Tuesday, February 19, 2019

Memahami Qalbu dan Potensinya 2





MEMAHAMI QALBU & POTENSINYA
BAGI KESELAMATAN-KESEJAHTERAAN HIDUP MANUSIA
DI DUNIA DAN DI AKHIRAT   (2)
Oleh: A. Faisal Marzuki



DAFTAR ISI:
BAGIAN 2
   NAFS
   ‘AQL atau AKAL
      Akal Otak (Akal Bawah)
      Akal Atas (Akal Dalam, Akal Qalbu/Lubb
   PERILAKU  MANUSIA
EMPAT LEVEL QALBU
   SHADR (SHUDUUR)
   QALB (QALBU)
   FU’AD (AF'IDAH)
   AL-LUBB (ALBAB)
PENUTUP


NAFS

Nafs atau jiwa atau soul, adalah sebuah entitas lain dari diri manusia, dimana dia berasal dari alam malakut yang terbuat dari elemen cahaya, akan tetapi bukanlah seperti cahaya yang terbayangkan oleh kita ketika melihat cahaya lampu, elemen cahaya ini sangat khas dan tak terinderai oleh mata lahiriyah kita, sebagaimana Allah telah menciptakan malaikat dari elemen yang sama. Jiwa juga memiliki indera sebagaimana yang dimiliki oleh indera jasad tetapi dalam dimensi yang berbeda karena perbedaan elemen pembentuknya.

Misalkan dalam jasad ada mata untuk melihat setiap benda yang dapat di inderai yang memiliki wujud dengan ruang dan waktu, maka dalam jiwa atau nafs terdapat mata jiwa atau istilah umum yang digunakan adalah mata batin, yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan al-bashirah [1], juga memiliki fungsi untuk melihat, namun yang dilihatnya adalah apa yang tak tampak dalam penglihatan jasad, karena itu dia dapat memiliki kemampuan melihat jauh di atas kemampuan jasad, seperti alam malakut semisal malaikat dan jiwa-jiwa lainnya. Bahkan sering kita mendengar seorang yang karena keshalihannya sehingga Allah SWT anugerahkan sebuah keterbukaan pada bashirah-nya hingga dia bisa membaca apa yang ada dalam hati orang lain.

Jasad memiliki telinga untuk mendengar demikian pula dalam indera jiwa ada telinga batin yang juga berfungsi untuk mendengar, tapi mendengar hal-hal yang jauh lebih batin lagi.

Demikian pula dengan indera jasad lainnya, maka jiwa pun memiliki indera yang semisal. Jadi yang membedakan keduanya hanyalah materi yang membentuknya. Jasad tersusun dari materi bumi -tanah, air, dan udara yang semuanya berasal dari alam mulk atau alam kasat mata - alam syahadah, sedangkan jiwa dibuat dari materi cahaya, yang semisal dengan materi malaikat karena keduanya berasal dari alam malakut. Al-Ghazali menyebut istilah nafs ini dengan sebutan “sesuatu yang abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki”.

Selanjutnya beliau melanjutkan bahwa nafs ini dilukiskan dengan berbagai macam sifat sesuai dengan bebagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tenteram dalam menerima ketentuan Allah dan lainnya, dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan ambisi-keinginan, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram), seperti dalam firman Allah yang artinya:

“Wahai nafs muthmainnah (jiwa yang tenang)! Kembalilah kepada Rabb-mu dalam keadaan ridha dan diridhai. (QS Al-Fajr 89:27-28)

Sedangkan apabila nafs ini selalu gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut dengan nafs lawwāmah (jiwa yang senantiasa menyesali dirinya dan mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“...dan Aku (Allah) bersumpah dengan nafs lawwāmah (jiwa yang selalu mengecam)”. (QS Al-Qiyamāh 75:2)

Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan syeitan, maka ia disebut nafs ammārah bis-sū’i (nafs yang cenderung menyuruh pada kejahatan).


’AQL atau AKAL

Akal berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat, cara memahami lingkungan. Lalu kemudian kata akal itu digunakan untuk menyebut daya ruhaniah manusia yang difungsikannya sebagai alat mendapatkan atau “menimba ilmu dan mempertimbangkan sesuatu yang akan diperbuatnya”. Al-Qur’an tidak menggunakan kata itu dalam bentuk “kata benda” melainkan dalam bentuk kata kerja sebanyak 50 kali, yang maknanya mengacu kepada upaya fungsionalisasi qalb atau qalbu dalam menerima atau menangkap sesuatu dengan menggunakan pertimbangan dan pemikiran yang jernih.

