Monday, March 12, 2018

Pelajaran Dari Republik Nauru





Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).  [QS Ar- Rūm 30:41]

Data-data adalah sebagai berikut. Republik Nauru luas wilayahnya 21 kilometer persegi; Bentuk Negaranya Republik; Kepala Negara dan kepala pemerintahannya dipimpin oleh seorang Presiden; Ibukotanya, Yaren; Agama penduduknya terdiri dari Protestan 58%, Katolik 24%, Konghucu dan Taoisme 8%; Bahasa Nasionalnya Nauru; Mata Uangnya dalam satuan Dollar Australia; Lagu Kebangsaannya “Anibare Bay”; Hasil Taninya tak ada data; Sumber Alamnya satu-satunya adalah Fosfat.


PENDAHULUAN


N
auru merupakan salah satu dari lima negara merdeka terkecil di dunia. Yang lainnya adalah San Marino,Tuvalu, Gibraltar dan Vatikan. Terletak di Pasifik Barat, tepat di bawah garis khatulistiwa. Kini keaadaan alam lingkunganya  bopeng-bopeng, kemaraunya panjang dan kondisi tanahnya miskin (rusak). Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan keadaan Nauru saat ini. Sebuah negara kecil seluas ‘telapak tangan’ di daerah Pasifik Selatan Mikronesia, atau 500 km dari dari pulau Papua, sebelah timur laut Australia. Ironis, karena negara wilayah seluas 21 kilometer persegi ini selama 30 tahun pernah tercatat sebagai salah satu negara terkaya di dunia.

   Pendapatan perkapitanya pada tahun 1981 mencapai 17.000 dolar, bandingkan dengan Indonesia 32 kali lipatnya - yaitu hanya 530 dolar perkapita di tahun yang sama. Dengan pendapatan setinggi itu dengan jumlah penduduk yang hanya 13 ribu jiwa - masih lebih banyak penonton liga Indonesia lawan Arab Saudi tempo hari yang mencapai 90.000 jiwa, Nauru menjelma menjadi negara yang sangat kaya. Mereka membangun gedung-gedung tinggi. Membeli mobil-mobil dan pesawat-pesawat komersial mewah. Tak ada orang miskin di sana, apalagi gelandangan.

Negara mensubsidi kehidupan seluruh rakyatnya. Lebih dari 80% angkatan kerja diangkat sebagai pegawai negeri. Para pegawai ini tidak terikat jam kerja. Mereka boleh datang dan pergi sesuka hati. Para penganggur pun disubsidi oleh negara. Pendek kata, saking kayanya Nauru, tanpa bekerja pun para penduduk bisa hidup mewah. Rakyat tidak dikenakan pajak. Pendidikan dan kesehatan gratis, pangan disubsidi, yang ingin sekolah ke luar negeri diberi beasiswa. Bahkan saking manjanya, penduduk Nauru enggan jadi pekerja lapangan. Pemerintahnya terpaksa mengimpor tenaga kerja dari Australia, Cina, Kiribati dan Tuvalu.


Negara Phospat

Apa yang membuat Nauru menjadi sebegitu kaya? Tak lain karena kotoran burung. Lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung Guano yang menumpuk selama ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Hal ini dikarenakan dulunya Nauru merupakan tempat bagi koloni besar burung Guano. Kotoran burung ini menjadi phospat, yang berfungsi sebagai pupuk tanaman.

Phospat ditemukan tahun 1899 dan mulai dieksplorasi tahun 1907. Saat itu Nauru masih menjadi bagian dari negara Australia. Setelah diberi kemerdekaan pada 31 Januari 1968, pertambangan phospat dikuasai putra daerah. Diperkirakan, deposit phospat berkualitas tinggi di seluruh Nauru berjumlah 41 juta ton. Ini jumlah yang teramat besar. Bandingkan dengan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, jumlah seluruh deposit phospatnya diperkirakan hanya 2,5 juta ton. Karena itu wajarlah kiranya negara yang masuk dalam daftar negara terkecil di dunia itu disebut-sebut sebagai negara phospat, dan diincar banyak negara.


NEGARA BANGKRUT

Eksplorasi Berlebihan

Kekayaan membuat Nauru terlena. Mereka mengeksplorasi phospat, yang menjadi satu-satunya sandaran hidup negara itu secara besar-besaran, tanpa memikirkan masa depan. Hal ini mengakibatkan dua masalah serius.

