Kata Pengantar
PADA umumnya, kita memahami sejarah
hanya sebagai koleksi tanggal dan peristiwa-peristiwa di masa lalu. Padahal,
sesungguhnya membaca sejarah adalah bagaimana kita bisa mengambil makna dari
rangkaian peristiwa masa lalu untuk kebutuhan kekinian kita, sekalipun tanggal
dan peristiwa tetap penting.
Oleh sebab itu,
banyak orang selalu bertanya untuk apa sejarah itu ditulis, termasuk sejarah
Islam di Indonesia. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa sejarah adalah
sesuatu yang tidak perlu dan membaca (atau menulis) sejarah adalah pekerjaan
yang membuang-buang waktu percuma (wasting time).
Padahal, dengan
selalu ditulisnya sejarah sampai saat sekarang mengisyaratkan bahwa sejarah
adalah sesuatu yang sangat diperlukan. Demikian pula sejarah tentang Islam di
Indonesia. Ia mesti ditulis dan dibaca karena memang penting dan diperlukan.
Untuk menghindari kesan sejarah sebagai koleksi tanggal dan peristiwa masa lalu
(antiquariat), kita memerlukan kerangka untuk memahami sejarah tentang
salah satu aspek Islam di Indonesia. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat
segera dipahamkan bahwa sejarah memang perlu. □
Pendahuluan
M
|
embincangkan
Islam di Indonesia mau tidak mau harus terlebih dahulu membincangkan kapan dan
bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Setelah itu kita mesti memahami bagaimana
Islam bisa begitu massif tersebar di kepulauan Nusantara sampai-sampai saat ini
Indonesia tercatat sebagai negara berpenduduk Muslim paling banyak di seluruh
dunia. Memang ini masalah kuantitas, bukan kualitas keislaman. Namun, dari sisi
Islam sebagai agama, kenyataan ini memperlihatkan betapa Islam telah menjadi bagian
terpenting dalam sejarah Indonesia. Bahkan, boleh dikatakan bahwa sejarah
Indonesia (modern) adalah sejarah Islam sebagaimana disinyalir oleh M.C. Riclefs
dalam The History of The Modern Indonesia.
Awal
Islam Masuk ke Indonesia
BANYAK teori mengenai
kapan dan bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Azyumardi Azra dalam Renaisans
Islam Asia Tenggara mencatat setidaknya ada tiga teori.
Pertama, teori Arab yang menyatakan bahwa
Islam langsung datang dari Arab, tepatnya Hadramaut. Teori ini dikemukakan
antara lain Crawfud (1826), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861),
dan Veth (1878); juga dipopulerkan oleh Hamka dalam Seminar “Sejarah Masuknya
Islam ke Indonesia” tahun 1962. Dalam teori ini, selain disangkal mengenai
masuknya Islam via India yang dipopulerkan oleh Snuock Horgronje, juga
ditemukan bahwa Islam telah masuk sejak abad ke-7 Masehi.
Teori kedua mengatakan bahwa
Islam datang ke Nusantara melalui India. Teori ini pertama kali dilontarkan
oleh Pijnapel (1872). Berdasarkan catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan
Ibnu Battuta, ia menyimpulkan bahwa yang membawa Islam ke Nusantara adalah para
pedagang Arab bermazhab Syafi‘i yang berasal dari Gujarat dan Malabar di India.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Horgronje dan Morrison (1951).
Teori ketiga adalah teori
Bengali yang dikembangkan oleh Fatimi yang mengutip keterangan Tome Pires.
Dalam catatan Pires, kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali
(kini Bangladesh) atau turunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di
Semenanjung Malaya, dari arah Pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada
abad ke-11 melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganu.
Mengenai siapa
yang membawanya ke Nusantara juga banyak versi. Ada yang mengatakan para
pedagang, para pendakwah Islam, dan para sufi. Prosesnya pun beragam: melalui
hubungan dagang, perkawinan, atau misi khusus dari para pendakwah Islam dan
kalangan sufi.
