Monday, November 6, 2017

Sains Islam Suatu Tantangan




Sains Islam: Eksistensi, Urgensi, Filosofi, dan Tantangan Muslim



Kata Pengantar

D
iriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: “Wahai ‘Aisyah saya pada malam ini beribadah kepada Allah swt”. Jawab Aisyah rodhialLõhu anhu: Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya” Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu’, tidak jauh dari tempatnya itu lalu shalat.

Di waktu shalat beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Al-Qur’an yang dibacanya. Setelah shalat beliau duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdo’a dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.

Setelah Bilal datang untuk adzan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: “Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang”. Nabi menjawab: “Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah swt? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah swt telah menurunkan ayat kepadaku.

Selanjutnya beliau berkata: “Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan kandungan artinya”. Ayat yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Quran tersebut dibawah ini yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat-ayat kebesaran Allah) bagi Ulil Albab, ●yaitu orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi sambil berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. [QS Ali Imran 3:190-191]

Perkataan Ulil Albab disebut enambelas kali dalam Al-Quran. Menurut Al-Qur’an. Ulil Albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Diantara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan, dan meta-ilmu disamping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris.

Ulil Albab selalu mengkaitkan fenomena Alam Raya yang terdapat di Alam Makro (Alam Raya di Raya) dan Alam Mikro (Antara lain Alam Biologis dan Alam Psikologis-tabiat manusia) adanya-segala-yang-ada ini ada yang menjadikannya yaitu Allah Maha Pencipta. Dalam keterkaitannya dengan adanya manusia dan alam yaitu kejadian Alam Raya di Raya ini sebenarnya mempunyai ‘kemanfaatan’ bagi masyarakat manusia itu sendiri. Kalau tidak memahami seperti itu maka sia-sialah hidup masyarakat manusia ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ulil Albab itu sendiri yang terdapat dalam surat Āli ‘Imrān tersebut.

Selanjutnya Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ūlul Albāb.” [QS Al-Baqarah 2:269]

Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa:

“Sungguh mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.” [QS Yūsuf 12:111)



Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah Ūlul Albāb.” [QS Āli ‘Imrān 3:7].

Didalam masyarakat Islam, seorang Intelektual Muslim bukan saja seorang yang memahami sejarah (dalam kaitan-kaitan yang melatar belakanginya suatu tindakan dan perilaku perbuatan seperti faktor-faktor politik, psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat dari)  suku-suku bangsa setempat, bangsa-bangsa regional, bahkan bangsa-bangsa dunia lainnya (akibat adanya era globalisasi), juga sebagai seorang Islamologis. Dengan itu Intelektual Muslim sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang. Islamologis yakni pada dasarnya menguasai dua disiplin induk “Meta-Ilmu” yaitu memahami ayat-ayat Kawniyyah yang terdapat dalam alam raya dan alam manusia. Dan memahami ayat-ayat Qawliyyah yaitu nash yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus dalam menyebutkan Intelektual Muslim yaitu dengan sebutan Ulil Albab. □ AFM

Pendahuluan

A
pakah ada yang namanya sains Islam? Kalaupun ada, mengapa kita harus membutuhkannya? Apa perbedaan sains Islam dan sains kontemporer? Barangkali pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah awal yang tepat untuk memulai diskursus tentang sains Islam. Hingga saat ini, masih banyak pihak yang meragukan (atau bahkan mengingkari) adanya sains Islam. Istilah “Sains Islam” memang terdengar lebih asing jika dibandingkan dengan istilah “Ekonomi Islam” atau “Politik Islam” yang sudah lebih dahulu membuktikan eksistensinya dan membumikan ide-idenya di masyarakat. Keraguan atau pengingkaran terhadap adanya sains Islam ini bahkan tidak hanya muncul dari kalangan Non-Muslim saja, tetapi bahkan dari kalangan Muslim sendiri.


