MEMAHAMI
QALBU & POTENSINYA
BAGI
KESELAMATAN-KESEJAHTERAAN HIDUP MANUSIA
DI
DUNIA DAN DI AKHIRAT (2)
Oleh: A. Faisal Marzuki
DAFTAR ISI:
BAGIAN
2
NAFS
‘AQL atau AKAL
Akal Otak (Akal
Bawah)
Akal
Atas (Akal Dalam, Akal Qalbu/Lubb
PERILAKU MANUSIA
EMPAT LEVEL QALBU
SHADR (SHUDUUR)
QALB (QALBU)
FU’AD (AF'IDAH)
AL-LUBB (ALBAB)
PENUTUP
NAFS
Nafs atau
jiwa atau soul, adalah sebuah entitas
lain dari diri manusia, dimana dia berasal dari alam malakut yang terbuat dari
elemen cahaya, akan tetapi bukanlah seperti cahaya yang terbayangkan oleh kita
ketika melihat cahaya lampu, elemen cahaya ini sangat khas dan tak terinderai
oleh mata lahiriyah kita, sebagaimana Allah telah menciptakan malaikat dari
elemen yang sama. Jiwa juga memiliki indera sebagaimana yang dimiliki oleh
indera jasad tetapi dalam dimensi yang berbeda karena perbedaan elemen
pembentuknya.
Misalkan dalam jasad ada mata untuk melihat setiap benda yang dapat di inderai yang memiliki wujud dengan ruang dan waktu, maka dalam jiwa atau nafs terdapat mata jiwa atau istilah umum yang digunakan adalah mata batin, yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan al-bashirah [1], juga memiliki fungsi untuk melihat, namun yang dilihatnya adalah apa yang tak tampak dalam penglihatan jasad, karena itu dia dapat memiliki kemampuan melihat jauh di atas kemampuan jasad, seperti alam malakut semisal malaikat dan jiwa-jiwa lainnya. Bahkan sering kita mendengar seorang yang karena keshalihannya sehingga Allah SWT anugerahkan sebuah keterbukaan pada bashirah-nya hingga dia bisa membaca apa yang ada dalam hati orang lain.
Jasad memiliki telinga untuk mendengar demikian
pula dalam indera jiwa ada telinga batin yang juga berfungsi untuk mendengar,
tapi mendengar hal-hal yang jauh lebih batin lagi.
Demikian pula dengan indera jasad lainnya, maka
jiwa pun memiliki indera yang semisal. Jadi yang membedakan keduanya hanyalah
materi yang membentuknya. Jasad tersusun dari materi bumi -tanah, air, dan
udara yang semuanya berasal dari alam
mulk atau alam kasat mata - alam
syahadah, sedangkan jiwa dibuat dari materi cahaya, yang semisal dengan materi
malaikat karena keduanya berasal dari alam malakut. Al-Ghazali menyebut istilah
nafs ini dengan sebutan “sesuatu yang
abstrak yang membentuk diri manusia secara hakiki”.
Selanjutnya beliau melanjutkan bahwa nafs ini dilukiskan dengan berbagai
macam sifat sesuai dengan bebagai keadaannya yang berbeda-beda. Jika ia dalam
keadaan selalu tenang dan tenteram dalam menerima ketentuan Allah dan lainnya,
dan terhindar dari kegelisahan yang disebabkan oleh pelbagai macam godaan
ambisi-keinginan, maka ia disebut nafs
muthmainnah (jiwa yang tenang dan tentram), seperti dalam firman Allah yang
artinya:
“Wahai nafs muthmainnah (jiwa yang tenang)! Kembalilah
kepada Rabb-mu dalam keadaan ridha dan diridhai.” (QS Al-Fajr 89:27-28)
Sedangkan apabila nafs ini selalu gelisah karena berada dalam kondisi perlawanan terhadap godaan syahwat hawa nafsu, maka ia disebut dengan nafs lawwāmah (jiwa yang senantiasa menyesali dirinya dan mengecam). Karena ia selalu menyesali dirinya sendiri atas kelalaiannya dalam melakukan pengabdian kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“...dan Aku (Allah) bersumpah
dengan nafs lawwāmah (jiwa yang selalu mengecam)”. (QS
Al-Qiyamāh 75:2)
Selanjutnya, jika nafs ini tidak berusaha menyesali dirinya, bahkan senantiasa tunduk patuh kepada dorongan hawa nafsu dan memperturuti bisikan syeitan, maka ia disebut nafs ammārah bis-sū’i (nafs yang cenderung menyuruh pada kejahatan).
