Pendahuluan
S
|
Salah satu hal mengenai (agama dan ajaran) Islam
yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangannya itu bersama
dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang terilhami dari ajaran
agama Islam. Hubungan antara Islam dan Negara, telah diberikan teladannya oleh
Nabi SAW sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib - yang kemudian diubah
sempurna namanya menjadi Madinah (al-Madinah, kota par excellence).
Kebijakan
Nabi SAW mengubah nama kota itu bukan perkara kebetulan. Di baliknya terkandung
makna yang luas dan mendalam, yang mengubah model dan cara hidup masyarakat di
Jazirah Arab waktu itu dari kehidupan sosial jahiliyah (kurang atau tidak berperadaban menjadi tidak jahiliyah lagi - berperadaban.
Secara
kebahasaan, kata "madinah" berarti kota. Kata ini punya akar kata
yang sama dengan kata din yang berarti agama. Kedua kata itu berasal dari tiga
huruf yaitu "d (dal), y (ya’), n (nun)" yang bermakna dasar
"patuh". Kedua kata (kota dan agama) mengajarkan
sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta. Kepatuhan penuh pasrah kepada
Yang Mahapencipta, dalam bahasa Arab disebut Islam, yang memiliki makna damai
dan keselamatan.
Perkataan
"Madinah" yang digunakan Nabi SAW untuk mengganti atau menyempurnakan
nama Yatsrib, menyiratkan semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat
baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat yang tunduk dan patuh kepada Allah
SWT. Secara sosial dan politik, sangat teratur atau berperaturan, sebagaimana
mestinya sebuah masyarakat ideal.
“Maka
madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar
kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Sistem
yang dibangun merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat
yang disebut kota.”
Dalam
konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan
menetap (berbudaya) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat
akan hadir (hadharah artinya beradab)
di tempat itu. Karena mereka hidup menetap dan teratur, maka kemudian
melahirkan peradaban. Dan peradaban di Madinah adalah peradaban Islam.
Pembahasan
Dari
nama yang dipilih oleh Nabi SAW bagi kota hijrahnya – Madinah, menunjukkan rencana Nabi SAW dalam rangka
mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya
tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik yang didasari
dari ajaran (agama) Islam, yaitu sebuah negara Madinah. [1]
Peristiwa
sejarah terpenting di Kota Yatsrib terjadi pada Tahun 622 M, yaitu ketika
penduduk kota itu menerima kehadiran Nabi Muhammad SAW. Sejak saat itu, nama
Yatsrib diganti oleh Nabi SAW menjadi al-Madinah al-Munawwarah. Kemudian beliau
memohon kepada Allah ketentraman dan keberkahan atas kota tersebut.
Penduduk
Madinah terkenal ramah, berperangai halus, dan berakhlak mulia. Sejak
kedatangan Islam ke kota itu, hubungan sosial masyarakat terjalin dengan baik
berdasarkan tuntunan Islam. Corak kehidupan mereka pun jauh dari nuansa keras,
berbeda dengan model kehidupan suku-suku Arab di sekitarnya.
Hal itu
disebabkan karena tuntunan hidup bermasyarakat dan beragama mereka tidak hanya
bersumber dari tradisi Nabi SAW, tetapi juga langsung dari Al-Quran. Allah
menyebut kata Madinah dan penduduknya beberapa kali di dalam Al-Quran. Di
antaranya di dalam surah at-Taubah ayat 101 dan 120, surah al-Ahzab dalam ayat
60, surah al-Hasyr di ayat 9, dan surah al-Munafiqun di ayat 8. [2]
Oleh
sebab kesemangatan yang terkandung dari idealisme hijrah Rasul SAW itu dijadikan
penanggalan Qomariyyah (penanggalan
yang dihitung dari peredaran bulan) yang digunakan umat Islam. Yaitu dimulai
dari hijrahnya Nabi SAW beserta pengikutnya ke Yatsrib dihitung mulai dari kedatangan
Rasulullah SAW ke Yatsrib, selanjutnya disebut Madinah (Madinah Al-Rasul - Madinaturrasul) yang maknanya seperti yang
diuraikan diatas.
Negara
Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli
sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara
dalam Islam. Inilah model pertama bentuk bernegara dalam Islam.