Masalah Pertama, eksplorasi besar-besaran itu membuat cadangan phospat Nauru menipis. Jumlah ekspornya menurun drastis dari dua juta ton pertahun ke Australia dan Selandia Baru, menjadi hanya 33.000 ton saja tahun 2001. Pendapatan perkapitanya turun dari 17.000 dolar ke angka 3.000 dolar.

Tahun 2006 menjadi tahun yang sangat berat bagi Nauru karena pertambangan-pertambangan besar Nauru tutup akibat ketiadaan phospat. Yang masih beroperasi hanyalah pertambangan skala kecil yang tak terlalu bisa diandalkan. Akibatnya sungguh mengerikan.

Nauru kini bangkrut, bagaimana kondisi negara bangkrut itu? Hutang mereka mencapai 240 juta dolar, lebih besar dari APBN mereka sendiri. Nauru terpaksa melego propertinya untuk menutupi hutang seperti gedung pencakar langit Nauru House, Sydney’s Mercure Hotel and Royal Randwick Shopping Center, hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne. Meski demikian, hutang tetap belum lunas, masih tersisa 33 juta dolar.

   Nauru jatuh dalam kubangan kemiskinan. Membayar sewa gedung saja mereka kini tak mampu. Beberapa waktu lalu, 30 orang perwakilan Nauru di Sydney diusir dari gedung kantor mereka karena menunggak sewa. Lapangan terbang mereka pun kini ditutup karena tak punya dana melakukan perawatan. Di tengah kepanikan, pemerintah Nauru mengambil langkah pragmatis, mereka menawarkan Nauru kepada Australia untuk menjadi tempat pengungsian manusia-manusia perahu dengan imbalan 20 juta dolar. Namun, karena masyarakat Nauru terbiasa hidup manja dan malas akibat kemakmuran, mereka tidak tahu bagaimana cara mengurus para pengungsi ini, akibatnya para pengungsi hidup terlantar dalam kondisi menyedihkan.


Kerusakan Lingkungan

Masalah Kedua, Nauru adalah kerusakan lingkungan. Masalah ini tak kalah seriusnya. Organisasi pecinta lingkungan Greenpeace mencatat, akibat pertambangan yang membabi buta, 90% wilayah Nauru kini tak layak huni (waste-land),dan memerlukan rehabilitasi secara besar-besaran. Nauru menuntut Inggris, Australia dan Selandia Baru untuk membayar ganti rugi atas kerusakan ekologinya, sebab perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Nauru berasal dari negara-negara tersebut. Pada penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Australia setuju membayar 2,5 juta dolar Australia pertahun selama 20 tahun. Inggris dan Selandia Baru, masing-masing membayar 12 juta dolar. Namun kompensasi ini sungguh tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Tercatat, selain merusak 90% wilayah Nauru, pertambangan juga menghancurkan 40% kehidupan laut di Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone). Vegetasi hijau dan habitat mamalia musnah. Jenis-jenis hewan di Nauru sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari.

   Kini, masalah yang lebih gawat menanti di depan mata. Akibat kerusakan lingkungan, lahan yang ada tak bisa ditanami dan cadangan air menghilang.

Mereka terpaksa mengimpor seluruh makanan dan minuman dari Australia. Sungguh mengkhawatirkan kondisi negara kecil Nauru kini. Wilayah yang dulunya makmur dan subur itu, kini panas dan gersang. Tak ada lagi kehijauan, hanya debu yang menutup pandangan.


PENUTUP

Kondisi Alam Yang Rusak

Setelah eksplorasi phospat besar-besaran selama puluhan tahun, kini Nauru menuai akibatnya. Menurut investigasi Greenpeace, 90% wilayah Nauru mengalami kerusakan parah dan perlu direhabilitasi. Itu berarti hanya sekitar 2 km persegi saja wilayah Nauru yang layak huni. Greenpeace juga menemukan sebaran racun akibat aktivitas pertambangan di tiga tempat. Zat-zat beracun itu yakni Polychlorinated biphenyls (PCBs), Asbestos, Polyvinyl chloride plastic (PVC) dan metal.