’AQL atau AKAL
Akal
berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan
pemahaman terhadap sesuatu. Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk
memahami sesuatu), kemampuan melihat, cara memahami lingkungan. Lalu kemudian
kata akal itu digunakan untuk menyebut daya ruhaniah manusia yang
difungsikannya sebagai alat mendapatkan atau “menimba ilmu dan mempertimbangkan
sesuatu yang akan diperbuatnya”. Al-Qur’an tidak menggunakan kata itu dalam
bentuk “kata benda” melainkan dalam bentuk kata
kerja sebanyak 50 kali, yang maknanya mengacu kepada upaya fungsionalisasi qalb atau qalbu dalam menerima atau
menangkap sesuatu dengan menggunakan pertimbangan dan pemikiran yang jernih.
Dalam hadits banyak dibicarakan tentang akal,
antara lain, yang artinya:
“Allah
tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal” (HR at-Turmudzi)
“Apabila
manusia mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai kebaikan, maka
dekatkanlah dirimu dengan akal mu.” (HR Abu Nu’aim)
Dalam hadits lain diceritakan bahwa Umar, Ubai
ibn Ka’ab dan Abu Hurairah RA
bertanya kepada Nabi SAW tentang
orang yang paling berpengetahuan, yang paling berkualitas dalam pengabdiannya,
dan paling utama. Semua dijawab oleh Nabi SAW
dengan: “Orang yang berakal” (HR Ibnu Mihbar).
Akal dengan demikian bisa kita katakan sebagai
alat untuk berpikir, mencerna sesuatu, mencerap pengetahuan adalah sesuatu
yang telah Allah anugerahkan bagi manusia yang tidak diberikan kepada makhluk
lainnya.
Dalam terminologi Islam yang dimaksud dengan
akal terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1). Akal Otak disebut juga Akal Bawah;
2). Akal Atas disebut juga Akal Dalam atau Akal Qalb/Lubb yang
keterangannya sebagai berikut:
1. Akal Otak (Akal Bawah)
Akal yang datang dari otak yang ada dikepala manusia. Akal jenis ini merupakan perpaduan dari rasio, logika, dan memori. Memori adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk menyimpan informasi-informasi. Informasi-informasi inilah yang disebut pengetahuan atau ilmu. Baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.
Rasio adalah bagian dari otak yang berfungsi
menangkap hasil indera dari panca indera. Penangkapan rasio adakalanya tidak
diolah lebih jauh dengan logika, namun langsung disimpan kedalam memori menjadi
pengetahuan atau ilmu. Maka dalam tahapan ini seseorang dikatakan "mengetahui".
Sedangkan Logika adalah bagian dari otak yang
berfungsi untuk menganalisa dan mensintesa sumber-sumber informasi yang
didapatkan dari rasio dan dibandingkannya dengan informasi sebelumnya yang
tersimpan di memori. Hasil dari pengolahan logika ini kemudian diisimpan
kedalam memori menjadi pengetahuan atau ilmu. Dalam tahapan ini seorang
dikatakan "mengerti" atau "memahami". “Rasa Akal Yang Dalam” dari pengertian dan
pemahaman, merembas kedalam qalb -
bahasa Indonesianya qalbu. Pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan, akan merembas ke dalam qalbu
menjadi "intuisi". Pemahaman ilmu yang baik dan benar akan memandu aktivitasnya
menjadi amal shalih. Sedangkan ilmu pengetahuan yang salah hanya akan menjadi waham [2] - ketidakmampuan
merespons stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi dan atau
informasi secara akurat - yang menghijab dirinya dengan tuhannya.
