Sains Islam: Eksistensi, Urgensi, Filosofi, dan Tantangan Muslim
Kata Pengantar
D
|
iriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw
berkata: “Wahai ‘Aisyah saya pada
malam ini beribadah kepada Allah swt”. Jawab Aisyah rodhialLõhu anhu: Sesungguhnya saya senang jika
Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya”
Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil
air wudu’, tidak jauh dari tempatnya itu lalu shalat.
Di waktu shalat beliau menangis sampai-sampai
air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Al-Qur’an yang
dibacanya. Setelah shalat beliau duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis
tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdo’a dan
menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.
Setelah Bilal datang untuk adzan subuh dan melihat
Nabi saw menangis ia bertanya: “Wahai
Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa
Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang”. Nabi menjawab: “Apakah
saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah swt? Dan bagaimana saya tidak menangis?
Pada malam ini Allah swt telah
menurunkan ayat kepadaku.
Selanjutnya beliau berkata: “Alangkah rugi dan
celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan
kandungan artinya”. Ayat yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Quran tersebut
dibawah ini yang artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat-ayat
kebesaran Allah) bagi Ulil Albab, ●yaitu
orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi sambil
berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan
sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. [QS Ali
Imran 3:190-191]
Perkataan Ulil Albab disebut enambelas
kali dalam Al-Quran. Menurut Al-Qur’an. Ulil Albab adalah kelompok manusia
tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Diantara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksaan,
dan meta-ilmu disamping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris.
Ulil Albab selalu mengkaitkan fenomena
Alam Raya yang terdapat di Alam Makro (Alam Raya di Raya) dan Alam Mikro
(Antara lain Alam Biologis dan Alam Psikologis-tabiat manusia) “adanya-segala-yang-ada”
ini ada yang menjadikannya yaitu Allah Maha Pencipta. Dalam keterkaitannya
dengan adanya ‘manusia’ dan ‘alam’ yaitu kejadian Alam Raya
di Raya ini sebenarnya mempunyai ‘kemanfaatan’
bagi masyarakat manusia itu sendiri. Kalau tidak memahami seperti itu maka
sia-sialah hidup masyarakat manusia ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ulil
Albab itu sendiri yang terdapat dalam surat Āli ‘Imrān tersebut.
Selanjutnya
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Allah
memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang
diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali Ūlul Albāb.” [QS Al-Baqarah 2:269]
Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa:
“Sungguh
mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.”
[QS Yūsuf 12:111)
Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa,
kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan
petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah Ūlul
Albāb.” [QS Āli ‘Imrān 3:7].
Didalam masyarakat Islam, seorang Intelektual Muslim bukan saja seorang yang
memahami sejarah (dalam kaitan-kaitan yang melatar belakanginya suatu tindakan
dan perilaku perbuatan seperti faktor-faktor politik, psikologi,
sosiologi, antropologi, filsafat dari) suku-suku bangsa setempat,
bangsa-bangsa regional, bahkan bangsa-bangsa dunia lainnya (akibat adanya era
globalisasi), juga sebagai seorang Islamologis. Dengan itu Intelektual Muslim
sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang.
Islamologis yakni pada dasarnya menguasai dua disiplin induk “Meta-Ilmu” yaitu
memahami ayat-ayat Kawniyyah yang terdapat dalam alam raya dan alam manusia.
Dan memahami ayat-ayat Qawliyyah yaitu nash yang terdapat dalam kitab suci
Al-Qur’an. Untuk pengertian ini, Al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus
dalam menyebutkan Intelektual Muslim yaitu dengan sebutan Ulil Albab. □ AFM
Pendahuluan
A
|
pakah ada yang namanya sains Islam? Kalaupun
ada, mengapa kita harus membutuhkannya? Apa perbedaan sains Islam dan sains
kontemporer? Barangkali pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah awal yang tepat
untuk memulai diskursus tentang sains Islam. Hingga saat ini, masih banyak
pihak yang meragukan (atau bahkan mengingkari) adanya sains Islam. Istilah
“Sains Islam” memang terdengar lebih asing jika dibandingkan dengan istilah
“Ekonomi Islam” atau “Politik Islam” yang sudah lebih dahulu membuktikan
eksistensinya dan membumikan ide-idenya di masyarakat. Keraguan atau pengingkaran
terhadap adanya sains Islam ini bahkan tidak hanya muncul dari kalangan
Non-Muslim saja, tetapi bahkan dari kalangan Muslim sendiri.
