Thursday, August 3, 2023

Bedah Buku Homo Deus (IV)


HUBUNGAN MANUSIA DAN TEKNOLOGI

P

embedahan dengan tools pemikiran kritis telah menunjukkan bahwa informasi-informasi yang dijadikan dasar untuk membangun kesimpulan atas realisasi Homo Deus sangat kuat. Namun, dibangun di atas dasar asumsi filosofis dan POV (point of view) yang tidak seimbang (elemen keluasan/ breath). Pengambilalihan otoritas dari 'sapiens' ke 'Homo Deus' bisa jadi mendapat sambutan menggebu dari sejumlah kalangan, tetapi sekaligus kekhawatiran akan implikasinya, terutama karena Harari mengindikasikan sebuah masa depan dimana teknologi berkuasa atas manusia. Semua capaian manusia dan kecepatan teknologi yang dipresentasikan Harari memperkuat arah kepada realisasi impianimpian baru homo sapiens, yang intinya membuktikan bahwa teknologi segera mengambil alih kontrol atas dunia. Atas perkembangan mengkhawatirkan di atas, Harari mengajukan pertanyaan antisipatif, “adakah yang bisa menginjak rem?" [9]

           Dengan tegas dijawab sendiri, tidak! Dua alasan yang disampaikannya lebih bersifat teknis daripada substantif. [10] Untuk memberikan jawaban substantif perlu dibahas esensi teknologi secara filosofis guna mengungkap prasyarat kemungkinan ke arah itu.

           Mengingat pendekatan sains (evolusi) menolak metafisika, saya memilih menggunakan perspektif fenomenologi Heidegger untuk membedah karya yang telah menjadi international bestseller ini. Bagi Heidegger, teknologi bukanlah alat fisik, seperti batu untuk memecah buah sebagaimana digunakan moyang Homo Sapien, kapak untuk membelah pohon, hingga mesin ketik, lokomotif, lalu komputer, gatget, algoritma dan kecerdasan artifisial yang makin rumit. Teknologi secara esensial merupakan jejak manusia, yang dimaknai sebagai ketersingkapan (aletea) realitas atau kebenaran. Realitas tidak lain Dasein, yaitu manusia itu sendiri. Teknologi, secanggih apa pun, bukan ditemukan melainkan (hanya) disingkapkan, dan esensi sesungguhnya adalah penyingkapan diri Dasein. [11]  Teknologi telah terlebih dahulu tertanam (embedded) dalam kebudayaan, yang kemudian disingkapkan ke hadapan (her-vor-bringen/ bringing-forth). Tidak ada teknologi tanpa Dasein, dikarenakan teknologi adalah penanda eksistensial bagi Dasein. Sederhananya, dapatkah teknologi ada tanpa manusia? Bila Anda tersesat di sebuah planet antah-berantah tak dikenal, dan tiba-tiba menemukan sebuah alat yang memancarkan signal, apa kesimpulan logisnya? Ada manusia (Dasein), di sini!

           Memang, cara interpretasi Heidegger atas teknologi seperti di atas lalu dianggap lebih bersifat metafisik. Tetapi, apakah para evolusionis atau bahkan positivis akan menyangkal, bahwa dibalik teknologi selalu terdapat pembuatnya? Teknologi, secanggih apapun, tidak pernah membuat dirinya sendiri, juga tidak mengembangkan dirinya sendiri, bukan? Tekonogi adalah wayang, yang seberapa atraktif pun gerakan dan narasi yang disampaikannya, membutuhkan dalang!


CATATAN AKKHIR

SEBAGAI KESIMPULAN ANTISIPATIF

D

engan pemahaman teknologi seperti di atas, agama data dan tuhan algoritma semata-mata jejak homo sapiens. Maka, kesimpulan yang tak terhindarkan adalah: “agama data dan tuhan algoritma pada hakikatnya manifestasi pemujaan diri homo sapiens, terlebih khususnya, tentu saja para pencipta teknologi.” Sebagai proyeksi, konsepsi agama data merupakan ciptaan para teknolog agar memposisikan diri di puncak piramida kekuasaan masa depan. Kalau demikian, ternyata terdapat arah yang menginisiasi gerakan. Bukankah itu mengingkari nature evolusi yang diklaim buta (bergerak tanpa arah)?

