Natsir “berubah haluan” dan mengusulkan Islam -
bukan Pancasila - sebagai dasar negara?
Pakar ilmu politik terkemuka, Deliar Noer,
berpendapat bahwa pidato Natsir di Majelis Konstituante pada 1957 yang
mengusulkan Islam sebagai dasar negara bukanlah perubahan sikap Natsir terhadap
Pancasila. Bagi Deliar, pidato Natsir di Pakistan dan tulisannya di Majalah Hikmah,
yang sudah dikutip di atas, adalah pandangan Natsir mengenai Pancasila
dihubungkan dengan Qur’an, sehingga tafsir sila-silanya juga dikaitkan dengan
ajaran Qur’an. Dalam konstituante, Natsir melihat Pancasila sebagai ajaran atau
tafsiran yang dikemukakan oleh para anggota Konstituante yang sekuler. Natsir
juga merujuk terutama kepada pidato Sukarno di depan Gerakan Pembela Pancasila
di Istana Jakarta pada tanggal 17 Juni 1954 yang memberi kesan bahwa sila
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ciptaan manusia yang bisa berganti-ganti. [16]
Pada pidato di Konstituante, Natsir mengutip
sangat panjang pidato Sukarno di depan Gerakan Pembela Pancasila. Menunjukkan
kegelisahannya yang amat sangat terhadap tafsir sekularistik Sukarno terhadap
Pancasila, Natsir mengutip tidak kurang dari 12 paragrap pidato Sukarno itu.
Dalam pidatonya itu, Sukarno antara lain
menguraikan eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari
sudut dinamika masyarakat yang terus berubah sepanjang masa. Menurut Sukarno:
“Ketuhanan (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit),
itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh,
beratus-ratus, beribu-ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat
Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. [17]
Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas
taraf agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf
agrarian, tentu religieus….” [18]
Di bagian lain, Sukarno berkata: “Dulu, tatkala
manusia hidup di dalam rimba raya di bawah pohon-pohon dan gua-gua, dia mengira
bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir, atau sungai. Dulu, tatkala manusia
hidup di dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai
sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang.
Dulu, tatkala manusia hidup di dalam taraf agrarian, terutama sekali dulu, dia
pun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk di
dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan
lagi…..” [19]
Jika kesimpulan dari pidato Sukarno itu secara
sederhana ialah seseorang yang masih berada dalam taraf kehidupan agraris
memerlukan Tuhan tetapi kalau dia sudah menjadi industrialis tidak perlu lagi
Tuhan, pertanyaan Natsir kemudian, di manakah gerangan hendak ditempatkan wahyu
sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Pertanyaan itu, kata
Natsir, mengandung jawabnya sendiri: “Bagi seorang sekularis, soal Ketuhanan
sampai kepada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada hubungannya dengan wahyu.
Baginya soal Ketuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.” [20]
Berbeda dengan Sukarno yang merelatifkan
eksistensi dan asal-usul sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berbeda juga dengan
anggota Konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Roeslan Abdulgani
yang menerangkan bahwa pokok utama dari sila-sila dalam Pancasila adalah sila
kebangsaan sebagai reaksi terhadap kolonialisme; [21] bagi Natsir sila
Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi point of refrence, titik
tempat memulangkan segala sesuatu. Bagi Natsir, Pancasila yang tidak
menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai point of reference
sebagaimana difahami oleh para pendukungnya di Konstituante, bagaimana akan
mendapat tenaga penggerak jiwa bagi rakyat Indonesia yang sudah memiliki
ideologi agama yang tegas-tegas dan meliputi jiwanya itu. Dalam kalimat lugas,
Natsir menyimpulkannya sebagai “tragis Pancasila yang sekuler, tanpa agama.” [22]
Pendirian Natsir yang mendudukkan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi point of reference, ternyata tidak sendirian.
Pendirian Natsir, sejalan dengan pandangan Wakil Presiden (1945-1956) Mohammad
Hatta yang dalam beberapa kesempatan selalu menekankan bahwa Pancasila terdiri
atas dua lapis fundamen, yaitu fundamen moral dan fundamen politik.
