Wednesday, November 22, 2017

Deislamisasi Bahasa






Kata Pengantar

Perlu kita memahami apa yang dimaksud deislamisasi bahasa (deislamization of language) agar dalam memahami sesuatu tidak salah tangkap dari arus informasi yang luar biasa diabad ‘medsos’ yang seolah apa yang diutarakannya ‘make sense’ – pantas alias masuk akal. Dengan itu kita tinggal “mengiakan saja”.

Malah tidak jarang ikut ambil bagian menjadi pengikut dan bahkan memperjuangkannya. Terutama dalam ‘permainan kata-kata’ yang sebenarnya ingin memengaruhi publik, tapi pekat dengan “tujuan  menghalalkan segala cara”. Tidak ada “akhlak” – integritas, etika, moral dan tanggung jawab, asalkan tujuan tercapai - na’udzubillahi min dzaliq – “kami berlindung kepada Allah daripada perkara (perkara buruk) tersebut (daripada menimpa kami).” □ AFM



DEISLAMISASI BAHASA


B
Bahasa, menempati ruang yang penting dalam kehidupan kita. Kita memahami sesuatu dari bahasa, baik yang dikomunikasikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Sebuah pidato dapat menggairahkan rakyat untuk melawan penjajah, sebuah tulisan dapat menggetarkan hati jutaan pembacanya, dan bagi seorang Muslim, Al-Quran dengan segala keindahan gramatikal dan kedalaman maknanya menjadi sumber inspirasi yang tidak terbatas bagi para pengkajinya. Demikianlah, kekuatan bahasa yang dapat menggerakan pemikiran dan tindakan manusia.

Segala pemikiran dan tindakan manusia tidak lepas dari pandangan alam (worldview) apa yang dia pegang. Apakah pandangan alamnya Islam, sekuler, komunis, dsb, itu juga yang menentukan pikiran dan tindakannya. Di sini, kembali kita lihat peranan penting bahasa dalam mengantarkan kita ke pandangan alam tertentu.

Atas dasar itulah, bahasa perlu diislamkan untuk mempermudah penyebaran pandangan alam Islam (Islamic Worldview). Syed Muhammad Naquib Al-attas, seorang pakar sejarah Melayu, menyebutkan bahwa Bahasa Melayu (Indonesia) adalah bahasa yang telah diislamkan. Bahasa ini telah direka-ulang oleh para ulama masa silam untuk keperluan dakwah. Jika bahasa telah diislamkan, maka Islam akan lebih mudah masuk ke dalam pikiran masyarakat Nusantara. Untuk mengislamkan Bahasa Melayu, para ulama memasukkan kosakata kunci pandangan alam Islam ke dalam Bahasa Melayu, semisal ilmu, akal, ruh, adil, ilham, nafsu, yakin, fikir, faham, alam, sadar, dan lain-lain. Bahkan, para ulama juga memberi makna baru terhadap kosakata Sansekerta seperti pahala, dosa, surga, neraka, dan lainnya. Semua ini dalam rangka menyebarkan Islam kepada masyarakat. [1] Itulah Islamisasi bahasa, ke dalam bahasa dimasukkan istilah-istilah kunci (key terms) Islam sehingga pemahaman dan penggunaannya lebih menyerap di masyarakat.

Sebagaimana proses Islamisasi bahasa mungkin dilakukan (dan memang kenyataannya berhasil dilakukan), maka deislamisasi bahasa (deislamization of language) juga mungkin dilakukan, malahan sudah dilakukan. Tentunya kita tidak asing lagi dengan penggunaan istilah “adil”, “adab”, “iman”, “taqwa”, dsb. Istilah-istilah tersebut jelas berasal dari kosakata Islam.  Akan tetapi, lihatlah sekarang bagaimana kacaunya penggunaan istilah-istilah tersebut.

Istilah “adil” misalnya, sering dipahami sebagai sama rasa-sama rata. Istilah “adab” juga sering dimaknai sebagai sopan santun.  Dalam hal ini, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-attas berpandangan:

Contoh dari penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Syed Muhammad Naquib Al-attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60).[2]

Penyalahpahaman akan penggunaan istilah “adil” bisa berakibat fatal. Jika adil diartikan sama rasa-sama rata, maka pembagian warisan 2:1 untuk laki-laki dan perempuan itu tidak adil, karena yang adil adalah 1:1. Konsep bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga juga tidak adil, karena seharusnya laki-laki dan perempuan itu setara dalam semua hal. Begitu juga dengan konsep perkawinan yang hanya mengakui perkawinan laki-laki dan perempuan dan tidak mengakui perkawinan sesama jenis juga tidak adil, karena yang penting sama-sama suka, dan negara harus menyamakan hak kedua jenis perkawinan tersebut. Tentunya ini sangat bertentangan dengan konsep Islam, padahal kata “adil” itu sendiri berasal dari kosakata Islam. Beginilah jika bahasa sudah mengalami proses deislamisasi. Konsep adil tidak lagi menceriminkan pandangan alam Islam, tetapi diganti dengan pandangan alam sekuler-liberal.