Pro-Kontra Seputar Sains Islam
T
|
erdapat perdebatan mengenai ada/tidaknya sains
Islam. Biasanya, pihak yang berkata bahwa there is no such a thing as
Islamic Science (tidak ada yang namanya sains Islam) berdalih bahwa ilmu
itu netral dan bebas nilai (value-free). Oleh karena itu, tidak ada yang
namanya sains Islam. “Sains itu berbicara tentang fakta, kalau dikasih embel-embel
agama menjadi tidak objektif dong!” ujar mereka. Sains tidak bersifat Islam,
Kristen, Yahudi, atau Hindu. Ringkasnya, kata mereka, tidak ada “Sains Islam”
atau “sains kafir”. Buktinya, jika kiai atau pastor dilempar dari pesawat
terbang, pasti akan mati. Saklar listrik dipencet oleh siapa pun – yang mukmin
atau kafir – akan berdampak sama pada bola lampu salurannya. [1]
Alasan lain yang biasanya digunakan oleh pihak
kontra sains Islam untuk mengukuhkan klaimnya adalah sains tidak ada
hubungannya dengan agama. Sains ya sains, agama ya agama. Tidak usah
dicampuradukkan. Science has nothing to do with religion and vice versa
(sains tidak ada hubungannya dengan agama dan juga berlaku kebalikannya).
Bahkan, dalam sebuah buku sejarah kelas X SMA berdasarkan Kurikulum 2013,
dikatakan bahwa agama dan sains memiliki otonominya masing-masing sehingga
keduanya tidak perlu dicampuradukkan. [2]
Benarkah bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai?
Benarkah sains tidak ada hubungannya dengan agama? Untuk membuktikan apakah sains
Islam itu eksis atau omong kosong, agaknya kita perlu melakukan kajian terhadap
dua hal tersebut.
Pertama, mengenai kenetralan ilmu.
Diskusi tentang apakah ilmu itu netral dalam arti bebas nilai atau tidak sudah
berlangsung lama. Ilmuwan beraliran rasionalisme bersikukuh dalam pendiriannya
untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra
rasionalitasnya. Rene Descrates (1596-1650) menyampaikan diktumnya yang
terkenal cogito ergo sum yang artinya “aku berpikir maka aku ada”.
Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah
sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti
wahyu, Tuhan, credo, nilai, dan lain sebagainya. [3]
Paham rasionalisme ini kemudian mendapat
legitimasi dari zaman modern lewat filsafat positivisme Auguste Comte. Di
antara ciri-ciri positivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
“bebas nilai” atau “netral” atau “objektif”. Inilah yang menjadi dasar prinsip
filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis demarkasi
antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu,
subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realitas dan bersikap
imparsial-netral. Ciri lainnya adalah “mekanisme”, yaitu paham yang mengatakan
bahwa semua gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis, seperti
layaknya mesin. [4]
Selain masala kebebasnilaian, di dunia sains
modern muncul istilah “objektif”. Maksudnya adalah masalah yang diteliti
mempunyai objek yang jelas, dalam hal ini objek fisik. Ilmu yang objek tidak
jelas – tidak fisik, maka dinilai tidak objektif. Ilmuwan atau peneliti yang
memasukkan unsur nilai ke dalam penelitiannya juga disebut “tidak objektif”.
Objektivitas yang dimaksudkan untuk memisahkan objek dari subjek peneliti atau
ilmuwan itu sendiri. Apabila sang ilmuwan masuk memberikan nilai pada ilmu yang
ditelitinya dikatakan ia “tidak objektif”. [5]
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa
sains modern dijauhkan dari pembahasan-pembahasan yang bersifat metafisika
(termasuk agama), karena harus ‘netral’ dan ‘objektif’. Selain itu, pondasi
utama dari sains modern adalah rasionalisme-empirisme.