           Homo dues bukanlah homo sapiens, melainkan sekelompok manusia elitis yang menginisiasi dan menjadi pelopor dalam pengembangan teknologi mutakhir, dengan impian besar mengejar kebahagiaan, keabadian, dan keilahian di dunia ini. Teknologi lalu dipersonifikasi sebagai makluk anonim yang disakralkan sebagai ‘penguasa dan tuhan,’ padahal dibalik itu sesungguhnya para teknologlah dalangnya. Dengan demikian, pertanyaan terakhir terjawab; bahwa teknologi bukanlah subyek otonom yang berdiri di luar manusia, lalu mengendalikannya. Manusia atau homo sapiens-lah penguasa atas teknologi, karenanya ia dapat memutuskan arah dan pemanfaatannya. Alasan teknis dari Harari yang menutup pintu bagi intervensi arah teknologi agar tidak mengancam masa depan seharusnya dapat diatasi. Contoh aktual, menghadapi kasus virus corona (covid-19) atau pandemik yang menjangkiti hampir 200 negara telah membuktikan, bahwa manusia seluruh dunia dapat menjalani program penguncian (lockdown) - tinggal di rumah atau setidaknya social distancing selama berjangkit. Bukankah itu menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial lantaran aktivitas-aktivitas perekonomian hampir sepenuhnya terhenti, juga kegiatan sosial yang menjadi ciri hakiki manusia sebagai zon politicon dapat ditunda? Toch, bisa berjalan, bukan?

           Sebagai ‘wahyu dalam kitab suci evolusi’ [12] Homo Deus memberikan gambaran masa depan yang tidak hanya suram melainkan juga gamang. Di satu sisi, ‘homo deus’ ditampilkan begitu digdaya menyingkirkan ‘homo sapiens’ dan Tuhan, lalu mengambilalih kendali atas dunia dan alam semesta. Namun, di sisi lain, kualitas tuhan yang ditawarkan Homo Deus hanyalah ‘serba super’ di atas manusia. Sebuah superioritas tanpa arah, tanpa dimensi ‘untuk apa’, karenanya menjadi ‘multistabilitas’ baik dalam tindak kebaikan maupun keburukan. Ini mungkin implikasi yang tidak penting bagi kaum evolusionis yang tidak terikat dengan nilai-nilai etis. Dalam kendali tuhan macam ini tidak dibutuhkan orientasi etis dan moral sebagai acuan. Meski demikian, perlu juga dipertimbangkan bahwa dunia yang kita hidupi tidak beroperasi semata-mata menurut hukum tunggal evolusi, bukan? Dan, catatan tambahan untuk “kedigdayaan homo deus” telah terbukti juga tidak berdaya dihadapan serangan pandemi covid-19, terbukti dengan kemampuannya menyebar di seluruh negara dan membunuh 13,3 - 16,6 juta orang, (CNBC Indonesia 5 Mei 2022).

           Sebagai bagian dari orang yang berdiri diatas perspektif penciptaan, saya kira para penganut iman tidak perlu terganggu. Toh, tuhan-nya ‘homo deus’ ciptaan teknologi artificial, meski memiliki kualitas-kualitas super melampaui manusia, yang karenanya sangat mungkin menguasai manusia. Namun, para ‘makluk tuhan’ itu lebih mirip para dewa Yunani di Olimpus dengan sifat-sifat khas manusia, hanya saja lebih super. Gambaran tuhan ‘homo deus’ sama sekali jauh dari gambaran agama-agama (khususnya agama Abrahamik) tentang Tuhan personal, dengan kualitas “serba maha baik.” [13] Figur tuhan homo deus tidak bisa menggantikan Tuhan (transenden) yang menjadi model kesempurnaan kebaikan dan cinta kasih. Dibalik misi ‘homo deus’ sesungguhnya terletak motif, “penguasaan sekelompok manusia atas manusia secara keseluruhan, dengan dibantu alat (teknologi).”

