"Mencoba
membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh".
KATA PENGANTAR
A
|
pakah Makna “Radikal” Selalu
Berkonotasi Negatif? Kata “radikal” dalam tinjauan historis Eropah yang
sedang menggeliat hendak maju, adalah peralihan dari sistim raja absolut yang
stagnan ke demokratis yang mereka yakini akan membuat progres.
“Radikal”, dari kata Latin “radix” yang berarti akar. Selama akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
mengidentifikasi pendukung reformasi yang kemudian menjadi Gerakan Radikal
parlementer.
Selama abad ke-19 di
Kerajaan Inggris, benua Eropa dan Amerika Latin, istilah “radikal”
datang untuk menunjukkan ideologi progresif.
Secara historis, “radikalisme” muncul pada tahun 1830-an di Britania Raya,
seperti Gerakan Chartis, dan Belgia dengan adanya Revolusi 1830.
Karena kesejarahan Eropa dengan adanya tindakan
“radikal” dari kesadaran para pemikir dan rakyat Eropa (Barat) menjadi maju dan
berjaya hingga kini.
Tulisan berikut ini bahannya diambil dari kompasiana
yang ditulis oleh Ujang Ti Bagus yang tajuknya saya beri nama RADIKAL GELIAT
INDONESIA MAJU. Selamat menyimak. □ AFM
RADIKAL - GELIAT INDONESIA MAJU
M
|
alang amat nasib kata “radikal” dan “radikalisme”,
seolah selalu diperuntukkan hanya sebagai kata atau istilah yang selalu
bermakna negatif. Kata itu telah dijadikan simbol serta bahan hujatan. Menjadi
kambing hitam dan sederet stigma negatif lainnya. Padahal yang salah sebenarnya
bukanlah “radikal-radikalisme” dengan segala makna serta definisi pengertiannya.
Tetapi ‘sesuatu’ di balik sikap-prinsip “radikal" itu yang persisnya tidak
dipahaminya. Tentu saja, sesuatu yang dapat didefinisikan sebagai hal yang bukan
positif - bagi yang tidak menyukainya.
Bila mendengar kata “radikal” diucapkan di media,
pikiran masyarakat seolah terarah pada suatu yang negatif dan harus dihindari,
mengapa? Mungkin pikiran sebagian masyarakat sudah terdoktrin oleh pihak yang
bertujuan memparalelkan kalimat “radikal-radikalisme” hanya dengan hal hal yang
negatif.
Pihak yang bertujuan mempopulerkan istilah
radikalisme hanya dengan hal-hal yang bersifat negatif itu pula yang seolah
punya ‘kata pengganti’ untuk menggusur makna “radikal-radikalisme” dari kamus -
ranah kata-kata yang merujuk pada kebaikan dan kebajikan. Mereka menciptakan
istilah “moderat” sebagai penggantinya.
Sebab itu coba kalau kita mendengar kalimat “moderat”
diucapkan, maka pikiran masyarakat seolah terdoktrin ke arah prinsip yang
seolah selalu “baik-benar dan bijak”. Bahkan tanpa masyarakat mengetahui secara
jelas apa-bagaimana itu sikap yang “baik-benar dan bijak” itu. Kalau kata itu
diucapkan maka sim salabim,
fikiran masyarakat seolah langsung tertuju pada suatu yang ‘baik-benar-bijak’.
Itulah salah satu kekuatan dari ‘sihir kata’ terhadap alam fikiran manusia
RADIKAL DALAM KAMUS BAHASA
K
|
amus bersifat netral karena, belum dimasuki “opini-sudut pandang manusiawi”. Agar bahasan kita dimulai dari ‘netralitas’, maka
terlebih dahulu mari kita kembali ke mencari makna-definisi- pengertian kalimat “radikal”
dalam seluruh kamus yang ada di seluruh dunia yang dimiliki oleh berbagai
bangsa di dunia dengan bahasa yang berbeda-beda. Saya pikir walau makna
dasarnya diucapkan dengan bahasa yang berbeda-beda tetapi pengertian dasarnya
akan tetap sama. Dalam KBBI istilah radikal dikaitkan dengan: (1). [adjective] Secara
mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; (2). [politik dan
pemerintahan] amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3).
