M
|
asjid Raya
Baiturrahman, kata baiturrahman, terdiri dari dua kata ‘Baitu’ dan ‘Al-Rahmān’.
Artinya Rumah Ibadah dari Yang Maha Pengasih. Al-Rahmān, diucapkan Ar-Rahmān,
salah satu nama dari 99 nama Allah. Terletak di Banda Aceh, Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, dimana nama tersebut sebagai nama official dari Propinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Masjid Raya
Baiturrahman adalah salah satu bangunan di Aceh yang memiliki keindahan dan
keelokan arsitektur, lihat Gambar Masjid. Jika orang India bangga dengan Taj
Mahal, maka orang Aceh bangga dengan masjid ini. Sejarah dan masa depan
sepertinya sedang bercakap-cakap di masjid itu sekarang. Masjid dengan tiang
280, lihat Gambar Tiang-tiang Penyangga Langit-langit Masjid, ini adalah saksi
perjalanan sejarah Aceh. Masjid ini juga menjadi tempat berlindung dari sapuan gempa
tsunami.
Masjid dilihat melalui Pintu Gerbang lapangan masjid
Tiang-tiang penyangga Bangunan Langit-langit Atap Masjid
Yaitu
Gempa bumi dahsyad dengan kekuatan 9,5 Skala
Richter yang disusul dengan gelombang pasang tsunami terbesar sepanjang
sejarah Aceh, yang menewaskan ratusan ribu warga masyarakat sekitar Samudera
Hindia dan jumlah terbesar terdapat di Aceh. Gempa bumi yang berpusat dilepas
pantai ‘Serambi Mekkah’ telah menggerakkan gelombang laut yang sangat dahsyad
meluluh lantakkan berbagai kota di daerah paling ujung utara pulau Sumatera
tersebut, kecuali masjid salah satunya masjid Baiturrahman ini tetap tegak berdiri.
Masjid Raya
Baiturrahman merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Juga,
saksi bisu perjuangan rakyat Aceh. Menurut sejumlah literatur, masjid ini
dibangun pertama kali pada tahun 1292 M atau 691 H, oleh Sultan Alaidin Mahmud
Syah I, cucu Sultan Alaidin Johan Syah. Namun ada yang menyebut usianya jauh
lebih muda karena dibangun di zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat
pertempuran dengan Belanda, Belanda pernah membakar masjid ini pertama kali
pada 14 April 1873, tatkala serangan cepat dan besar-besaran mereka lakukan
terhadap pejuang Aceh. Karena tak bisa merebut, Belanda pun membakarnya. Dalam
pertempuran tersebut salah satu Jenderal Belanda yaitu Mayor Jenderal Kohler
tewas di tempat ini.
SEJARAH PENDIRIAN dan PENGEMBANGAN MASJID
Matahari
belum tepat di atas kepala ketika tembakan meluncur dari moncong meriam. Total
ada tiga belas letusan. Suaranya gaduh, memekakkan telinga 6.000 orang yang
menyaksikan peristiwa itu. Sebelumnya, Gubernur Jenderal Karel van der Heyden
baru saja mengakhiri pidatonya. Di hadapan para ulama, pejabat sipil, dan
militer, jenderal yang mata kirinya tertembak pejuang Aceh di Samalanga itu
menyampaikan harapannya sbb.
“Kami
berharap ini bisa menjadi suatu tanda perdamaian dan kemakmuran bagi masa depan
Aceh. Semoga Tuhan memberkati,” kata Heyden dalam bahasa Belanda.
Tembakan
meriam dan pidato Heyden menandai peletakan batu pertama pembangunan kembali
Masjid Raya Baiturrahman. Hari itu, 2 Desember 1881, Heyden menegaskan
komitmen pemerintah Kolonial Belanda menghormati agama orang Aceh.
Gamblangnya, dengan membangun masjid, Belanda ingin merebut hati orang Aceh.
Upacara
itu diakhiri dengan kenduri besar. Para pembesar Belanda dan tokoh Aceh, makan
siang bersama. Bagi Belanda, momen itu simbol terwujudnya perdamaian di tanah
rencong. Peristiwa itu diceritakan penulis Belanda J. Kreemer dalam bukunya De
Groote Moskee te Koeta Radja.
S
|
eratus
tiga puluh dua tahun kemudian, setelah Heyden berpidato, masjid itu masih
berdiri megah di pusat Kota Banda Aceh. Sore itu, pertengahan Oktober lalu,
banyak orang lalu lalang. Beberapa di antaranya memotret masjid dengan kamera
telepon genggam. Di pintu tengah masjid bagian depan, sejumlah pria sibuk
melaburi cat putih di dinding atas, menggantikan cat lama yang telah pudar. Masjid
itu kini menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Belum sah rasanya ke Banda Aceh
jika tidak berfoto di depan masjid.