Akan tetapi, paham “netralitas” sains tersebut
banyak dikritik oleh ilmuwan Muslim dan Barat sekalipun. Ilmuwan zaman dulu
seperti Aristoteles pun sudah berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan
nilai-nilai. Keduanya tak terpisahkan satu sama lain. Realitas objek dan subjek
saling berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan. [6] Thomas S. Kuhn
juga berpendapat bahwa paradigma ilmuwanlah yang menentukan jenis-jenis
eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka
ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Ilmuwan-ilmuwan Mazhab
Frankfurt menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest.
Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai
maksud sendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide
rasionalisme dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi
fakta dan nilai, hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam
itu sendiri ke dalam mitologi rasio. Sementara itu, menurut Mulyadhi
Kartanegara, ilmu berbeda dengan fakta. Fakta boleh netral, tetapi ilmu tidak
sekadar fakta, ia fakta plus penjelasan dari sang ilmuwan. Justru ketika ilmu
melibatkan penjelasan, ilmu tidak lagi bersifat netral atau objektif dalam arti
yang sebenarnya. Dilemanya adalah ilmu tidak bisa menjadi ilmu kecuali
melibatkan penjelasan terhadap fakta yang ditelitinya. [7]
Dari kalangan ilmuwan muslim, tampil Syed
Muhammad Naquib al-Attas mengemukakan pandangan bahwa ilmu itu tidak bebas
nilai. [8] Berikut adalah kutipannya dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin:
“Kita harus mengetahui dan menyadari bahwa
sebenarnya ilmu pengetahuan tidak bersifat netral; bahwa setiap kebudayaan
memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenainya – meskipun di antaranya
terdapat bebarapa persamaan. Antara Islam dan kebudayaan Barat terbentang
pemahaman yang berbeda mengenai ilmu, dan perbedaan itu begitu mendalam
sehingga tidak bisa dipertemukan.” [9]
Dari pembahasan tersebut, agaknya pandangan
bahwa sains itu netral tidak sepenuhnya benar. Sains tidak hanya berbicara
tentang fenomena alam. Sains itu juga terkait dengan cara pandang manusia,
ilmuwannya, terhadap fakta sains itu. [10] Sains kontemporer bisa jadi netral
dan bebas nilai, dalam artian netral dan bebas dari nilai-nilai agama. Tetapi
ia tidak pernah seutuhnya netral dan bebas nilai.
Kedua, mengenai hubungan sains dan
agama.
Orang yang bilang bahwa “sains tidak ada hubungannya dengan agama” sebenarnya
harus menspesifikkan agama mana yang dimaksud. Jika agama yang dimaksud adalah
Islam, maka dia salah besar. Sebab, Al-Quran menyebut fenomena alam sebagai
“ayat” atau “tanda-tanda”; signal. Al-Quran menyebutkan, bahwa di bumi
ini ada “ayat”, ada tanda-tanda, dan juga dalam diri manusia ada tanda-tanda
bagi kaum yang yaqin – orang yang telah melalui proses berpikir yang
mendalam, dan menemukan makna dari tanda-tanda tsb. Jadi, makhluk ini adalah
“ayat” atau “tanda” akan adanya Al-Khaliq. [11] Oleh karena itu, dalam konsepsi
Islam, pembelajaran kita tentang fenomena alam – yang selanjutnya biasa disebut
sains/ilmu pengetahuan alam – seharusnya menambah keimanan kita kepada Allah.
Selain itu, Islam juga memandang tinggi ilmu dan
orang yang memilikinya. Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi
Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal: Tholabul ‘ilmi faridhotun
‘ala kulli muslimin (menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim). Selain
itu, ayat-ayat Al-Quran seperti Q.S. Al-Alaq [96]: 1-5, Q.S. Az-Zumar [39]: 9,
Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11, dll menunjukakn bahwa Islam memberikan penekanan
terhadap pentingnya ilmu. [12] Selain itu, kita juga tahu bahwa banyak
ilmuwan-ilmuwan Muslim yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan sains
modern seperti Al-Khawarizmi (penemu angka nol/shifr), Ibn Sina (pengarang
kitab kedokteran Al-Qanun fit-Thibb), Ibn Haitsam (penulis karya bidang optik
Al-Manazhir), dan masih banyak lagi yang tentunya terlalu panjang jika disebutkan
satu-satu. [13]
Dari pembahasan di atas, agaknya kita sudah
dapat meyakini bahwa sains Islam itu ada dan mungkin. Ilmu (termasuk ilmu
sains) tidaklah bebas nilai, dan oleh karenanya sangat mungkin di’warnai’
dengan suatu worldview, contohnya Islamic Worldview (pandangan
alam Islam). Islam juga memberi perhatian besar terhadap ilmu, yang mana
semakin menambah semangat kaum Muslimin untuk mencari ilmu, termasuk didalamnya
ilmu sains, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Al-Khawarizmi, Ibn Sina, Ibn
Haitsam, dll.