Kerusakan yang luar biasa ini memerlukan masa rehabilitasi yang sangat lama dan biaya mahal. Nauru harus mengimpor pupuk, humus, dan nutrien penting lainnya untuk membangun kembali ekosistemnya.

Biayanya sekitar 200 juta dolar dan prosesnya memakan waktu 30 tahun. Hal paling krusial dilakukan adalah mereklamasi kembali wilayah pertanian, sumber air bersih, peternakan, dan plantasi pepohonan. Kalau langkah ini tak dilakukan, maka seluruh penduduk Nauru harus bermigrasi ke daerah lain. Bila terus di Nauru mereka akan menderita berbagai penyakit akibat pertambangan, kelaparan dan ketiadaan air. Pilihan daerah migrasi adalah pulau-pulau kosong di wilayah Kepulauan Pasifik.

   Pemerintah Nauru berniat mereklamasi kembali wilayahnya. Untuk itu tahun 1989, mereka mengajukan tuntutan terhadap Australia di Pengadilan Internasional. Nauru menuntut Australia untuk membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan pertambangannya. Perusahaan itu sendiri sebenarnya merupakan konsorsium tiga negara, yakni Australia, Inggris dan Selandia Baru. Australia mengelak dari tuntutan ini dan menuding Nauru sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Sebab negara ini merdeka dari Australia tahun 1968. Dan sejak itu pertambangan phospat Nauru dikelola putra daerah, bukan lagi oleh perusahaan konsorsium tersebut.

Tahun 1992, Pengadilan Internasional mengabulkan gugatan Nauru. Menurut mereka Australia dan dua negara lainnya (Inggris dan Selandia Baru) harus ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan Nauru, karena mereka ikut mengeksplorasi tambang ini sebelumnya.

Tahun 1993 tiga negara tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi. Australia harus membayar kompensasi sebesar 107 juta dolar Australia, sedang Inggris dan Selandia Baru, masing-masingnya 12 juta dolar.


Dinaungi Awan Kelabu

Bagaimanakah masa depan Nauru selanjutnya? Dinaungi awan kelabu. Kompensasi yang diberikan tiga negara tersebut sama sekali tak menolong Nauru. Dana yang ada justru dihabiskan untuk menghidupi Nauru. Bila dana habis tak jelas bagaimana lagi nasib negara kecil ini. Sekarang saja, APBN Nauru tinggal beberapa juta dolar saja.

Masih gelap bagaimana mereka menyongsong masa depan. Satu-satunya handalan dan juga tulang punggung perekonomian yaitu phospat mereka telah habis – depositnya nol. Mereka tak punya potensi ekonomi lainnya seperti pariwisata. Rakyat Nauru pun terbiasa malas, tidak tahu cara bekerja keras.

   Kisah Nauru ini menjadi pelajaran bagi Indonesia. Bila kita terus mengeksplorasi alam membabi buta, bukan mustahil di masa depan kita pun akan bernasib sama. Efek negatif dari hanya mengandalkan eksport bahan mentah ketimbang diolah sendiri yang value added-nya lebih tinggi dari menjual bahan mentah, policy pemerintah semacam ini patut diwaspadai.

Pengolahan sumber daya alam yang diolah sendiri akan memberikan lapangan pekerjaan yang efek economic engineering mendapat kelipatannya berganda-ganda baik untuk kemajuan bangsa dan rakyatnya. Last but not lease kedaulatan dan ketahanan bangsa first, tidak seperti sekarang, mencemaskan. Apatah kita tidak belajar dari kemajuan bangsa-bansa Eropah yang dalam masa abad tengah masih “kêrê ketimbang kemajuan Islam di abad tengah?

Policy negara hendaknya berorientasi kepada ketahanan, kedaulatan dan kemakmuran warga negara akar rumput dan menjaga lingkungan alam agar lestari. - Apatah Republik Nauru yang di depan mata kita ini tidak menjadi pelajaran yang terbaik? Atau melihat pula negara tetangga, Singapura yang berdaulat dan makmur? Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM






Sumber:
http://www.fadhilza.com/2017/10/kehidupan-manusia/kisah-sedih-republik-nauru-habis-kaya-terbitlah-duka.html
http://vaneshajoe.blogspot.co.id/2012/08/kisah-sedih-republik-nauru-habis-kaya_5.html?m=1
https://www.youtube.com/embed/YPYIxUhX6mg