Maju dalam berpikir atau bertindak.
Jadi makna “radikal” dalam kamus itu tak
langsung menunjuk pada suatu nilai tertentu atau suatu pandangan yang bersifat
positif atau negatif. Makna dasar dari kata-kata dalam kamus itu netral - belum
dimasuki atau dibingkai oleh opini serta pandangan-pandangan manusiawi. Nah
makna radikal itu menjadi berkonotasi ‘negatif’ itu, setelah dibingkai oleh
opini serta kacamata sudut pandang tertentu.
Agar
makna dari kata “radikal” itu kembali ke dasarnya yang bersifat netral, maka
sebelumnya mari kita pahami bahwa sifat-watak-tindakan-perbuatan hingga ke
prinsip serta filosofi radikal itu bisa benar dan bisa pula salah. Bisa baik
bisa pula tidak baik. Bergantung pada ‘sesuatu’ yang ada di belakangnya atau
yang melatar belakanginya. Sesuatu itu bisa niat-prinsip-tujuan maupun konsep.
Jadi bila suatu sikap-tindakan-perbuatan
dilakukan dan dianggap “radikal”, maka janganlah sifat radikal atau
radikalisme-nya itu yang disalahkan, tetapi salahkan prinsip atau tujuan atau
konsep yang melatarbelakanginya. Karena “radikal-radikalisme” sebagai sikap
maupun cara atau spirit itu tak berkonotasi langsung atau tak paralel dengan
ketidakbenaran atau ketidakbaikan.
Contoh, bila buruh dianggap bersikap “radikal”
dalam menyampaikan tuntutannya, maka jangan menyalahkan sikap radikalnya. Karena
tanpa sikap atau spirit radikal, maka bagaimana mereka bisa memiliki semangat
yang menggebu dalam mengungkap tuntutannya. Tetapi salahkan poin-poin tertentu
dari tuntutannya bila ada yang dianggap salah.
Demikian pula bila sopir angkot atau pegawai
negeri mogok, maka analisis poin yang dianggap benar serta salah nya. Jangan
pernah secara langsung menyalahkan kaum buruh, sopir angkot, pegawai negeri, nelayan,
buruh tani dlsb. yang langsung melabelkan stigma “radikal-radikalis-radikalisme”
pada mereka. Karena menurut kamus, makna “radikal” itu tak langsung berkonotasi
atau paralel dengan hal-hal yang salah dan buruk.
Jangan
lalu sebagai penggantinya mereka semua disuruh bersikap “moderat”. Misal, bila
makna dari kalimat itu saja tidak mereka pahami maksud tujuannya, atau bila
penggunaan istilah “moderat” itu ditujukan untuk “membunuh” sikap atau spirit
radikalnya sehingga-atau agar pihak tertentu menjadi lemah lembut - jinak,
adem ayem dalam mengungkap tuntutan atau keinginannya.
Jangan pernah menyatakan: “kaum buruh, sopir
angkot, nelayan dlsb. yang berdemo atau yang menyatakan tuntutannya itu salah
karena bersikap radikal”.
Dengan kata lain
sifat-watak-tabiat-spirit-semangat radikal itu perlu - tak harus dipadamkan
atau ditakuti atau secara langsung distigmakan secara negatif. Tetapi yang
harus dianalisis serta dinilai benar-salah, baik-buruk nya, adalah
ide-gagasan-konsep-prinsip-niat-keyakinan dlsb. dibalik spirit radikal itu.
Secara
netral dan adil, demikian pula sikap serta penilaian terhadap ormas keagamaan. Jangan
mereka secara langsung disalahkan atau langsung distigmakan secara negatif
hanya karena memperlihatkan sikap atau spirit radikal, lalu menghadapkannya
dengan sikap ‘moderat’ dalam bingkai benar-salah, baik-buruk. Yang harus
dianalisis adalah substansi-intisari-landasan dari apa yang menjadi tuntutan
mereka, lalu dinilai benar-salah, baik-buruk nya atau dibuat pemilahan antara
benar-salah, baik-buruk nya. Jangan semua lantas dianggap salah-buruk hanya
karena dinyatakan dengan spirit radikalisme.