Pro-Kontra Seputar Sains Islam

T
erdapat perdebatan mengenai ada/tidaknya sains Islam. Biasanya, pihak yang berkata bahwa there is no such a thing as Islamic Science (tidak ada yang namanya sains Islam) berdalih bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai (value-free). Oleh karena itu, tidak ada yang namanya sains Islam. “Sains itu berbicara tentang fakta, kalau dikasih embel-embel agama menjadi tidak objektif dong!” ujar mereka. Sains tidak bersifat Islam, Kristen, Yahudi, atau Hindu. Ringkasnya, kata mereka, tidak ada “Sains Islam” atau “sains kafir”. Buktinya, jika kiai atau pastor dilempar dari pesawat terbang, pasti akan mati. Saklar listrik dipencet oleh siapa pun – yang mukmin atau kafir – akan berdampak sama pada bola lampu salurannya. [1]

Alasan lain yang biasanya digunakan oleh pihak kontra sains Islam untuk mengukuhkan klaimnya adalah sains tidak ada hubungannya dengan agama. Sains ya sains, agama ya agama. Tidak usah dicampuradukkan. Science has nothing to do with religion and vice versa (sains tidak ada hubungannya dengan agama dan juga berlaku kebalikannya). Bahkan, dalam sebuah buku sejarah kelas X SMA berdasarkan Kurikulum 2013, dikatakan bahwa agama dan sains memiliki otonominya masing-masing sehingga keduanya tidak perlu dicampuradukkan. [2]

Benarkah bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai? Benarkah sains tidak ada hubungannya dengan agama? Untuk membuktikan apakah sains Islam itu eksis atau omong kosong, agaknya kita perlu melakukan kajian terhadap dua hal tersebut.

Pertama, mengenai kenetralan ilmu. Diskusi tentang apakah ilmu itu netral dalam arti bebas nilai atau tidak sudah berlangsung lama. Ilmuwan beraliran rasionalisme bersikukuh dalam pendiriannya untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalitasnya. Rene Descrates (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, credo, nilai, dan lain sebagainya. [3]

Paham rasionalisme ini kemudian mendapat legitimasi dari zaman modern lewat filsafat positivisme Auguste Comte. Di antara ciri-ciri positivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang “bebas nilai” atau “netral” atau “objektif”. Inilah yang menjadi dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu, subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realitas dan bersikap imparsial-netral. Ciri lainnya adalah “mekanisme”, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis, seperti layaknya mesin. [4]

Selain masala kebebasnilaian, di dunia sains modern muncul istilah “objektif”. Maksudnya adalah masalah yang diteliti mempunyai objek yang jelas, dalam hal ini objek fisik. Ilmu yang objek tidak jelas – tidak fisik, maka dinilai tidak objektif. Ilmuwan atau peneliti yang memasukkan unsur nilai ke dalam penelitiannya juga disebut “tidak objektif”. Objektivitas yang dimaksudkan untuk memisahkan objek dari subjek peneliti atau ilmuwan itu sendiri. Apabila sang ilmuwan masuk memberikan nilai pada ilmu yang ditelitinya dikatakan ia “tidak objektif”. [5]

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa sains modern dijauhkan dari pembahasan-pembahasan yang bersifat metafisika (termasuk agama), karena harus ‘netral’ dan ‘objektif’. Selain itu, pondasi utama dari sains modern adalah rasionalisme-empirisme.

Akan tetapi, paham “netralitas” sains tersebut banyak dikritik oleh ilmuwan Muslim dan Barat sekalipun. Ilmuwan zaman dulu seperti Aristoteles pun sudah berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain. Realitas objek dan subjek saling berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan. [6] Thomas S. Kuhn juga berpendapat bahwa paradigma ilmuwanlah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Ilmuwan-ilmuwan Mazhab Frankfurt menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud sendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai, hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam mitologi rasio. Sementara itu, menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu berbeda dengan fakta. Fakta boleh netral, tetapi ilmu tidak sekadar fakta, ia fakta plus penjelasan dari sang ilmuwan. Justru ketika ilmu melibatkan penjelasan, ilmu tidak lagi bersifat netral atau objektif dalam arti yang sebenarnya. Dilemanya adalah ilmu tidak bisa menjadi ilmu kecuali melibatkan penjelasan terhadap fakta yang ditelitinya. [7]

Dari kalangan ilmuwan muslim, tampil Syed Muhammad Naquib al-Attas mengemukakan pandangan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. [8] Berikut adalah kutipannya dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin:

“Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya – meskipun di antaranya terdapat bebarapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam sehingga tidak bisa dipertemukan.” [9]

Dari pembahasan tersebut, agaknya pandangan bahwa sains itu netral tidak sepenuhnya benar. Sains tidak hanya berbicara tentang fenomena alam. Sains itu juga terkait dengan cara pandang manusia, ilmuwannya, terhadap fakta sains itu. [10] Sains kontemporer bisa jadi netral dan bebas nilai, dalam artian netral dan bebas dari nilai-nilai agama. Tetapi ia tidak pernah seutuhnya netral dan bebas nilai.