[23]
Menurut Bung Hatta, “Dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan
segala yang baik, sedangkan dasar Perikemanusiaan adalah kelanjutan dalam perbuatan
dan praktik hidup daripada dasar-dasar yang memimpin tadi. Dan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat menghormati agama
masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran,
keadilan, dan kejujuran.” [24]
Sehubungan dengan tafsir Hatta terhadap
Pancasila, Ahmad Syafii Maarif menulis: “…. Pancasila Hatta lebih masuk akal,
dibenarkan sejarah daripada tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh seorang
sekularis, agnostic, atau apalagi oleh seorang komunis. Sepanjang sumber-sumber
yang diketahui, belum ditemukan suatu keberatan dari kelompok-kelompok aliran
politik di Indonesia terhadap tafsiran Hatta tentang Pancasila. Maka dari sudut
penglihatan ini, sekiranya tafsiran Hatta tentang Pancasila dapat diakui dan
disetujui pada masa yang akan datang, ia akan berhenti menjadi isyu
kontroversial, baik di muka umum maupun dalam pembicaraan terbatas.” [25]
Dalam persidangan di Majelis Konstituante,
hasrat Natsir menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai point of
reference ternyata juga tidak tanpa teman. Di dalam perdebatan di
Konstituante itu, Arnold Mononutu, anggota Konstituante dari Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan beragama Nasrani, dengan lantang menafsirkan Pancasila
menurut iman Kristiani. Mononutu yang menolak mengakui Pancasila sebagai hasil
“penggalian” dari masyarakat Indonesia, menafsirkan sila demi sila dari
Pancasila dengan memakai ayat-ayat dari Kitab Injil. Bagi Mononutu, Pancasila
merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran Injil. Mononutu antara lain
menerangkan: “Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami, pokok dan sumber dari
sila-sila lain. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi satu
filsafat materialistis belaka.” Substansi kalimat itu diulangi oleh Mononutu:
“Pancasila tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ideologi materialistik
semata-mata yang secara prinsipil kami tidak dapat menerimanya.” [26]
Dengan sukacita Natsir menyambut penegasan
Mononutu: “Dalam saya mengikuti permulaan pidato beliau dengan perasaan
terharu, saya memahamkan pada permulaan pidatonya ada usaha yang
sungguh-sungguh dari Saudara Arnold Mononutu untuk mendesekularisasikan
Pancasila.” Di bagian lain, Natsir berkata: “Bukankah ini berarti, (kalau
sudah demikian), di sinilah kita sampai pada satu titik pertemuan, antara umat
Kristen dan umat Islam, yakni sama-sama hendak mencari dasar negara yang
bersumberkan wahyu Ilahi? Baik yang melalui Injil ataupun melalui Qur’an.
Dengan demikian akan terdapatlah kiranya kenyataan, baik golongan Saudara
Mononutu dan golongan kami mendapat persesuaian dalam satu hal esensil, yakni
sama-sama menolak faham sekularisme sebagai falsafah negara….” [27]
IV - Dekrit Presiden
Dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959,
Majelis Konstituante dibubarkan, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 - yang pada Pembukaannya termaktub rumusan butir-butir
Pancasila - dinyatakan berlaku kembali. Dalam konsiderans Dekrit Presiden 5
Juli 1959 itu terdapat kalimat: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” [28]
Terlalu naïf jika kenyataan dibubarkannya
Konstituante ditafsirkan sebagai bukti gagalnya perjuangan partai-partai
politik Islam (Nahdlatul Ulama, Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan
Partai Islam PERTI) yang di dalam Konstituante bergabung dalam Fraksi Islam [29],
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebab, kepedulian utama dari keseluruhan
gagasan menjadikan Islam sebagai dasar negara, sesungguhnya adalah hasrat untuk
mendesekularisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menempatkan suatu
dasar negara yang membuka diri terhadap “intervensi” wahyu.