Dalam hadits banyak dibicarakan tentang akal, antara lain, yang artinya:

“Allah tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal” (HR at-Turmudzi)

“Apabila manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai kebaikan, maka dekatkanlah dirimu dengan akal mu.” (HR Abu Nu’aim)

Dalam hadits lain diceritakan bahwa Umar, Ubai ibn Ka’ab dan Abu Hurairah RA bertanya kepada Nabi SAW tentang orang yang paling berpengetahuan, yang paling berkualitas dalam pengabdiannya, dan paling utama. Semua dijawab oleh Nabi SAW dengan: “Orang yang berakal” (HR Ibnu Mihbar).

Akal dengan demikian bisa kita katakan sebagai alat untuk berpikir, mencerna sesuatu, mencerap pengetahuan adalah sesuatu yang telah Allah anugerahkan bagi manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya.

Dalam terminologi Islam yang dimaksud dengan akal terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1). Akal Otak disebut juga Akal Bawah; 2). Akal Atas disebut juga Akal Dalam atau Akal Qalb/Lubb yang keterangannya sebagai berikut:

1. Akal Otak (Akal Bawah)

Akal yang datang dari otak yang ada dikepala manusia. Akal jenis ini merupakan perpaduan dari rasio, logika, dan memori. Memori adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menyimpan informasi-informasi. Informasi-informasi inilah yang disebut pengetahuan atau ilmu. Baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.

Rasio adalah bagian dari otak yang berfungsi menangkap hasil indera dari panca indera. Penangkapan rasio adakalanya tidak diolah lebih jauh dengan logika, namun langsung disimpan kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu. Maka dalam tahapan ini seseorang dikatakan "mengetahui".

Sedangkan Logika adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menganalisa dan mensintesa sumber-sumber informasi yang didapatkan dari rasio dan dibandingkannya dengan informasi sebelumnya yang tersimpan di memori. Hasil dari pengolahan logika ini kemudian diisimpan kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu. Dalam tahapan ini seorang dikatakan "mengerti" atau "memahami". “Rasa Akal Yang Dalam” dari pengertian dan pemahaman, merembas kedalam qalb - bahasa Indonesianya qalbu. Pemahaman terhadap ilmu pengetahuan, akan merembas ke dalam qalbu menjadi "intuisi". Pemahaman ilmu yang baik dan benar akan memandu aktivitasnya menjadi amal shalih. Sedangkan ilmu pengetahuan yang salah hanya akan menjadi waham [2] - ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi dan atau informasi secara akurat - yang menghijab dirinya dengan tuhannya.


2. Akal Atas (Akal Dalam, Akal Qalbu/Lubb)

Akal jenis ini disebut lubb. Terletak di dalam “inti qalb” - “inti kalbu” yang telah termurnikan dari segala keburukan dan dosa,  sebagaimana fungsi akal bawah atau akal pikiran yang terletak pada aspek jasad manusia (otak di kepala manusia), yang berfungsi untuk mengenali dan memahami urusan dunia, urusan yang tampak secara empirik, urusan yang sifatnya material.

Sedangkan lubb atau akal atas memiliki fungsi yang lebih luhur lagi, karena dia terletak di dalam inti qalb atau nurani manusia, maka dia memiliki kesanggupan untuk bisa mengenal sekian aspek yang tidak kasat mata, aspek ketuhanan, aspek hakikat agama, aspek yang non empirik dan aspek agama lainnya.

Seorang manusia yang hatinya masih didominasi oleh hawa nafsu dan syahwat, maka dia akan sangat kesulitan untuk dapat menggunakan aspek lubb-nya, karena sang hawa nafsu dan syahwat-nya cenderung merebut kendali diri - berfikir hanya untuk kepentingan yang bersifat dunia semata.

Sementara seorang yang diberi rahmat oleh Allah sehingga “jiwa muthmainnah”-nya sehat kembali dan mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya, maka hadirlah dalam lubb-nya ini al-haq. Orang seperti inilah yang dalam Al-Qur’an disebut “ulil albab”.

Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan al-‘ulamā, orang-orang yang berilmu, dalam Al-Qur’an atau hadits-hadits Rasulullah SAW adalah orang-orang telah hadir al-haq dalam lubb-nya.
  • Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (al-‘ulamā). (QS Fāthir 35:28)
  • Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali al-‘alimun (yang berilmupengetahuan). (QS Al-‘Ankabūt 29:43)
  • Sebenarnya, (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (shudūr) [3] orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS Al-‘Ankabūt 29:49)
  • Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, (QS Al-Mujādalah 58:11)
  • Al-‘ulamā itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi. Isi langit dan isi bumi meminta ampun untuk al-‘alīm (yang berilmupengetahuan). (HR Abu Dawud, Ath-Turmudzi dari Abi Darda)
  • Kelebihan al-‘alīm dari seorang abid (hamba Allah), seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari shahabatku. (HR Tirmidzi dari Abi Amamah)

Tentunya al-‘ulamā dan al-‘alīm ini mereka yang telah mempelajari banyak ilmu agama baik bersumber dari ayat-ayat Qauliyyah (Al-Qur’an) maupun ayat-ayat Kauniyyah (terdapat di semesta alam dan lingkungan hidup), memahami dan menemukan buah agama, dalam bentuk tindakan amal shalih lahir dan batinnya.


PERILAKU MANUSIA

Perilaku manusia adalah merupakan keputusan yang diambil untuk merespon segala sesuatu yang diinderanya. Keputusan ini terjadi setelah terjadi hubungan komunikasi antara akal otak (akal) dan akal qalbu (lubb). Hubungan komunikasi ini terjadi apabila lubb-nya memang sudah bekerja atau berfungsi. Berfungsinya karena adanya kejernihan qalbu - dari hawa nafsu maksiat. Tapi bila lubb (akal qalbu) tidak berfungsi karena ternoda dari maksiat dan dosa-dosa, maka yang bekerja secara leluasa adalah akal pikiran luarnya saja (akal otak) yang bersumber dunia empiriknya, baik-buruk hanya ditimbang apa yang tampak lahiriyah saja - dibalik itu tidak tahu apa akibat baik-buruknya, salah-benarnya, halal-haramnya, bermanfaat-tidakbermanfatnya, membangun-merusaknya.

Namun, apabila dalam lubb seorang telah tumbuh al-haq (kebenaran), maka keputusan tindakannya adalah kesepakatan antara akal otak dan al-haq-nya. Sementara al-haq adalah media petunjuk, hidayah, dan penganugerahan ilmu Allah. Dengan demikian seorang yang telah tumbuh al-haq (kebenaran) dalam dirinya, akan dibimbing Allah untuk mengambil sebuah langkah keputusan yang mengandung kebenaran yang menghasilkan kebaikan.
  • Al-haq (kebenaran) itu adalah dari Rabb-mu (Tuhan-mu), maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu. (QS Al-Baqarah 2:147)
  • (Allah berfirman), “Maka yang benar (al-haq), dan hanya kebenaran (al-haq) itulah yang Aku katakan”. (QS Shād  38:84)

Allah menganugerahkan akal dalam atau lubb atau akal jiwa, sebagai mata yang ada dalam jiwa yang itu digunakan untuk memahami urusan dibalik dunia ini (beyond the world). Yaitu urusan agama (ad-dīn) atau sesuatu yang menyangkut makna hidup, pengenalan diri, pengenalan Allah. Ini hanya bisa dicerna dengan dua mata dalam jiwa itu sendiri. Indah sekali ungkapan Rasulullah SAW menjelaskan tentang hal ini:

“Tak seorang pun manusia, kecuali memiliki empat mata; dua di kepalanya yang dengannya ia melihat ihwal dunianya, dan dua di qalbu-nya, yang dengannya ia melihat ihwal agamanya” (HR Abu Mansur Ad-Dailami)

Dalam penjelasan lebih jauh lagi, Imam Al-Ghazali menguraikan dunia qalb atau qalbu ini dengan uraiannya yang sangat halus:

“Setiap sesuatu yang dapat kamu tangkap dengan penglihatan fisik, maka ia adalah bagian dari dunia yang dikenal dengan alam syahadah (alam kasat mata). Sementara qalb atau qalbu bukan termasuk dalam dunia ini, melainkan dunia metafisik, dan posisinya di dunia ini sebagai sesuatu yang asing. Potongan daging tersebut tersusun dari beberapa unsur, dimana setiap anggota tubuh adalah pasukan-pasukannya, sementara ia sendiri sebagai raja (pengendalinya). Ia mempunyai sifat mengenal Allah dan menyaksikan indahnya kehadiran-Nya, ia dikenakan beban kewajiban dan perintah lainnya, ia juga akan mendapatkan pahala dan siksa, mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, dan akan selalu diikuti oleh apa yang dinamakan dengan ruh kebinatanagan. (ar-rūh al-hayawāni).

Mengenal hakikat dan sifat qalb atau qalbu merupakan kunci untuk mengenal Allah SWT. Dengan demikian, kita harus berusaha untuk mengenal hakikat dan sifat qalb atau qalbu ini, karena ia merupakan substansi mulia yang berasal dari substansi malaikat, dan substansi ini berasal dari hadirat Ilahiyah.


