Pendahuluan
B
|
erIslam dan BerIndonesia. Barangkali isu
tersebut menjadi dilematis bagi umat Islam di Indonesia. Kita mungkin masih
ingat bagaimana Aksi Bela Islam yang dilaksanakan pada tanggal 4 November 2016
(Aksi 411) dan 2 Desember 2016 (Aksi 212) tidak surut dari dugaan akan memecah
belah NKRI, bahkan diduga berpotensi makar. Aksi tandingannya pun (tanggal 19
November dan 4 Desember 2016) diberi nama “Parade Bhinneka Tunggal Ika” dan
“Kita Indonesia”, seakan aksi 411 hendak memecah belah keberagaman bangsa dan
peserta aksi 212 bukan orang Indonesia.
Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari
kasus ‘perceraian paksa’ antara keIslaman dan keIndonesiaan. Sekarang ini, kita
banyak menemui upaya-upaya untuk menjauhkan hal-hal yang berbau Islam dari
kehidupan bernegara. Atas nama kesatuan NKRI, Undang-undang bernafaskan syari’at
digugat, dan yang masih menjadi RUU ditolak. “Urusan negara jangan bawa-bawa
agama. Ini negara Pancasila, bukan negara Islam!” ujar mereka, mendikotomikan
Pancasila dan Islam. Dikatakan pula, bahwa dulu pahlawan Indonesia memikirkan
agama, melainkan memikirkan kemerdekaan bangsa.
Itulah sekelumit dilema Islam-Indonesia di
negeri ini. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kita tidak bisa
berIslam dan berIndonesia secara integral? Apakah memang Indonesia tidak
memiliki identitas keIslaman? Apakah Pancasila itu konsep netral agama,
sehingga agama Islam tidak bisa masuk mewarnai kehidupan berbangsa dan
bernegara?
Atas dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut,
penulis merasa terpanggil untuk menjelaskan bahwa sebenarnya antara berIslam
dan berIndonesia tidaklah dikotomis. Seorang Muslim yang baik dapat menjadi
negarawan yang baik pula. Bahkan, orang Islam seharusnya menjadi orang yang
paling Nasionalis dan Pancasilais!
Nusantara Negeri Para Syuhada
A
|
dalah hal yang menarik jika kita merenungkan
pernyataan bahwa pahlawan-pahlawan Indonesia dulu tidak memikirkan agama pada
saat berjuang melawan penjajah, melainkan hanya memikirkan kemerdekaan bangsa.
Secara implisit, pernyataan ini bermaksud untuk mengerdilkan peran Islam di
Nusantara. Benarkah demikian? Sebaiknya kita tengok sekilas sejarah Indonesia
ini.
Sebenarnya, jika mau membuka sedikit saja
lembaran sejarah Indonesia dengan jujur, maka kita akan menemukan banyak sekali
pahlawan Indonesia yang berjuang dengan memegang teguh keislamannya. Mari kita
mengingat kembali sejarah Islam di Indonesia, agar kita punya rasa bangga
terhadap agama Islam dan membongkar pemikiran ahistoris tersebut.
Syekh Yusuf Al-Makassari (1626-1699) misalnya,
beliau merupakan tokoh yang cukup terkenal di Indonesia maupun di luar negeri.
Beliau diakui sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika
Selatan) pada tahun 1994, dan tercatat sebagai pahlawan Nasional dan pejuang
kemerdekaan yang dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada bulan November 1995.
Beliau dianggap sebagai tokoh ulung masyarakat
Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk
menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis. [1] Ulama terkenal
ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga
memimpin pasukan melawan penjajah Belanda. Tahun 1683 - sebelum diasingkan ke Sri
Lanka dan kemudian ke Afrika Selatan - setelah tertangkapnya Sultan Ageng
Tirtayasa, Syekh Yusuf Al-Makassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir
seluruh wilayah Jawa Barat. [2]
Contoh lain peran Islam di Nusantara adalah
peristiwa Perang Diponegoro (1825-1830). Menurut Prof. Dr. Rifyal Ka’bah,
perlawanan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Kristen Belanda tujuannya tidak
lain adalah untuk menuntut pemberlakuan syariat Islam di Tanah Jawa.