           Patut dikhawatirkan adalah implikasi logis dan konsekuensi tindaknya. “Perang antara dewa” menjadi niscaya, dan karena para dewa ini hanya punya kemampuan super tetapi bukan ‘kebaikan super’ maka potensinya terbuka pada proses dehumanisasi, demoralisasi, dan bahkan ke arah saling menghancurkan. Kalau gambaran perang antara para dewa Yunani kuno hanyalah proyeksi manusia tentang fenomena alam seperti halilintar, gempa, badai laut, puting beliung, epidemi, gagal panen, pelangi dan sebagainya, yang sesungguhnya tidak menimbulkan kerusakan dan efek saling menghancurkan, hal ini berbeda sama sekali dengan perang “manusia-manusia dewa”. Di sisi lain perang antara “manusia robot” melawan “manusia organik” juga terbuka lebar disebabkan motif kekuasaan selalu diiringi hasrat primitif untuk menguasai atau mencaplok (homo homini lopus - manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Masihkah dalam dunia masa depan yang dihuni homo deus hal-hal sejenis demokrasi, hak azasi manusia, hak pemilikan pribadi, hak hidup makluk, keseimbangan ekologi, kesetaraan gender dan sejenisnya dibutuhkan? Kalautidak, Dunia macam apa yang akan tercipta?

           Seperti ditekankan tentang perang narasi yang dimenangi Liberalisme, demikian pula HD menggambarkan kemenangan narasi teknologis-evolusionis atas narasi-narasi Penciptaan. Para penganut penciptaan terlalu terpaku pada narasi-narasi antik tanpa upaya mereproduksinya agar ikut menerangi jalan peradaban. Institusi religius masih percaya diri menggunakan lentera berbahan bakar biji kemiri dan kapas di ‘tol peradaban’ yang melaju dengan kecepatan cahaya di kosmos virtual. Kegagalan institusi-institusi religius menghadirkan narasi tandingan menyebabkan kemenangan narasi humanisme-evolusionis tidak terimbangi apalagi tersaingi. Diskusi-diskusi Harari tentang HD dalam berbagai forum publik lebih banyak dimitrakan dengan sesama penganut evolusi, termasuk dengan Richard Dawkins, makin memperkuat narasi evolusionis. Sementara kaum teolog belum muncul ke panggung untuk memberikan perspektif menanggapi HD, sebagaimana misalnya, ketika mereka sengit menghadapi Richard Dawkins lewat karyanya the God Delusion (2006) atau the Grand Designnya Stephen Hawking (2010).

           Lain dari itu, menurut saya cacat nalar Homo Deus terletak pada implikasi logis dan konsekuensi tindaknya. Dengan menyimpulkan bahwa cyborg (cybernetic organism – teori informasi / pengendalian organisme), algoritma, dan data menjadi agama masa depan, terdapat dua cacat nalar sekaligus.

           Pertama, materialisasi manusia dan tuhan. Harari memperlakukan manusia dan tuhan sebagai benda semata, dan menguliknya sebagai obyek bedah sebagaimana halnya mempreteli sebuah tengkorak pitecantropus untuk mendeteksi usia dan konteks historisnya. Dalam filsafat, khususnya Kantian, Tuhan bukan obyek pengetahuan, bahkan bukan obyek karena melamapaui obyek (melampaui Ada). Vitur-vitur kodrati manusia tidak memadai untuk mengetahui Tuhan, namun impian manusia memodelkan kesempurnaan kebaikan mengandaikan adanya sumber utama kesempurnaan, yaitu Tuhan. [14] Demikian juga, manusia bukan obyek tindakan bagi alat, sebaliknya justru subyek yang bertindak. Dalam filsafat fenomenologi sekalipun yang “mensetarakan subyek dan obyek atau pengamat dan amatan” inisiasi muncul dari pengamat yang terlebih dahulu mengarahkan intensionalitasnya.

           Hal lain yang patut diperlihatkan dari argumen HD adalah bahwa menyimpulkan tuhan (sebagai semata-mata fiksi) dalam ruang dan waktu planet bumi, apalagi hanya dalam rentangan 70.000 tahun di ‘ruang waktu kosmik’ bagaikan menyimpulkan semua materi planet dari sebutir debu di tungku dapur. Manusia sendiri juga bukan makluk singular (individu), seperti diperlakukan Harari sebagai obyek. Harari menyebut, “manusia telah mengambil alih kekuasaan gen, mengintervensinya dan meng-upgrade dirinya sendiri.” Dalam pernyataan tersebut, gen seolah diperlakukan sebagai entitas asing yang tidak menubuh. Pun, subyek dalam kalimat itu bukanlah manusia dalam pengertian species bernama homo sapiens, melainkan hanya sejumlah anggota dari species itu. Di sini, penyebutan subyek manusia menyamarkan pelaku yang lebih spesifik dan tertentu.