Madinah
itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang
mengenal pendelegasian wewenang, yakni kekuasan tidak memusat pada tangan satu
orang – Raja atau Kaisar yang berlaku saat itu seperti pada sistem diktatorial,
melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah yang mempunyai “konstitusi”. Kehidupan
berkonstitusi ini menunjukkan bahwa sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada
keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang
prinsip-prinsipnya disepakati bersama.
Wujud
historis terpenting dari sistem sosial-politik Madinah itu ialah dokumen yang
termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah
(Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat
terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Piagam Madinah itu selengkapnya telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H)
dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).
Menurut
Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional
Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah
itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah,
prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang
sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."
Ide
pokok Negara Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang
diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak
oleh prinsip-prinsip ad hoc yang
dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh
prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota
masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.
Muhammad
SAW sebagai seorang Utusan Allah - pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa
beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman - juga sebagai
Kepala atau Pemimpin Negara Madinah artinya juga mempunyai kekuasan politik de
facto (syawkah).
Sewafat
Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau menunjuk seseorang yang bukan
keluarga sendiri. Abu Bakr kemudiannya diangkat sebagai seorang Khalifah (Khalifat
al-Rasul, Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang
ditinggalkan beliau sekaligus pemimpin negara Madinah. Istilah khalifah sendiri
sebagaimana jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr itu, adalah atas pemberian
(pemilihan) orang banyak dari warga Madinah.
Prinsip-prinsip
Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme
partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam
pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli
sejarah dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama
sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).
Pidato
ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat menggambarkan
kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi.
Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip,
(1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan”, dan
mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya
jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq
kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya
sebagai khianat; (3) penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia
(egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti
atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh
pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu
sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan
bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak
karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai
universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah
modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan
mutlak perorangan.
Menurut Bellah, bahwa struktural Islam klasik itu
relevan dengan negara modern dalam
tinjauan abad modern sekarang ini, unsur-unsurnya adalah:
(1) Faham
Tawhid (Monotheisme) atau Ketuhanan Yang Maha Esa yang mempercayai adanya Tuhan
yang transenden. Wujud-Nya mengatasi alam semesta, karena Tuhan berbeda dari
alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam. Dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits - merupakan
Pencipta dan Hakim segala yang ada.
(2) Seruan
kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep
Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia.
(3) Adanya
konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka yang
menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan
dalam hidup dunia ini secara aktif dalam bermasyarakat dan berpolitik yang membuat
Islam lebih mudah menerima etos abad modern.
Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan
sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh
ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya
ialah, menurut peristilahan kontemporer egalitarianisme, demokrasi,
partisipasi, dan keadilan sosial. [3]
Penutup
Sebelum
kedatangan Rasul saw, berlaku ‘hukum
rimba’ disebut juga Jahiliyah. Siapa yang kuat, itu yang menang, dan berikutnya
menguasai yang kalah. Namun cara ini mempunyai efek vicious cycle – pembalasan dendam, yaitu yang tadinya kalah
memerangi yang tadinya menang. Perang tidak ada hentinya, selalu perang
memerangi. Mereka tidak pernah damai. Madinah tidak pernah stabil, sebelum
kedatangan Rasul saw.
Konflik yang dihadapi saat itu substansinya
bukanlah konflik baru, melainkan telah menjadi budaya, dan in tidak baik bagi
perkembangan Madinah. Bagaimana cara mengatasinya? Rasul Muhammad saw membuat Piagam Madinah sebagai
kontrak sosial dalam bermasyarakat dalam suatu komunitas (negara) Madinah.
Piagam atau Konstitusi Madinah yang tertulis ini merupakan perjanjian dari Nabi saw berlaku di
antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapapun
yang mengikuti mereka, menyusul di kemudian hari, dan yang berjihad bersama
mereka. Yaitu menyingkirkan belenggu Jahiliyah dan fanatisme kekabilahan -
golongan-golongan yang berfaham tidak ta’aruf, [4] yang membuat Madinah tenggelam dalam
‘abad gelap’[5] menjadi bangkit karena paham akan makna ta’aruf itu dalam bernegara (bermasyarakat, berkomunitas). Banyak aspek yang bisa menjadi topik
pembahasan terkait bagaimana Piagam Madinah dapat menjadi resolusi yang dapat
mencegah konflik, selanjutnya menyatukan
pluralistik masyarakat Madinah ke dalam satu ummah. [6] Suatu prestasi yang gemilang
yang dilakukan Rasulullah saw dalam
membangun peradaban.
