“Dan
masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar
mereka mendapat pelajaran).” [QS Ali ‘Imran 3:140]
T
|
anpa orang-orang Islam, mungkin tak
akan ada gula dan Shakespeare di Inggris. Jerry Brotton dalam The Sultan and
the Queen melacak pengaruh Islam terhadap budaya Inggris selama setengah
millennium (500 tahun), antara masa Perang Salib hingga kebangkitan Kerajaan
Inggris di Timur Tengah.
Kisah hubungan dekat Inggris dan dunia Islam itu dilacak dari kisah Ratu
Elizabeth I yang memiliki gigi yang buruk. Gigi Sang Ratu tak rata dan
berlubang (busuk), karena kebiasaannya mengonsumsi banyak gula. Sebuah komoditi
yang baru yang diimpor oleh Inggris dari Maroko pada abad ke-16. Permen adalah
salah satu makanan tervaforit Ratu Elizabeth I.
Kisah tentang senyuman tak menarik Elizabeth I adalah sejarah yang
menarik. Bahkan lebih menarik dan penting dari sejarah ekonomi, budaya, dan
relasi politik antara sang Ratu dengan wilayah-wilayah kecil. Sultan Maroko dan
saudagar-saudagar kaya raya dunia Islam menguasai lebih dari setengah wilayah
Mediterania dan mengontrol akses orang-orang Eropa menuju dunia Timur. Buku
Jerry Brotton - The Sultan and the Queen, menunjukkan kajian hubungan
intens antara orang-orang Protestan Inggris dengan umat Islam. Ia menunjukkan
bagaimana umat Islam, selama 500 tahun, antara masa Perang Salib hingga
kebangkitan Inggris di Timur Tengah, bisa bukan hanya mempengaruhi, tapi
membentuk budaya masyarakat Inggris.
Relasi yang berdampak positif - bagi budaya Inggris, antara Protestan
dan Islam ini bermula dari kebijakan Paus terhadap wilayah Britania. Paus Pius
V mengucilkan Elizabeth pada tahun 1570. Pimpinan tertinggi gereja Katolik itu
menyerukan hampir semua wilayah Eropa memboikot Elizabeth. Barang-barang
komoditi dagang Inggris ditolak di Spanyol, Italia, dan Prancis. Kenyataan ini
membuat Elizabeth mencari relasi dagang lainnya.
Pertama, ia mencoba menjalin hubungan ekonomi dengan Rusia. Awalnya,
hubungan ini berjalan lancar. Namun, Laut Putih (White Sea) membeku
dalam kurun waktu bertahun-tahun, sehingga jalur dagang laut tertutup dan harus
menempuh jalur darat yang jaraknya lebih jauh. Elizabeth pun mengalihkan
pandangannya menuju Maroko, kemudian Iran, dan akhirnya menjalin hubungan
dagang dengan kerajaan Islam terbesar di dunia kala itu, Turki Utsmani.
Ratu mulai mengirimkan pedagang dan diplomatnya menuju Marrakesh, ibu
kota dagang Maroko, untuk mengimpor gula dan mineral. Kemudian ke Istanbul
untuk membeli katun dan pewarna. Dan menuju Aleppo, mengangkut sutra Iran dan
rempah-rempah India. Brotton mengisahkan bahwa perjalanan orang-orang Inggris
ke daerah-daerah tersebut tidak selalu aman. Karena mereka membawa komoditi
dagang, barang bernilai, rempah-rempah, dan uang. Di antara kota yang terkenal
rawan pada saat itu adalah kota yang menjadi pusat kekayaan pada abad 16, Raqqa
dan Fallujah.
Hubungan dagang dengan dunia Timur membawa Inggris menemukan cara baru
dalam transaksi jual beli, yaitu perusahaan kongsi. Menurut Elizabet, membawa
uang dan memindahkan barang dagangan dengan jarak yang jauh adalah sebuah
resiko yang besar. Belum lagi adanya perbedaan keyakinan. Tentu keamanan
semakin tak terjamin. Kongsi dagang ini dapat meminimalisir resiko dengan tetap
mendapatkan untung. Meskipun dibagi. Walaupun kemitraan dagang antara Timur dan
Barat naik pesat di masa Elizabeth I, Inggris tetaplah mitra dagang junior.
Besi, sutra, rhubarb (sejenis tanaman), kismis, rempah-rempah, anggur manis,
dan gula membanjiri pasar Inggris. Rasa dan selera makan masyarakat Inggris pun
berubah. Mode baru tercipta. Dan pertukaran uang kian menggeliat.
Seperti yang dikatakan Brotton, hampir selalu ada kecemasan dalam setiap
aktivitas ekonomi Inggris karena konflik Kristen Eropa dengan dunia Timur. Baik
Katolik atau Protestan, terutama Protestan, pada abad ke-16 memang memiliki
hubungan politik dan ekonomi dengan masyarakat Islam, akan tetapi mereka tak
memiliki jaminan keagamaan dari pihak Gereja untuk terus memperdalam hubungan
dengan Islam.
