Telah nampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki
agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar). [QS Ar- Rūm 30:41]
Data-data adalah sebagai berikut.
Republik Nauru luas wilayahnya
21 kilometer persegi; Bentuk Negaranya Republik; Kepala Negara dan kepala
pemerintahannya dipimpin oleh seorang Presiden; Ibukotanya, Yaren; Agama
penduduknya terdiri dari Protestan 58%, Katolik 24%, Konghucu dan Taoisme 8%; Bahasa
Nasionalnya Nauru; Mata Uangnya dalam satuan Dollar Australia; Lagu Kebangsaannya
“Anibare Bay”; Hasil Taninya tak ada data; Sumber Alamnya satu-satunya adalah
Fosfat.
PENDAHULUAN
N
|
auru merupakan salah satu dari lima negara
merdeka terkecil di dunia. Yang lainnya adalah San Marino,Tuvalu, Gibraltar dan
Vatikan. Terletak di Pasifik Barat, tepat di bawah garis khatulistiwa. Kini keaadaan
alam lingkunganya bopeng-bopeng, kemaraunya
panjang dan kondisi tanahnya miskin (rusak). Itulah tiga kata yang bisa
menggambarkan keadaan Nauru saat ini. Sebuah negara kecil seluas ‘telapak
tangan’ di daerah Pasifik Selatan Mikronesia, atau 500 km dari dari pulau Papua,
sebelah timur laut Australia. Ironis, karena negara wilayah seluas 21 kilometer
persegi ini selama 30 tahun pernah tercatat sebagai salah satu negara terkaya
di dunia.
Pendapatan
perkapitanya pada tahun 1981 mencapai 17.000 dolar, bandingkan dengan Indonesia
32 kali lipatnya - yaitu hanya 530 dolar perkapita di tahun yang sama. Dengan
pendapatan setinggi itu dengan jumlah penduduk yang hanya 13 ribu jiwa - masih
lebih banyak penonton liga Indonesia lawan Arab Saudi tempo hari yang mencapai
90.000 jiwa, Nauru menjelma menjadi negara yang sangat kaya. Mereka membangun
gedung-gedung tinggi. Membeli mobil-mobil dan pesawat-pesawat komersial mewah.
Tak ada orang miskin di sana, apalagi gelandangan.
Negara mensubsidi kehidupan seluruh rakyatnya.
Lebih dari 80% angkatan kerja diangkat sebagai pegawai negeri. Para pegawai ini
tidak terikat jam kerja. Mereka boleh datang dan pergi sesuka hati. Para
penganggur pun disubsidi oleh negara. Pendek kata, saking kayanya Nauru, tanpa
bekerja pun para penduduk bisa hidup mewah. Rakyat tidak dikenakan pajak.
Pendidikan dan kesehatan gratis, pangan disubsidi, yang ingin sekolah ke luar
negeri diberi beasiswa. Bahkan saking manjanya, penduduk Nauru enggan jadi
pekerja lapangan. Pemerintahnya terpaksa mengimpor tenaga kerja dari Australia,
Cina, Kiribati dan Tuvalu.
Negara Phospat
Apa yang membuat Nauru menjadi sebegitu kaya? Tak
lain karena kotoran burung. Lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan
tahi burung Guano yang menumpuk selama ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Hal
ini dikarenakan dulunya Nauru merupakan tempat bagi koloni besar burung Guano.
Kotoran burung ini menjadi phospat, yang berfungsi sebagai pupuk tanaman.
Phospat ditemukan tahun 1899 dan mulai dieksplorasi tahun 1907. Saat itu Nauru masih menjadi bagian dari negara Australia. Setelah diberi kemerdekaan pada 31 Januari 1968, pertambangan phospat dikuasai putra daerah. Diperkirakan, deposit phospat berkualitas tinggi di seluruh Nauru berjumlah 41 juta ton. Ini jumlah yang teramat besar. Bandingkan dengan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, jumlah seluruh deposit phospatnya diperkirakan hanya 2,5 juta ton. Karena itu wajarlah kiranya negara yang masuk dalam daftar negara terkecil di dunia itu disebut-sebut sebagai negara phospat, dan diincar banyak negara.
NEGARA BANGKRUT
Eksplorasi Berlebihan
Kekayaan
membuat Nauru terlena. Mereka mengeksplorasi phospat, yang menjadi satu-satunya
sandaran hidup negara itu secara besar-besaran, tanpa memikirkan masa depan.
Hal ini mengakibatkan dua masalah serius.