Bahwa untuk mencapai kepedulian utama itu
digunakan tema besar Islam sebagai dasar negara, tentulah tidak dapat
dilepaskan kaitannya dari fungsi Konstituante sebagai lembaga negara yang
memiliki kewenangan penuh untuk menyusun konstitusi yang definitif. Fungsi itu,
kata Natsir, hanya dapat dipenuhi “apabila ia mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk menjelajah, membahas, membanding fikiran-fikiran yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Tegasnya, untuk melakukan orientasi yang
sungguh-sungguh, agar hasil yang hendak dicapai nanti benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan bagi rakyat dan keturunan kita di masa mendatang.” [30]
Bagi kalangan politisi berbasis agama, debat di
Konstituante adalah sukses gemilang. Suara lantang Natsir telah membangunkan
kalangan bukan sekuler untuk mencari pijakan Ilahiat bagi Pancasila. Dengan
kebangkitan kalangan bukan sekuler di konstituante itulah, gagasan memeras
Pancasila menjadi Ekasila, yakni Gotong-Royong tanpa sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, atau mengganti sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sila Kebebasan Beragama
seperti disuarakan oleh kalangan komunis, [31] berhasil digagalkan.
Sulit dibayangkan apa yang terjadi kini jika
Konstituante dulu tidak melakukan tugasnya “menjelajah, membahas, membanding
fikiran-fikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia,” jika Konstituante tidak
mengkonfrontasikan ide-ide dalam pemikiran-pemikiran.” Mungkin, seperti
dikatakan Natsir, yang kita dapat hanyalah “toleransi, dan bukan konstitusi.” [32]
Dari sudut ini dapatlah dikatakan bahwa
konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sejatinya lebih dari sekadar kompromi -
antara pendukung Pembukaan UUD 1945 versi 22 Juni 1945 dan Pembukaan UUD 1945
versi 18 Agustus 1945 - merupakan keberhasilan upaya mendesekularisasikan
dasar negara Pancasila.
Atas pertanyaan anggota DPR-RI, Anwar Harjono
(Masyumi) dan K.H. Ahmad Sjaichu (NU) mengenai makna konsiderans Dekrit 5 Juli
1945, Perdana Menteri Djuanda dengan surat kepada Ketua DPR-RI No. 0761/59,
tertanggal 25 Maret 1959 antara lain mengatakan bahwa:
Walaupun Piagam Jakarta itu tidak merupakan
bagian Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945,
tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar artinya bagi perjuangan bangsa
Indonesia dan bagi bahan penyusunan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjadi bagian daripada Konstitusi Proklamasi, dan Pengakuan adanya Piagam
Jakarta sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan
pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di
bidang keagamaan. Yaitu bahwa dengan demikian kepada perkataan “Ketuhanan”
dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 dapat diberikan arti “Ketuhanan dengan
kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya, sehingga atas dasar
itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat
disesuaikan dengan syari’at Islam. [33]
Mengomentari konsideran tersebut, Ahmad Syafii
Maarif menulis: “Tercantumnya konsideransi sangat penting ini jelas merupakan
kompromi politik lagi antara pendukung dasar negara Pancasila dan dasar Islam.
Menurut pertimbangan kita, bilamana konsideransi itu mempunyai makna secara
konstitusional, dan memang seharusnya demikian, maka sekalipun hanya secara
implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syari’ah bagi pemeluk agama Islam
tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap
kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, di
samping tidak punya makna, juga bersifat a historis….” [34]
V - Mosi Integral Natsir
Di samping kontribusinya di bidang pemikiran,
terutama dalam memberi ruh agama terhadap konstitusi yang sedang disusun,
Natsir juga dicatat karena peran cerdas dan gemilangnya di dalam memulihkan
bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melalui pidatonya di Parlemen RIS pada 3 April 1950
yang kemudian dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir”.
Setelah melalui proses yang panjang, melalui
perundingan demi perundingan yang diwarnai dengan dua kali agresi militer
Belanda terhadap Republik Indonesia, akhirnya pada 23 Agustus sampai dengan 2
November 1949 terselenggara Konferensi Meja Bundar (KMB) antara pemerintah
Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia di Den Haag. KMB menghasilkan
kesepakakatan sebagai berikut:
Kedua belah fihak (Kerajaan Belanda dan Republik
Indonesia) setuju membentuk Uni yang longgar antara Negeri Belanda dengan
Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis,
Sukarno dan Mohammad Hatta akan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, dan
antara 1949-1950, Hatta akan menjadi Perdana Menteri RIS,
Belanda masih akan mempertahankan Irian Barat
(sekarang Papua —pen) dan tidak ikut RIS sampai ada perundingan lebih
lanjut, dan Pemerintah RIS harus menanggung hutang Belanda sebesar 4,3 miliar
gulden. [35]
Pada 29 Desember 1949 Belanda secara resmi
mengakui (Belanda menggunakan istilah: menyerahkan - pen) kedaulatan
RIS, kecuali Irian Barat. Dalam RIS, tergabunglah 16 Negara Bagian, termasuk
Republik Indonesia di Yogyakarta. Karena Irian tidak termasuk yang diserahkan
kepada Indonesia, maka Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dan Menteri Penerangan
Mohammad Natsir menolak KMB dan tidak mau masuk kabinet RIS. Natsir kemudian
berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di Parlemen RIS.
Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering,
pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur
mencetuskan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan
bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia di Yogyakarta. Pada 30 Januari,
DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan mengeluarkan resolusi yang
sama. Selain di dua daerah tersebut, pada awal Januari di banyak daerah telah
muncul suara-suara yang menghendaki bergabung dengan Negara bagian Republik
Indonesia. Di Negara Bagian Sumatera Timur malah terjadi demonstrasi yang
memaksa polisi turun tangan mengatasinya.
Sebagai Ketua Fraksi Masyumi, Natsir mencermati
keadaan yang berkembang. Dia yakin, jika hal itu dibiarkan, bisa berakibat
tidak baik untuk negara yang baru merebut kemerdekaannya ini. Natsir pun
bergegas menemui para Ketua Fraksi untuk mengetahui fikiran apa yang sedang
berkembang di parlemen. Natsir berdiskusi dengan para pemimpin fraksi paling
kiri melalui Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Natsir juga
berdiskusi dengan pemimpin fraksi yang sangat kanan, Sahetapy Engel dari Biijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO).
Dari pertukaran fikiran itu, Natsir menyimpulkan
bahwa negara-negara bagian tersebut mau membubarkan diri untuk bersatu dengan
Republik Indonesia di Yogya, asal jangan disuruh bubar. Sepanjang dua setengah
bulan, Natsir melakukan lobby yang diakuinya tidak mudah, terlebih-lebih
dengan negara-negara bagian di luar Jawa seperti negara bagian di Sumatera dan
Madura. Setelah semuanya dirasa mantap, Natsir mengajukan Mosi Integral yang
menurut pengakuannya, dibuat “kabur-kabur….” Mosi Integral dibikin kabur,
karena kita tengah menghadapi Belanda. “Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau
lagi. Belanda tidak boleh tahu, mau ke mana perginya rencana itu,” kata Natsir.
[36]
Mosi Integral Natsir diterima baik oleh
pemerintah. Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta, mengumumkan bahwa pemerintah
akan menggunakan Mosi Integral Natsir sebagai pedoman dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan pendekatannya yang luwes, Natsir
berhasil memulihkan negara federal RIS ke NKRI tanpa satu orang pun yang
dipermalukan, juga tanpa setetes darah pun yang tumpah.
Komite persiapan yang terdiri dari semua Negara
Bagian, dibentuk. Komite ini mempersiapkan rancangan Undang-Undang Dasar
Sementara yang mengusulkan sistem kabinet parlementer. Masyumi yang diwakili
oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersikukuh pada kabinet presidensil. Akan
tetapi, dua partai besar pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan
Partai Sosialis Indonesia (PSI) tegas mendukung sistem kabinet parlementer.
Karena kalah suara, Masyumi pun, dalam kalimat Mohamad Roem, “harus meletakkan
dirinya pada sistem kabinet parlementer.” [37]
Atas peranannya yang signifikan itulah. Natsir
ditunjuk oleh Presiden Sukarno untuk menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Natsir tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang
menjadi Perdana Menteri NKRI. Mengenang peristiwa itu, Natsir berkata: “Setelah
Mosi Integral berhasil, saya dipercaya jadi perdana menteri, satu hal yang
semula tidak saya pikirkan. Saya juga heran. Asa Bafagih, wartawan harian Merdeka,
bertanya kepada (Presiden) Sukarno tentang siapa yang akan jadi perdana
menteri. Kata Sukarno, ‘Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka
punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi’.” [38]
Sukarno tertarik kepada Natsir dan bersikukuh
memintanya menyusun kabinet walau tanpa dukungan PNI, karena menurutnya proses
pengembalian kepada negara kesatuan telah dilaksanakan Natsir dengan cara yang
bermartabat dan menyenangkan. Hal lain, karena Natsir dan partainya mendukung
sistem kabinet presidensil, Sukarno menduga Natsir akan toleran kepada
kehendaknya untuk berpidato pada saat Perdana Menteri Natsir menyampaikan
kebijakan kabinetnya. Sukarno mengira, Natsir akan bersikap sesuai dengan sikap
partainya saat membahas rancangan UUD Sementara.