Sekarang kita menyadari eksistensi sains Islam.
Akan tetapi, kita mungkin bertanya “Kenapa kita butuh sains Islam?” atau “Apa
yang salah dengan sains sekarang sehinga perlu diislamisasi?” Sebagian orang
ada yang menilai sains Islam dengan sinis. Sains Islam diolok-olok dengan
mengesankan sains Islam tak lain adalah wacana membuat pesawat Islam, komputer
Islam, dan teknologi berlabel Islam lainnya. Ada juga yang menuding bahwa sains
Islam adalah sains yang dimulai dengan bismillah. Lainnya lagi menuduh
sains Islam adalah soal mencocok-cocokkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penemuan
sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal
tersebut. Meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari
sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua
hal tersebut terdengar menggelikan. [4] Oleh karena itu, dalam bagian kedua dan
ketiga tulisan ini, penulis akan mencoba memaparkan kenapa kita butuh sains
Islam dan seperti apa konsep sains Islam yang dimaksud.
Sekularisasi Ilmu dan Keharusan Sains Islam
P
|
ada bagian sebelumnya, kita telah membahas
tentang sifat ketidaknetralan ilmu. Hal ini memungkinkan terjadinya
naturalisasi ilmu. Ilmu pengetahuan mengalami naturalisasi karena terjadi
akulturasi dari luar terhadap budaya yang berlaku di ranah baru. [15] Contoh
nyatanya adalah ilmu pengetahuan kontemporer yang lebih bercorak Barat.
Rupanya, ilmu pengetahuan ala Barat modern yang
dijadikan contoh di seluruh dunia saat ini – sebagaimana nanti akan dibahas –
menyebabkan kekacauan berpikir yang amat masif, terutama bagi orang Islam.
Seperti apa kekacauan berpikir yang dimaksud? Apa yang dapat kita lakukan?
Bagian ini akan membahas kedua persoalan tersebut.
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam
bukunya Islam and Secularism menyebutkan bahwa telah
banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang
sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak
terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat hari ini (many
challenges have arisen in the midst of man’s confusion throughout the ages, but
none perhaps more serious and destructive to man than today’s challenge posed
by Western civilization). [16]
Beliau mencatat, hakikat ilmu yang disebarkan
oleh Barat menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya
akibat pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan
perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang
terkesan nyata, namun justru menghasilkan kekeliruan dan skeptisisme, yang
mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat ‘ilmiah’ dalam hal metodologi serta
menganggap keraguan (doubt) sebagai sarana epistemologis yang paling
tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah,
telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam: hewan, tanaman, dan mineral.
[17]
Menurut Al-Attas, bagi
Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekadar teoretis. Kebenaran
absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.
Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia
sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan
dan Tuhan pun dimanusiakan (Man is deified and Deity is humanized).
[18]
Selain Al-Attas, pemikir lain Isma’il Raji Al-Faruqi mencatat bahwa inti permasalahan
dari mundurnya kaum Muslim di segala bidang adalah masalah pendidikan.
[19] Beliau menulis:
There
can be no doubt that the main focus and core of the malaise of the ummah is the
prevalent educational system. It is the breeding ground of disease. It is in
schools and colleges that self-estrangement from Islam, from its legacy and
style, are generated and perpetuated. The educational system is the laboratory
where Muslim youth are kneaded and cut, where their consciousness is molded
into a caricature of the West. [20]
Terjemahan bebasnya lebih kurang sebagai
berikut: Tidak dapat dipungkiri
bahwa fokus utama dan inti dari “rasa tidak enak” ummah adalah sistem pendidikan yang lazim
berjalan sekarang ini adalah tempat
berkembang biak ketidakpasan. Di sekolah dan perguruan tinggi,
(terjadi) keterpisahan diri dari (nilai
dan ajaran, worldview) Islam, berasal dari warisan dan gaya, dihasilkan dan
diabadikan oleh sisitim pendidikan sekarang ini. Sistem pendidikannya adalah laboratorium dimana pemuda
Muslim dipisahkan
dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Kesadaran
mereka dibentuk menjadi (di) Barat (kan).
