Kata Pengantar
Perlu kita memahami apa yang
dimaksud deislamisasi bahasa (deislamization of language) agar dalam
memahami sesuatu tidak salah tangkap dari arus informasi yang luar biasa diabad
‘medsos’ yang seolah apa yang diutarakannya ‘make sense’ – pantas alias masuk akal. Dengan itu kita tinggal
“mengiakan saja”.
Malah tidak jarang ikut ambil bagian menjadi
pengikut dan bahkan memperjuangkannya. Terutama dalam ‘permainan kata-kata’ yang
sebenarnya ingin memengaruhi publik, tapi pekat dengan “tujuan menghalalkan segala cara”. Tidak ada “akhlak”
– integritas, etika, moral dan tanggung jawab, asalkan tujuan tercapai - na’udzubillahi min dzaliq – “kami
berlindung kepada Allah daripada perkara (perkara buruk) tersebut (daripada
menimpa kami).” □ AFM
DEISLAMISASI BAHASA
B
|
Bahasa, menempati ruang yang penting dalam
kehidupan kita. Kita memahami sesuatu dari bahasa, baik yang dikomunikasikan
dalam bentuk lisan atau tulisan. Sebuah pidato dapat menggairahkan rakyat untuk
melawan penjajah, sebuah tulisan dapat menggetarkan hati jutaan pembacanya, dan
bagi seorang Muslim, Al-Quran dengan segala keindahan gramatikal dan kedalaman
maknanya menjadi sumber inspirasi yang tidak terbatas bagi para pengkajinya.
Demikianlah, kekuatan bahasa yang dapat menggerakan pemikiran dan tindakan
manusia.
Segala pemikiran dan tindakan manusia tidak
lepas dari pandangan alam (worldview) apa yang dia pegang. Apakah
pandangan alamnya Islam, sekuler, komunis, dsb, itu juga yang menentukan
pikiran dan tindakannya. Di sini, kembali kita lihat peranan penting bahasa
dalam mengantarkan kita ke pandangan alam tertentu.
Atas dasar itulah, bahasa perlu diislamkan untuk
mempermudah penyebaran pandangan alam Islam (Islamic Worldview). Syed
Muhammad Naquib Al-attas, seorang pakar sejarah Melayu, menyebutkan bahwa
Bahasa Melayu (Indonesia) adalah bahasa yang telah diislamkan. Bahasa ini telah
direka-ulang oleh para ulama masa silam untuk keperluan dakwah. Jika bahasa
telah diislamkan, maka Islam akan lebih mudah masuk ke dalam pikiran masyarakat
Nusantara. Untuk mengislamkan Bahasa Melayu, para ulama memasukkan kosakata
kunci pandangan alam Islam ke dalam Bahasa Melayu, semisal ilmu, akal, ruh,
adil, ilham, nafsu, yakin, fikir, faham, alam, sadar, dan lain-lain. Bahkan,
para ulama juga memberi makna baru terhadap kosakata Sansekerta seperti pahala,
dosa, surga, neraka, dan lainnya. Semua ini dalam rangka menyebarkan Islam
kepada masyarakat. [1] Itulah Islamisasi bahasa, ke dalam bahasa dimasukkan
istilah-istilah kunci (key terms) Islam sehingga pemahaman dan
penggunaannya lebih menyerap di masyarakat.
Sebagaimana proses Islamisasi bahasa mungkin
dilakukan (dan memang kenyataannya berhasil dilakukan), maka deislamisasi
bahasa (deislamization of language) juga mungkin dilakukan, malahan
sudah dilakukan. Tentunya kita tidak asing lagi dengan penggunaan istilah
“adil”, “adab”, “iman”, “taqwa”, dsb. Istilah-istilah tersebut jelas berasal
dari kosakata Islam. Akan tetapi, lihatlah sekarang bagaimana kacaunya
penggunaan istilah-istilah tersebut.
Istilah “adil” misalnya, sering dipahami sebagai
sama rasa-sama rata. Istilah “adab” juga sering dimaknai sebagai sopan
santun. Dalam hal ini, Prof. Syed Muhammad Naquib Al-attas berpandangan:
Contoh
dari penafi-islaman bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan
sebagai “tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa
batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman makna
istilah adab, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai
kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Syed Muhammad
Naquib Al-attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang:
Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60).[2]
Penyalahpahaman akan penggunaan istilah “adil”
bisa berakibat fatal. Jika adil diartikan sama rasa-sama rata, maka pembagian
warisan 2:1 untuk laki-laki dan perempuan itu tidak adil, karena yang adil
adalah 1:1. Konsep bahwa laki-laki adalah pemimpin rumah tangga juga tidak
adil, karena seharusnya laki-laki dan perempuan itu setara dalam semua hal.
Begitu juga dengan konsep perkawinan yang hanya mengakui perkawinan laki-laki
dan perempuan dan tidak mengakui perkawinan sesama jenis juga tidak adil,
karena yang penting sama-sama suka, dan negara harus menyamakan hak kedua jenis
perkawinan tersebut. Tentunya ini sangat bertentangan dengan konsep Islam,
padahal kata “adil” itu sendiri berasal dari kosakata Islam. Beginilah jika
bahasa sudah mengalami proses deislamisasi. Konsep adil tidak lagi
menceriminkan pandangan alam Islam, tetapi diganti dengan pandangan alam
sekuler-liberal.