Sukarno kecele. Natsir ternyata berpendapat,
sebagai Perdana Menteri dalam sistem kabinet parlementer seperti diatur oleh
UUD Sementara, dia harus menetapkan politik pemerintahannya sendiri tanpa
campur tangan Presiden. Menurut Roem, inilah awal dari akhir bulan madu yang
singkat antara Sukarno dengan Mohammad Natsir. [39]
VI - PENUTUP
E
|
sai ini secara sederhana telah mencoba
menguraikan pemikiran Mohammad Natsir sebagai sumbangannya untuk NKRI.
Mengakhiri uraian ini, beberapa catatan ingin saya sampaikan:
Proses perumusan dasar negara Pancasila,
bukanlah proses instan, sekali jadi. Di dalam proses tersebut ada dialog tajam
dan bermutu tinggi yang turut memberi warna kepada Pancasila. Oleh karena itu
mengklaim Pancasila seolah-olah milik golongan tertentu, dan langsung jadi pada
saat pertama kali disebutkan namanya ke publik, adalah klaim yang tidak memiliki
dasar argumentasi dan basis sejarah yang kuat.
Masih saja terdengar ungkapan bahwa negara kita
ini bukan negara sekuler, juga bukan negara agama. Ungkapan ini mengesankan
seolah-olah negara kita adalah negara bukan-bukan. Bukan ini, dan bukan itu.
Padahal konstitusi kita, sejak Pembukaan sampai batang tubuh jelas-jelas
mengatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Seluruh
komponen bangsa tidak boleh enggan atau ragu untuk menyatakan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Maka, demokrasi yang kita laksanakan pun haruslah demokrasi yang ber-Ketuhanan.
Banyak orang berkata, NKRI adalah harga mati.
Pertanyaannya, ketika menyatakan itu, adakah yang masih mengingat bagaimana
proses menjadi NKRI itu dilakukan. Membaca ulang proses pulihnya NKRI itu kini
makin penting dan mendesak, agar di dalam mempertahankan dan merawat NKRI kita
tidak pernah kehilangan cara-cara yang bermartabat, penuh toleransi, dan
menyenangkan.
Kita boleh berbeda pendapat pada saat proses
pengambilan keputusan sedang berlangsung, akan tetapi ketika keputusan telah
diambil tidak boleh lagi ada ruang bagi pendapat pribadi yang berbeda dengan
keputusan yang telah diambil itu. Dan yang tidak kalah pentingnya, betapapun sulitnya,
seorang pemimpin wajib mengambil keputusan dan memastikan terlaksananya
keputusan tersebut.
Dalam rangka pembentukan karakter bangsa, sudah
saatnya kita menyimak lebih seksama perjalanan hidup bangsa ini dan para
tokohnya. Kecenderungan untuk selalu mencatat perbedaan di antara para pemimpin
bangsa di masa lalu, ternyata harus dikoreksi. Para pendahulu kita biasa
berbeda pendapat tajam dan keras, tetapi mereka tidak pernah kehilangan
kehangatan dalam hubungan pribadi dan kekeluargaan. [□]
Lampiran - 1 Piagam Jakarta
Piagam Jakarta
Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itoe
ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka pendjadjahan di atas doenia
haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan
peri-keadilan.
Dan perdjoeangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakjat Indonesia ke-depan pintoe-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatoe, berdaulat, adil dan makmoer.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan jang loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.
Kemoedian daripada itoe, oentoek membentoek soeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap Bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: (1) Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja; (2) Kemanoesiaan jang adil dan beradab; (3) Persatoean Indonesia; (4) Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/ perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia.
Djakarta, 22 Juni 1945.