Kedua, mengenai hubungan sains dan agama. Orang yang bilang bahwa “sains tidak ada hubungannya dengan agama” sebenarnya harus menspesifikkan agama mana yang dimaksud. Jika agama yang dimaksud adalah Islam, maka dia salah besar. Sebab, Al-Quran menyebut fenomena alam sebagai “ayat” atau “tanda-tanda”; signal. Al-Quran menyebutkan, bahwa di bumi ini ada “ayat”, ada tanda-tanda, dan juga dalam diri manusia ada tanda-tanda bagi kaum yang yaqin – orang yang telah melalui proses berpikir yang mendalam, dan menemukan makna dari tanda-tanda tsb. Jadi, makhluk ini adalah “ayat” atau “tanda” akan adanya Al-Khaliq. [11] Oleh karena itu, dalam konsepsi Islam, pembelajaran kita tentang fenomena alam – yang selanjutnya biasa disebut sains/ilmu pengetahuan alam – seharusnya menambah keimanan kita kepada Allah.

Selain itu, Islam juga memandang tinggi ilmu dan orang yang memilikinya. Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal: Tholabul ‘ilmi faridhotunala kulli muslimin (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim). Selain itu, ayat-ayat Al-Quran seperti Q.S. Al-Alaq [96]: 1-5, Q.S. Az-Zumar [39]: 9, Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11, dll menunjukakn bahwa Islam memberikan penekanan terhadap pentingnya ilmu. [12] Selain itu, kita juga tahu bahwa banyak ilmuwan-ilmuwan Muslim yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan sains modern seperti Al-Khawarizmi (penemu angka nol/shifr), Ibn Sina (pengarang kitab kedokteran Al-Qanun fit-Thibb), Ibn Haitsam (penulis karya bidang optik Al-Manazhir), dan masih banyak lagi yang tentunya terlalu panjang jika disebutkan satu-satu. [13]

Dari pembahasan di atas, agaknya kita sudah dapat meyakini bahwa sains Islam itu ada dan mungkin. Ilmu (termasuk ilmu sains) tidaklah bebas nilai, dan oleh karenanya sangat mungkin di’warnai’ dengan suatu worldview, contohnya Islamic Worldview (pandangan alam Islam). Islam juga memberi perhatian besar terhadap ilmu, yang mana semakin menambah semangat kaum Muslimin untuk mencari ilmu, termasuk didalamnya ilmu sains, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Al-Khawarizmi, Ibn Sina, Ibn Haitsam, dll.

Sekarang kita menyadari eksistensi sains Islam. Akan tetapi, kita mungkin bertanya “Kenapa kita butuh sains Islam?” atau “Apa yang salah dengan sains sekarang sehinga perlu diislamisasi?” Sebagian orang ada yang menilai sains Islam dengan sinis. Sains Islam diolok-olok dengan mengesankan sains Islam tak lain adalah wacana membuat pesawat Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam lainnya. Ada juga yang menuding bahwa sains Islam adalah sains yang dimulai dengan bismillah. Lainnya lagi menuduh sains Islam adalah soal mencocok-cocokkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal tersebut. Meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan. [4] Oleh karena itu, dalam bagian kedua dan ketiga tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan kenapa kita butuh sains Islam dan seperti apa konsep sains Islam yang dimaksud.


Sekularisasi Ilmu dan Keharusan Sains Islam

P
ada bagian sebelumnya, kita telah membahas tentang sifat ketidaknetralan ilmu. Hal ini memungkinkan terjadinya naturalisasi ilmu. Ilmu pengetahuan mengalami naturalisasi karena terjadi akulturasi dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. [15] Contoh nyatanya adalah ilmu pengetahuan kontemporer yang lebih bercorak Barat.