Penggunaan istilah “adab” juga tidak boleh disalahpahami. Jika adab hanya dimaknai sebagai “sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” [QS 6:74]. Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar) akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan. Banyak yang menganggap enteng dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan. [3]

Istilah “iman” juga bisa disalahgunakan. Ketika ditanya kenapa tidak berhijab, dengan bangganya seorang ukhti berkata “Iman itu ada di dalam hati!” Hal ini tentunya membingungkan. Sebab jika definisi iman adalah “Ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegan teguh kepada Sunnah Rasulullah saw.” [4], maka penggunaan hijab juga bagian dari keimanan. Menurut Buya Hamka, “kesepaduan yang tidak terpisah di antara kepercayaan dan penyerahan, di antara aqidah dan ibadah, di antara pengakuan hati dan perbuatan, itulah agama yang benar. Itulah yang dinamakan agama Islam.” [5] Jadi, iman dan amal saleh itu merupakan sebuah kesepaduan. Ingatlah Firman Allah:

Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya). Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” [QS An-Nur 24:47].

Perkataan “Iman itu ada di dalam hati!” mungkin baru masuk akal jika iman hanya dimaknai sebagai kepercayaan akan adanya zat yang maha kuasa atas segala sesuatu (Tuhan), dan kepercayaan itu tidak harus ditunjukkan dalam bentuk perbuatan (amal saleh). Akan tetapi, makna iman yang seperti itu menjadi sangat berbeda dengan makna iman dalam ajaran Islam.

Yang terakhir dalam bahasan tulisan ini, istilah “taqwa”. Dari semua contoh, mungkin ini yang paling membuat bingung. Tapi ini bukan contoh rekaan, melainkan contoh asli. Simaklah pernyataan berikut:

“Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau taqwa, selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad saw, serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk, dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.” [6]

Pemikiran semacam ini sangat asing dalam khazanah keilmuan Islam. Selama ini, para ulama mengartikan taqwa sebagai tindakan memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (atau definisi lain yang sejenis, definisi ini saya ambil dari catatan kaki terjemahan Al-Quran oleh Departemen Agama RI tahun 1996). Tiba-tiba saja, ada ‘loncatan berpikir’ yang mengatakan seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah. Kalau begini, definisi taqwa jadi rancu. Batasan taqwa seseorang juga menjadi tidak jelas, sebab lesbian (yang notabene merupakan dosa besar) pun dianggap bisa mencapai derajat taqwa.  Pada akhirnya, pemahaman yang salah tentang istilah “taqwa” ini menghantarkan kita pada dekonstruksi (merusak) ajaran Islam itu sendiri.

Itulah contoh-contoh deislamisasi bahasa sepanjang pengetahuan penulis. Bahkan, sebenarnya masih banyak lagi istilah-istilah yang mengalami deislamisasi. Keempat contoh di atas penulis anggap cukup untuk menunjukkan adanya usaha untuk menjauhkan istilah-istilah Islam dari pemaknaan sesungguhnya.


Penutup

Sebagai seorang Muslim, kita harus berhati-hati agar jangan sampai terkena dampak dari deislamisasi bahasa. Akibatnya tidak main-main, yaitu kerancuan (confusion) akan konsep-konsep dasar dalam Islam.

Mari kita kembali mengaji kepada ulama-ulama yang terpercaya. Mari buka kembali lembaran buku atau kitab agama Islam. Insya Allah, dengan modal pemahaman yang benar, kita bukan hanya mampu membendung arus deislamisasi bahasa ini, akan tetapi juga mampu menyebarkan pemahaman yang benar tentang Islam. Billahit Taufiq wal-Hidayah


Daftar Pustaka
[1] http://pimpin.web.id/2011/06/03/deislamisasi-bahasa/#.WE6CVtV97IV,
diakses tanggal 12 Desember 2016 pukul 17.00.
[2] Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2010. hal xiii.
[3] Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2010. hal xv.
[4] Syaikh Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, Jakarta: Darul Haq, 2014. hal x.
[5] Prof. Dr. Hamka, Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, Jakarta: Gema Insani Press, 2016. Hal 2.
[6] Dr. Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik, dan Solusinya, Jakarta: Gema Insani Press, 2015. hal 137. □□


Sumber
jurisarrozy.wordpress.com □□□