Mengutip buku berjudul Gedenkschrift van den Orloog op Java, karya
F.V.A. Ridder de Stuers, (Amsterdam: Johannes Mϋller, 1847), Rifyal Ka’bah
memaparkan pemaparan seorang Letnan Kolonel Belanda pada masa Perang Diponegoro
(1825-1830), yang menyatakan bahwa tujuan Perang Diponegoro adalah agar hukum
Islam berlaku untuk orang Jawa. [3] Dalam perundingan yang dilakukan di
Salatiga, pihak Diponegoro menggunakan ungkapan “Lā mauta illā bil-ajal”
(Tidak ajal berpantang mati). Kyai Modjo - pembantu dan penasehat Pangeran
Diponegoro - juga mengutip dari Kitab Suci Al-Qura’an, surat. An-Naml ayat 31 kepada Belanda yang
merupakan ucapan Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis yang artinya: “Jangan kalian
bersikap arogan terhadapku dan datanglah kepadaku dengan menyerahkan diri.” Ketika
ditanya oleh Belanda itu, apa maksud
ungkapan itu, Kyai Modjo menjawab: “Komt gij allen tot mijnen Vorst, en gaat
langs het pad der regtvaardigheit.” (Supaya kalian datang menemui
Pangeranku dan berjalanlah melalui jalan keadilan). [4]
Disamping dua tokoh fenomenal tersebut, Dr. Tiar
Anwar Bachtiar juga menggambarkan betapa perjuangan kemerdekaan Indonesia
sangat kental dengan perjuangan Islam. Dr. Tiar menulis:
“Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh
penjajah asing, kafir, dan - paling penting - menyebabkan taraf hidup
masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-abad sebelumnya, maka
alasan menjadi sangat lengkap bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19
akhirnya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pekik
“Perang Sabil” alias jihad fi sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang
dikuasai Belanda. Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran
Diponegoro (1825-1830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda adalah
saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik menolak kehadiran
Belanda di Bumi Rencong itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten
(1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun tidak jadi meletus
namun membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar,
Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri.
Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai,
dan santri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata
kepada penguasa kolonial.” [5]
Itulah beberapa contoh perjuangan umat Islam di
Indonesia melawan penjajah. Tentunya, perjuangan ini bermotifkan agama. Jauh
sekali dari anggapan bahwa “pahlawan-pahlawan Indonesia dulu tidak memikirkan
agama pada saat berjuang melawan penjajah”. Bahkan, jauh sebelum penjajah
Belanda menginjakkan kaki di bumi Nusantara, hukum Islam sudah berlaku di
Nusantara seperti di Sulawesi, Sumatera, Jawa, dll. Sejumlah kerajaan Islam
sudah berdiri sebelum penjajahan Belanda, dan sudah banyak juga kitab-kitab
Islam karya ulama Nusantara pada saat itu. [6]
Sejatinya, Nusantara sudah bernafaskan Islam
sejak lama. Dalam buku ‘klasik’-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed
Muhammad Naquib Al-Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah
peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulawan Melayu-Indonesia
merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming
of Islam seen from the perspective of modern times…was the most momentous event
in the history of the Archipelago).7 Jadi, sebagai seorang
Muslim kita seharusnya bangga menjadi orang Indonesia. Para pendahulu kita
membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia adalah seorang Islamis
juga Nasionalis, bahkan orang Islamis menjadi orang yang paling Nasionalis!
Maka dari itu, benarlah ucapan Ustadz Bachtiar
Nasir “Belahlah perut bumi Indonesia, kau dapatkan darah para syuhada,
kami umat Islam yang terdepan untuk keutuhan NKRI kita. Allahu Akbar!”
Pancasila dan Islam
“U
|
rusan negara jangan bawa-bawa agama. Ini negara
Pancasila, bukan negara Islam!” Barangkali, kita sudah sering mendengar ucapan
tersebut. Harus kita akui, terdapat usaha-usaha untuk menarik tafsir Pancasila
ke kutub netral agama. [8] Aspirasi umat Islam untuk negara dibendung dengan
argumen “sakti” tersebut. Pancasila dipisahkan dengan Islam, sehingga Islam jangan
ngotot menyuarakan aspirasinya di pemerintahan.
Namun demikian, kita juga harus kritis. Benarkah
Pancasila adalah konsep netral agama? Apakah Islam memang tidak bisa
diperjuangkan di Negara Pancasila ini? Agaknya, kita harus melihat kembali
sejarah lahirnya Pancasila untuk dapat memahami persoalan ini.
Pada tanggal 22 Juni 1945 terbitlah satu dokumen
bersejarah Indonesia, yaitu Piagam Jakarta (Djakarta Charter) yang
dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Adalah hal yang sangat menarik, jika kita
mengingat sila pertama Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Selain itu, kata “Allah” pada
pembukaan Piagam Jakarta (“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….”) juga
patut untuk kita garisbawahi. [10] Semua itu merupakan indikasi akan kentalnya
nafas Islam dalam perumusan Piagam Jakarta.