Banyaknya versi
mengenai masuknya Islam ke Indonesia dan siapa yang membawanya sebetulnya tidak
selalu saling bertentangan dan menegasikan. Ini justru mengisyaratkan bahwa
proses masuknya Islam ke Indonesia tidak satu waktu, satu bentuk, dan satu
sebab. Sebagaimana jamaknya proses sejarah yang tidak selalu memiliki sebab
monolitik, demikian pula dengan proses masuknya Islam ke Indonesia.
Yang terpenting, seluruh
teori yang dikemukakan oleh para sejarawan menunjukkan bahwa Indonesia telah
berinteraksi dengan Islam semenjak masa awal-awal Islam. Paling jauh,
berdasarkan teori Arab, Indonesia telah berhubungan dengan pusat-pusat Islam sejak
abad ke-7 (13 Abad yang lalu) dalam berbagai bentuknya: perdagangan, transmisi ilmu
pengetahuan, dan sebagainya. Kemudian Islam brkembang pesat pada sejak abad
ke-13 dan seterusnya. Hal ini antara lain dibuktikan dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam di sepanjang Pantai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Dengan begitu
terlihat bahwa Islam di Indonesia sesungguhnya memiliki peran yang sangat
menentukan dalam pembentukan sejarah Indonesia. Menegasikan Islam dalam sejarah
Indonesia adalah sebuah kebohongan sejarah yang besar. Ini juga sekaligus
menepis mitos yang dipopulerkan Muhammad Yamin bahwa Indonesia ini terbentuk oleh
Sumpah Palapa Gajah Mada pada zaman Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Raja Hayam
Wuruk. Mitos ini seolah ingin menegaskan bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah
Hindu-Budha, bukan sejarah Islam, sehingga tidak perlu memerhitungkan Islam
sebagai pembentuk sejarah Indonesia. (Selengkapnya lihat Anhar Gonggong “Salah
Kaprah Pemahaman terhadap Sejarah Indonesia; Persatuan Majapahit dan Piagam
Jakarta” dalam Menjadi Indonesia, Yayasan Festival Istiqlal Jakarta,
2006).
Massifikasi
Islam di Indonesia
TIDAK setiap agama yang masuk ke suatu
wilayah berkembang begitu pesat, apalagi di tempat besangkutan telah ada agama
yang cukup mapan. Bila Islam yang datang belakangan ke Indonesia setelah Hindu
dan Budha ternyata berkembang sangat pesat dan menjadi agama mayoritas, tentu
perlu digali mengapa bisa sampai demikian. Pasti ada proses yang menarik untuk
kemudian menjadi cermin pembelajaran bagi generasi Muslim masa berikutnya.
Pada mulanya,
Islam tidak langsung diterima oleh lapisan terbawah masyarakat. Di Jawa,
misalnya, Islam semula hanya dipraktikkan oleh sekelompok Muslim yang bertugas
melaksanakan keislaman atas nama seluruh masyarakat desa. Dengan demikian, di
banyak bagian pulau Jawa, sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan
nenek moyang mereka, atau memeluk Islam hanya nominal. Dalam berbagai catatan,
Islam lebih banyak dianut oleh keluarga-keluarga kerajaan. Sementara sebagian
penduduk masih mengikuti agama nenek moyang mereka. Namun kemudian, secara
massif pada sekitar abad ke-18, Islam sudah menjadi anutan mayoritas penduduk. Demikian
juga di Sumatera setidaknya sampai abad ke-18 sesuai dengan catatan sebuah
manuskrip tahun 1761 yang menerangkan bahwa pendudukan daerah Minangkabau
pedalaman masih menyembah berhala. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun
1779, Marsden mengunjungi Minangkabau dan menyaksikan penduduk-penduduk
pedalaman itu sudah sepenuhnya memeluk Islam. Bukti ini memperlihatkan
bagaimana Islam berkembang cukup pesat pada abad ke-18.
