Sunday, November 5, 2017

Islamisasi dan Tantangan Modernitas





Pendahuluan

B
erIslam dan BerIndonesia. Barangkali isu tersebut menjadi dilematis bagi umat Islam di Indonesia. Kita mungkin masih ingat bagaimana Aksi Bela Islam yang dilaksanakan pada tanggal 4 November 2016 (Aksi 411) dan 2 Desember 2016 (Aksi 212) tidak surut dari dugaan akan memecah belah NKRI, bahkan diduga berpotensi makar. Aksi tandingannya pun (tanggal 19 November dan 4 Desember 2016) diberi nama “Parade Bhinneka Tunggal Ika” dan “Kita Indonesia”, seakan aksi 411 hendak memecah belah keberagaman bangsa dan peserta aksi 212 bukan orang Indonesia.

Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus ‘perceraian paksa’ antara keIslaman dan keIndonesiaan. Sekarang ini, kita banyak menemui upaya-upaya untuk menjauhkan hal-hal yang berbau Islam dari kehidupan bernegara. Atas nama kesatuan NKRI, Undang-undang bernafaskan syari’at digugat, dan yang masih menjadi RUU ditolak. “Urusan negara jangan bawa-bawa agama. Ini negara Pancasila, bukan negara Islam!” ujar mereka, mendikotomikan Pancasila dan Islam. Dikatakan pula, bahwa dulu pahlawan Indonesia memikirkan agama, melainkan memikirkan kemerdekaan bangsa.

Itulah sekelumit dilema Islam-Indonesia di negeri ini. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kita tidak bisa berIslam dan berIndonesia secara integral? Apakah memang Indonesia tidak memiliki identitas keIslaman? Apakah Pancasila itu konsep netral agama, sehingga agama Islam tidak bisa masuk mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara?

Atas dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis merasa terpanggil untuk menjelaskan bahwa sebenarnya antara berIslam dan berIndonesia tidaklah dikotomis. Seorang Muslim yang baik dapat menjadi negarawan yang baik pula. Bahkan, orang Islam seharusnya menjadi orang yang paling Nasionalis dan Pancasilais!


Nusantara Negeri Para Syuhada

A
dalah hal yang menarik jika kita merenungkan pernyataan bahwa pahlawan-pahlawan Indonesia dulu tidak memikirkan agama pada saat berjuang melawan penjajah, melainkan hanya memikirkan kemerdekaan bangsa. Secara implisit, pernyataan ini bermaksud untuk mengerdilkan peran Islam di Nusantara. Benarkah demikian? Sebaiknya kita tengok sekilas sejarah Indonesia ini.

Sebenarnya, jika mau membuka sedikit saja lembaran sejarah Indonesia dengan jujur, maka kita akan menemukan banyak sekali pahlawan Indonesia yang berjuang dengan memegang teguh keislamannya. Mari kita mengingat kembali sejarah Islam di Indonesia, agar kita punya rasa bangga terhadap agama Islam dan membongkar pemikiran ahistoris tersebut.

Syekh Yusuf Al-Makassari (1626-1699) misalnya, beliau merupakan tokoh yang cukup terkenal di Indonesia maupun di luar negeri. Beliau diakui sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan tercatat sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan yang dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada bulan November 1995.

Beliau dianggap sebagai tokoh ulung masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. [1] Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah Belanda. Tahun 1683 - sebelum diasingkan ke Sri Lanka dan kemudian ke Afrika Selatan - setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Al-Makassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat. [2]