Meskipun kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945
terdapat perubahan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi itu
tidak menjadi alasan bahwa Pancasila menjadi netral agama. Bahkan, Mohammad
Hatta menjelaskan bahwa pengertian “Ketuanan Yang Maha Esa” memang Tauhid
dalam ajaran Islam. [10] Waktu itu, Soekarno menghibur para tokoh Islam yang
kecewa dengan mengatakan bahwa umat Islam masih bisa memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara di Konstituante.
Setelah mengalami proses yang cukup panjang,
perdebatan sengit di Konstituante tentang dasar negara selama 20 bulan antara
golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler (November 1957 – Juni 1959)
akhirnya terhenti. Kedua golongan tidak dapat mencapai titik temu. Dengan
berbagai pertimbangan maka pada 9 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit, yang isinya menyatakan, Indonesia kembali pada UUD 1945 – meskipun
ditambah dengan konsiderasi: “… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut.” [11]
Ahmad Syafi’i Ma’arif memberikan komentar
terhadap isi Dekrit Presiden Soekarno tersebut: “Tercantumnya konsiderasi
sangat penting ini jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung
dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana
konsiderasi itu mempunyai makna secara konstitusional, dan memang seharusnya
demikian, maka sekalipun hanya implisit, namun gagasan untuk melaksanakan
syariah bagi pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran
yang akurat dan adil terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta.” [12]
Jadi, “Ketuhanan Yang Maha Esa” memang berarti Tauhid
dalam ajaran Islam (atau seminimal-minimalnya tidak salah jika orang Islam
mengartikan sila pertama Pancasila dengan pengertian Tauhid). Piagam
Jakarta juga merupakan salah satu rangkaian konstitusi yang sah di Indonesia,
yang mana secara implisit membolehkan umat Islam untuk memperjuangkan
aspirasinya di pemerintahan (seperti yang dilakukan M. Natsir dkk di
Konstituante). Selain itu, nama Tuhan orang Islam, Allah, jelas-jelas
disebutkan pada pembukaan Piagam Jakarta – yang kemudian terjadi juga pada
pembukaan UUD 1945. Belum lagi, kata-kata dari kosakata Islam hadir pada
sila-sila Pancasila seperti “adil”, “adab”, “hikmah”, dan “wakil”. Bahkan,
tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim,
Abdul Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo, dll juga menjadi contoh nyata
bagaimana seorang Muslim ikut berperan dalam perumusan Pancasila.
Maka dari itu, perjuangan Islam adalah selaras
dengan Pancasila. Ketika perumusnya adalah orang Islam, dan Islam diakui oleh
konstitusi negara (terutama oleh Piagam Jakarta yang menjiwai Pancasila dan UUD
1945), bagaimana bisa Pancasila dijauhkan dari Islam?
Islamisasi dan Tantangan Modernisasi
T
|
elah terbukti sebelumnya bahwa sebelum Indonesia
merdeka, sudah banyak pahlawan-pahlawan yang memegang teguh Islam dalam
perjuangannya melawan penjajah. Telah terbukti pula, perjuangan Islam
seharusnya tidaklah dimatikan oleh Pancasila, karena Pancasila sendiri sangat
sarat akan nilai-nilai keislaman. Ini penting untuk disadari umat Islam di
Indonesia, karena keduanya merupakan modal bagi umat Islam di Indonesia untuk
memperjuangkan Islam di Indonesia.
Tercatat, sudah banyak pergerakan Islam di
berbagai lini kehidupan. Di bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah yang
memiliki lembaga pendidikan dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi berjumlah
ribuan. Di bidang pemerintahan, tercatat sudah banyak Undang-Undang yang
berkaitan dengan materi hukum Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
UU Zakat, dll. [13] Islamisasi di berbagai bidang kehidupan terus dilakukan
oleh umat Islam di Indonesia.
Akan tetapi, disamping giat melakukan
Islamisasi, umat Islam di Indonesia juga harus sadar dengan tantangan
kontemporer yang dihadapi umat Islam. Isu-isu kontemporer seperti kesetaraan
gender, HAM, demokrasi, dll, semuanya harus diperhatikan secara serius. Dengan
dalih menyesuaikan diri dengan zaman, tidak sering ajaran Islam banyak
disingkirkan dari lini-lini kehidupan.