           Kedua, kesimpulan Harari menjadikan teknologi sebagai subyek, sementara manusia menjadi obyek. Seperti telah dibahas melalui kacamata fenomenologi Heidegger teknologi bukanlah alat, melainkan tertanam (embedded) atau terbingkai dalam kebudayaan. Artinya, teknologi merupakan penyingkapan kebenaran (aletea) yang tak lain ketersingkapan manusia (Dasein) itu sendiri. Dalam hal ini yang tersingkap adalah para teknolog / teknokrat (pembuat teknologi), maka subyektifikasi teknologi sesungguhnya menunjuk pada pembuat teknologi, sementara ‘manusia yang di-obyek-kan’ itu menunjuk manusia lain yang menjadi pengguna teknologi.

           Implikasi lainnya adalah, dari kesimpulan bahwa homo sapiens telah digantikan oleh homo deus, Harari membawa humanisme mencapai puncak baru dalam tangga evolusi. Boleh dikatakan antroposentrime ekstrim, terlihat dalam bangunan argumen dan teori-teori besar yang dipresentasikan Harari memposisikan manusia di ‘pusat tata surya’ sebagai tuhan. Ini hanya wajah lama yang disulap dan didekorasi ulang secara memukau dengan teori-teori terbaru dan hasil-hasil riset aktual dari berbagai bidang keilmuan, terutama sains. Pokok argumen Harari memperkuat posisi sebagai pendukung antropsentrisme (neohumanisme) yang melaju tanpa hambatan di jalur evolusi, sekaligus proklamasi realisasi masyarakat positivis melalui agama data dan tuhan algoritma. Di sini sains positivistik telah mengklaim kemenangannya! [Tamat]. □

 

Bedah Buku Homo Deus

(klik->) (I)  (II)  (III)  (IV)

 

 Catatan Kaki:

[1] Ini sama sekali tidak berarti tools Pemikiran Kritis tidak memiliki cakupan memadai untuk melakukan asesmen terhadap sebuah bangunan nalar. Alasan lebih teknis adalah karena saya ingin membuat pembahasan yang lebih terukur terkait “hubungan manusia dan teknologi” yang menjadi pijakan Harari mencapai kesimpulan HD, yaitu “teknologi akan segera mengambil kendali dan menguasai manusia.” Pada tools Pemikiran Kritis, persoalan ini bisa ter-ases dalam elemen point of view dan assumptions, namun pembahasan akan terbatas.Untuk membuat ulasan lebih memadai dibutuhkan reflesksi filosofis.

[2] “Like it or not, we are members of a large and particularly noisy family called the great apes. Our closest living relatives include chimpanzees, gorillas and orang-utans. The chimpanzees are the closest. Just 6 million years ago, a single female ape had two daughters. One became the ancestor of all chimpanzees, the other is our own grandmother.”

[3] https://astrobiology.nasa.gov/news/looking-for-luca-the-last-universal- common-ancestor (diakses 12/08/2019)

[4] Posisi ini bisa dimengerti, dalam pengertian sebaiknya menjadi tugas mereka yang memiliki kompetensi dan spesialisasi pada bidang-bidang dimaksud. Seharusnya tokoh-tokoh agama, atau saintis teistik, atau para guru filsafat yang bediskusi dengan Harari untuk memberikan sudut pandang yang memadai terkait bidang-bidang yang terkait dalam analisis Harari.

[5] Halaman 336: “Homo sapiens is an obsolete algorithm. After all, what’s the advantage of humans over chickens? Only that in humans information flows in much more complex patterns than in chickens. Humans absorb more data, and process it using better algorithms.”

[6] Sayangnya, Harari tidak membahas, betapa kesuksesan memperpanjang usia manusia membawa konsekuensi munculnya beban baru terkait jumlah usia non produktif (seperti di Jepang). Betul, bahwa robot-robot telah diciptkan untuk membantu melayani para lansia itu, tetapi apakah itu memiliki dampak positif yang lebih besar atau sebaliknya?