Contoh lain peran Islam di Nusantara adalah peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830). Menurut Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, perlawanan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Kristen Belanda tujuannya tidak lain adalah untuk menuntut pemberlakuan syariat Islam di Tanah Jawa. Mengutip buku berjudul Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya F.V.A. Ridder de Stuers, (Amsterdam: Johannes Mϋller, 1847), Rifyal Ka’bah memaparkan pemaparan seorang Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), yang menyatakan bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar hukum Islam berlaku untuk orang Jawa. [3] Dalam perundingan yang dilakukan di Salatiga, pihak Diponegoro menggunakan ungkapan “Lā mauta illā bil-ajal” (Tidak ajal berpantang mati). Kyai Modjo - pembantu dan penasehat Pangeran Diponegoro - juga mengutip dari Kitab Suci Al-Qura’an,  surat. An-Naml ayat 31 kepada Belanda yang merupakan ucapan Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis yang artinya: “Jangan kalian bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri.” Ketika ditanya  oleh Belanda itu, apa maksud ungkapan itu, Kyai Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst, en gaat langs het pad der regtvaardigheit.” (Supaya kalian datang menemui Pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan). [4]

Disamping dua tokoh fenomenal tersebut, Dr. Tiar Anwar Bachtiar juga menggambarkan betapa perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat kental dengan perjuangan Islam. Dr. Tiar menulis:

Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah asing, kafir, dan - paling penting - menyebabkan taraf hidup masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-abad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat lengkap bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pekik “Perang Sabil” alias jihad fi sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun tidak jadi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan santri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata kepada penguasa kolonial. [5]

Itulah beberapa contoh perjuangan umat Islam di Indonesia melawan penjajah. Tentunya, perjuangan ini bermotifkan agama. Jauh sekali dari anggapan bahwa “pahlawan-pahlawan Indonesia dulu tidak memikirkan agama pada saat berjuang melawan penjajah”. Bahkan, jauh sebelum penjajah Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara, hukum Islam sudah berlaku di Nusantara seperti di Sulawesi, Sumatera, Jawa, dll. Sejumlah kerajaan Islam sudah berdiri sebelum penjajahan Belanda, dan sudah banyak juga kitab-kitab Islam karya ulama Nusantara pada saat itu. [6]

Sejatinya, Nusantara sudah bernafaskan Islam sejak lama. Dalam buku ‘klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulawan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times…was the most momentous event in the history of the Archipelago).7 Jadi, sebagai seorang Muslim kita seharusnya bangga menjadi orang Indonesia. Para pendahulu kita membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia adalah seorang Islamis juga Nasionalis, bahkan orang Islamis menjadi orang yang paling Nasionalis!

Maka dari itu, benarlah ucapan Ustadz Bachtiar Nasir “Belahlah perut bumi Indonesia, kau dapatkan darah para syuhada, kami umat Islam yang terdepan untuk keutuhan NKRI kita. Allahu Akbar!”


Pancasila dan Islam

“U
rusan negara jangan bawa-bawa agama. Ini negara Pancasila, bukan negara Islam!” Barangkali, kita sudah sering mendengar ucapan tersebut. Harus kita akui, terdapat usaha-usaha untuk menarik tafsir Pancasila ke kutub netral agama. [8] Aspirasi umat Islam untuk negara dibendung dengan argumen “sakti” tersebut. Pancasila dipisahkan dengan Islam, sehingga Islam jangan ngotot menyuarakan aspirasinya di pemerintahan.

Namun demikian, kita juga harus kritis. Benarkah Pancasila adalah konsep netral agama? Apakah Islam memang tidak bisa diperjuangkan di Negara Pancasila ini? Agaknya, kita harus melihat kembali sejarah lahirnya Pancasila untuk dapat memahami persoalan ini.

Pada tanggal 22 Juni 1945 terbitlah satu dokumen bersejarah Indonesia, yaitu Piagam Jakarta (Djakarta Charter) yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Adalah hal yang sangat menarik, jika kita mengingat sila pertama Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Selain itu, kata “Allah” pada pembukaan Piagam Jakarta (“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….”) juga patut untuk kita garisbawahi. [10] Semua itu merupakan indikasi akan kentalnya nafas Islam dalam perumusan Piagam Jakarta.