Rupanya, ilmu pengetahuan ala Barat modern yang dijadikan contoh di seluruh dunia saat ini – sebagaimana nanti akan dibahas – menyebabkan kekacauan berpikir yang amat masif, terutama bagi orang Islam. Seperti apa kekacauan berpikir yang dimaksud? Apa yang dapat kita lakukan? Bagian ini akan membahas kedua persoalan tersebut.

Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism menyebutkan bahwa telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat hari ini (many challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed by Western civilization). [16]

Beliau mencatat, hakikat ilmu yang disebarkan oleh Barat menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metodologi serta menganggap keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologis yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam: hewan, tanaman, dan mineral. [17]

Menurut Al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekadar teoretis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan (Man is deified and Deity is humanized). [18]

Selain Al-Attas, pemikir lain Isma’il Raji Al-Faruqi mencatat bahwa inti permasalahan dari mundurnya kaum Muslim di segala bidang adalah masalah pendidikan. [19] Beliau menulis:

There can be no doubt that the main focus and core of the malaise of the ummah is the prevalent educational system. It is the breeding ground of disease. It is in schools and colleges that self-estrangement from Islam, from its legacy and style, are generated and perpetuated. The educational system is the laboratory where Muslim youth are kneaded and cut, where their consciousness is molded into a caricature of the West. [20]

Terjemahan bebasnya lebih kurang sebagai berikut: Tidak dapat dipungkiri bahwa fokus utama dan inti dari “rasa tidak enak” ummah adalah sistem pendidikan yang lazim berjalan sekarang ini adalah tempat berkembang biak ketidakpasan. Di sekolah dan perguruan tinggi, (terjadi) keterpisahan diri dari (nilai dan ajaran, worldview) Islam, berasal dari warisan dan gaya, dihasilkan dan diabadikan oleh sisitim pendidikan sekarang ini. Sistem pendidikannya adalah laboratorium dimana pemuda Muslim dipisahkan dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Kesadaran mereka dibentuk menjadi (di) Barat (kan).

Adnin Armas berpendapat bahwa proses sekularisasi ilmu dimulai ketika seorang filsuf Barat, Rene Descartes (m.1650) memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan pancaindra sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filsuf lain seperti Thomas Hobbes, John Locke, Bertrand Russell, dll.

Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancaindra. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sitetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transeden (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological value). Pemikiran epistemologi Barat modern-sekuler ini terus dikembangkan lewat tokoh-tokohnya seperti Auguste Comte (filsafat positivisme), Hegel (filsafat dialektika), Ludwig Feurbach (prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia), Karl Marx (agama adalah candu rakyat), Sigmund Freud (psikolog, menurutnya agama adalah ilusi), Friedrich Nietzsche (filsuf, terkenal dengan tulisannya dalam sabda Zaratusha bahwa “Tuhan telah mati”), dll. [21] Menariknya, sebagian dari tokoh-tokoh yang tersebut di atas adalah peletak pondasi dari ilmu pengetahuan dan sains modern saat ini.

Dengan demikian, wajar jika ada saintis yang berkata: “Kegiatan saya sebagai seorang saintis adalah ateistik. Ini untuk mengatakan bahwa ketika saya merancang sebuah percobaan saya mengasumsikan tidak ada tuhan, malaikat, atau iblis yang akan ikut campur pelaksanaannya…. Karena itu, menjadi tidak jujur secara intelektual jika saya juga tidak ateis dalam urusan dunia.” [22] Semakin pintar, semakin meragukan (bahkan menolak) agama. Belajar tentang alam lewat sains, tetapi tidak ingat dengan pencipta alam. Al-Quran dan Sunnah pun tidak dijadikan sumber ilmu, karena dianggap dogmatis dan tidak objektif. Alam tidak dipikirkan sebagai ciptaan Allah yang harus dijaga dan dipelihara, tetapi bebas dieksploitasi sesukanya. Penelitian akan segala macam objek di jagat raya pun tidak mengantarkan pada gerbang keimanan, karena Tuhan tidak dianggap ikut campur dalam permasalahan dunia.