EMPAT LEVEL QALBU

A
da empat istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menunjukkan makna qalbu, yaitu, shard, qalb, fu’ad atau af’idah dan lubb atau albab. Istilah-istilah ini mengambarkan lapisan-lapisan kalbu manusia dan kecenderungannya, baik ataupun buruk. Kalau seseorang menggunakan qalbunya dalam arti shard, qalb dan fu’ad, maka ia bisa baik dan bisa juga terpengaruh atau terperosok kepada yang buruk. Tetapi kalau ia menggunakan lubb atau albab, maka orang itu sudah pasti baik.

Empat level qalbu tersebut adalah:
  1. Shadr atau Shudūr berarti qalbu bagian luar, 
  2. Qalb berarti qalbu bagian dalam, 
  3. Fuad atau afidah berarti qalbu yang lebih dalam,
  4. Lubb atau Albab berarti qalbu yang paling dalam, atau sering dalam bahasa Indonesia disebut (hati) sanubari atau (hati) nurani.

SHADR (SHUDUUR)

Kerena pengertiannya sebagai qalb bagian luar, maka istilah shadr biasa pula diartikan sebagai dada. Hanya dada disini tidak hanya berarti fisik, tetapi juga non fisik, seperti ‘aql (akal) dan qalbu. Menurut Amir An-Najr, shadr merupakan pintu masuknya petunjuk dari Tuhan dan segala macam lainnya juga seperti: godaan nafsu, penyakit hati. Shadr juga merupakan tempat masuknya ilmu pengetahuan ke dalam dirinya manusia.

Di Dada ini adalah wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan negatif dalam diri kita. Tempat kita di uji dengan kecenderungan-kecenderungan nafsu negatif. Jika sisi positif itu yang dominan, maka dada dipenuhi oleh cahaya dan berada dalam pengawasan jiwa ilahi. Tapi jika sebaliknya, yakni sisi negatif yang dominan, seperti: dengki, syahwat, keangkuhan, ketamakserakahan, atau kepedihan, penderitaan atau tragedi yang berlangsung lama, maka dada akan dilingkupi oleh kegelapan. Qalbu akan mengeras dan cahaya bathiniyah menjadi redup.

Selain itu, kata shadr atau dada dalam bahasa Arab seakar dengan ’aql atau akal, yakni tempat seluruh pengetahuan yang dapat dipelajari dengan belajar, membaca, menyelidiki, mengkaji, dan usaha-usaha lainnya serta dapat didiskusikan, ditulis atau diajarkan kepada orang lain. Pengetahuan yang tersimpan dalam akal tersebut pengetahuan luar atau pengetahuan duniawi, kerena ia berguna untuk mencari penghidupan dan efektif dalam menangani urusan-urusan duniawi.

Jalaluddin Rumi menyebutkan ada dua proses pengetahuan, yaitu sebagai: pertama, kecerdasan utuh; dan  kedua, kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan memiliki banyak tingkatan yang berbeda, tetapi masing-masing memperolah pengetahuannya dari luar -melalui atau menggunakan akal otak. Sedang kecerdasan utuh didapatkan dari dalam, menggunakan akal batin atau akal qalbu.  Sebagai bukti bahwa kata shadr tidak hanya berarti dada fisik [3] terletak disebelah kirinya terdapat jantung, tetapi juga non fisik yaitu qalbu yang disebut juga sanubari atau nurani.  Shadr, dada yang telah dibuka atau dilapangkan dapat menerima hidayah Islam. [4]


QALB (QALBU)

Kemudian lapisan shadr yang kedua adalah qalb, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai qalbu atau sering disebut hati. Hubungan antara qalb dengan shadr, qalb merupakan sumber mata air, sedangkan shadr diibaratkan sebagai danau-nya, atau shadr merupakan lapangan bagi qalb.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lidah dan pengetahuan qalbu -pengetahuan yang benar-benar berharga. Masyarakat moderen sekarang ini lebih menekankan pada pengetahuan lidah, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari dari luar qalbu. Ini adalah salah satu tingkat kecerdasan buatan, ini tidak salah. Namun mesti disadari pula bahwa qalbu berisikan prinsip-prinsip pengetahuan yang mendasar. Ia bagaikan air yang mengisi kolam pengetahuan dalam dada. Qalbu adalah akal di dalam dada. Merupakan cabang yang diberikan makan oleh qalbu.