2. Akal Atas (Akal Dalam, Akal Qalbu/Lubb)
Akal jenis ini disebut lubb. Terletak di dalam “inti qalb” - “inti kalbu” yang telah termurnikan dari segala keburukan dan dosa, sebagaimana fungsi akal bawah atau akal pikiran yang terletak pada aspek jasad manusia (otak di kepala manusia), yang berfungsi untuk mengenali dan memahami urusan dunia, urusan yang tampak secara empirik, urusan yang sifatnya material.
Sedangkan lubb
atau akal atas memiliki fungsi yang
lebih luhur lagi, karena dia terletak di dalam inti qalb atau nurani
manusia, maka dia memiliki kesanggupan untuk bisa mengenal sekian aspek yang tidak
kasat mata, aspek ketuhanan, aspek hakikat agama, aspek yang non empirik dan
aspek agama lainnya.
Seorang manusia yang hatinya masih didominasi
oleh hawa nafsu dan syahwat, maka dia akan sangat kesulitan untuk dapat
menggunakan aspek lubb-nya, karena
sang hawa nafsu dan syahwat-nya cenderung merebut kendali diri - berfikir hanya
untuk kepentingan yang bersifat dunia semata.
Sementara seorang yang diberi rahmat oleh Allah
sehingga “jiwa muthmainnah”-nya sehat
kembali dan mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya, maka hadirlah dalam lubb-nya ini al-haq. Orang seperti inilah yang dalam Al-Qur’an disebut “ulil albab”.
Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan al-‘ulamā, orang-orang yang berilmu, dalam Al-Qur’an atau hadits-hadits Rasulullah SAW adalah orang-orang telah hadir al-haq dalam lubb-nya.
- Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama (al-‘ulamā). (QS Fāthir 35:28)
- Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali al-‘alimun (yang berilmupengetahuan). (QS Al-‘Ankabūt 29:43)
- Sebenarnya, (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (shudūr) [3] orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim. (QS Al-‘Ankabūt 29:49)
- Niscaya Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, (QS Al-Mujādalah 58:11)
- Al-‘ulamā itu adalah pewaris dari Nabi-Nabi. Isi langit dan isi bumi meminta ampun untuk al-‘alīm (yang berilmupengetahuan). (HR Abu Dawud, Ath-Turmudzi dari Abi Darda)
- Kelebihan al-‘alīm dari seorang abid (hamba Allah), seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari shahabatku. (HR Tirmidzi dari Abi Amamah)
Tentunya al-‘ulamā
dan al-‘alīm ini mereka yang telah
mempelajari banyak ilmu agama baik bersumber dari ayat-ayat Qauliyyah
(Al-Qur’an) maupun ayat-ayat Kauniyyah (terdapat di semesta alam dan lingkungan
hidup), memahami dan menemukan buah agama, dalam bentuk tindakan amal shalih
lahir dan batinnya.
PERILAKU MANUSIA
Perilaku manusia adalah merupakan keputusan yang diambil untuk merespon segala sesuatu yang diinderanya. Keputusan ini terjadi setelah terjadi hubungan komunikasi antara akal otak (akal) dan akal qalbu (lubb). Hubungan komunikasi ini terjadi apabila lubb-nya memang sudah bekerja atau berfungsi. Berfungsinya karena adanya kejernihan qalbu - dari hawa nafsu maksiat. Tapi bila lubb (akal qalbu) tidak berfungsi karena ternoda dari maksiat dan dosa-dosa, maka yang bekerja secara leluasa adalah akal pikiran luarnya saja (akal otak) yang bersumber dunia empiriknya, baik-buruk hanya ditimbang apa yang tampak lahiriyah saja - dibalik itu tidak tahu apa akibat baik-buruknya, salah-benarnya, halal-haramnya, bermanfaat-tidakbermanfatnya, membangun-merusaknya.
Namun, apabila dalam lubb seorang telah tumbuh al-haq
(kebenaran), maka keputusan tindakannya adalah kesepakatan antara akal otak dan
al-haq-nya. Sementara al-haq adalah media petunjuk,
hidayah, dan penganugerahan ilmu Allah. Dengan demikian seorang yang telah
tumbuh al-haq (kebenaran) dalam
dirinya, akan dibimbing Allah untuk mengambil sebuah langkah keputusan yang
mengandung kebenaran yang
menghasilkan kebaikan.