Adnin Armas berpendapat bahwa proses
sekularisasi ilmu dimulai ketika seorang filsuf Barat, Rene Descartes (m.1650)
memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo
sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya
kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan pancaindra
sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filsuf lain seperti Thomas Hobbes,
John Locke, Bertrand Russell, dll.
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat
berpengaruh. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah
tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada pancaindra. Dalam pandangan
Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sitetik-a
priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang
berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi
transeden (a transcendental illusion). Menurut Kant,
pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysical
assertions are without epistemological value). Pemikiran epistemologi Barat
modern-sekuler ini terus dikembangkan lewat tokoh-tokohnya seperti Auguste
Comte (filsafat positivisme), Hegel (filsafat dialektika), Ludwig Feurbach
(prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia), Karl Marx (agama adalah
candu rakyat), Sigmund Freud (psikolog, menurutnya agama adalah ilusi),
Friedrich Nietzsche (filsuf, terkenal dengan tulisannya dalam sabda Zaratusha
bahwa “Tuhan telah mati”), dll. [21] Menariknya, sebagian dari tokoh-tokoh yang
tersebut di atas adalah peletak pondasi dari ilmu pengetahuan dan sains modern
saat ini.
Dengan demikian, wajar jika ada saintis yang
berkata: “Kegiatan saya sebagai seorang saintis adalah ateistik. Ini untuk
mengatakan bahwa ketika saya merancang sebuah percobaan saya mengasumsikan
tidak ada tuhan, malaikat, atau iblis yang akan ikut campur pelaksanaannya….
Karena itu, menjadi tidak jujur secara intelektual jika saya juga tidak ateis dalam
urusan dunia.” [22] Semakin pintar, semakin meragukan (bahkan menolak)
agama. Belajar tentang alam lewat sains, tetapi tidak ingat dengan pencipta
alam. Al-Quran dan Sunnah pun tidak dijadikan sumber ilmu, karena dianggap
dogmatis dan tidak objektif. Alam tidak dipikirkan sebagai ciptaan Allah yang
harus dijaga dan dipelihara, tetapi bebas dieksploitasi sesukanya. Penelitian
akan segala macam objek di jagat raya pun tidak mengantarkan pada gerbang
keimanan, karena Tuhan tidak dianggap ikut campur dalam permasalahan dunia.
Maka dari itu, umat Islam memerlukan ilmu yang
Islami (dalam hal ini sains yang Islami). Umat Islam membutuhkan paradigma
pengajaran sains yang baru, agar semakin pintar dirinya maka semakin beriman
pula, serta tidak terjebak dalam dikotomi sains dan agama. Seperti apakah
konsep “Sains Islam” yang dimaksud? Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan
membahas konsep “Sains Islam” tersebut.
Sains Islam: Konstruk Sains Berlandaskan Islamic Worldview
P
|
embahasan mengenai sains Islam akan sangat sulit
untuk dimengerti jika mengandalkan artikel ini saja. Oleh karena itu, dalam
artikel ini penulis hanya akan menggambarkan garis besar ide sains Islam yang
dimaksud sepanjang pengetahuan penulis. Sebagai gantinya, penulis menyarankan
pembaca untuk membaca buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda
dan Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam untuk pembahasan lebih
lanjut.
