HUBUNGAN MANUSIA DAN TEKNOLOGI
P |
embedahan
dengan tools pemikiran kritis telah menunjukkan bahwa informasi-informasi yang
dijadikan dasar untuk membangun kesimpulan atas realisasi Homo Deus sangat
kuat. Namun, dibangun di atas dasar asumsi filosofis dan POV (point of view)
yang tidak seimbang (elemen keluasan/ breath). Pengambilalihan otoritas dari 'sapiens' ke 'Homo Deus' bisa jadi mendapat sambutan menggebu dari sejumlah kalangan,
tetapi sekaligus kekhawatiran akan implikasinya, terutama karena Harari
mengindikasikan sebuah masa depan dimana teknologi berkuasa atas manusia. Semua
capaian manusia dan kecepatan teknologi yang dipresentasikan Harari memperkuat
arah kepada realisasi impianimpian baru homo sapiens, yang intinya membuktikan
bahwa teknologi segera mengambil alih kontrol atas dunia. Atas perkembangan
mengkhawatirkan di atas, Harari mengajukan pertanyaan antisipatif, “adakah yang
bisa menginjak rem?" [9]
Dengan tegas dijawab sendiri, tidak!
Dua alasan yang disampaikannya lebih bersifat teknis daripada substantif. [10]
Untuk memberikan jawaban substantif perlu dibahas esensi teknologi secara
filosofis guna mengungkap prasyarat kemungkinan ke arah itu.
Mengingat
pendekatan sains (evolusi) menolak metafisika, saya memilih menggunakan
perspektif fenomenologi Heidegger untuk membedah karya yang telah menjadi
international bestseller ini. Bagi Heidegger, teknologi bukanlah alat fisik,
seperti batu untuk memecah buah sebagaimana digunakan moyang Homo Sapien, kapak
untuk membelah pohon, hingga mesin ketik, lokomotif, lalu komputer, gatget,
algoritma dan kecerdasan artifisial yang makin rumit. Teknologi secara esensial
merupakan jejak manusia, yang dimaknai sebagai ketersingkapan (aletea) realitas atau kebenaran.
Realitas tidak lain Dasein, yaitu
manusia itu sendiri. Teknologi, secanggih apa pun, bukan ditemukan melainkan
(hanya) disingkapkan, dan esensi sesungguhnya adalah penyingkapan diri Dasein.
[11] Teknologi telah terlebih dahulu
tertanam (embedded) dalam kebudayaan,
yang kemudian disingkapkan ke hadapan (her-vor-bringen/ bringing-forth). Tidak ada
teknologi tanpa Dasein, dikarenakan teknologi adalah penanda eksistensial bagi Dasein. Sederhananya, dapatkah teknologi
ada tanpa manusia? Bila Anda tersesat di sebuah planet antah-berantah tak
dikenal, dan tiba-tiba menemukan sebuah alat yang memancarkan signal, apa
kesimpulan logisnya? Ada manusia (Dasein),
di sini!
Memang, cara interpretasi Heidegger
atas teknologi seperti di atas lalu dianggap lebih bersifat metafisik. Tetapi,
apakah para evolusionis atau bahkan positivis akan menyangkal, bahwa dibalik
teknologi selalu terdapat pembuatnya? Teknologi, secanggih apapun, tidak pernah
membuat dirinya sendiri, juga tidak mengembangkan dirinya sendiri, bukan?
Tekonogi adalah wayang, yang seberapa atraktif pun gerakan dan narasi yang
disampaikannya, membutuhkan dalang!
CATATAN AKKHIR
SEBAGAI KESIMPULAN ANTISIPATIF
D |
engan
pemahaman teknologi seperti di atas, agama data dan tuhan algoritma semata-mata
jejak homo sapiens. Maka, kesimpulan yang tak terhindarkan adalah: “agama data
dan tuhan algoritma pada hakikatnya manifestasi pemujaan diri homo sapiens,
terlebih khususnya, tentu saja para pencipta teknologi.” Sebagai proyeksi,
konsepsi agama data merupakan ciptaan para teknolog agar memposisikan diri di
puncak piramida kekuasaan masa depan. Kalau demikian, ternyata terdapat arah
yang menginisiasi gerakan. Bukankah itu mengingkari nature evolusi yang diklaim buta (bergerak tanpa arah)?