Sejak dulu, Martin Luther menganggap Paus adalah momok yang lebih
menakutkan dibanding sultan-sultan Utsmani. Menurutnya, Turki Utsmani boleh
jadi disebut iblis, tapi Paus adalah seorang anti Kristen. Kemudian seiring
perkembangan Protestan, pada awalnya di Jerman kemudian menjadi agama di
wilayah kekuasaan Elizabeth, Protestan menemukan perspektif baru tentang Islam.
Turki Utsmani dianggap sebagai ujian dari Tuhan. Sebuah ujian keimanan. Dalam
arti, pintu dunia terbuka lebar setelah Inggris menjalin hubungan dengan
Utsmani. Jika mereka tidak menjadi tamak gara-gara terbukanya dunia untuk
mereka, maka ujian itu berhasil menempa jiwa mereka menjadi jiwa yang suci.
Akhirnya, kata Turk diartikan sebagai ketamakan, keserakahan, iri hati, dan
keduniawian. Yaitu bentuk-bentuk ujian yang harus dijalani seorang Protestan
dengan sukses.
Karena begitu kagumnya Inggris dengan dunia Islam, sampai-sampai Turki
pun diistilahkan dengan godaan dunia. Karena dunia itu menimbulkan kekaguman.
Namun dalam pandangan Martin Luther, Paus dapat membunuh jiwa Kristen
yang kekal sedangkan Turki Utsmani hanya dapat menghancurkan fisik semata.
Sehingga, orang-orang Protestan lebih mudah dan terbuka dalam menjalin hubungan
ekonomi dengan masyarakat muslim daripada dengan orang-orang Katolik. Ditambah,
Islam dan Protestan memiliki kesamaan dalam hal tidak memiliki sistem kepausan.
Yakni sama-sama tidak memiliki tokoh agama yang dianggap sebagai wakil Tuhan di
duina.
Bagi orang-orang Katolik, tulisan Martin Luther tentang Turki dan
Katolik, tentang perkembangan kepentingan dagang antara Inggris dan umat Islam,
dan tentang hubungan Protestan dengan super power Turki Utsmani membuktikan
bahayanya seorang Elizabeth.
Dan benar saja, sangkaan Katolik ini tidak keliru. Elizabeth
menginginkan hubungan dengan Turki Utsmani bukan sekadar transfer permen saja.
Ia menginginkan kapal laut dan senjata untuk membantunya memerangi kekuatan
Katolik. Dengan itulah, pada tahun 1588 Elizabeth berhasil menghancurkan armada
Spanyol. Ia sangat mendambakan terwujudnya kerja sama militer dengan Turki
Utsmani dalam menghancurkan Spanyol. Inggris sebenarnya memiliki angkatan laut
yang kuat, tapi tidak cukup kuat untuk menghadapi Spanyol dan Eropa Barat.
Harapan Elizabeth untuk menggandeng militer Utsmani dalam menghadapi Spanyol
pun kandas. Kegagalan lobi kerja sama itu di antaranya disebabkan duta-duta dan
utusan-utusan yang dikirim Elizabeth ke Istanbul pada tahun 1580-an dan 1590-an
pergi meninggalkan majelis para Sultan tanpa buah tangan. Kemudian dalam
perspektif Turki Utsmani, mereka merasa tidak layak menghabiskan waktu dan
tenaga untuk mengurusi konflik kecil di Eropa Barat itu. Ditambah lagi mereka
sedang serius menghadapi Kerajaan Syiah Shafawi di Iran dan konflik di wilayah
perbatasan mereka di Hungaria.
Pengaruh Islam di Inggris pada masa ini sangat luar biasa. Di masa
sekarang ini, gambarannya seperti pengaruh budaya Amerika terhadap Indonesia.
Di masa itu, dunia Islam mempengaruhi pola konsumsi, membanjiri pasar-pasar
Inggris dengan produk-produk negara Islam, produk militer (alutsista) kaum
muslimin dipakai Inggris. Selain itu, masyarakat Islam juga menginspirasi
Inggris dalam dunia literasi. Mereka membaca buku-buku karya umat Islam.
Penulis-penulis Inggris seperti Christopher Marlowe, George Peele, Robert Greene
dan tentu saja, William Shakespeare mendapat asupan ide, karakter, dan cerita
yang lebih luas terinspirasi dari tulisan-tulisan umat Islam. Puncak kekaguman
Inggris dengan dunia lliterasi Islam adalah munculnya karya Shakespeare yang
berjudul Othello.
Pada saat Elizabeth wafat, terjadilah perubahan. Kekaguman Inggris
terhadap dunia Islam pun mulai dipaksa dihapuskan. James I naik tahta. Ia
menjalin hubungan dengan Spanyol dan membawa Protestan Inggris lebih berwarna
Katolik Eropa. Hubungan Inggris dan dunia Islam merenggang. Jasa-jasa umat
Islam dalam membangun peradaban Inggris pun berusaha dilupakan.
Dan sekarang, keadaan pun berbalik. Dunia Islam dan kaum muslimin
mengidolakan Inggris (dan Amerika atau Barat). Sungguh benar firman Allah ﷻ, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran)
itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” [QS Āli
‘Imrān 3:140] □
Sumber:
Mr. Mikhail, a professor of history at
Yale, is the author of the forthcoming “Under Osman’s Tree.” Diakses dari Artikel www.KisahMuslim.com□□□