Kata Pengantar
T
|
ercatat sejumlah nama para inspirator dan pembaharu
negara ini, lahir atau dibesarkan dari rahim nagari-nagari (sebutan desa atau
kampung) di tepian danau Maninjau. Menyebut beberapa nama saja, misalnya DR. H.
Karim Amarullah (pembaharu Islam Abad 19), Buya Hamka (ulama besar dan mantan
Ketua MUI serta pahlawan nasional), Muhammad Nasir (mantan Perdana Menteri,
Ketua Masyumi dan pendiri DDII), Isa Anshary (politisi muslim Masyumi).
Ada pula Buya AR Sutan Mansur (Ketua dan Tokoh
Muhammadiyah), Muhammad Nazir (Laksamana TNI AL dan pendiri Akademi AL), Rasuna
Said (tokoh pendidikan dan emansipasi wanita), R. St. Pamuntjak (diplomat
ulung), Syafruddin Prawiranegara (mantan Perdana Menteri PDRI dan Menteri Keuangan),
Marzuki Yatim (mantan Menteri), Kaharuddin (mantan Gubernur Sumbar) serta Nur
Sutan Iskandar (sastrawan).
Kali ini yang akan dibahas adalah Nur Sutan Iskandar seorang sastrawan, asal
Nagari Sungai Batang, Maninjau.
SASTRAWAN NUR SUTAN ISKANDAR
Oleh: A. Fasial Marzuki
N
|
ur Sutan Iskandar, Sastrawan
Minang, lahir di Sungai Batang, Sumatera Barat, tanggal 3 Novenber 1893 dan
meninggal di Jakarta tanggal 28 November 1975 pada umur 82 tahun. Ia adalah
sastrawan Angkatan Balai Pustaka masa pemerintahan Hindia Belanda - zaman
sebelum Kemerdekaan Indonesia.
Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau
lainnya, Muhammad Nur mendapat gelar Sutan Iskandar ketika menikah. Kemudian
dipadukan dengan nama aslinya, Muhammad Nur Sutan Iskandar. Namun lebih dikenal
sebagai Nur Sutan Iskandar atau Nur St. Iskandar, sampai sekarang. Nur Sutan
Iskandar lahir dan besar dalam lingkungan Islam.
Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun
1909, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu sekolah rakyat (desa,
rendah) di Sungai Batang. Sebelumnya ia menempuh ujian guru bantu, tetapi tidak
berhasil. Untuk itu, ia diminta oleh guru kepala untuk "magang" (kwrekeling) di sekolah itu sebagai
pelatihan mengenali sekolah dan mengajar murid.
Tahun 1911 Nur Sutan Iskandar diangkat sebagai
guru baru di Muara Bakti (Palembang). Tahun 1914 ia dipindahkan ke Padang dan
mengajar di sekolah rendah kelas II.
Pada tahun 1919, Nur Sutan Iskandar hijrah ke
Jakarta. Di sana beliau bekerja di Balai Pustaka. Pimpinan Balai Pustaka, Sutan
Muhammad Zein, menugaskannya sebagai pengoreksi naskah karangan. Karena
kecerdasannya, beliau kemudian berhasil lulus dari ujian KAE (Klein Amambtenaar Exam) pada tahun 1921,
yaitu ujian khusus bagi orang Indo Belanda yang pernah bertugas sebagai
juru tulis di kantor pemerintah untuk dapat memperoleh jenjang jabatan yang
lebih tinggi. Tiga tahun kemudian beliau juga mendapatkan ijazah dari Gemeentelijkburen Cursus (Kursus Pegawai
Pamongpraja).
Kariernya di Balai Pustaka dimulai dari seorang
korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi
Balai Pustaka (hoofdredacteur) dari
tahun 1925 sampai tahun 1942. Pada tahun 1950 ia menjadi dosen di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif
di angkatannya. Selain mengarang karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan
buku-buku karya pengarang asing seperti Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur
Conan Doyle. Dia sudah menulis novel sejak tahun 1920-an. Sesuai dengan
kecenderungan umum pengarang dasawarsa itu, Nur Sutan Iskandar amat tertarik
pada permasalahan adat dan kaum muda, khususnya yang menyangkut perkawinan. Tiga
novel novelnya yang terkenal adalah Abu Nawas, Hulubalang Radja dan Salah
Pilih.
Selain itu, Nur Sutan Iskandar pernah menjabat
pengurus Budi Utomo tahun 1929. Pada tahun 1935-1942 ia menjabat bendahara
Partai Indonesia Raya (Parindra). Setelah Indonesia merdeka, ia bekerja sebagai
anggota pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada pemilihan umum tahun
1955, Nur Sutan Iskandar terpilih sebagai anggota konstituante. Istri Nur Sutan
Iskandar berasal dari Minangkabau. Dari perkawinannya itu ia memperoleh
beberapa orang anak. Anaknya yang tertua bernama Nursinah yang menikah dengan
pemuda Jawa dan oleh H.B. Jassin dijuluki sebagai "perkawinan
Indonesia" karena perkawinan seperti itu pada tahun 1930-an merupakan
peristiwa yang langka.
Nama Nursinah pernah dipakai oleh Nur Sutan
Iskandar sebagai salah satu nama samarannya ketika menulis “Apa Dajaku karena
Akoe Perempoean”. Tulisan Nur Sutan Iskandar yang terakhir pada tahun 1962. Di
samping menulis karya asli, Nur Sutan Iskandar juga menerjemahkan beberapa
karya sastra asing. A. Teeuw mengatakan bahwa Nur Sutan Iskandar telah
menerjemahkan berbagai buku, dari Quo Vadis hingga Conan Doyle, dari buku
tentang kasti hingga sayur-sayuran. Dia juga menyadur kisah Abu Nawas, dan
L'Avare karya Moliere untuk masyarakat Indonesia dengan judul Si Bachil (Jakarta:
Balai Pustaka, 1926).