Bagi pengusungnya, gerakan-gerakan semacam ini
dinamakan “modernisasi”. Akan tetapi, pada hakikatnya gerakan ini adalah
sekularisasi. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah membahas perihal
sekularisasi dalam bukunya Islam and Secularism. Perkataan secular
berasal dari bahasa latin saeculum, yang memiliki pengertian ruang dan
waktu. Sekular pada pengertian waktu merujuk kepada ‘sekarang’ atau ‘kini’,
sedangkan dalam pengertian ruang merujuk kepada ‘dunia’ atau ‘duniawi’.
Jadi saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’. [14] Atau, bisa
juga dibilang “zaman modern”.
Selanjutnya, sekularisasi didefinisikan sebagai
pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama dan kemudian dari kungkungan
metafisika yang mengatur akal dan bahasanya’. [15] Berangkat dari paham ini,
maka sejatinya tantangan modernitas yang dihadapi oleh umat Islam bukanlah
modernitas dalam hal sains dan teknologi, melainkan usaha-usaha penyingkiran
nilai-nilai agama dari kehidupan manusia. Kita mungkin sering mendengar
tuntuntan-tuntutan ‘nyeleneh’ seperti pengesahan kawin sesama jenis, pencabutan
Undang-Undang berbau syari’at, penghapusan pelajaran Agama pada pendidikan
TK-Perguruan Tinggi, dll. Inilah bentuk nyata sekularisasi.
Hal ini harus diperhatikan serius oleh umat
Islam di Indonesia. Selain berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah, kita
juga harus mampu merespon modernitas dengan baik. Kita tidak perlu silau dengan
peradaban Barat sehingga membebek apapun yang dilakukannya, akan tetapi tidak
juga menolak segala hal yang berasal dari luar sehingga kita menjadi bangsa
yang terbelakang. Ungkapan lama “ambil baiknya, buang buruknya” berlaku di
sini. Jika itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, kita terima
(seperti halnya teknologi, manajemen, dll). Jika bertentangan, kita tolak
(seperti paradigma hidup sekular, materialisme, dll).
Penutup
T
|
erakhir, marilah kita sebagai umat Islam
membangun Indonesia ke arah yang diridhai oleh Allah. Sebagai negara dengan
pemeluk agama Islam terbesar di dunia, sudah seharusnya kita membangun negara
dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Tantangan pasti ada, rintangan pasti
membentang. Tetapi, Insya Allah, perjuangan kita tidak akan padam. Mari
kita buktikan, bahwa orang Islam adalah orang yang paling Nasionalis! Wallahu
a’lam. □
Catatan Kaki:
- ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam: Vol X No. 2, Agustus 2016, hlm. 19-20.
- Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab (Surabaya: Bina Qalam Indonesia – INSISTS, 2015), hlm. 2.
- Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), hlm. 55-56.
- Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 56.
- Lihat artikel Dr. Tiar Anwar Bachtiar: Memahami Sejarah Islam di Indonesia (artikel dapat diunduh di https://independent.academia.edu/TiarBachtiar).
- Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengaruh Islam di Indonesia pada zaman pra-penjajahan dan penjajahan, bisa lihat Dr. Jeje Zaenudin, Metode Penerapan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: MIUMI – Pembela Islam, 2015), hlm. 16-31 dan Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 55, 57-60.
- Lihat artikel Dr. Adian Husaini: Meluruskan Sejarah Indonesia (artikel dapat diunduh di:
- Untuk lebih jelasnya, baca Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 196-213.
- Penting untuk diketahui bahwa “Allah” adalah nama resmi (proper name) Tuhan agama Islam. Umat Islam di belahan dunia manapun akan melafazkan nama Tuhannya dengan lafaz yang sama, yaitu Allah. Adapun agama Kristen tidak memiliki nama Tuhan yang berlaku universal. Dalam Bible bahasa Inggris, kata God/Lord menjadi nama untuk Tuhan. Sementara itu, dalam Bible bahasa Indonesia, kata Allah (dibaca “alah”) dipakai. Untuk lebih jelasnya, lihat Dr. Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata “Allah” dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani Press, 2015).
- Dr. Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hlm. 146.
- Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, hlm. 46-47.
- Dr. Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, hlm. 47.
- Lihat Dr. Jeje Zaenudin, Metode Penerapan Syari’at Islam di Indonesia, hlm. 140-141.
- Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: PIMPIN, 2015), hlm. 18.
- Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, hlm. 19. □□
Sumber:
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/08/11/berislam-dan-berindonesia-antara-islamisasi-dan-tantangan-modernitas/
□□□