Pengetahuan bathiniyah dari qalbu atau pengetahuan luar dari akal (otak) sama-sama penting. Pengetahuan luar mencakup informasi kita yang kita perlukan untuk bertahan hidup -bahkan mengembangkan kehidupan yang lebih baik, termasuk keahlian profesional, maupun kecerdasan yang dibutuhkan untuk membentuk keluarga, bermasyarakat, dan kehidupan dalam hidup di dunia. [5] Disamping itu ia juga memerlukan dalam upaya menjalani kehidupan yang bermoral, berintegritas, jujur yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.


FU’AD (AF'IDAH)

Selanjutnya lapisan qalbu yang ketiga adalah “fuad” atau “af’idah”. Dalam bahasa Arab kata “fuad” berarti (hati) sanubari atau (hati) nurani, tetapi letaknya lebih dalam dari qalb, sehingga kata “fuad” biasa dikatakan sebagai “qalb atau qalbu (hati) yang lebih dalam”

Qalb dan fuad berkaitan erat dan pada waktu tertentu hampir tidak dapat dibedakan. Qalb mengetahui, sedangkan fuad melihat. Mereka saling melengkapi, seperti halnya pengetahuan dan penglihatan. Jika pengetahun dan penglihatan dipadukan, maka yang ghaib manjadi nyata dan keyakinan kita akan menjadi kuat.


AL-LUBB (ALBAB)

Akhirnya, lapisan dada (shadr atau shudūr yang paling dalam ialah al-lubb atau albab. Kata “albab” merupakan jamak dari kata “lubb”. Dalam bahasa Arab kata “lubb” berarti akal, qalbu, inti, dan sari. Sedang dalam tasawwuf istilah “lubb” berarti qalbu terdalam atau qalbunya qalbu.


III. PENUTUP

K
alau ada orang hanya menggunakan shadr, qalb, dan fuad, orang itu bisa baik dan bisa juga buruk, tapi kalau ia menggunakan lubb atau albab-nya, maka ia pasti baik.

 Albab atau lubb pandai menimbang atau menghubungkan antara alam nyata (alam syahadat, alam yang dapat dilihat) dan alam ghaib (alam metafisika) sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi Ulil-Albāb, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (alam nyata) sambil berkata “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasempurna (Mahasuci) Engkau, lindungilah kami dari azab neraka (alam ghaib). (QS Āli-‘Imrān 3:190-191)

Karena boleh jadi - sebahagian dari manusia kemungkinan ada salah menyimpulkan semesta alam - langit dan bumi dan diantara keduanya - terjadi dengan sendirinya, melainkan Engkau-lah Ya Allah yang menciptakannya - adanya yang ada ini karena diciptakan oleh-Nya.

Kami (manusia) diciptakan-Nya sebagai pemakmurnya. [6]   Membangun dan memelihara serta memanfaatkannya dengan baik, bukan menyia-nyiakan dan merusaknya, [7] dalam rangka beribadah kepada-Mu. [8] Selamatkan dan sejahterakanlah kami di akhirat kelak, dan begitu pula hidup di dunia ini. [9] Dunia sebagai ladang ibadah. Wallāhu A’lam bish-Shawāb. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Lanjut atau Kembali ke:     1      2


Catatan Kaki:
[1] Bashirah adalah inti kekuatan manusia. Bashirah adalah satu untuk semua dan semua dalam satu. Orang yang terbangkitkan bashirahnya, dia akan sanggup mengakses segala macam informasi melalui mata batinnya, dia akan bisa membaca apa yang tidak bisa dibaca orang lain.
[2] Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan Penilaian Realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi/ informasi secara akurat.
[3] (Inilah) Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada (shadrika, shudūr, “shadr”)…(QS Al-A’rāf 7:2).
[4] Barang siapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan “membukakan dada” (shadrahu, shudūr, shadr)-nya untuk (menerima) Islam. (QS Al-An’ām 6:125)
[5] “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. (QS Al-Qashash 28:11)
[6] Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya (manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia). (QS Hūd 11:61)
[7]Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang membuat kerusakan”. (QS Al-Qashash 28:11)
[8] Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (Allah). (QS Adz-Dzāriyāt 51:56)
[9] “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan (pula) di akhirat, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS Al-Baqarah 2:201) □□


Sumber:
https://www.academia.edu/11912965/Jantung_bukan_hati
https://independent.academia.edu/HussainiRahman
https://addaani2008.wordpress.com/2008/07/15/perbedaan-makna-qalb-dengan-ruh-nafs-lubb-dan-%E2%80%99aql/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
https://www.kompasiana.com/qmedia/552b6edf6ea834d4498b45b5/apa-arti-hati-dan-atau-qalbu?page=all
http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/4-level-hati-menurut-tafsir-quran/
□□□