Maka dari itu, umat Islam memerlukan ilmu yang Islami (dalam hal ini sains yang Islami). Umat Islam membutuhkan paradigma pengajaran sains yang baru, agar semakin pintar dirinya maka semakin beriman pula, serta tidak terjebak dalam dikotomi sains dan agama. Seperti apakah konsep “Sains Islam” yang dimaksud? Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas konsep “Sains Islam” tersebut.


Sains Islam: Konstruk Sains Berlandaskan Islamic Worldview

P
embahasan mengenai sains Islam akan sangat sulit untuk dimengerti jika mengandalkan artikel ini saja. Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis hanya akan menggambarkan garis besar ide sains Islam yang dimaksud sepanjang pengetahuan penulis. Sebagai gantinya, penulis menyarankan pembaca untuk membaca buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda dan Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam untuk pembahasan lebih lanjut.

Menurut Adi Setia, istilah “Sains Islam” dapat dimaknai dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sejarah perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya dengan perkembangan sains dan teknologi di dunia barat; Kedua, sains Islam sebagai disiplin ilmu dalam bidang Filsafat Sains dan Filsafat Islam yang merumuskan konsep, filsafat, dan metodologi sains yang telah, sedang, atau yang semestinya memandu kegiatan sains dalam peradaban Islam; Ketiga, Sains Islam dimaknai sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perumusan kembali sains Islam sebagai proyek penelitian (research program) jangka panjang yang bersifat tajribi (experimental), amali (practical), dan inderawi (empirical) yang bertujuan melaksanakan tata nilai ilmu dan tata nilai adab Islami dalam semua kegiatan sains dan teknologi masa kini. [23] Definisi kedua dan ketiga sains Islam-lah (yang lebih berkutat di masalah filosofi dan konsep) yang kemudian dibahas pada artikel ini.

Pertama,untuk memandu kegiatan sains secara Islami diperlukan Islamic Worldview. Kenapa diperlukan Islamic Worldview? Karena worldview merupakan faktor penting dalam aktivitas penalaran manusia. Dalam kasus Islam makna worldview menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta. [24] Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sains tidak hanya berbicara tentang fenomena alam. Sains itu juga terkait dengan cara pandang manusia, ilmuwannya, terhadap fakta sains itu. Kita juga tahu bahwa sains yang sekarang telah didominasi oleh worldview yang sekular. Oleh karena itu, Islamic Worldview sangat dibutuhkan untuk konstruk sains yang Islami. [25] Islamic Worldview tersebut kemudian – dalam pandangan penulis – membawa empat perbedaan mendasar antara sains Islam dan sains kontemporer, yaitu: cakupan ilmu, tujuan bersains, cara pandang terhadap alam, sumber ilmu.

Ilmu dalam pandangan Islam berbeda dengan sains dalam pandangan Barat. Sains Barat terbatas pada bidang-bidang rasional-empiris-positivis sedangkan ilmu dalam pandangan Islam melampauinya dengan memasukkan tidak hanya bidang-bidang empiris, tetapi juga nonempiris seperti metafisika yang bersumber dari wahyu. Menurut wahyu ada hal-hal lain yang bisa menjadi objek ilmu seperti ruh, jin, malaikat, dan Tuhan. Sehingga dalam Islam berkembang pembahasan ilmu-ilmu seperti teologi, eskatologi, psikologi, kosmologi, dan lain-lain. Jadi, ilmu dalam pandangan Islam (Sains Islam) mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah peradaban Barat. Sains Barat modern membatasi dirinya pada hal-hal yang bersifat fisik, sedangkan sains Islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik tetapi metafisika. [26]

Selain aspek non-fisik, sains Islam lebih memfokuskan diri dalam masalah sains yang bermanfaat. Kata-kata ini penting mengingat dalam ajaran Islam kita diminta untuk berdoa agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Rasulullah saw menyatakan dalam sebuah hadisnya: “Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat (salu Allah ‘ilman nafi’an wa ta’awwadzu min ‘ilmin la yanfa’u). Hadits mengenai ilmu di atas mengandung dua hal yang tidak terdapat pada sains Barat modern. Pertama, perihal aspek metafisika, di mana seorang muslim yang menuntut ilmu senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai keimanan (iqra’ bismi rabbika al-ladzi khalaq, Al-Alaq [96]:1 – pen.). Kedua, aksiologi ilmu dalam Islam adalah membawa manfaat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin), yaitu bagi manusia, lingkungan, dan generasi mendatang. Bukan sekadar manfaat bagi kepentingan kapitalis tertentu yang menghasilkan banyak uang tapi merusak yang lainnya. [27]