Di
bawah sebatang pohon ketapang, ada prasasti yang ditulis dalam bahasa Inggris
dan Indonesia. Bunyinya, “Tanggal 14 April 1873, di tempat ini Mayor Jenderal
Kohler tewas dalam memimpin penyerangan terhadap Masjid Raya
Baiturrahman.” Dibuat pada 1988, prasasti itu diteken oleh Gubernur
Ibrahim Hasan.
Prasasti terbunuhnya Jendral Kohler ketika menyerang masjid
Masjid raya memang menyimpan sejuta kisah masa lampau. Dari perlawanan heroik terhadap kolonial Belanda, kemegahan arsitektur, hingga cerita penolakan dari masyarakat Aceh atas mesjid yang dibangun Belanda itu.
Ada
dua versi cerita tentang awal mula Masjid Raya: Satu di era Sultan Alaudin
Mahmud Syah I pada abad ke-13. Dan keduanya di masa kejayaan Sultan Iskandar
Muda pada abad ke-17 yang memerintah pada kurun waktu 1607-1636. Gambar awal
masjid raya era Sultan Iskandar Muda muncul dalam sketsa yang dibuat Peter
Mundy, seorang pengelana Eropa. Mundy yang mampir di Aceh pada 1637
menggambarkan masjid raya sebagai bangunan persegi yang terbuat dari kayu.
Atapnya bukan kubah, melainkan atap berlapis empat piramida berjenjang yang
makin ke atas kian mengerucut. Tak ada menara di sampingnya. Bangunan ini
dikelilingi pagar serupa benteng.
Gambar
karya Mundy ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan para sejarawan yang
melacak riwayat Masjid Raya Baiturrahman. Wujud masjid dalam sketsa Mundy ini
menyerupai Masjid Tuha di Indrapuri, Aceh Besar.
Di
awal pendiriannya masjid itu tak berumur panjang. Masa pemerintahan Ratu
Sultanah Nurul Alam (1675-1678) masjid terbakar. Lalu Perdana Menteri Habib
Abdur Rahman membangunnya kembali dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat.
Ketika Belanda menyerang Aceh, masjid itu dibakar karena menjadi benteng
pertahanan pejuang Aceh.
Ketika
Belanda membangunnya kembali pada abad ke-19, wajah masjid berubah total.
Bentuknya belum pernah ada di Aceh. Sulit sekali menemukan catatan awal bentuk
dan rupa masjid dalam bahasa Indonesia. Umumnya para sejarawan masa kini
merujuk pada catatan-catatan Belanda.
Pada
1882, penulis Belanda J. Staal menggambarkan wujud masjid raya dalam bukunya De
Indische Gids, dan De Missigit Raija in Atjeh. Deskripsi lain muncul
dalam buku Tijdschrift voor Nederlandsch Indie” karya K.F.H van Langen.
Pada 1920, muncul buku De Groote Moskee te Koeta-Radja karya J.Kreemer,
juga penulis Belanda.
Dari
sumber-sumber Belanda itulah diketahui sang arsitek bernama De Bruins. Ada yang
menyebut ia orang Prancis. Ada yang mengatakan ia dari Italia. Ada juga yang
mengatakan ia campuran Italia-Belanda. Seorang peneliti Belanda bernama
Wihelmina Remke Raap pernah mencoba mencari riwayat hidup dan karier De Bruins.
Perempuan itu butuh informasi tentang sang arsitek untuk menyelesaikan tesisnya
di University of Victoria, Kanada, tentang sejarah arsitektur Masjid Raya Baiturrahman.
Namun pencarian Wihelmina pada 1994 hanya menemukan sedikit informasi tentang
Bruins. Disebutkan, De Bruins bekerja sebagai arsitek di Burgelijke Openbare
Werken atau Departemen Pekerjaan Umum di Batavia, kini bernama Jakarta. Adapun
pengawas proyek adalah L.P. Luycks dari lembaga yang sama. Mereka bekerja di
bawah kontrol insinyur kepala bernama M.J. Schram. Bangunan lain yang dirancang
oleh arsitek bernama J.J.J De Bruin adalah gedung museum Bank Mandiri di
Jakarta. Namun belum ada kepastian apakah ini adalah orang yang sama dengan
yang mendesain Masjid Raya Baiturrahman.
Ketika
merancang desain masjid, Bruins berkonsultasi dengan seorang ulama asal Garut,
Jawa Barat. Sumber-sumber sejarah tak menyebut nama lengkap ulama itu. Namun,
Kamal Arief, arsitek Aceh yang mengajar di Universitas Parahyangan menduga
ulama itu adalah Penghulu Haji Hasan Moestafa Kamal. “Beliau ulama Garut yang
pernah bertugas di Koetaradja pada masa kolonial,” kata Kamal kepada The
ATJEH.