Beberapa teori
dapat dikemukakan mengenai terjadinya proses Islamisasi masyarakat secara
signifikan yang puncaknya terjadi pada abad ke-18. Teori pertama mengatakan
bahwa penduduk setempat tertarik dengan para pedagang asing (Arab atau India)
Muslim yang datang ke Nusantara. Kedatangan mereka ternyata memperlihatkan
suatu usaha yang akhirnya mengantarkan mereka unggul dalam hal ekonomi dan
politik dibandingkan dengan penduduk pribumi. Menurut teori ini dinyatakan
bahwa mereka memperkenalkan ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai
perdagangan sehingga dapat mengambil keuntungan secara maksimal. Dengan cara
seperti ini, secara tidak langsung para pedagang ini mendakwahkan Islam kepada
penduduk pribumi yang tertarik ingin mengikuti jejak sukses pada pedagang
asing-Muslim itu. Dalam waktu yang sama, kedatangan bangsa Barat-Kristen
(Portugis, Belanda, dan Inggris) justru hanya memperlihatkan keinginan mereka
mengeruk keuntungan. Mereka tidak terlalu bersemangat melakukan kristenisasi,
sehingga Kristen tidak ikut berkembang bersama dengan kolonialisasi yang mereka
lakukan ke bumi Nusantara.
Teori kedua
melengkapi teori pertama di atas. Menurut teori ini, kehadiran kolonialis
Barat-Kristen justru merangsang terjadinya proses Islamisasi secara intensif di
Indonesia. Identifikasi kolonialis sebagai penjajah kafir membuka jalan lebih
hebat bagi Islam untuk tampil menjadi wadah yang dapat memberikan identitas
diri dan mampu menyatukan masyarakat pribumi yang terbelah oleh faktor sosial
dan kultural dalam menghadapi penjajah Barat. Kekerasan dan penindasan yang
dilakukan oleh penjajah Barat mempercepat kristalisasi kehadiran Islam sebagai
simbol perlawanan. Oleh sebab itu, Islam menjadi diterima secara massif dan
menjadi “agama rakyat”.
Faktor-faktor
lain yang juga memungkinkan Islam diterima secara massif adalah faktor ajaran
tasawuf. Pendekatan tasawuf yang digunakan oleh sebagian pendakwah Islam lebih
mengena pada masyarakat Indonesia yang menganut ajaran-ajaran mistik warisan
nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, tidak heran bila tasawuf dan tarekat
menjadi fenomena Islam Indonesia hampir di seluruh pelosok Nusantara. Selain
itu, faktor ajaran Islam yang sederhana dan mudah diterima semakin memperkuat
penerimaan Islam oleh masyarakat Indonesia.
Walaupun
faktor-faktor di atas memicu tersebarnya Islam secara massif di kalangan
rakyat, jangan dilupakan bahwa tanpa sebuah sistem internal di dalam tubuh umat
Islam sendiri yang menjamin dapat tersebarnya dakwah Islam dengan baik, tidak
mungkin Islam dapat tersebar secara massif.
Pada abad ke-18
ini tercatat lembaga-lembaga Islam yang vital seperti meunasah di Aceh,
surau di Minangkabau dan Semenanjung Malaya, pesantren di Jawa, dan
lembaga-lembaga semacamnya telah mulai mapan. Lembaga-lembaga inilah yang
berperan secara langsung dalam melakukan proses Islamisasi, didukung secara
signifikan oleh faktor-faktor di atas. Lembaga inilah yang melakukan
intensifikasi Islam sehingga kualitas keislaman masyarakat Indonesia meningkat
tidak hanya sekadar Islam-nominal. Dari sinilah terbentuk suatu kelompok Islam
yang berkualitas baik yang oleh para peneliti disebut sebagai kelompok santri
(yang dibedakan dari kelompok “abangan” atau Islam-nominal).