- Al-haq (kebenaran) itu adalah dari Rabb-mu (Tuhan-mu), maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu. (QS Al-Baqarah 2:147)
- (Allah berfirman), “Maka yang benar (al-haq), dan hanya kebenaran (al-haq) itulah yang Aku katakan”. (QS Shād 38:84)
Allah menganugerahkan akal dalam atau lubb atau
akal jiwa, sebagai mata yang ada
dalam jiwa yang itu digunakan untuk memahami urusan dibalik dunia ini (beyond the world). Yaitu urusan agama (ad-dīn) atau sesuatu yang menyangkut makna
hidup, pengenalan diri, pengenalan Allah. Ini hanya bisa dicerna dengan dua mata
dalam jiwa itu sendiri. Indah sekali ungkapan Rasulullah SAW menjelaskan tentang hal ini:
“Tak
seorang pun manusia, kecuali memiliki empat mata; dua di kepalanya yang dengannya
ia melihat ihwal dunianya, dan dua di qalbu-nya, yang dengannya ia melihat
ihwal agamanya” (HR Abu Mansur Ad-Dailami)
Dalam penjelasan lebih jauh lagi, Imam
Al-Ghazali menguraikan dunia qalb
atau qalbu ini dengan uraiannya yang sangat halus:
“Setiap
sesuatu yang dapat kamu tangkap dengan penglihatan fisik, maka ia adalah bagian
dari dunia yang dikenal dengan alam syahadah (alam kasat mata). Sementara qalb atau qalbu bukan termasuk dalam
dunia ini, melainkan dunia metafisik, dan posisinya di dunia ini sebagai
sesuatu yang asing. Potongan daging tersebut tersusun dari beberapa unsur,
dimana setiap anggota tubuh adalah pasukan-pasukannya, sementara ia sendiri
sebagai raja (pengendalinya). Ia mempunyai sifat mengenal Allah dan menyaksikan
indahnya kehadiran-Nya, ia dikenakan beban kewajiban dan perintah lainnya, ia
juga akan mendapatkan pahala dan siksa, mengalami kebahagiaan dan kecelakaan,
dan akan selalu diikuti oleh apa yang dinamakan dengan ruh kebinatanagan. (ar-rūh al-hayawāni).
Mengenal hakikat dan sifat qalb atau qalbu merupakan kunci untuk mengenal Allah SWT. Dengan demikian, kita harus
berusaha untuk mengenal hakikat dan sifat qalb
atau qalbu ini, karena ia merupakan substansi mulia yang berasal dari substansi
malaikat, dan substansi ini berasal dari hadirat Ilahiyah.
EMPAT LEVEL QALBU
A
|
da empat istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam
menunjukkan makna qalbu, yaitu, shard,
qalb, fu’ad atau af’idah dan lubb atau albab. Istilah-istilah ini mengambarkan lapisan-lapisan kalbu
manusia dan kecenderungannya, baik ataupun buruk. Kalau seseorang menggunakan qalbunya
dalam arti shard, qalb dan fu’ad, maka ia bisa baik dan bisa juga terpengaruh atau terperosok kepada
yang buruk. Tetapi kalau ia menggunakan lubb
atau albab, maka orang itu sudah
pasti baik.
Empat level qalbu tersebut adalah:
Empat level qalbu tersebut adalah:
- Shadr atau Shudūr berarti qalbu bagian luar,
- Qalb berarti qalbu bagian dalam,
- Fuad atau afidah berarti qalbu yang lebih dalam,
- Lubb atau Albab berarti qalbu yang paling dalam, atau sering dalam bahasa Indonesia disebut (hati) sanubari atau (hati) nurani.
SHADR (SHUDUUR)
Kerena
pengertiannya sebagai qalb bagian
luar, maka istilah shadr biasa pula
diartikan sebagai dada. Hanya dada disini tidak hanya berarti fisik, tetapi
juga non fisik, seperti ‘aql (akal) dan
qalbu. Menurut Amir An-Najr, shadr
merupakan pintu masuknya petunjuk dari Tuhan dan segala macam lainnya juga seperti: godaan
nafsu, penyakit hati. Shadr juga
merupakan tempat masuknya ilmu pengetahuan ke dalam dirinya manusia.