Menurut Adi Setia, istilah “Sains Islam” dapat
dimaknai dalam tiga pengertian: Pertama, sebagai disiplin ilmu yang mengkaji
sejarah perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban Islam serta kaitannya
dengan perkembangan sains dan teknologi di dunia barat; Kedua, sains Islam sebagai
disiplin ilmu dalam bidang Filsafat Sains dan Filsafat Islam yang merumuskan
konsep, filsafat, dan metodologi sains yang telah, sedang, atau yang semestinya
memandu kegiatan sains dalam peradaban Islam; Ketiga, Sains Islam dimaknai
sebagai disiplin ilmu yang mengkaji perumusan kembali sains Islam sebagai
proyek penelitian (research program) jangka panjang yang bersifat
tajribi (experimental), amali (practical), dan inderawi (empirical)
yang bertujuan melaksanakan tata nilai ilmu dan tata nilai adab Islami dalam
semua kegiatan sains dan teknologi masa kini. [23] Definisi kedua dan ketiga
sains Islam-lah (yang lebih berkutat di masalah filosofi dan konsep) yang
kemudian dibahas pada artikel ini.
Pertama,untuk memandu kegiatan sains secara
Islami diperlukan Islamic Worldview. Kenapa diperlukan Islamic
Worldview? Karena worldview merupakan faktor penting dalam aktivitas
penalaran manusia. Dalam kasus Islam makna worldview menjangkau makna
pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta. [24]
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, sains tidak hanya berbicara tentang
fenomena alam. Sains itu juga terkait dengan cara pandang manusia, ilmuwannya,
terhadap fakta sains itu. Kita juga tahu bahwa sains yang sekarang telah
didominasi oleh worldview yang sekular. Oleh karena itu, Islamic
Worldview sangat dibutuhkan untuk konstruk sains yang Islami. [25] Islamic
Worldview tersebut kemudian – dalam pandangan penulis – membawa empat
perbedaan mendasar antara sains Islam dan sains kontemporer, yaitu: cakupan
ilmu, tujuan bersains, cara pandang terhadap alam, sumber ilmu.
Ilmu dalam pandangan Islam berbeda dengan sains
dalam pandangan Barat. Sains Barat terbatas pada bidang-bidang
rasional-empiris-positivis sedangkan ilmu dalam pandangan Islam melampauinya
dengan memasukkan tidak hanya bidang-bidang empiris, tetapi juga nonempiris
seperti metafisika yang bersumber dari wahyu. Menurut wahyu ada hal-hal lain
yang bisa menjadi objek ilmu seperti ruh, jin, malaikat, dan Tuhan. Sehingga
dalam Islam berkembang pembahasan ilmu-ilmu seperti teologi, eskatologi,
psikologi, kosmologi, dan lain-lain. Jadi, ilmu dalam pandangan Islam (Sains
Islam) mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah
peradaban Barat. Sains Barat modern membatasi dirinya pada hal-hal yang
bersifat fisik, sedangkan sains Islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik
tetapi metafisika. [26]
Selain aspek non-fisik, sains Islam lebih
memfokuskan diri dalam masalah sains yang bermanfaat. Kata-kata ini penting
mengingat dalam ajaran Islam kita diminta untuk berdoa agar ditambahkan ilmu
yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Rasulullah saw menyatakan dalam sebuah hadisnya:
“Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah
dari ilmu yang tidak bermanfaat (salu Allah ‘ilman nafi’an wa ta’awwadzu min
‘ilmin la yanfa’u). Hadits mengenai ilmu di atas mengandung dua hal yang
tidak terdapat pada sains Barat modern. Pertama, perihal aspek metafisika, di
mana seorang muslim yang menuntut ilmu senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai
keimanan (iqra’ bismi rabbika al-ladzi khalaq, Al-Alaq [96]:1 – pen.).
Kedua, aksiologi ilmu dalam Islam adalah membawa manfaat bagi semesta (rahmatan
lil ‘alamin), yaitu bagi manusia, lingkungan, dan generasi mendatang. Bukan
sekadar manfaat bagi kepentingan kapitalis tertentu yang menghasilkan banyak
uang tapi merusak yang lainnya. [27]
Cara pandang Islam juga berdampak pada cara
pandang terhadap realitas bersifat integral, artinya realitas fisik dilihat
dengan merujuk pada realitas metafisik; ayat-ayat kawniyyah dikaitkan
dengan ayat-ayat qawliyyah.[28] Oleh karena itu, dalam paradigma sains
Islam, fenomena alam tidak hanya dipelajari untuk mengetahui detailnya, tetapi
juga seharusnya menambah iman karena adanya tanda kebesaran Allah yang
diberikan oleh fenomena alam tersebut. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa
alam – sebagai ayat Allah – harus diperlakukan secara baik dan tidak seenaknya
dieksploitasi demi kepentingan manusia.