Mesjid Sebagai Basis Pengembangan Islam
Meunasah, surau, atau pesantren secara historis
memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi masyarakat di Indonesia. Apa
sesungguhnya lembaga ini dan apa yang diperankannya sehingga perannya begitu
penting? Baik meunasah, surau, ataupun pesantren pada mulanya tidak
lebih dari sebuah mesjid yang dikelola oleh seorang ahli agama yang di Jawa
populer disebut “kiai.” Dalam kapasitasnya masing-masing, para kiai
mengembangkan keilmuan yang dimilikinya di mesjid-mesjid. Kiai yang memiliki
pengetahuan agama yang mendalam, jaringan luas, dan pengaruh yang kuat akhirnya
dapat secara gradual mengembangkan mesjid yang dikelolanya menjadi lembaga
pendidikan yang disebut “pesantren.”
Tradisi ini
sebetulnya bukan khas Indonesia. Sejak zaman Rasulullah, fungsi mesjid memang
bukan hanya sekadar tempat ibadah, melainkan juga sebagai tempat menimba ilmu,
tempat pertemuan, juga sebagai pusat adiministrasi dan kultural. Demikian pula
pada masa-masa berikutnya di berbagai belahan dunia Islam. Para pendakwah Islam
pun meniru pula serupa dalam mengembangkan mesjid menjadi pesantren. Setiap
kiai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama ia akan
mendirikan mesjid di dekat rumahnya. Lalu sedikit-demi sedikit dikembangkan
menjadi sebuah pesantren yang dilengkapi sarana-sarana lain seperti pondok
(tempat menginap santri) dan kelas-kelas bila mesjid sudah bisa menampung para
santri belajar. Sekalipun telah disebut pesantren, peran mesjid tidak lantas
hilang. Mesjid tetap menjadi jantung setiap kegiatan di pesantren manapun.
Dalam konteks
penyebaran dan intensifikasi Islam di Indonesia, pesantren menduduki peran yang
sangat sentral. Dalam perkembangan taraf tertentu pesantren-pesantren ini
menjadi institusi supra-desa, yang mengatasi kepemimpinan kesukuan, sistem adat
tertentu, kedaerahan, dan lainnya. Lembaga ini tumbuh menjadi lembaga Islam
universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku,
daerah, dan semacamnya, sehingga mereka mampu membentuk jaringan kepemimpinan
intelektual dan praksis keagamaan dalam berbagai tingkatan. Proses
intensifikasi islamisasi diperankan pesantren salah satunya melalui tradisi
pengembaraan santri (para penuntut ilmu di pesantren) untuk menuntut ilmu dari
satu pesantren ke pesantren lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan
sampai ke India, Irak, Mesir, Madinah, Mekah, dan pusat-pusat Islam lain di
Timur Tengah.
Ketika pulang
mengembara, ia kembali ke kampungnya, mendirikan pesantren atau membantu kaum
Muslim lain, melakukan penyebaran Islam secara lebih luas dan berperan meingkatkan
kualitas pengamalan Islam dari para penganut Islam yang telah ada. Lembaga
pesantren dengan sifat penuntut ilmunya yang khas ini, berbarengan dengan
terjadinya kontak terus menerus dengan dunia luar, telah mendorong secara
konstan intensifikasi Islamisasi di kalangan masyarakat Nusantara secara
keseluruhan dan sekaligus melakukan pembaruan pandangan dan praktik keislaman
dari mereka yang telah menjadi Muslim.
Atas dasar itu
Soebardi dan A.H Johns (via Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiai, LP3ES Jakarta, 1994) menulis mengenai peran pesantren
sebagai berikut:
Lembaga-lembaga
pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islam-an dari kerajaan-kerajaan
Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke
pelosok-pelosok. Ddari lembaga pesantren asal-usul sejumlah manuskrip tentang
pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang
dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan
dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16. Untuk dapat betul-betul
memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari
lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi
anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.