Homo dues bukanlah homo sapiens,
melainkan sekelompok manusia elitis yang menginisiasi dan menjadi pelopor dalam
pengembangan teknologi mutakhir, dengan impian besar mengejar kebahagiaan, keabadian,
dan keilahian di dunia ini. Teknologi lalu dipersonifikasi sebagai makluk
anonim yang disakralkan sebagai ‘penguasa dan tuhan,’ padahal dibalik itu
sesungguhnya para teknologlah dalangnya. Dengan demikian, pertanyaan terakhir
terjawab; bahwa teknologi bukanlah subyek otonom yang berdiri di luar manusia,
lalu mengendalikannya. Manusia atau homo sapiens-lah penguasa atas teknologi,
karenanya ia dapat memutuskan arah dan pemanfaatannya. Alasan teknis dari
Harari yang menutup pintu bagi intervensi arah teknologi agar tidak mengancam
masa depan seharusnya dapat diatasi. Contoh aktual, menghadapi kasus virus
corona (covid-19) atau pandemik yang menjangkiti hampir 200 negara telah
membuktikan, bahwa manusia seluruh dunia dapat menjalani program penguncian (lockdown)
- tinggal di rumah atau setidaknya social distancing selama berjangkit. Bukankah
itu menimbulkan goncangan ekonomi dan sosial lantaran aktivitas-aktivitas
perekonomian hampir sepenuhnya terhenti, juga kegiatan sosial yang menjadi ciri
hakiki manusia sebagai zon politicon
dapat ditunda? Toch, bisa berjalan, bukan?
Sebagai ‘wahyu dalam kitab suci
evolusi’ [12] Homo Deus memberikan gambaran masa depan yang tidak hanya suram
melainkan juga gamang. Di satu sisi, ‘homo deus’ ditampilkan begitu digdaya
menyingkirkan ‘homo sapiens’ dan Tuhan, lalu mengambilalih kendali atas dunia
dan alam semesta. Namun, di sisi lain, kualitas tuhan yang ditawarkan Homo Deus hanyalah ‘serba super’ di atas manusia. Sebuah superioritas tanpa arah, tanpa
dimensi ‘untuk apa’, karenanya menjadi ‘multistabilitas’ baik dalam tindak
kebaikan maupun keburukan. Ini mungkin implikasi yang tidak penting bagi kaum evolusionis yang tidak terikat dengan
nilai-nilai etis. Dalam kendali tuhan
macam ini tidak dibutuhkan orientasi etis dan moral sebagai acuan. Meski
demikian, perlu juga dipertimbangkan bahwa dunia yang kita hidupi tidak
beroperasi semata-mata menurut hukum tunggal evolusi, bukan? Dan, catatan
tambahan untuk “kedigdayaan homo deus” telah terbukti juga tidak berdaya
dihadapan serangan pandemi covid-19, terbukti dengan kemampuannya menyebar di
seluruh negara dan membunuh 13,3 - 16,6 juta orang, (CNBC Indonesia 5 Mei
2022).
Sebagai bagian dari orang yang
berdiri diatas perspektif penciptaan, saya kira para penganut iman tidak perlu
terganggu. Toh, tuhan-nya ‘homo deus’ ciptaan teknologi artificial, meski
memiliki kualitas-kualitas super melampaui manusia, yang karenanya sangat
mungkin menguasai manusia. Namun, para ‘makluk tuhan’ itu lebih mirip para dewa
Yunani di Olimpus dengan sifat-sifat khas manusia, hanya saja lebih super.
Gambaran tuhan ‘homo deus’ sama sekali jauh dari gambaran agama-agama
(khususnya agama Abrahamik) tentang Tuhan personal, dengan kualitas “serba maha
baik.” [13] Figur tuhan homo deus tidak bisa menggantikan Tuhan (transenden)
yang menjadi model kesempurnaan kebaikan dan cinta kasih. Dibalik misi ‘homo
deus’ sesungguhnya terletak motif, “penguasaan sekelompok manusia atas manusia
secara keseluruhan, dengan dibantu alat (teknologi).”