[7] Dalam sebuah kuliahnya, Harari mengatakan, “bila saya (manusia) dan seekor simpanse dilepaskan di sebuah pulau kosong tak bepernghuni, saya yakin simpanse akan lebih kuat bertahan daripada saya.” Melalui pernyataan itu, Harari hendak menjelaskan bahwa tanpa kemampuan mengorganisir komunitas, manusia termasuk makluk yang sangat lemah secara individual. Harari bahkan menegaskan bahwa 70.000 tahun lalu, manusia hanya makluk lemah dan tak menonjol sama sekali seperti seekor ubur-ubur.

[8] Dataism religion dibahas secara khusus dalam bab 11, yang antara lain menjelaskan dataism sebagai berikut: “The universe consists of data flows, and the value of any phenomenon or entity is determined by its contribution to data processing.” (hal. 367)

[9] Halaman 50: “When people realise how fast we are rushing towards the great unknown, and that they cannot count even on death to shield them from it, their reaction is to hope that somebody will hit the brakes and slow us down. But we cannot hit the brakes.”

[10] Kedua alasan itu adalah, pertama: tidak ada yang tahu dimana letak rem untuk diinjak. Kedua; bila pun diketahui dan dilakukan akan menimbulkan keruntuhan ekonomi dunia dengan risiko yang besar.Ibid.

[11] Di sini kita bisa pahami kritik Max Weber sebagai instrumental rationality, yaitu ketika rasionalitas memuncak di teknologi, lalu seolah berarti berakhirnya rasionalitas. Teknologi sebagai wujud ‘rasionalitas’ sangat tergantung pada sekuens sebab-akibat (depends on the causal sequences or “if–then.”) Para penganut teori kritis seperti Herbet Marcuse, Habermas melanjutkan pemikiran Kant, Hegel, Marx, yang menentang instrumentasi rasionalitas (rasionalitas teknologi). Marcuse, misalnya akan mengganti atau membatasi rasionalitas instrumental dengan rasionalitas dialektik atau filosofis, bahkan mungkin mengganti sains dan teknologi tradisional dengan sains dan teknologi “terbebaskan” baru yang melayani nilai-nilai kemanusiaan. Lihat: Dusek, Val (2006). Philosophy of Technology, an Introduction, Blackwell Publishing. hal. 57-60.

[12] Harari nampak cukup rendah hati menghindari diposisikan futuristik. Ia mengakui hanya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan masa depan berdasarkan capaian-capaian dan obsesi homo sapiens sejauh ini yang diwakili para teknolog dan triliuner dunia.

[13] Pada hal.47 Harari memberi gambaran terang tentang homo dues: “keilahian bukankah kualitas metafisik yang samar. Dan, ia tidak sama dengan kemahakuasaan. Ketika berbicara tentang memperbaharui manusia menjadi tuhan, cobalah pikirkan dengan pemahaman tentang dewa-dewa Yunani atau Hindu, bukan Bapa di surga yang mahakuasa ala Injil. Keturunan-keturunan kita masih akan memiliki kelemahan-kelemahan, kekakuan-kekakuan, dan keterbatasan-keterbatasan, sebagaimana dimiliki Zeus dan Indra. Namun mereka bisa mencintai, membenci, menciptakan, dan menghancurkan dengan kekuatan yang jauh digdaya ketimbang kita.

[14] Dalam karyanya 21 Lessons for the 21st Centuries, Harari “mengkampanyekan” Secularism (Bab 14) sebagai satu dari ke-21 lessons, yang menurutnya dapat memprovidensi semua perangkat etis misalnya soal kebenaran, kebaikan, saling menolong dan sebagainya, tanpa sekat seperti terdapat dalam agama. Providensi itu membuat manusia tidak membutuhkan Tuhan. “Kalau orang saling berbuat baik, itu karena secara rasional bermanfaat bagi kebaikan bersama, bukan karena seorang kakek berjenggotsedang memandang dari atas sana mencatat semua tindak tanduk kita untuk memberi pukulan atau hadiah,” demikian kira-kira argumentasinya.

  

Kepustakaan:

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/15/115000120/5-hal-soal-buku-homo-deus-buku-yang-ramai-dibahas-di-twitter?page=all

https://mitimahasiswa.id/bedah-buku-homo-deus/

https://mediaindonesia.com/humaniora/111954/homo-deus-sinar-terang-yang-muram

https://ibtimes.id/homo-deus-ketika-manusia-menjadi-tuhan/

file:///C:/Users/afmar/Downloads/wtherik,+Manajer+Jurnal,+06.+Resensi+Buku-Homo+Deus.pdf