Tuesday, September 13, 2016

Amazing Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh 1





M

asjid Raya Baiturrahman, kata baiturrahman, terdiri dari dua kata ‘Baitu’ dan ‘Al-Rahmān’. Artinya Rumah Ibadah dari Yang Maha Pengasih. Al-Rahmān, diucapkan Ar-Rahmān, salah satu nama dari 99 nama Allah. Terletak di Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dimana nama tersebut sebagai nama official dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman adalah salah satu bangunan di Aceh yang memiliki keindahan dan keelokan arsitektur, lihat Gambar Masjid. Jika orang India bangga dengan Taj Mahal, maka orang Aceh bangga dengan masjid ini. Sejarah dan masa depan sepertinya sedang bercakap-cakap di masjid itu sekarang. Masjid dengan tiang 280, lihat Gambar Tiang-tiang Penyangga Langit-langit Masjid, ini adalah saksi perjalanan sejarah Aceh. Masjid ini juga menjadi tempat berlindung dari sapuan gempa tsunami.

Masjid dilihat melalui Pintu Gerbang lapangan masjid


Tiang-tiang penyangga Bangunan Langit-langit Atap Masjid


Yaitu Gempa bumi dahsyad dengan kekuatan 9,5 Skala Richter yang disusul dengan gelombang pasang tsunami terbesar sepanjang sejarah Aceh, yang menewaskan ratusan ribu warga masyarakat sekitar Samudera Hindia dan jumlah terbesar terdapat di Aceh. Gempa bumi yang berpusat dilepas pantai ‘Serambi Mekkah’ telah menggerakkan gelombang laut yang sangat dahsyad meluluh lantakkan berbagai kota di daerah paling ujung utara pulau Sumatera tersebut, kecuali masjid salah satunya masjid Baiturrahman ini tetap tegak berdiri.

Masjid Raya Baiturrahman merupakan saksi bisu perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Juga, saksi bisu perjuangan rakyat Aceh. Menurut sejumlah literatur, masjid ini dibangun pertama kali pada tahun 1292 M atau 691 H, oleh Sultan Alaidin Mahmud Syah I, cucu Sultan Alaidin Johan Syah. Namun ada yang menyebut usianya jauh lebih muda karena dibangun di zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat pertempuran dengan Belanda, Belanda pernah membakar masjid ini pertama kali pada 14 April 1873, tatkala serangan cepat dan besar-besaran mereka lakukan terhadap pejuang Aceh. Karena tak bisa merebut, Belanda pun membakarnya. Dalam pertempuran tersebut salah satu Jenderal Belanda yaitu Mayor Jenderal Kohler tewas di tempat ini.



SEJARAH PENDIRIAN dan PENGEMBANGAN MASJID


Matahari belum tepat di atas kepala ketika tembakan meluncur dari moncong meriam. Total ada tiga belas letusan. Suaranya gaduh, memekakkan telinga 6.000 orang yang menyaksikan peristiwa itu. Sebelumnya, Gubernur Jenderal Karel van der Heyden baru saja mengakhiri pidatonya. Di hadapan para ulama, pejabat sipil, dan militer, jenderal yang mata kirinya tertembak pejuang Aceh di Samalanga itu menyampaikan harapannya sbb.

“Kami berharap ini bisa menjadi suatu tanda perdamaian dan kemakmuran bagi masa depan Aceh. Semoga Tuhan memberkati,” kata Heyden dalam bahasa Belanda.

Tembakan meriam dan pidato Heyden menandai peletakan batu pertama pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman. Hari itu, 2 Desember 1881, Heyden menegaskan komitmen pemerintah Kolonial Belanda menghormati agama orang Aceh.  Gamblangnya, dengan membangun masjid, Belanda ingin merebut hati orang Aceh.

Upacara itu diakhiri dengan kenduri besar. Para pembesar Belanda dan tokoh Aceh, makan siang bersama. Bagi Belanda, momen itu simbol terwujudnya perdamaian di tanah rencong. Peristiwa itu diceritakan penulis Belanda J. Kreemer dalam bukunya De Groote Moskee te Koeta Radja.


S

eratus tiga puluh dua tahun kemudian, setelah Heyden berpidato, masjid itu masih berdiri megah di pusat Kota Banda Aceh. Sore itu, pertengahan Oktober lalu, banyak orang lalu lalang. Beberapa di antaranya memotret masjid dengan kamera telepon genggam. Di pintu tengah masjid bagian depan, sejumlah pria sibuk melaburi cat putih di dinding atas, menggantikan cat lama yang telah pudar. Masjid itu kini menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Belum sah rasanya ke Banda Aceh jika tidak berfoto di depan masjid.