Patut dikhawatirkan adalah implikasi logis
dan konsekuensi tindaknya. “Perang antara dewa” menjadi niscaya, dan karena
para dewa ini hanya punya kemampuan super tetapi bukan ‘kebaikan super’ maka
potensinya terbuka pada proses dehumanisasi, demoralisasi, dan bahkan ke arah
saling menghancurkan. Kalau gambaran perang antara para dewa Yunani kuno
hanyalah proyeksi manusia tentang fenomena alam seperti halilintar, gempa,
badai laut, puting beliung, epidemi, gagal panen, pelangi dan sebagainya, yang
sesungguhnya tidak menimbulkan kerusakan dan efek saling menghancurkan, hal ini
berbeda sama sekali dengan perang “manusia-manusia dewa”. Di sisi lain perang
antara “manusia robot” melawan “manusia organik” juga terbuka lebar disebabkan
motif kekuasaan selalu diiringi hasrat primitif untuk menguasai atau mencaplok
(homo homini lopus - manusia adalah
serigala bagi manusia lainnya). Masihkah dalam dunia masa depan yang dihuni
homo deus hal-hal sejenis demokrasi, hak azasi manusia, hak pemilikan pribadi,
hak hidup makluk, keseimbangan ekologi, kesetaraan gender dan sejenisnya
dibutuhkan? Kalautidak, Dunia macam apa yang akan tercipta?
Seperti ditekankan tentang perang
narasi yang dimenangi Liberalisme, demikian pula HD menggambarkan kemenangan
narasi teknologis-evolusionis atas narasi-narasi Penciptaan. Para penganut
penciptaan terlalu terpaku pada narasi-narasi antik tanpa upaya mereproduksinya
agar ikut menerangi jalan peradaban. Institusi religius masih percaya diri
menggunakan lentera berbahan bakar biji kemiri dan kapas di ‘tol peradaban’
yang melaju dengan kecepatan cahaya di kosmos virtual. Kegagalan
institusi-institusi religius menghadirkan narasi tandingan menyebabkan
kemenangan narasi humanisme-evolusionis tidak terimbangi apalagi tersaingi.
Diskusi-diskusi Harari tentang HD dalam berbagai forum publik lebih banyak
dimitrakan dengan sesama penganut evolusi, termasuk dengan Richard Dawkins,
makin memperkuat narasi evolusionis. Sementara kaum teolog belum muncul ke
panggung untuk memberikan perspektif menanggapi HD, sebagaimana misalnya,
ketika mereka sengit menghadapi Richard Dawkins lewat karyanya the God Delusion
(2006) atau the Grand Designnya Stephen Hawking (2010).
Lain dari itu, menurut saya cacat
nalar Homo Deus terletak pada implikasi logis dan konsekuensi tindaknya. Dengan
menyimpulkan bahwa cyborg (cybernetic organism – teori informasi
/ pengendalian organisme), algoritma, dan data menjadi agama masa depan,
terdapat dua cacat nalar sekaligus.
Pertama, materialisasi manusia dan tuhan.
Harari memperlakukan manusia dan tuhan sebagai benda semata, dan menguliknya
sebagai obyek bedah sebagaimana halnya mempreteli sebuah tengkorak
pitecantropus untuk mendeteksi usia dan konteks historisnya. Dalam filsafat,
khususnya Kantian, Tuhan bukan obyek pengetahuan, bahkan bukan obyek karena
melamapaui obyek (melampaui Ada). Vitur-vitur kodrati manusia tidak memadai
untuk mengetahui Tuhan, namun impian manusia memodelkan kesempurnaan kebaikan
mengandaikan adanya sumber utama kesempurnaan, yaitu Tuhan. [14] Demikian juga,
manusia bukan obyek tindakan bagi alat, sebaliknya justru subyek yang
bertindak. Dalam filsafat fenomenologi sekalipun yang “mensetarakan subyek dan
obyek atau pengamat dan amatan” inisiasi muncul dari pengamat yang terlebih
dahulu mengarahkan intensionalitasnya.
Hal
lain yang patut diperlihatkan dari argumen HD adalah bahwa menyimpulkan tuhan
(sebagai semata-mata fiksi) dalam ruang dan waktu planet bumi, apalagi hanya
dalam rentangan 70.000 tahun di ‘ruang waktu kosmik’ bagaikan menyimpulkan
semua materi planet dari sebutir debu di tungku dapur. Manusia sendiri juga
bukan makluk singular (individu), seperti diperlakukan Harari sebagai obyek.
Harari menyebut, “manusia telah mengambil alih kekuasaan gen, mengintervensinya
dan meng-upgrade dirinya sendiri.” Dalam pernyataan tersebut, gen seolah
diperlakukan sebagai entitas asing yang tidak menubuh. Pun, subyek dalam
kalimat itu bukanlah manusia dalam pengertian species bernama homo sapiens,
melainkan hanya sejumlah anggota dari species itu. Di sini, penyebutan subyek
manusia menyamarkan pelaku yang lebih spesifik dan tertentu.