Sumber ilmu dalam Islam juga berbeda dengan
sumber ilmu pada sains modern. Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua
jenis kitab, yaitu wahyu Al-Quran sebagai kitab tertulis, dan alam semesta
sebagai kitab tidak tertulis. Sebagai kitab keduanya terdapat ayat-ayat yang
perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. [29] Hal ini senada dengan pendapat Prof. Al-Attas
bahwa ilmu dapat diperoleh melalui pancaindera sehat, akal, dan laporan benar
berdasarkan otoritas. Yang pertama dan kedua biasa disebut data empiris dan
rasio, sementara yang terakhir melibatkan Al-Quran dan Hadits sebagai otoritas
mutlak dan kesepakatan alim ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum
sebagai otoritas nisbi.[30]
Epilog: Tantangan Muslim
S
|
etelah mengetahui eksistensi, urgensi, dan
filosifinya, maka tantangan terbesar kita sebagai ilmuwan Muslim adalah untuk
terus mengembangkan konsep sains Islam ini. Meskipun sudah banyak yang membahas
konsep sains Islam seperti Ismail Raji Al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, akan tetapi, selama ilmuwan Muslim tidak berhasil menerjemahkannya
sampai ke level praktis, selama itu pula konsep sains Islam hanya akan menjadi
wacana ilmiah tanpa contoh konkret. Mari kita selalu berdoa dan berusaha agar
proyek besar Islamisasi sains ini dapat senantiasa berkembang. Wallahu a’lam.
□
Catatan Kaki:
[1] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam,
Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 170.
[2] Kalimat lengkapnya lihat Dr. Adian Husaini, 10
Kuliah Agama Islam, Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 202.
[3] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 234.
[4] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 234-235.
[5] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 235.
[6] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 237.
[7] lihat Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 238-241.
[8] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat Ilmu:
Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 240.
[9] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah
untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 61.
[10] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam,
Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 170.
[11] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam,
Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 185-186.
[12] Lihat Nashruddin Syarief, Menangkal
Virus Islam Liberal, Bandung: Persis Pers, 2010, hlm. 149-154.
[13] Lihat Nashruddin Syarief, Menangkal
Virus Islam Liberal, Bandung: Persis Pers, 2010, hlm. 160-163.
[14] Lihat artikel Dr. Wendi Zarman – Islamisasi
Sains, Apanya yang Diislamkan? (artikel dapat dibaca dan diunduh di https://insists.id/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/)
[15] Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 242.
[16] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and
Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm. 133. (terj. Islam dan
Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 169.)
[17] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan
Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010, hlm. 169.
[18] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam,
Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 191.
[19] Untuk uraian secara lengkap tentang akar
masalah mundurnya kaum Muslim menurut Al-Faruqi lihat Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization
of Knowledge, Washington D.C.: International Institute of Islamic Thought
(IIIT), 1982, hlm. 5-8.
[20] Ismail Raji Al-Faruqi, Islamization of
Knowledge, Washington D.C.: International Institute of Islamic Thought
(IIIT), 1982, hlm. 5.
[21] Lihat Dr. Adian Husaini, et.al., Filsafat
Ilmu: Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, hlm. 7-12.
[22] Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam,
Yogyakarta: Pro-U Media, 2016, hlm. 191-192.
[23] Pembahasan lebih lanjut lihat Adi Setia – Tiga
Makna Sains Islam dalam Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic Science: Paradigma,
Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 43-55.
[24] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 4.
[25] Pembahasan lebih lanjut mengenai Islamic
Worldview dan implikasinya terhadap sains Islam lihat Hamid Fahmy Zarkasyi
– Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam dalam Dr. Syamsuddin
Arif dkk., Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta:
INSISTS, 2016, hlm. 1-25.
[26] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 60-61.
[27] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 61.
[28] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 19.
[29] Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 22.
[30] lihat Dr. Syamsuddin Arif dkk., Islamic
Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, hlm. 63-64.
□□
Sumber:
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/03/kedudukan-ulul-albab-i.htmlhttps://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/05/ulil-albab-adalah-intelektual-muslim.html
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/08/11/sains-islam-eksistensi-urgensi-filosofi-dan-tantangan-muslim/□□□