Di bawah sebatang pohon ketapang, ada prasasti yang ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bunyinya, “Tanggal 14 April 1873, di tempat ini Mayor Jenderal Kohler tewas dalam memimpin penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman.”  Dibuat pada 1988, prasasti itu diteken oleh Gubernur Ibrahim Hasan.

Prasasti terbunuhnya Jendral Kohler ketika menyerang masjid



Masjid raya memang menyimpan sejuta kisah masa lampau. Dari perlawanan heroik terhadap kolonial Belanda, kemegahan arsitektur, hingga cerita penolakan dari masyarakat Aceh atas mesjid yang dibangun Belanda itu.

Ada dua versi cerita tentang awal mula Masjid Raya: Satu di era Sultan Alaudin Mahmud Syah I pada abad ke-13. Dan keduanya di masa kejayaan Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17 yang memerintah pada kurun waktu 1607-1636. Gambar awal masjid raya era Sultan Iskandar Muda muncul dalam sketsa yang dibuat Peter Mundy, seorang pengelana Eropa. Mundy yang mampir di Aceh pada 1637 menggambarkan masjid raya sebagai bangunan persegi yang terbuat dari kayu. Atapnya bukan kubah, melainkan atap berlapis empat piramida berjenjang yang makin ke atas kian mengerucut. Tak ada menara di sampingnya. Bangunan ini dikelilingi pagar serupa benteng.

Gambar karya Mundy ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan para sejarawan yang melacak riwayat Masjid Raya Baiturrahman. Wujud masjid dalam sketsa Mundy ini menyerupai Masjid Tuha di Indrapuri, Aceh Besar.

Di awal pendiriannya masjid itu tak berumur panjang. Masa pemerintahan Ratu Sultanah Nurul Alam (1675-1678) masjid terbakar. Lalu Perdana Menteri Habib Abdur Rahman membangunnya kembali dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Ketika Belanda menyerang Aceh, masjid itu dibakar karena menjadi benteng pertahanan pejuang Aceh.

Ketika Belanda membangunnya kembali pada abad ke-19, wajah masjid berubah total. Bentuknya belum pernah ada di Aceh. Sulit sekali menemukan catatan awal bentuk dan rupa masjid dalam bahasa Indonesia. Umumnya para sejarawan masa kini merujuk pada catatan-catatan Belanda.

Pada 1882, penulis Belanda J. Staal menggambarkan wujud masjid raya dalam bukunya De Indische Gids, dan De Missigit Raija in Atjeh. Deskripsi lain muncul dalam buku Tijdschrift voor Nederlandsch Indie” karya K.F.H van Langen. Pada 1920, muncul buku De Groote Moskee te Koeta-Radja karya J.Kreemer, juga penulis Belanda.

Dari sumber-sumber Belanda itulah diketahui sang arsitek bernama De Bruins. Ada yang menyebut ia orang Prancis. Ada yang mengatakan ia dari Italia. Ada juga yang mengatakan ia campuran Italia-Belanda. Seorang peneliti Belanda bernama Wihelmina Remke Raap pernah mencoba mencari riwayat hidup dan karier De Bruins. Perempuan itu butuh informasi tentang sang arsitek untuk menyelesaikan tesisnya di University of Victoria, Kanada, tentang sejarah arsitektur Masjid Raya Baiturrahman. Namun pencarian Wihelmina pada 1994 hanya menemukan sedikit informasi tentang Bruins. Disebutkan, De Bruins bekerja sebagai arsitek di Burgelijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum di Batavia, kini bernama Jakarta. Adapun pengawas proyek adalah L.P. Luycks dari lembaga yang sama. Mereka bekerja di bawah kontrol insinyur kepala bernama M.J. Schram. Bangunan lain yang dirancang oleh arsitek bernama J.J.J De Bruin adalah gedung museum Bank Mandiri di Jakarta. Namun belum ada kepastian apakah ini adalah orang yang sama dengan yang mendesain Masjid Raya Baiturrahman.



Ketika merancang desain masjid, Bruins berkonsultasi dengan seorang ulama asal Garut, Jawa Barat. Sumber-sumber sejarah tak menyebut nama lengkap ulama itu. Namun, Kamal Arief, arsitek Aceh yang mengajar di Universitas Parahyangan menduga ulama itu adalah Penghulu Haji Hasan Moestafa Kamal. “Beliau ulama Garut yang pernah bertugas di Koetaradja pada masa kolonial,” kata Kamal kepada The ATJEH.