Kedua,
kesimpulan Harari menjadikan teknologi sebagai subyek, sementara manusia
menjadi obyek. Seperti telah dibahas melalui kacamata fenomenologi Heidegger
teknologi bukanlah alat, melainkan tertanam (embedded) atau terbingkai
dalam kebudayaan. Artinya, teknologi merupakan penyingkapan kebenaran (aletea)
yang tak lain ketersingkapan manusia (Dasein) itu sendiri. Dalam hal ini
yang tersingkap adalah para teknolog / teknokrat (pembuat teknologi), maka
subyektifikasi teknologi sesungguhnya menunjuk pada pembuat teknologi,
sementara ‘manusia yang di-obyek-kan’ itu menunjuk manusia lain yang menjadi
pengguna teknologi.
Implikasi lainnya adalah, dari kesimpulan bahwa homo sapiens telah digantikan oleh homo deus, Harari membawa humanisme mencapai puncak baru dalam tangga evolusi. Boleh dikatakan antroposentrime ekstrim, terlihat dalam bangunan argumen dan teori-teori besar yang dipresentasikan Harari memposisikan manusia di ‘pusat tata surya’ sebagai tuhan. Ini hanya wajah lama yang disulap dan didekorasi ulang secara memukau dengan teori-teori terbaru dan hasil-hasil riset aktual dari berbagai bidang keilmuan, terutama sains. Pokok argumen Harari memperkuat posisi sebagai pendukung antropsentrisme (neohumanisme) yang melaju tanpa hambatan di jalur evolusi, sekaligus proklamasi realisasi masyarakat positivis melalui agama data dan tuhan algoritma. Di sini sains positivistik telah mengklaim kemenangannya! [Tamat]. □
Bedah Buku Homo Deus
[1] Ini sama sekali tidak berarti tools
Pemikiran Kritis tidak memiliki cakupan memadai untuk melakukan asesmen
terhadap sebuah bangunan nalar. Alasan lebih teknis adalah karena saya ingin
membuat pembahasan yang lebih terukur terkait “hubungan manusia dan teknologi”
yang menjadi pijakan Harari mencapai kesimpulan HD, yaitu “teknologi akan
segera mengambil kendali dan menguasai manusia.” Pada tools Pemikiran Kritis,
persoalan ini bisa ter-ases dalam elemen point of view dan assumptions, namun
pembahasan akan terbatas.Untuk membuat ulasan lebih memadai dibutuhkan
reflesksi filosofis.
[2] “Like it or not, we are members of a
large and particularly noisy family called the great apes. Our closest living
relatives include chimpanzees, gorillas and orang-utans. The chimpanzees are
the closest. Just 6 million years ago, a single female ape had two daughters.
One became the ancestor of all chimpanzees, the other is our own grandmother.”
[3]
https://astrobiology.nasa.gov/news/looking-for-luca-the-last-universal- common-ancestor
(diakses 12/08/2019)
[4] Posisi ini bisa dimengerti, dalam pengertian
sebaiknya menjadi tugas mereka yang memiliki kompetensi dan spesialisasi pada
bidang-bidang dimaksud. Seharusnya tokoh-tokoh agama, atau saintis teistik,
atau para guru filsafat yang bediskusi dengan Harari untuk memberikan sudut
pandang yang memadai terkait bidang-bidang yang terkait dalam analisis Harari.
[5] Halaman 336: “Homo sapiens is an obsolete
algorithm. After all, what’s the advantage of humans over chickens? Only that
in humans information flows in much more complex patterns than in chickens.
Humans absorb more data, and process it using better algorithms.”
[6] Sayangnya, Harari tidak membahas, betapa
kesuksesan memperpanjang usia manusia membawa konsekuensi munculnya beban baru
terkait jumlah usia non produktif (seperti di Jepang). Betul, bahwa robot-robot
telah diciptkan untuk membantu melayani para lansia itu, tetapi apakah itu
memiliki dampak positif yang lebih besar atau sebaliknya?
[7] Dalam sebuah kuliahnya, Harari mengatakan,
“bila saya (manusia) dan seekor simpanse dilepaskan di sebuah pulau kosong tak
bepernghuni, saya yakin simpanse akan lebih kuat bertahan daripada saya.”