Panitia Sembilan:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Mohammad Hatta
3. Mr. A. A. Maramis
4. Abikoesno Tjokrosoejoso
5. Abdoel Kahar Moezakir
6. H. Agoes Salim
7. Mr. Achmad Soebarjo
8. KH. Wahid Hasjim
9. Mr. Moehammad Yamin.
Catatan: Naskah Piagam Jakarta ditulis
dengan menggunakan ejaan Republik (ejaan lama) dan ditandatangani seperti
tersebut diatas. □□
Lampiran - 2 Pembukaan UUD-45
Dari bunyi rumusan “Piagam Jakarta”, bisa
disimpulkan rumusan Pancasila yang tertuang dalam Piagam Jakarta yang terdiri
dari 5 butir utama, yakni: (1) Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian “Piagam Jakarta” ini diajukan dalam
sidang BPUPKI oleh Panitia Sembilan dan diterima dengan sambutan baik. Isi “Piagam
Jakarta” kemudian dijadikan dalam teks “Pembukaan UUD 1945” seperti tersebut dibagian
awal.
Pada hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
teks “Piagam Jakarta” pun disahkan sebagai “Dasar Negara” dengan nama “Pancasila”.
Perubahan terjadi pada “sila pertama” dimana kata “Ketuhanan ‘dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’” berubah menjadi “Ketuhanan
‘Yang Maha Esa’”.
Berikut ini butiran-butirannya yang
sampai saat ini menjadi teks pembukaan UUD 1945.
Pembukaan
Bahwa sesoenggoehnja kemerdekaan itoe
ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itoe maka pendjadjahan di atas doenia
haroes dihapoeskan, karena tidak sesoeai dengan peri-kemanoesiaan dan
peri-keadilan.
Dan perdjoeangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan Rakjat Indonesia ke-depan pintoe-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatoe, berdaulat, adil dan makmoer.
Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Koeasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan jang loehoer, soepaja berkehidoepan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.
Kemoedian daripada itoe, oentoek membentoek soeatoe Pemerintah Negara Indonesia jang melindoengi segenap Bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia, dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disoesoenlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itoe dalam suatu Hoekoem Dasar Negara Indonesia, jang terbentoek dalam soeatoe soesoenan negara Repoeblik Indonesia jang berkedaaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: (1) Ketoehanan Yang Maha Esa; (2) Kemanoesiaan jang adil dan beradab; (3) Persatoean Indonesia; (4) Kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat, kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/ perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seloeroeh Rakjat Indonesia. □□□
Catatan Kaki
[1] “Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur
Dakwah” dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua, Jakarta, PT.
Pustaka Utama Grafiti, 1993, halaman 85. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad
Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah, Jakarta, Media Da’wah dan Panitia
Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir Pemikiran dan Perjuangannya, 2008,
halaman 13.
[2] Jong Islamieten Bond (JIB) berdiri pada 1
Januari 1925 sesudah usul tokoh Jong Java, Sjamsuridjal, agar kepada para
anggota Jong Java yang beragama Islam diberikan kursus agama Islam, ditolak.
[3] M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta,
Yayasan Bulan Bintang Abadi dan Media Da’wah, Cetakan Keempat, 2008, halaman
533.
[4] Pidato lengkap M. Natsir di Majelis
Konstituante bertajuk “Islam sebagai Dasar Negara” lihat M. Natsir, Capita
Selecta 3, Jakarta, PT Abadi, Panitia Peringatan Refleksi Seabad M. Natsir
Pemikiran dan Perjuangannya, dan Yayasan Capita Selecta, Cetakan Pertama,
2008, halaman 81-142.
[5] Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185.
[6] M. Natsir, Capita Selecta 1, halaman
541.
[7] M. Natsir, Capita Selecta 1, halaman
532-533.
[8] M. Natsir, Capita Selecta 1, halaman
540. Cetak miring asli.
[9] M. Natsir, Capita Selecta 1, halaman
535.
[10] M. Natsir, Capita Selecta 1, halaman
536.
[11] M. Natsir, Capita Selecta 2,
Jakarta, PT. Abadi dan Yayasan Capita Selecta, Cetakan Kedua, 2008, halaman
86-87.