Bruins merancang masjid itu dengan model yang sangat berbeda dengan masjid lama. Alih-alih memakai atap piramida berlapis, Bruins malah memakai kubah yang menggelembung di tengah dan runcing di atas seperti bawang. Puncaknya dihiasi bola kecil dari logam dan runcing di pucuknya. Di pangkal kubah, ada teras kecil dikelilingi pagar besi bermotif.

Kamal pernah melacak pengetahuan orang tentang latar belakang masjid bersejarah itu. “Sepertinya denah itu awalnya berbentuk salib,” begitu dugaan yang muncul dalam penelitiannya. Benarkah demikian? Kamal menunjuk denah awal yang memanjang ke belakang dengan dua sayap di sisi kiri dan kanan. Bagian tengah berukuran 12 x 12 meter. Sayap kiri dan kanan masing-masing panjangnya 10 meter, membentuk ruang persegi panjang 12 x 10 meter persegi. Total luas lantai interior berukuran 624 meter persegi. Jika ditarik garis, dapat juga disebut lebih mirip simbol tambah dalam matematika.

Itulah sebabnya, Kamal mencari tahu mengapa konsep seperti itu yang digunakan membangun masjid. Untuk mencari jawaban ini, ia menelusuri riwayat arsiteknya, siapa lagi kalau bukan De Bruisn. Jejaknya dilacak hingga ke arsip nasional Belanda pada 2004. Namun informasi tentang sosok itu sangat minim. Secuil catatan yang ditemukan Kamal, yaitu Bruins adalah seorang arsitek pada pasukan militer Belanda.  “Saya coba cari di Den Haag maupun KITLV Leiden, namun tidak ada catatan lain. Mungkin pada saat itu Bruins belum mengenal bentuk denah sebuah masjid,” kata Kamal.

Berdasarkan referensi sejumlah penulis Belanda, di bagian atas gerbang pintu masuk ditempatkan sebuah jam bundar yang diapit relief dua mawar berkelopak delapan. Jika ditarik garis lurus, posisi jam dan relief mawar membentuk segitiga sama sisi. Penggunaan jam ini sebagai penanda masuknya waktu salat.

Untuk masuk ke masjid melewati lima lengkungan yang tinggi: tiga di teras depan, dua lainnya pada setiap sisi pintu masuk. Gerbang dengan lengkungan di atas itu ditopang pilar penyangga bulat yang bagian atasnya dihiasi ornamen. Di atas lengkungan terdapat tulisan yang diukir dalam aksara Arab. Atap masjid di bawah kubah memiliki delapan lubang angin berbentuk lingkaran, serupa lubang angin di dinding kapal laut.

Lantainya terbuat dari marmer putih. Di bagian atas, pada keempat sisi atap di bawah kubah, ada tulisan ayat Al-Qur’an berwarna kuning keemasan dengan latar hijau.  Di sayap kiri kanan, masing-masing dilengkapi tiga jendela yang dilapisi jeruji besi dan ornamen.

Di bagian belakang, ruangan yang tertutup dinding mihrab digunakan sebagai ruang sidang oleh kadi. Di ruang ini, ada sebuah tangga panjang yang menuju ke lantai dua, tempat teras kecil di sekeliling kubah. Ada 15 jendela kecil di bagian kubah. Mihrab berbentuk ceruk di dinding belakang yang mengarah ke kiblat dihiasi lapisan keemasan. Mimbar tempat khutbah berupa sebuah kursi ukir yang diletakkan di ceruk mihrab.

Di waktu malam masjid itu diterangi lampu kandil yang dipasang dengan biaya 5.000 gulden. Di belakang masjid ada dua bangunan kecil yang juga diberi atap kubah. Bangunan berbentuk persegi ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan perkakas masjid.

Belanda menghabiskan anggarannya sekitar 200.000 gulden untuk membangun masjid ini suatu bilangan yang sangat besar ketika itu. Kontraktornya adalah Lie A Sie. Dia satu-satunya orang yang memasukkan penawaran ketika tender dibuka. Lie adalah orang China-Aceh. Berpangkat Letnan, ia bekerja sebagai bagian dari tentara Belanda. Inilah proyek Belanda berbiaya tinggi di Aceh. Hampir seluruh bahan bangunan didatangkan dari luar Aceh. Demi memuluskan tujuan merebut hati orang Aceh, pemerintah Belanda tetap memprioritaskan pembangunan masjid. AFM