Cara pandang Islam juga berdampak pada cara pandang terhadap realitas bersifat integral, artinya realitas fisik dilihat dengan merujuk pada realitas metafisik; ayat-ayat kawniyyah dikaitkan dengan ayat-ayat qawliyyah.[28] Oleh karena itu, dalam paradigma sains Islam, fenomena alam tidak hanya dipelajari untuk mengetahui detailnya, tetapi juga seharusnya menambah iman karena adanya tanda kebesaran Allah yang diberikan oleh fenomena alam tersebut. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa alam – sebagai ayat Allah – harus diperlakukan secara baik dan tidak seenaknya dieksploitasi demi kepentingan manusia.

Sumber ilmu dalam Islam juga berbeda dengan sumber ilmu pada sains modern. Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab, yaitu wahyu Al-Quran sebagai kitab tertulis, dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis. Sebagai kitab keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. [29]  Hal ini senada dengan pendapat Prof. Al-Attas bahwa ilmu dapat diperoleh melalui pancaindera sehat, akal, dan laporan benar berdasarkan otoritas. Yang pertama dan kedua biasa disebut data empiris dan rasio, sementara yang terakhir melibatkan Al-Quran dan Hadits sebagai otoritas mutlak dan kesepakatan alim ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum sebagai otoritas nisbi.[30]


Epilog: Tantangan Muslim

S
etelah mengetahui eksistensi, urgensi, dan filosifinya, maka tantangan terbesar kita sebagai ilmuwan Muslim adalah untuk terus mengembangkan konsep sains Islam ini. Meskipun sudah banyak yang membahas konsep sains Islam seperti Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, akan tetapi, selama ilmuwan Muslim tidak berhasil menerjemahkannya sampai ke level praktis, selama itu pula konsep sains Islam hanya akan menjadi wacana ilmiah tanpa contoh konkret. Mari kita selalu berdoa dan berusaha agar proyek besar Islamisasi sains ini dapat senantiasa berkembang. Wallahu a’lam. □


Catatan Kaki:
[1] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 170.
[2] Kalimat lengkapnya lihat Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 202.
[3] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 234.
[4] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 234-235.
[5] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 235.
[6] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 237.
[7] lihat Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 238-241.
[8] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 240.
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 61.
[10] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 170.
[11] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 185-186.
[12] Lihat Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persis Pers, 2010, hlm. 149-154.
[13] Lihat Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persis Pers, 2010, hlm. 160-163.
[14] Lihat artikel Dr. Wendi Zarman – Islamisasi Sains, Apanya yang Diislamkan? (artikel dapat dibaca dan diunduh di https://insists.id/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/)
[15] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 242.
[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm. 133. (terj. Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 169.)
[17] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 169.
[18] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 191.
[19] Untuk uraian secara lengkap tentang akar masalah mundurnya kaum Muslim menurut Al-Faruqi lihat Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, Washington D.C.: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1982, hlm. 5-8.
[20] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of Knowledge, Washington D.C.: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1982, hlm. 5.
[21] Lihat Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 7-12.
[22] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 191-192.
[23] Pembahasan lebih lanjut lihat Adi Setia – Tiga Makna Sains Islam dalam Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 43-55.
[24] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 4.
[25] Pembahasan lebih lanjut mengenai Islamic Worldview dan implikasinya terhadap sains Islam lihat Hamid Fahmy Zarkasyi – Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam dalam Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 1-25.
[26] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 60-61.
[27] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 61.
[28] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 19.
[29] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 22.
[30] lihat Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 63-64. □□


Sumber: 
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/03/kedudukan-ulul-albab-i.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/05/ulil-albab-adalah-intelektual-muslim.html 
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/08/11/sains-islam-eksistensi-urgensi-filosofi-dan-tantangan-muslim/□□□