Bruins
merancang masjid itu dengan model yang sangat berbeda dengan masjid lama.
Alih-alih memakai atap piramida berlapis, Bruins malah memakai kubah yang
menggelembung di tengah dan runcing di atas seperti bawang. Puncaknya dihiasi
bola kecil dari logam dan runcing di pucuknya. Di pangkal kubah, ada teras
kecil dikelilingi pagar besi bermotif.
Kamal
pernah melacak pengetahuan orang tentang latar belakang masjid bersejarah itu.
“Sepertinya denah itu awalnya berbentuk salib,” begitu dugaan yang muncul dalam
penelitiannya. Benarkah demikian? Kamal menunjuk denah awal yang memanjang ke
belakang dengan dua sayap di sisi kiri dan kanan. Bagian tengah berukuran 12 x
12 meter. Sayap kiri dan kanan masing-masing panjangnya 10 meter, membentuk
ruang persegi panjang 12 x 10 meter persegi. Total luas lantai interior
berukuran 624 meter persegi. Jika ditarik garis, dapat juga disebut lebih mirip
simbol tambah dalam matematika.
Itulah
sebabnya, Kamal mencari tahu mengapa konsep seperti itu yang digunakan
membangun masjid. Untuk mencari jawaban ini, ia menelusuri riwayat arsiteknya,
siapa lagi kalau bukan De Bruisn. Jejaknya dilacak hingga ke arsip nasional
Belanda pada 2004. Namun informasi tentang sosok itu sangat minim. Secuil
catatan yang ditemukan Kamal, yaitu Bruins adalah seorang arsitek pada pasukan
militer Belanda. “Saya coba cari di Den Haag maupun KITLV Leiden, namun
tidak ada catatan lain. Mungkin pada saat itu Bruins belum mengenal bentuk
denah sebuah masjid,” kata Kamal.
Berdasarkan
referensi sejumlah penulis Belanda, di bagian atas gerbang pintu masuk
ditempatkan sebuah jam bundar yang diapit relief dua mawar berkelopak delapan.
Jika ditarik garis lurus, posisi jam dan relief mawar membentuk segitiga sama
sisi. Penggunaan jam ini sebagai penanda masuknya waktu salat.
Untuk
masuk ke masjid melewati lima lengkungan yang tinggi: tiga di teras depan, dua
lainnya pada setiap sisi pintu masuk. Gerbang dengan lengkungan di atas itu
ditopang pilar penyangga bulat yang bagian atasnya dihiasi ornamen. Di atas
lengkungan terdapat tulisan yang diukir dalam aksara Arab. Atap masjid di bawah
kubah memiliki delapan lubang angin berbentuk lingkaran, serupa lubang angin di
dinding kapal laut.
Lantainya
terbuat dari marmer putih. Di bagian atas, pada keempat sisi atap di bawah
kubah, ada tulisan ayat Al-Qur’an berwarna kuning keemasan dengan latar
hijau. Di sayap kiri kanan, masing-masing dilengkapi tiga jendela
yang dilapisi jeruji besi dan ornamen.
Di
bagian belakang, ruangan yang tertutup dinding mihrab digunakan sebagai ruang
sidang oleh kadi. Di ruang ini, ada sebuah tangga panjang yang menuju ke lantai
dua, tempat teras kecil di sekeliling kubah. Ada 15 jendela kecil di bagian
kubah. Mihrab berbentuk ceruk di dinding belakang yang mengarah ke kiblat
dihiasi lapisan keemasan. Mimbar tempat khutbah berupa sebuah kursi ukir yang
diletakkan di ceruk mihrab.
Di
waktu malam masjid itu diterangi lampu kandil yang dipasang dengan biaya 5.000
gulden. Di belakang masjid ada dua bangunan kecil yang juga diberi atap kubah.
Bangunan berbentuk persegi ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan perkakas
masjid.
Belanda
menghabiskan anggarannya
sekitar 200.000 gulden untuk membangun masjid ini suatu bilangan yang sangat
besar ketika itu. Kontraktornya adalah Lie A Sie. Dia satu-satunya orang yang
memasukkan penawaran ketika tender dibuka. Lie adalah orang China-Aceh.
Berpangkat Letnan, ia bekerja sebagai bagian dari tentara Belanda. Inilah
proyek Belanda berbiaya tinggi di Aceh. Hampir seluruh bahan bangunan
didatangkan dari luar Aceh. Demi memuluskan tujuan merebut hati orang Aceh,
pemerintah Belanda tetap memprioritaskan pembangunan masjid. □ AFM
Baca
juga Bangunan Kejayaan Islam di Spanyol 1