Masalah Pertama, eksplorasi besar-besaran itu membuat cadangan phospat Nauru menipis. Jumlah ekspornya menurun drastis dari dua juta ton pertahun ke Australia dan Selandia Baru, menjadi hanya 33.000 ton saja tahun 2001. Pendapatan perkapitanya turun dari 17.000 dolar ke angka 3.000 dolar.
Tahun 2006 menjadi tahun yang sangat berat bagi
Nauru karena pertambangan-pertambangan besar Nauru tutup akibat ketiadaan
phospat. Yang masih beroperasi hanyalah pertambangan skala kecil yang tak
terlalu bisa diandalkan. Akibatnya sungguh mengerikan.
Nauru kini bangkrut, bagaimana kondisi negara bangkrut itu? Hutang
mereka mencapai 240 juta dolar, lebih besar dari APBN mereka sendiri. Nauru
terpaksa melego propertinya untuk menutupi hutang seperti gedung pencakar langit Nauru House, Sydney’s Mercure Hotel and Royal Randwick
Shopping Center, hotel-hotel Downtowner and Savoy Park Plaza di Melbourne.
Meski demikian, hutang tetap belum lunas, masih tersisa 33 juta dolar.
Nauru
jatuh dalam kubangan kemiskinan. Membayar sewa gedung saja mereka kini tak
mampu. Beberapa waktu lalu, 30 orang perwakilan Nauru di Sydney diusir dari
gedung kantor mereka karena menunggak sewa. Lapangan terbang mereka pun kini
ditutup karena tak punya dana melakukan perawatan. Di tengah kepanikan,
pemerintah Nauru mengambil langkah pragmatis, mereka menawarkan Nauru kepada Australia
untuk menjadi tempat pengungsian manusia-manusia perahu dengan imbalan 20 juta
dolar. Namun, karena masyarakat Nauru terbiasa hidup manja dan malas akibat
kemakmuran, mereka tidak tahu bagaimana cara mengurus para pengungsi ini,
akibatnya para pengungsi hidup terlantar dalam kondisi menyedihkan.
Kerusakan Lingkungan
Masalah Kedua, Nauru adalah kerusakan lingkungan.
Masalah ini tak kalah seriusnya. Organisasi pecinta lingkungan Greenpeace
mencatat, akibat pertambangan yang membabi buta, 90% wilayah Nauru kini tak
layak huni (waste-land),dan memerlukan rehabilitasi secara besar-besaran. Nauru
menuntut Inggris, Australia dan Selandia Baru untuk membayar ganti rugi atas
kerusakan ekologinya, sebab perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di
Nauru berasal dari negara-negara tersebut. Pada penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, Australia setuju membayar 2,5 juta dolar Australia pertahun selama
20 tahun. Inggris dan Selandia Baru, masing-masing membayar 12 juta dolar.
Namun kompensasi ini sungguh tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Tercatat, selain merusak 90% wilayah Nauru, pertambangan juga menghancurkan 40%
kehidupan laut di Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone). Vegetasi
hijau dan habitat mamalia musnah. Jenis-jenis hewan di Nauru sangat sedikit,
bisa dihitung dengan jari.
Kini, masalah yang lebih gawat menanti di depan mata. Akibat kerusakan lingkungan, lahan yang ada tak bisa ditanami dan cadangan air menghilang.
Mereka terpaksa mengimpor seluruh makanan dan minuman dari Australia. Sungguh mengkhawatirkan kondisi negara kecil Nauru kini. Wilayah yang dulunya makmur dan subur itu, kini panas dan gersang. Tak ada lagi kehijauan, hanya debu yang menutup pandangan.
PENUTUP
Kondisi Alam Yang Rusak
Setelah eksplorasi phospat besar-besaran selama puluhan
tahun, kini Nauru menuai akibatnya. Menurut investigasi Greenpeace, 90% wilayah
Nauru mengalami kerusakan parah dan perlu direhabilitasi. Itu berarti hanya
sekitar 2 km persegi saja wilayah Nauru yang layak huni. Greenpeace juga menemukan
sebaran racun akibat aktivitas pertambangan di tiga tempat. Zat-zat beracun itu
yakni Polychlorinated biphenyls (PCBs), Asbestos, Polyvinyl chloride plastic
(PVC) dan metal.
Kerusakan yang luar biasa ini memerlukan masa rehabilitasi yang sangat lama dan biaya mahal. Nauru harus mengimpor pupuk, humus, dan nutrien penting lainnya untuk membangun kembali ekosistemnya.