Melalui pernyataan itu, Harari hendak menjelaskan bahwa tanpa kemampuan
mengorganisir komunitas, manusia termasuk makluk yang sangat lemah secara
individual. Harari bahkan menegaskan bahwa 70.000 tahun lalu, manusia hanya
makluk lemah dan tak menonjol sama sekali seperti seekor ubur-ubur.
[8] Dataism religion dibahas secara khusus dalam
bab 11, yang antara lain menjelaskan dataism sebagai berikut: “The universe
consists of data flows, and the value of any phenomenon or entity is determined
by its contribution to data processing.” (hal. 367)
[9] Halaman 50: “When people realise how fast
we are rushing towards the great unknown, and that they cannot count even on
death to shield them from it, their reaction is to hope that somebody will hit
the brakes and slow us down. But we cannot hit the brakes.”
[10] Kedua alasan itu adalah, pertama: tidak ada
yang tahu dimana letak rem untuk diinjak. Kedua; bila pun diketahui dan
dilakukan akan menimbulkan keruntuhan ekonomi dunia dengan risiko yang
besar.Ibid.
[11] Di sini kita bisa pahami kritik Max Weber
sebagai instrumental rationality, yaitu ketika rasionalitas memuncak di
teknologi, lalu seolah berarti berakhirnya rasionalitas. Teknologi sebagai
wujud ‘rasionalitas’ sangat tergantung pada sekuens sebab-akibat (depends on
the causal sequences or “if–then.”) Para penganut teori kritis seperti Herbet
Marcuse, Habermas melanjutkan pemikiran Kant, Hegel, Marx, yang menentang
instrumentasi rasionalitas (rasionalitas teknologi). Marcuse, misalnya akan
mengganti atau membatasi rasionalitas instrumental dengan rasionalitas
dialektik atau filosofis, bahkan mungkin mengganti sains dan teknologi tradisional
dengan sains dan teknologi “terbebaskan” baru yang melayani nilai-nilai
kemanusiaan. Lihat: Dusek, Val (2006). Philosophy of Technology, an
Introduction, Blackwell Publishing. hal. 57-60.
[12] Harari nampak cukup rendah hati menghindari
diposisikan futuristik. Ia mengakui hanya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan
masa depan berdasarkan capaian-capaian dan obsesi homo sapiens sejauh ini yang
diwakili para teknolog dan triliuner dunia.
[13] Pada hal.47 Harari memberi gambaran terang
tentang homo dues: “keilahian bukankah kualitas metafisik yang samar. Dan, ia
tidak sama dengan kemahakuasaan. Ketika berbicara tentang memperbaharui manusia
menjadi tuhan, cobalah pikirkan dengan pemahaman tentang dewa-dewa Yunani atau
Hindu, bukan Bapa di surga yang mahakuasa ala Injil. Keturunan-keturunan kita
masih akan memiliki kelemahan-kelemahan, kekakuan-kekakuan, dan
keterbatasan-keterbatasan, sebagaimana dimiliki Zeus dan Indra. Namun mereka
bisa mencintai, membenci, menciptakan, dan menghancurkan dengan kekuatan yang
jauh digdaya ketimbang kita.
[14] Dalam karyanya 21 Lessons for the 21st
Centuries, Harari “mengkampanyekan” Secularism (Bab 14) sebagai satu dari ke-21
lessons, yang menurutnya dapat memprovidensi semua perangkat etis misalnya soal
kebenaran, kebaikan, saling menolong dan sebagainya, tanpa sekat seperti
terdapat dalam agama. Providensi itu membuat manusia tidak membutuhkan Tuhan.
“Kalau orang saling berbuat baik, itu karena secara rasional bermanfaat bagi
kebaikan bersama, bukan karena seorang kakek berjenggotsedang memandang dari
atas sana mencatat semua tindak tanduk kita untuk memberi pukulan atau hadiah,”
demikian kira-kira argumentasinya.
Kepustakaan:
https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/15/115000120/5-hal-soal-buku-homo-deus-buku-yang-ramai-dibahas-di-twitter?page=all
https://mitimahasiswa.id/bedah-buku-homo-deus/
https://mediaindonesia.com/humaniora/111954/homo-deus-sinar-terang-yang-muram
https://ibtimes.id/homo-deus-ketika-manusia-menjadi-tuhan/
file:///C:/Users/afmar/Downloads/wtherik,+Manajer+Jurnal,+06.+Resensi+Buku-Homo+Deus.pdf