Meskipun kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 terdapat perubahan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi itu tidak menjadi alasan bahwa Pancasila menjadi netral agama. Bahkan, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa pengertian “Ketuanan Yang Maha Esa” memang Tauhid dalam ajaran Islam. [10] Waktu itu, Soekarno menghibur para tokoh Islam yang kecewa dengan mengatakan bahwa umat Islam masih bisa memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Konstituante.

Setelah mengalami proses yang cukup panjang, perdebatan sengit di Konstituante tentang dasar negara selama 20 bulan antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler (November 1957 – Juni 1959) akhirnya terhenti. Kedua golongan tidak dapat mencapai titik temu. Dengan berbagai pertimbangan maka pada 9 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, yang isinya menyatakan, Indonesia kembali pada UUD 1945 – meskipun ditambah dengan konsiderasi: “… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” [11]

Ahmad Syafi’i Ma’arif memberikan komentar terhadap isi Dekrit Presiden Soekarno tersebut: “Tercantumnya konsiderasi sangat penting ini jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsiderasi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan memang seharusnya demikian, maka sekalipun hanya implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syariah bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta.” [12]

Jadi, “Ketuhanan Yang Maha Esa” memang berarti Tauhid dalam ajaran Islam (atau seminimal-minimalnya tidak salah jika orang Islam mengartikan sila pertama Pancasila dengan pengertian Tauhid). Piagam Jakarta juga merupakan salah satu rangkaian konstitusi yang sah di Indonesia, yang mana secara implisit membolehkan umat Islam untuk memperjuangkan aspirasinya di pemerintahan (seperti yang dilakukan M. Natsir dkk di Konstituante). Selain itu, nama Tuhan orang Islam, Allah, jelas-jelas disebutkan pada pembukaan Piagam Jakarta – yang kemudian terjadi juga pada pembukaan UUD 1945. Belum lagi, kata-kata dari kosakata Islam hadir pada sila-sila Pancasila seperti “adil”, “adab”, “hikmah”, dan “wakil”. Bahkan, tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo, dll juga menjadi contoh nyata bagaimana seorang Muslim ikut berperan dalam perumusan Pancasila.

Maka dari itu, perjuangan Islam adalah selaras dengan Pancasila. Ketika perumusnya adalah orang Islam, dan Islam diakui oleh konstitusi negara (terutama oleh Piagam Jakarta yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945), bagaimana bisa Pancasila dijauhkan dari Islam?


Islamisasi dan Tantangan Modernisasi

T
elah terbukti sebelumnya bahwa sebelum Indonesia merdeka, sudah banyak pahlawan-pahlawan yang memegang teguh Islam dalam perjuangannya melawan penjajah. Telah terbukti pula, perjuangan Islam seharusnya tidaklah dimatikan oleh Pancasila, karena Pancasila sendiri sangat sarat akan nilai-nilai keislaman. Ini penting untuk disadari umat Islam di Indonesia, karena keduanya merupakan modal bagi umat Islam di Indonesia untuk memperjuangkan Islam di Indonesia.

Tercatat, sudah banyak pergerakan Islam di berbagai lini kehidupan. Di bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah yang memiliki lembaga pendidikan dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi berjumlah ribuan. Di bidang pemerintahan, tercatat sudah banyak Undang-Undang yang berkaitan dengan materi hukum Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, dll. [13] Islamisasi di berbagai bidang kehidupan terus dilakukan oleh umat Islam di Indonesia.

Akan tetapi, disamping giat melakukan Islamisasi, umat Islam di Indonesia juga harus sadar dengan tantangan kontemporer yang dihadapi umat Islam. Isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dll, semuanya harus diperhatikan secara serius. Dengan dalih menyesuaikan diri dengan zaman, tidak sering ajaran Islam banyak disingkirkan dari lini-lini kehidupan.