Di Dada ini adalah wilayah pertempuran utama antara kekuatan positif dan negatif dalam diri kita. Tempat kita di uji dengan kecenderungan-kecenderungan nafsu negatif. Jika sisi positif itu yang dominan, maka dada dipenuhi oleh cahaya dan berada dalam pengawasan jiwa ilahi. Tapi jika sebaliknya, yakni sisi negatif yang dominan, seperti: dengki, syahwat, keangkuhan, ketamakserakahan, atau kepedihan, penderitaan atau tragedi yang berlangsung lama, maka dada akan dilingkupi oleh kegelapan. Qalbu akan mengeras dan cahaya bathiniyah menjadi redup.
Selain itu, kata shadr atau dada dalam bahasa Arab seakar dengan ’aql atau akal, yakni tempat seluruh
pengetahuan yang dapat dipelajari dengan belajar, membaca, menyelidiki, mengkaji,
dan usaha-usaha lainnya serta dapat didiskusikan, ditulis atau diajarkan kepada
orang lain. Pengetahuan yang tersimpan dalam akal tersebut pengetahuan luar
atau pengetahuan duniawi, kerena ia berguna untuk mencari penghidupan dan
efektif dalam menangani urusan-urusan duniawi.
Jalaluddin Rumi menyebutkan ada dua proses
pengetahuan, yaitu sebagai: pertama, kecerdasan utuh; dan kedua, kecerdasan buatan. Kecerdasan
buatan memiliki banyak tingkatan yang berbeda, tetapi masing-masing
memperolah pengetahuannya dari luar -melalui atau menggunakan akal otak. Sedang
kecerdasan utuh didapatkan dari dalam, menggunakan akal batin atau akal qalbu.
Sebagai bukti bahwa kata shadr tidak
hanya berarti dada fisik [3] terletak disebelah kirinya terdapat jantung, tetapi juga
non fisik yaitu qalbu yang disebut juga sanubari atau nurani. Shadr, dada yang telah dibuka atau dilapangkan dapat menerima hidayah
Islam. [4]
QALB (QALBU)
Kemudian
lapisan shadr yang kedua adalah qalb, yang dalam bahasa Indonesia diartikan
sebagai qalbu atau sering disebut hati. Hubungan antara qalb dengan shadr, qalb
merupakan sumber mata air, sedangkan shadr
diibaratkan sebagai danau-nya, atau shadr
merupakan lapangan bagi qalb.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan
lidah dan pengetahuan qalbu -pengetahuan yang benar-benar berharga. Masyarakat
moderen sekarang ini lebih menekankan pada pengetahuan lidah, yaitu pengetahuan-pengetahuan
yang dipelajari dari luar qalbu. Ini adalah salah satu tingkat kecerdasan buatan, ini
tidak salah. Namun mesti disadari pula bahwa qalbu berisikan prinsip-prinsip
pengetahuan yang mendasar. Ia bagaikan air yang mengisi kolam pengetahuan dalam
dada. Qalbu adalah akal di dalam dada. Merupakan cabang yang diberikan makan
oleh qalbu.
Pengetahuan bathiniyah dari qalbu atau
pengetahuan luar dari akal (otak) sama-sama penting. Pengetahuan luar mencakup
informasi kita yang kita perlukan untuk bertahan hidup -bahkan mengembangkan
kehidupan yang lebih baik, termasuk keahlian profesional, maupun kecerdasan
yang dibutuhkan untuk membentuk keluarga, bermasyarakat, dan kehidupan dalam
hidup di dunia. [5] Disamping itu ia juga memerlukan dalam upaya menjalani
kehidupan yang bermoral, berintegritas, jujur yang dapat membedakan antara yang
benar dan yang salah.
FU’AD (AF'IDAH)
Selanjutnya
lapisan qalbu yang ketiga adalah “fuad”
atau “af’idah”. Dalam bahasa Arab
kata “fuad” berarti (hati) sanubari
atau (hati) nurani, tetapi letaknya lebih dalam dari qalb, sehingga kata “fuad”
biasa dikatakan sebagai “qalb atau qalbu (hati) yang lebih dalam”
Qalb dan fuad berkaitan erat dan pada waktu
tertentu hampir tidak dapat dibedakan. Qalb
mengetahui, sedangkan fuad melihat.