Keterputusan
Sejarah oleh Kolonialisme
KALAULAH boleh
berandai-andai dalam sejarah, jika tidak diinterupsi oleh kolonialisme,
semestinya sejarah Islam di Indonesia saat ini sudah sampai pada taraf
perkembangan yang maju dan berkulitas tinggi ditopang oleh ilmu pengetahuan
yang maju dan responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, sejarah selalu
tidak bisa diatur oleh keinginan kita. Sejarah berjalan mengikuti logikanya
sendiri. Pada masa awal perkembangannya sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16, Islam
tampil sebagai sosok yang membuat penduduk pribumi tertarik untuk menjadi
bagian darinya. Salah satu faktornya adalah kemajuan dalam bidang perdagangan
dan ekonomi.
Datangnya Islam
membawa pengaruh siginifikan terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Terjadi
transformasi masyarakat dari masyarakat agraris feodal pengaruh Hindu-Budha ke
arah masyarakat kota pengaruh Islam. Islam yang datang ke Indonesia saat itu memang
membawa peradaban paling maju di seluruh dunia. Dengan wataknya itu, Islamisasi
yang terjadi saat itu pun dilakukan melalui jalur kota-kota pelabuhan yang juga
telah cukup maju di bawah perlindungan raja-raja setempat. Islamisasi tahap
pertama pun terjadi di istana-istana sehingga istana menjadi pusat pengembangan
inetelektual, politik, dan ekonomi. Akhirnya, dengan kedatangan Islam,
Nusantara menjadi maju dalam bidang perdagangan, terutama perdagangan
internasional, khususnya dengan Arab, India, Persia, dan juga Tiongkok. Keunggulan
Islam dari sisi ekonomi dan politik inilah, selain keunggulan ajaran yang
sederhana, yang menarik perhatian banyak penduduk pribumi sehingga secara
massif banyak di antara mereka secara sukarela masuk Islam.
Belum lagi
transformasi berjalan secara baik, karena baru memasuki tahap massifikasi
ajaran, sejarah peradaban Islam di Indonesia diinterupsi oleh datangnya
kolonialisme. Dengan nafsu eksploitasi yang besar didukung dengan kecanggihan
senjata, kolonialisme datang tanpa visi peradaban, hanya mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dari bumi Nusantara. Eksploitasi dan kekerasan yang datang
bersama kolonialisme tidak pernah mendapat simpati dari penduduk pribumi.
Beruntung Islam telah menjadi agama yang banyak dianut oleh penduduk pribumi
dan institusi-institusi yang berpusat di mesjid telah cukup mapan, sehingga
pada masa ini Islam menjadi pengikat solidaritas pribumi. Islam menjadi simbol
identitas perlawanan terhadap kolonialisme Portugis, Belanda, dan Inggris. Tambahan
lagi, identitas ini muncul lantaran agama yang dianut oleh kaum kolonial adalah
Kristen. Oleh sebab itu, tidak heran bila sepanjang sejarah kolonialisme
perlawanan muncul dari tokoh-tokoh Muslim seperti Fatahillah Banten, Sultan
Iskandar Muda Aceh, Sultan Ageng Titayasa, Sultan Agung Mataram, Sultan Cirebon,
Sultan Palembang, Sultan Hasanuddin Makassar, Trunojoyo, Untung Surapati,
Pangeran Martapura, Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol, Cuk Nyak Din, dan
lainnya.
Namun, cukup
disayangkan, karena sibuk dengan perlawanan-perlawanan transformasi masyarakat
menjadi terhenti. Masyarakat tidak dapat mempertahankan kemajuan ekonomi dan
politik yang sebelumnya sempat dinikmati dan kembali hidup secara agraris terdesak
ke pedalaman-pedalaman. Kota-kota pelabuhan berpindah tangan dikuasai oleh kaum
kolonial.