RADIKAL DALAM CONTOH
B
|
erbagai contoh yang ‘adil dan netral’. Selain
mengacu pada kamus sebagai landasan tempat manusia mencari makna dasar tiap
kata-kalimat maka mari kita ungkap contoh-contoh dari
sikap-tindakan-perbuatan-konsep-spirit-mental “radikal” yang melandasi berbagai
tindakan manusia dari berbagai golongan yang terkait dengan istilah ‘radikal’
menurut kamus KBBI.
□ Keluarga pasien cenderung ingin mengobati
saudara mereka yang kakinya terkena kanker dengan cara ‘halus’, misal dengan
ramuan tradisional. Karena menolak radioterapi, kemoterapi, dan amputasi kalau berobat
di rumahsakit. Malah tim dokter memilih bersikap “radikal” dengan meminta
keluarga pasien mengijinkan team dokter melakukan amputasi, karena bila tidak
diamputasi itu lebih membahayakan bagi organ tubuh yang lain.
□ Karena kecenderungan penyalahgunaan narkotika
di masyarakat cenderung meningkat, maka BNN beserta instrumen kenegaraan yang
lain berkoordinasi untuk melakukan tindakan “radikal” terhadap pengguna serta
pengedar narkotika.
□ Ketika cara cara diplomatis sudah dilakukan
dan tidak membuahkan hasil, malahan penjajah Belanda menunjukkan gelagat ingin
kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia. Maka para pemimpin serta pejuang
kemerdekaan memilih bersikap “radikal” terhadap penjajah hingga meletus
pertempuran diberbagai tempat. Tetapi sekarang kita tahu bahwa sikap-spirit
serta mental radikal dari para pejuang masa lalu itu telah membuahkan hasil
yang manis yang kini kita nikmati. Yaitu merdeka dari penjajahan yang
menyengsarakan.
Dan banyak lagi contoh sikap-tindakan serta
perbuatan “radikal” yang dapat dinilai baik dan benar, karena hasil yang
diperoleh adalah suatu yang baik. Dari contoh-contoh itu, ternetralisirlah
penggunaan istilah “radikal-radikalisme” yang cenderung diarahkan atau mengarah
hanya pada hal yang dianggap negatif.
Jadi
sikap-tindakan “radikal” itu terkadang diperlukan pada situasi-keadaan yang
memang sudah pada waktunya harus bersikap demikian, dan akan dianggap keliru
kalau pada saat harus bersikap “radikal”, malah bersikap sebaliknya alias ‘anti
klimaks’, misal karena takut distigmakan secara negatif.
Itulah, kaum buruh, sopir, nelayan, petani,
dokter, birokrat hingga agamawan dan berbagai profesi lain di masyarakat tentu
memiliki parameter benar-salah, baik-buruk tersendiri, dan tahu kapan harus
bersikap lemah lembut - tidak radikal, serta kapan harus bersikap “radikal”
yang menurut kamus maknanya berkaitan dengan “kembali pada atau berpegang pada
hal yang prinsipil - mendasar.”
Jangan sampai ada yang di stel harus “tidak
radikal” sementara situasi dan keadaan justru menuntut tindakan yang lebih “radikal”,
semisal dokter harus mengamputasi atau petugas BNN yang dituntut harus bersikap
lebih keras atau polisi terhadap para penjahat yang makin berani, atau agamawan
terhadap kemaksiatan di masyarakat di daerah tertentu yang sudah massif, misalnya.
Jadi
jangan sampai istilah “radikal-radikalisme” ini seolah dibuat hanya untuk
kepentingan stigmatis terhadap kelompok atau sikap atau ideologi tertentu. Jangan
sampai masyarakat trauma atau phobia terhadap
makna kata tersebut hingga takut mengungkap apa yang mereka yakini sebagai
kebaikan dan kebenaran yang justru mungkin bermanfaat bagi umat manusia di
dunia hingga akhirat.
Yang penting adalah menjaga agar sikap radikal
itu dilandasi oleh niat baik dan benar serta berakibat baik bagi masyarakat
serta umat manusia pada umumnya - tidak mengakibatkan hal-hal yang tidak baik
dan tidak benar.