Mereka saling melengkapi, seperti halnya pengetahuan dan penglihatan. Jika
pengetahun dan penglihatan dipadukan, maka yang ghaib manjadi nyata dan
keyakinan kita akan menjadi kuat.
AL-LUBB (ALBAB)
Akhirnya,
lapisan dada (shadr atau shudūr yang paling dalam ialah al-lubb atau albab. Kata “albab”
merupakan jamak dari kata “lubb”.
Dalam bahasa Arab kata “lubb” berarti
akal, qalbu, inti, dan sari. Sedang dalam tasawwuf istilah “lubb” berarti qalbu terdalam atau qalbunya
qalbu.
III. PENUTUP
K
|
alau ada orang hanya menggunakan shadr, qalb, dan fuad, orang itu
bisa baik dan bisa juga buruk, tapi kalau ia menggunakan lubb atau albab-nya, maka
ia pasti baik.
Albab atau lubb pandai menimbang atau menghubungkan antara alam nyata (alam
syahadat, alam yang dapat dilihat) dan alam ghaib (alam metafisika)
sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi Ulil-Albāb, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (alam nyata) sambil berkata “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia-sia; Mahasempurna (Mahasuci) Engkau, lindungilah kami
dari azab neraka (alam ghaib). (QS Āli-‘Imrān 3:190-191)
Karena boleh jadi - sebahagian dari manusia kemungkinan
ada salah menyimpulkan semesta alam - langit dan bumi dan diantara keduanya -
terjadi dengan sendirinya, melainkan Engkau-lah Ya Allah yang menciptakannya - adanya yang ada ini karena diciptakan oleh-Nya.
Kami (manusia) diciptakan-Nya sebagai pemakmurnya. [6]
Membangun
dan memelihara serta memanfaatkannya dengan baik, bukan menyia-nyiakan dan
merusaknya, [7] dalam rangka beribadah kepada-Mu. [8] Selamatkan dan
sejahterakanlah kami di akhirat kelak, dan begitu pula hidup di dunia ini. [9] Dunia
sebagai ladang ibadah. Wallāhu A’lam
bish-Shawāb. Billahit Taufiq
wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1]
Bashirah adalah inti kekuatan manusia. Bashirah adalah satu untuk semua dan
semua dalam satu. Orang yang terbangkitkan bashirahnya, dia akan sanggup
mengakses segala macam informasi melalui mata batinnya, dia akan bisa membaca
apa yang tidak bisa dibaca orang lain.
[2] Waham
adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan Penilaian Realitas yang
salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya, ketidakmampuan merespons stimulus internal dan eksternal
melalui proses interaksi/ informasi secara akurat.
[3] (Inilah) Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan
kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada (shadrika, shudūr, “shadr”)…(QS Al-A’rāf 7:2).
[4] Barang siapa yang dikehendaki Allah akan
mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan “membukakan dada” (shadrahu, shudūr, shadr)-nya untuk (menerima) Islam. (QS Al-An’ām
6:125)
[5] “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia. (QS Al-Qashash 28:11)
[6] Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi
(tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya (manusia dijadikan penghuni dunia untuk
menguasai dan memakmurkan dunia). (QS Hūd 11:61)
[7]Dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang membuat kerusakan”. (QS
Al-Qashash 28:11)
[8] Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku (Allah). (QS Adz-Dzāriyāt 51:56)
[9] “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia, dan kebaikan (pula) di akhirat, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS
Al-Baqarah 2:201) □□
Sumber:
https://www.academia.edu/11912965/Jantung_bukan_hati
https://independent.academia.edu/HussainiRahman
https://addaani2008.wordpress.com/2008/07/15/perbedaan-makna-qalb-dengan-ruh-nafs-lubb-dan-%E2%80%99aql/
https://id.wikipedia.org/wiki/Akal
https://www.kompasiana.com/qmedia/552b6edf6ea834d4498b45b5/apa-arti-hati-dan-atau-qalbu?page=all
http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/4-level-hati-menurut-tafsir-quran/
□□□