Bagi pengusungnya, gerakan-gerakan semacam ini dinamakan “modernisasi”. Akan tetapi, pada hakikatnya gerakan ini adalah sekularisasi. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah membahas perihal sekularisasi dalam bukunya Islam and Secularism. Perkataan secular berasal dari bahasa latin saeculum, yang memiliki pengertian ruang dan waktu. Sekular pada pengertian waktu merujuk kepada ‘sekarang’ atau ‘kini’, sedangkan dalam pengertian  ruang merujuk kepada ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Jadi saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’. [14] Atau, bisa juga dibilang “zaman modern”.

Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya’. [15] Berangkat dari paham ini, maka sejatinya tantangan modernitas yang dihadapi oleh umat Islam bukanlah modernitas dalam hal sains dan teknologi, melainkan usaha-usaha penyingkiran nilai-nilai agama dari kehidupan manusia. Kita mungkin sering mendengar tuntuntan-tuntutan ‘nyeleneh’ seperti pengesahan kawin sesama jenis, pencabutan Undang-Undang berbau syari’at, penghapusan pelajaran Agama pada pendidikan TK-Perguruan Tinggi, dll. Inilah bentuk nyata sekularisasi.

Hal ini harus diperhatikan serius oleh umat Islam di Indonesia. Selain berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah, kita juga harus mampu merespon modernitas dengan baik. Kita tidak perlu silau dengan peradaban Barat sehingga membebek apapun yang dilakukannya, akan tetapi tidak juga menolak segala hal yang berasal dari luar sehingga kita menjadi bangsa yang terbelakang. Ungkapan lama “ambil baiknya, buang buruknya” berlaku di sini. Jika itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, kita terima (seperti halnya teknologi, manajemen, dll). Jika bertentangan, kita tolak (seperti paradigma hidup sekular, materialisme, dll).


Penutup

T
erakhir, marilah kita sebagai umat Islam membangun Indonesia ke arah yang diridhai oleh Allah. Sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, sudah seharusnya kita membangun negara dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Tantangan pasti ada, rintangan pasti membentang. Tetapi, Insya Allah, perjuangan kita tidak akan padam. Mari kita buktikan, bahwa orang Islam adalah orang yang paling Nasionalis! Wallahu a’lam.


Catatan Kaki:

  1. ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam: Vol X No. 2, Agustus 2016, hlm. 19-20.
  2. Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab (Surabaya: Bina Qalam Indonesia – INSISTS, 2015), hlm. 2.
  3. Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), hlm. 55-56.
  4. Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 56.
  5. Lihat artikel Dr. Tiar Anwar Bachtiar: Memahami Sejarah Islam di Indonesia (artikel dapat diunduh di https://independent.academia.edu/TiarBachtiar).
  6. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengaruh Islam di Indonesia pada zaman pra-penjajahan dan penjajahan, bisa lihat Dr. Jeje Zaenudin, Metode Penerapan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: MIUMI – Pembela Islam, 2015), hlm. 16-31 dan Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 55, 57-60.
  7. Lihat artikel Dr. Adian Husaini: Meluruskan Sejarah Indonesia (artikel dapat diunduh di:
  1. Untuk lebih jelasnya, baca Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 196-213.
  2. Penting untuk diketahui bahwa “Allah” adalah nama resmi (proper name) Tuhan agama Islam. Umat Islam di belahan dunia manapun akan melafazkan nama Tuhannya dengan lafaz yang sama, yaitu Allah. Adapun agama Kristen tidak memiliki nama Tuhan yang berlaku universal. Dalam Bible bahasa Inggris, kata God/Lord menjadi nama untuk Tuhan. Sementara itu, dalam Bible bahasa Indonesia, kata Allah (dibaca “alah”) dipakai. Untuk lebih jelasnya, lihat Dr. Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani Press, 2015).
  3. Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 146.
  4. Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, hlm. 46-47.
  5. Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, hlm. 47.
  6. Lihat Dr. Jeje Zaenudin, Metode Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, hlm. 140-141.
  7. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: PIMPIN, 2015), hlm. 18.
  8. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 19. □□

Sumber:
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/08/11/berislam-dan-berindonesia-antara-islamisasi-dan-tantangan-modernitas/ □□□