Intinya,
bila ditanya tentang sikap “radikal-radikalisme” maka tak perlu langsung ingat
pada stigma tertentu, dan tak perlu terdoktrin lalu memperhadapkannya dengan
sikap “moderat” misal yang orang awam terkadang bingung makna pengertian
hakikinya.
Tetapi ingatlah bahwa ada radikal yang baik dan
benar semisal sikap pejuang kemerdekaan terhadap para penjajah atau sikap
agamawan-kaum bermoral terhadap kemaksiatan yang merusak akhlak.
Dan ada tindakan radikal yang tidak baik dan
tidak benar, seperti tindakan bom bunuh diri yang mengakibatkan banyaknya jatuh
korban fihak yang tidak bersalah.
Satu
hal lagi yang ingin saya ingatkan, bahwa makna dasar dari kata “radikal” dalam
kamus adalah: “kembali ke dasar”. Tapi kini, seolah telah terjadi pergeseran
nilai sehingga makna “radikal” yang harus difahami publik itu selalu harus ‘keras’
dan makna keras itu harus difahami sebagai ‘salah’. Disini sepertinya telah
terjadi semacam indoktrinasi ke alam fikiran publik dan itu dilakukan lebih
untuk kepentingan ideologis sehingga makna “radikal” pun menjadi lebih berbau
ideologis - tidak lagi filosofis.
Padahal kalau kata “radikal” itu lebih dimaknai
sesuai pengertian dasarnya yaitu “radix” yang artinya “akar” maka radikal
berarti “kembali ke akar”, dan lalu kita boleh bertanya: Kalau suatu kelompok
berkeinginan kembali ke akar yang menjadi dasar dari keyakinan mereka maka apakah
itu suatu yang salah?
Contoh, bila kelompok beragama ingin kembali ke
akar yang menjadi dasar dari keyakinan mereka dan menolak faham-faham yang
dianggap merusak keyakinan dasar mereka maka, apakah itu suatu yang salah?
Atau, apakah kaum beragama lantas disalahkan
dengan menggunakan bingkai “radikalisme” padahal mereka hanya ingin kembali ke
akar yang menjadi dasar keyakinan mereka?
Contoh, adanya faham-faham yang bagi kaum muslim
dinilai dapat merusak tauhid semacam berkembangnya prinsip “pluralism” yang
beranggapan semua agama sebagai ‘benar’ secara konseptual, sedang bagi kaum
muslim akar dari konsep tauhid yang benar adalah percaya hanya pada (kebenaran)
Tuhan yang hanya satu. Maka lalu kaum muslim memproklamirkan penolakan terhadap
prinsip demikian. Dan itulah contoh “radikalisme” yang bermakna ‘kembali ke
akar yang benar’ dan itu tak lalu harus dimaknai sebagai ‘keras’ yang kemudian
selalu diasosiasikan sebagai salah secara ideologis.
Walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada
radikalisme yang memang dapat kita maknai secara negatif semisal radikalisme
yang berkaitan dengan terorisme bom bunuh diri, misalnya. Tetapi itu tak lantas
menjadi alasan untuk menggenelarisir tiap segala suatu yang dianggap ‘keras’
sebagai selalu bermakna negatif utamanya yang terkait issue atau masalah
keagamaan.
PENUTUP
D
|
emikianlah uraian tajuk diatas sebagai pelajaran
kita bersama, bagaimana cara memandang, menyikapi, bersimpati atau tidak
bersimpati, suka atau tidak suka, benar atau tidak benar - sebagai anak bangsa yang sedang tumbuh, berkembang, besar, kuat, maju dan jaya.
Yang jelas karena ke-radikal-an Eropa lah yang
membuat Barat dan Dunia maju, sebagaimana diulas dalam Kata Pengantar diatas.
Semoga hati kita bisa tercerahkan dari tulisan ini. Ever Onward, Never Retreat.
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
www.kompasiana.com [Apakah makna radikal selalu berkonotasi
negatif?]
en.wikipedia.org [Radicalism-historical] □□