[12] Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso
(editor), Bung Karno, Islam, Pancasila, dan NKRI, Jakarta, Komunitas
Nasionalis Relijius Indonesia, 2006, halaman 218.
[13] M. Natsir, Capita Selecta 2, halaman
208-209.
[14] M. Natsir, Capita Selecta 2, halaman
210.
[15] M. Natsir, Capita Selecta 2, halaman
211.
[16] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas
Nasional 1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, Cetakan
Pertama, 1987, halaman 133.
[17] Anehnya, meskipun Sukarno mengaku yang
pertama kali dia temukan ialah Ketuhanan dalam arti religieusiteit,
tetapi pada pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Sukarno menempatkan sila
Ketuhanan pada urutan terakhir. Bahkan ketika dia memeras Pancasila menjadi
Ekasila, yang ada tinggal gotong royong. Sila Ketuhanan ikut terperas, dan
hilang.
[18] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
104.
[19] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
107.
[20] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
109.
[21] Seperti dikutip oleh Natsir dalam Pandangan
Umum Babak II Sidang Pleno Konstituante. Lihat M. Natsir, Agama dan Negara
dalam Prespektif Islam, Jakarta, Media Da’wah, 2001, halaman 243.
[22] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
118.
[23] Mohammad Hatta mengemukakan pendiriannya
itu antara lain dalam Amanat kepada Konferensi Golongan Tionghoa di Yogyakarta,
17 September 1946; Khutbah Idul Fitri di Bukittinggi, 18 Agustus 1947, tulisan
di Mimbar Indonesia pada tahun 1948, dan Amanat kepada Kongres Kesatuan Pemuda
Kristen Indonesia di Jakarta, 22 Juni 1952. Lihat Mohammad Hatta, Kumpulan
Karangan Jilid IV, Jakarta-Amsterdam-Surabaya, Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, 1954.
[24] Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid
IV, halaman 167.
[25] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES,
1985, halaman 154.
[26] M. Natsir, Agama dan Negara dalam
Prespektif Islam, halaman 244-245.
[27] M. Natsir, Agama dan Negara dalam
Prespektif Islam, halaman 244-245.
[28] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari
Keadilan dan Persatuan Biografi Dr. Anwar Harjono, SH, Jakarta, Media
Da’wah, 1993, halaman 189.
[29] Bersatunya partai politik Islam di
Konstituante dalam Fraksi Islam mendapat sambutan hangat di kalangan umat di
seluruh daerah. Fraksi Islam, mula-mula dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo
(Masyumi). Ketika Kasman ditangkap pada 5 September 1958, Ketua Fraksi Islam di
Konstituante dipimpin oleh K.H. Masjkur (NU). Kepemimpinan K.H. Masjkur berakhir
sampai Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Lihat, Deliar Noer, Partai
Islam di Pentas Nasional 1945-1965, halaman 389.
[30] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
84-85.
[31] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, halaman 143.
[32] M. Natsir, Capita Selecta 3, halaman
86.
[33] Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari
Keadilan dan Persatuan, halaman 182-184. Teknis penulisan, disesuaikan
untuk kepentingan makalah ini.
[34] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan di Konstituante, halaman 181.
[35] M. Natsir, Mohamad Roem, dan Yusril Ihza
Mahendra, Mosi Integral Natsir dari RIS ke NKRI Prestasi Tertinggi Parlemen
yang Dilupakan Sejarah, Jakarta, Media Da’wah dan Panitia Peringatan
Refleksi Seabad M. Natsir Pemikiran dan Perjuangannya, 2008, halaman vii-viii.
[36] Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua,
3, halaman 94. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur
Dakwah, halaman 31.
[37] M. Natsir, Mohamad Roem, Yusril Ihza
Mahendra, Mosi Integral Natsir dari RIS ke NKRI, halaman 31-32.
[38] Memoar Senarai Kiprah Sejarah Buku Kedua,
halaman 95. Lihat juga, Agus Basri, Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur
Dakwah, halaman 33-34.
[39] M. Natsir, Mohamad Roem, Yusril Ihza
Mahendra, Mosi Integral Natsir dari RIS ke NKRI, halaman 40. □□□□
Referensi
https://jejakislam.net/agama-dan-negara-membaca-pemikiran-m-natsir/ □□□□□