Biayanya sekitar 200 juta dolar dan prosesnya
memakan waktu 30 tahun. Hal paling krusial dilakukan adalah mereklamasi kembali
wilayah pertanian, sumber air bersih, peternakan, dan plantasi pepohonan. Kalau
langkah ini tak dilakukan, maka seluruh penduduk Nauru harus bermigrasi ke
daerah lain. Bila terus di Nauru mereka akan menderita berbagai penyakit akibat
pertambangan, kelaparan dan ketiadaan air. Pilihan daerah migrasi adalah
pulau-pulau kosong di wilayah Kepulauan Pasifik.
Pemerintah
Nauru berniat mereklamasi kembali wilayahnya. Untuk itu tahun 1989, mereka
mengajukan tuntutan terhadap Australia di Pengadilan Internasional. Nauru
menuntut Australia untuk membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan yang
dilakukan perusahaan pertambangannya. Perusahaan itu sendiri sebenarnya
merupakan konsorsium tiga negara, yakni Australia, Inggris dan Selandia Baru.
Australia mengelak dari tuntutan ini dan menuding Nauru sebagai pihak yang seharusnya
bertanggungjawab. Sebab negara ini merdeka dari Australia tahun 1968. Dan sejak
itu pertambangan phospat Nauru dikelola putra daerah, bukan lagi oleh
perusahaan konsorsium tersebut.
Tahun 1992, Pengadilan Internasional mengabulkan gugatan Nauru. Menurut mereka Australia dan dua negara lainnya (Inggris dan Selandia Baru) harus ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan Nauru, karena mereka ikut mengeksplorasi tambang ini sebelumnya.
Tahun 1993 tiga negara tersebut diwajibkan untuk membayar ganti rugi. Australia harus membayar kompensasi sebesar 107 juta dolar Australia, sedang Inggris dan Selandia Baru, masing-masingnya 12 juta dolar.
Dinaungi Awan Kelabu
Bagaimanakah masa depan Nauru selanjutnya? Dinaungi
awan kelabu. Kompensasi yang diberikan tiga negara tersebut sama sekali tak
menolong Nauru. Dana yang ada justru dihabiskan untuk menghidupi Nauru. Bila
dana habis tak jelas bagaimana lagi nasib negara kecil ini. Sekarang saja, APBN
Nauru tinggal beberapa juta dolar saja.
Masih gelap bagaimana mereka menyongsong masa depan. Satu-satunya handalan dan juga tulang punggung perekonomian yaitu phospat mereka telah habis – depositnya nol. Mereka tak punya potensi ekonomi lainnya seperti pariwisata. Rakyat Nauru pun terbiasa malas, tidak tahu cara bekerja keras.
Kisah
Nauru ini menjadi pelajaran bagi Indonesia. Bila kita terus mengeksplorasi alam
membabi buta, bukan mustahil di masa depan kita pun akan bernasib sama. Efek
negatif dari hanya mengandalkan eksport bahan mentah ketimbang diolah sendiri
yang value added-nya lebih tinggi dari
menjual bahan mentah, policy pemerintah semacam ini patut diwaspadai.
Pengolahan sumber daya alam yang diolah sendiri
akan memberikan lapangan pekerjaan yang efek economic engineering mendapat kelipatannya berganda-ganda baik
untuk kemajuan bangsa dan rakyatnya. Last
but not lease kedaulatan dan ketahanan bangsa first, tidak seperti sekarang, mencemaskan. Apatah kita tidak
belajar dari kemajuan bangsa-bansa Eropah yang dalam masa abad tengah masih “kêrê”
ketimbang kemajuan Islam di abad tengah?
Policy negara hendaknya berorientasi kepada
ketahanan, kedaulatan dan kemakmuran warga negara akar rumput dan menjaga lingkungan alam agar lestari. - Apatah Republik
Nauru yang di depan mata kita ini tidak menjadi pelajaran yang terbaik? Atau
melihat pula negara tetangga, Singapura yang berdaulat dan makmur? Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Video --klik--> REPUBLIK NAURU DALAM KUBANGKEBANGKRUTAN
Sumber:
http://www.fadhilza.com/2017/10/kehidupan-manusia/kisah-sedih-republik-nauru-habis-kaya-terbitlah-duka.html
http://vaneshajoe.blogspot.co.id/2012/08/kisah-sedih-republik-nauru-habis-kaya_5.html?m=1
https://www.youtube.com/embed/YPYIxUhX6mg □□