Penggunaan istilah “adab” juga tidak boleh
disalahpahami. Jika adab hanya dimaknai sebagai “sopan-santun”, maka bisa-bisa
ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab,
karena berani menyatakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya aku melihatmu dan
kaummu berada dalam kesesatan yang nyata.” [QS 6:74]. Bisa jadi, jika hanya
berdasarkan sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ‘anil munkar)
akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang
menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan.
Banyak yang menganggap enteng dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah
itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke
permukaan. [3]
Istilah “iman” juga bisa disalahgunakan. Ketika
ditanya kenapa tidak berhijab, dengan bangganya seorang ukhti berkata
“Iman itu ada di dalam hati!” Hal ini tentunya membingungkan. Sebab jika
definisi iman adalah “Ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan,
diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegan
teguh kepada Sunnah Rasulullah saw.” [4], maka penggunaan hijab juga bagian
dari keimanan. Menurut Buya Hamka, “kesepaduan yang tidak terpisah di antara
kepercayaan dan penyerahan, di antara aqidah dan ibadah, di antara pengakuan
hati dan perbuatan, itulah agama yang benar. Itulah yang dinamakan agama
Islam.” [5] Jadi, iman dan amal saleh itu merupakan sebuah kesepaduan.
Ingatlah Firman Allah:
“Dan
mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan
Rasul (Muhammad), dan kami menaati (keduanya). Kemudian sebagian dari mereka
berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” [QS An-Nur
24:47].
Perkataan “Iman itu ada di dalam hati!” mungkin
baru masuk akal jika iman hanya dimaknai sebagai kepercayaan akan adanya zat
yang maha kuasa atas segala sesuatu (Tuhan), dan kepercayaan itu tidak harus
ditunjukkan dalam bentuk perbuatan (amal saleh). Akan tetapi, makna iman yang
seperti itu menjadi sangat berbeda dengan makna iman dalam ajaran Islam.
Yang terakhir dalam bahasan tulisan ini, istilah
“taqwa”. Dari semua contoh, mungkin ini yang paling membuat bingung. Tapi ini
bukan contoh rekaan, melainkan contoh asli. Simaklah pernyataan berikut:
“Islam
mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi
menjadi orang yang saleh atau taqwa, selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai
agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad saw,
serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya
dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk, dan peduli
pada lingkungannya. Seorang
lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.” [6]
Pemikiran semacam ini sangat asing dalam khazanah
keilmuan Islam. Selama ini, para ulama mengartikan taqwa sebagai tindakan
memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya (atau definisi lain yang sejenis, definisi ini
saya ambil dari catatan kaki terjemahan Al-Quran oleh Departemen Agama RI tahun
1996). Tiba-tiba saja, ada ‘loncatan berpikir’ yang mengatakan seorang lesbian
yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah. Kalau begini, definisi taqwa jadi
rancu. Batasan taqwa seseorang juga menjadi tidak jelas, sebab lesbian (yang
notabene merupakan dosa besar) pun dianggap bisa mencapai derajat taqwa.
Pada akhirnya, pemahaman yang salah tentang istilah “taqwa” ini
menghantarkan kita pada dekonstruksi (merusak) ajaran Islam itu sendiri.
Itulah contoh-contoh deislamisasi bahasa
sepanjang pengetahuan penulis. Bahkan, sebenarnya masih banyak lagi
istilah-istilah yang mengalami deislamisasi.
Keempat contoh di atas penulis anggap cukup untuk
menunjukkan adanya usaha untuk menjauhkan istilah-istilah Islam dari pemaknaan
sesungguhnya.
Penutup
Sebagai
seorang Muslim, kita harus berhati-hati agar jangan sampai terkena dampak dari
deislamisasi bahasa. Akibatnya tidak main-main, yaitu kerancuan (confusion)
akan konsep-konsep dasar dalam Islam.
Mari kita kembali mengaji kepada ulama-ulama
yang terpercaya. Mari buka kembali lembaran buku atau kitab agama Islam. Insya
Allah, dengan modal pemahaman yang benar, kita bukan hanya mampu membendung
arus deislamisasi bahasa ini, akan tetapi juga mampu menyebarkan pemahaman yang
benar tentang Islam. Billahit Taufiq
wal-Hidayah □
Daftar Pustaka
[1] http://pimpin.web.id/2011/06/03/deislamisasi-bahasa/#.WE6CVtV97IV,
diakses tanggal 12 Desember 2016 pukul 17.00.
diakses tanggal 12 Desember 2016 pukul 17.00.
[2] Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam:
Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing,
2010. hal xiii.
[3] Dr. Adian Husaini, Pendidikan Islam:
Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing,
2010. hal xv.
[4] Syaikh Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid,
Jakarta: Darul Haq, 2014. hal x.
[5] Prof. Dr. Hamka, Kesepaduan Iman dan Amal
Saleh, Jakarta: Gema Insani Press, 2016. Hal 2.
[6] Dr. Adian Husaini, Liberalisasi Islam di
Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik, dan Solusinya, Jakarta: Gema Insani Press,
2015. hal 137. □□
Sumber
jurisarrozy.wordpress.com □□□