H.B. Jassin menyatakan bahwa Nur Sutan Iskandar
sebagai tokoh penting generasi 1920-an. Dia sangat penting bukan saja karena
karangannya yang asli, terjemahan, atau saduran, tetapi kedudukannya di Balai
Pustaka sebagai penimbang naskah dan penyunting naskah yang akan diterbitkan.
Di samping itu, ia juga orang yang berjasa dan bersemangat dalam perkembangan
bahasa dan cita-cita kebangsaan.
Di Balai Pustaka ia banyak meloloskan karya
sastra, termasuk mengedit karya itu. A. Teeuw, dalam Pokok dan Tokoh
menempatkan Nur Sutan Iskandar sebagai pengarang penting sebelum perang. Teeuw
menyatakan bahwa Nur Sutan Iskandar pastilah salah seorang pengarang Balai
Pustaka yang terkemuka sebelum perang dunia. Baik melihat jumlah buah tangannya
maupun isi (nilai) karangannya, Nur Sutan Iskandar banyak mendapat perhatian.
Selain itu, ia pada umumnya mempunyai pengaruh
yang besar atas seluruh hasil kesusastraan Balai Pustaka. Chairil Anwar,
pelopor Angkatan 45, menyatakan bahwa kita harus mengetahui dan meniru Nur
Sutan Iskandar dalam kegiatannya bekerja. Nur Sutan Iskandar adalah orang yang
kuat fantasinya. Zuber Usman mengemukakan beberapa pujian dan kritiknya
terhadap Nur Sutan Iskandar. Dalam bukunya Kesusastraan Baru Indonesia, ia
menyatakan bahwa kalau Nur Sutan Iskandar menceritakan sesuatu ia takkan
berhenti sebelum orang jemu membacanya.
Karya-Karya Sastranya
K
|
arya Sastra Nur Sutan Iskandar banyak sekali,
antara lain Apa Dayaku karena Akoe Perempoean (novel, 1922), Tjinta jang
Membawa Maoet (novel, 1926 ditulis bersama Abd. Ager). Salah Pilih (novel,
1928), Karena Mentoea (novel, 1932), Hoeloebalang Radja (novel, 1934), Katak
Hendak Djadi Lemboe (novel, 1935), Neraka Doenia (novel, 1937), Tjinta dan
Kewadjiban (novel, 1940, dikarang bersama dengan L. Wairata), Tjinta Tanah Air
(novel, 1944), Tjobaan (novel, 1946), dan Moetiara (novel, 1946). Abu Nawas (Jakarta:
Balai Pustaka, 1929), Tuba Dibalas
dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933), Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935), Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka,
1942), Cobaan (Turun ke Desa)
(Jakarta: Balai Pustaka, 1946), Pengalaman
Masih Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949), Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters,
1952, cetakan ulang), Megah Cerah:
Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters,
1952), Megah Cerah: Bacaan untuk Murid
Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952), Peribahasa (Karya bersama dengan K.
Sutan Pamuncak dan Aman Datu Majoindo, Jakarta: JB Wolters, 1946), Sesalam
Kawin (t.t.), Si Bachil (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)*
Karena keaktifannya mengurus Jong Sumatranen
Bond, Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai tokoh perintis kemerdekaan RI dan
pada tahun 1961 ia menerima Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia.
Penutup
N
|
ur St.
Iskandar dan Hamka sebagai dua tokoh sastrawan asal Sungai Batang Maninjau.
Keduanya menggambarkan sketsa masyarakat Minangkabau sebelum kemerdekaan, sebagaimana tercermin dalam novel Iskandar
dan Hamka.
Dalam novel Iskandar, karakter yang baik di masyarakat
adalah orang berpendidikan Barat yang merupakan majikan di kantor Belanda.
Dalam novel Hamka, karakter masyarakat yang baik adalah karakter yang memegang
pendidikan agama (Islam) dan bekerja sebagai wirausaha.
Kedua karakter mencerminkan kelompok sosial yang cenderung
menunjukkan rasionalitas dan sikap yang baik, tetapi menentang tradisi yang
bertentangan dengan agama (Islam). Sketsa kehidupan yang tercermin dalam novel
Iskandar dan Hamka juga berdampak pada cara berpikir masyarakat Minangkabau.
Demikianlah sajian
kami untuk mengenang almarhum Muhammud Nur Sutan Iskandar yang penulis panggil
Babo Iskandar. Beliau mempunyai 5 orang anak. Anak laki-laki, Noorsan Iskandar,
seorang Penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia seangkatan - dengan Umar
Dani, KSAU 1962-1965 - angkatan Talco /
California 1950-1952 ** yang meninggal tahun 1956 (?) dalam menerbangkan
pesawat mengalami kecelakaan. Billahit
Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/07/maninjau-negeri-para-inspirator-dan.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Nur_Sutan_Iskandar
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Nur_Sutan_Iskandar
https://www.merdeka.com/muhammad-nur-sutan-iskandar/
*Sastra dan Sejarah Indonesia, Tiga Belas
Karangan, Oleh Henri Chambert-Loir, h. 48, Di Terbitkan oleh:
KPG (Gramedia).
**http://www.redchevron.com/wp-content/uploads/2017/04/SekbangTNIAU1-1945-1961.jpg
via-http://www.redchevron.com/alumni-sekbang-tni-au-di-museum-jogjakarta/□□