Efek lain dari
kolonialisme adalah secara perlahan pengaruh liberalisme Eropa masuk ke
Nusantara, baik melalui jalur pendidikan maupun hubungan politik dan ekonomi. Pada
awal abad ke-20 boleh dikatakan, solidaritas Islam berhail membangkitkan
kesadaran menuju merdeka terlepas dari kolonialisme. Namun, pada saat yang
sama, pemikiran-pemikiran mengenai kenegaraan lebih kuat dipengaruhi oleh pemikiran
liberal Eropa. Terbukti bahwa pilihan penyelengaraan negara dan sistem-sistem
sosial-politik pasca-Kemerdekaan jatuh pada model yang ditawarkan Barat. Inilah
saat umat Islam Indonesia memasuki era liberal dengan segala kompleksitasnya.
Kemerdekaan dan Pengaruhnya
Terhadap Perkembangan Islam di Indonesia
SEJAK tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun
1942, sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang hingga Merauke
berada di dalam kekuasaan satu negara kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia
yang saat itu disebut belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda)
menjadi provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai daerah
statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda dengan pangkat Regen (Bupati).
Mereka diawasi oleh para Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur
General sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri jajahan.
Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral di Hindia Belanda yang pribumi,
apalagi beragama Islam. Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda.
Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode Kolonial (penjajahan)
dalam sejarah Indonesia.
Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai
oleh penjajah asing, kafir, dan - paling penting - menyebabkan taraf hidup
masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-abad sebelumnya, maka
alasan menjadi sangat lengkap bagi kaum Muslim untuk angkat senjata. Abad ke-19
akhirnya dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Pekik
“Perang Sabil” alias jihad fi sabilillah terdengar di berbagai wilayah yang
dikuasai Belanda.
Perang terbesar terjadi di Jawa yang dimotori
oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi
Belanda adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan serangan balik
menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang
Paderi. Di Banten (1888) ada perlawanan para santri dan kiai yang sekalipun
tidak jadi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda tidak bisa tidur
nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak didukung para ulama dan santri.
Perlawanan-perlawanan abad ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai,
dan santri. Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan nyata
kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu lahir ketika mereka
ditindas oleh penguasa asing, kafir, dan zhalim.
Selama satu abad perlawanan meletus, giliran
kemudian generasi Muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad ke-20.
Perlawanan fisik kini bermetamorfosis menjadi perlawanan yang lebih
mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911)
yang memiliki gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat Indonesia
dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan HOS Cokroaminoto ini menjadi
katalisator politik kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara
bebas dari kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian dengan
gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya SI. Di Jogja lahir
Muhammadiyah (1912). Di bandung lahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir
Nahdhatul Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di beberapa tempat yang lain pun
lahir gerakan-gerakan serupa. Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda,
namun semuanya memiliki cita-cita yang sama: Bebaskan Indonesia dari Belanda!
Tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain
yang berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan sebagainya yang
ikut juga dalam pergerakan membebaskan Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan
mereka sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan
perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam, melainkan hanya sekadar
mengabdi kepada kepentingan pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi
kepentingan kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan ini—Islam dan
Sekuler—saling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan penjajah dan juga saling
bersaing untuk mengendalikan negara baru nantinya.
Singkat cerita, Belanda tidak bisa
mempertahankan wilayah Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu
pada Perang Pasifik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang. Jepang
selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia, walaupun
kelihatannya tidak sungguh-sungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan
bala bantuan tentara dan logistik untuk kepentingan Perang Pasifik yang tengah
dihadapinya. Akhirnya Jepang harus menyerah kepada Sekutu pimpinan Inggris pada
tahun 1945. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam maupun sekuler untuk
sementara bersatu memperjuangkan bebasnya negara baru dari penjajah kafir
dengan diawali Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu
proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian, namun akhirnya berbuah hasil yang
manis merdekanya wilayah kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kafir.
Berkah Kemerdekaan dan Dakwah
Islam
SEANDAINYA kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan
para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme tentu tidak akan ada
jejak-jejak Islam yang nyata dalam proses pendirian negara ini. Sidang-sidang
BPUPK (Badan Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan Piagam Jakarta
22 Juli 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti yang menjadi cikal-bakal dasar
negara Indonesia: Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak
gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata yang dibuang: “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama
Pancasila. Walaupun pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya
masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ki Bagus
Hadikusumo yang menandatangi perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu
maknanya adalah “Tauhid”. Sekalipun tidak berkonsekwensi hukum karena tidak
tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang, namun siapapun tidak bisa
menyangkal kenyataan sejarah ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia [BPUPKI], 2005).
Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan
ini juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai Islam, antara
lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim independen lainnya,
mengajukan proposal tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia dalam
sidang-sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan
selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh sebab itu, kekalahan
politiklah yang akhirnya harus mengubur harapan para pejuang Islam menjadikan
negara baru ini berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam dari jalur politik
begitu terasa. Berbagai intrik dan fitnah terus dilancarkan kepada
gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh dari kekuasaan. Isu-isu seperti
pemberontakan DI/TII tahun 60-an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan
tahun 80-an, hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media
anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam dari panggung
kekuasaan.
Akan
tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan berarti umat Islam
kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk tetap memperjuangkan agama yang
diyakini akan membawa kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara
politik umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam takdir Allah
SWT mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa ada tugas yang lebih penting
dan harus terlebih dahulu dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk
kekuasaan, yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islam memang agak
mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir semua tersedot perhatiannya pada
perkara-perkara politik. Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam
disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas dari penguasa
kafir-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di hadapan mereka. Selepas itu, hampir
semua disibukkan mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur Islam.
Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja, konsentrasinya terlalu
banyak kepada kekuasaan. Banyak garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama
dalam bidang kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan
Islam.
Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para
politisi Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan. Pa Natsir
setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) dalam berbagai kesempatan sering mengatakan, “Dulu kita berpolitik
untuk dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik.” Slogan ini pun
rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya yang digusur dari
kekuasaan. Mereka akhirnya kembali terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan
tinggi Islam didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikan lahan
dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin melalui gerakan LDK (Lembaga
Dakwah Kampus). Pesantren-pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk
menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler. Masjid-masjid terus
disasar untuk dihidupkan. Lembaga-lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana,
bahkan sampai menjangkau pelosok-pelosok negeri.
Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun
1980-an umat Islam Indonesia mengalami “kebangkitan” baru setelah pada awal
abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit memerdekakan Indonesia.
Kali ini prestasi dakwah Islam telah sampai pada taraf yang belum pernah
dicapai selama dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau sampai ke
berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai digarap pada era 1960-an mulai
berbuah dengan lahirnya generasi-generasi intelektual Muslim baru. Puncaknya,
para cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan mereka dengan
didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi
muslimah yang sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat secara
bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-intelektual Muslim baru ini.
Intelektual muslim baru inipun tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat
Islam kini memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor kehidupan,
baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai tampil
bukan lagi sebagai lembaga pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga
favorit dan unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya diri
untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan barang aneh Islam dalam
berbagai aspeknya yang positif menjadi pokok perbincangan di media massa.
(Selengkapnya lihat Riclefs, Islamisasi Jawa, 2014).
Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun
70-an hingga saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi “agama”
mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-sembunyi jauh dari
ruang publik seperti pada zaman Kolonial. Perjuangan para mujahidin Islam untuk
membebaskan negeri ini dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara
politik, ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai dirasakan saat
ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik Indonesia yang hingga saat ini
masih belum memberi peluang kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa
sepenuhnya dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya tinggal
menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para pejuang Islam setelah kemerdekaan
untuk kembali kepada dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di
negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah ini memang
pra-syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa. “Politik kita tergantung pada
dakwah kita,” demikian ungkap Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini
tentu patut disyukuri, dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini
adalah salah satu berkah dari Kemerdekaan yang diperjuangkan para ulama dan
mujahidin Islam terdahulu. Wallāhu A’lam. [Tiar Anwar Bachtiar – www.academia.edu]