Kedekatan Nabi Muhammad saw dengan Allah Yang Maha Kuasa ini, ia bina melalui Ibadah shalat,
shalat berjamah. Ibadah shalat Rasulullah saw
sungguh luar biasa, membangun kebersamaan dalam kepemimpinan (imam) yang amanah
dan ketaatan pengikutnya (jamaah). Dengan itu, dapat memecahkan masalah-masalah
sosial dan kehidupan bernegara dan antar negara sekitarnya. Kepiawaannya
Muhammad saw sebagai Rasullullah,
pemimpin umat Madinah ini diabadikan oleh Dr. Micheal H. Hart, seorang ilmuan
Amerika ternama di bidang astronomi dan geometri. Ia mengadakan riset
tokoh-tokoh terkenal di dunia, kemudian hasilnya dipaparkan dalam bukunya The 100: A
Ranking of the most Influential Persons in History, by Michael H. Hart, Published by Carol Publishing Group. Dalam buku itu disebutkan bahwa: Sepanjang catatan sejarah, Muhammad (saw) adalah pemimpin peringkat pertama yang sungguh paling sukses.
Dia mempengaruhi dunia, baik dalam kapasitasnya sebagai tokoh ’agama’ (religious) dan tokoh ‘keduniaan’ (secular).
Sebelumnya, George Sale penulis terjemahan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris yang diberi nama The Koran, [7] terbit tahun
1734, melihat sosok Nabi Muhammad saw
sebagai: Pribadi yang sungguh baik
karakternya; Punya kecerdasan yang
mendalam; Perilakunya yang menyenangkan;
Mengasihi orang miskin; Sopan kepada setiap orang; Kukuh didepan musuh;
Dan diatas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah.
Kemudian ia menuliskan lagi: “if
the religious and civil institutions of foreign nations are worth of knowledge,
those of Mohammed, the lawgiver of Arabians, and founder of an Empire which in
less than a century spread itself over a greater part of the world than the
Romans were ever masters of, must needs be so.”[8] Uraian dalam bahasa
Indonesia kurang lebihnya sebagai berikut: Jika
agama dan sistem lembaga sipil dari bangsa asing (maksudnya bangsa Arab)
berguna sekali untuk diketahui, maka ketahuilah bahwa aturan dan hukum yang
dibuat oleh Muhammad (saw), selaku pembuat
hukum bagi orang Arab dan pendiri Imperium (Madinah), kurang dari satu abad,
dengan sendirinya, telah mampu mengembangkan dan melebarkan wilayahnya lebih
besar daripada apa yang dicapai Romawi yang dikenal sebagai penguasa dunia. Dengan
itu sangat penting untuk mempelajari (siapa Muhammad saw dan apa yang diajarkan Kitab
Suci al-Qur’an).
Kesuksesan Rasulullah Muhammad saw dalam membangun peradaban Islam yang tiada taranya dalam sejarah
dicapai dalam kurun waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada periode
Makkah (Makiyyah) dan 10 tahun periode Madinah (Madaniyah) membangun
masyarakat. Periode 23 tahun merupakan rentang waktu kurang dari satu generasi,
dimana beliau saw telah berhasil
memegang kendali kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua peradabannya saat
itu khususnya Romawi, Persia.
Seorang ahli pikir Perancis bernama Dr.
Gustave Le Bon (1841-1931) mengatakan: “Dalam satu abad atau tiga keturunan,
tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa
Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu
masyarakat yang bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan
umat, tidak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul
(maksudnya Muhammad Rasullullah SAW) sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu
keturunan yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain”.
Demikianlah uraian dari perkembangan hubungan antara (agama) Islam dan
Negara yang telah membuahkan kemajuan yang spektakuler dibawah kepemimpinan
Muhammad SAW yang membawa ajaran Islam yang diaplikasikan di (negara) Madinah.
Kemudian tradisi itu dilanjutkan dari generasi ke generasi dalam pemerintahan
yang berdasarkan ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Prestasi
tersebut sangat menakjubkan George Sale, penerjemah Al-Qur’an, memberi
penghormatan dan penghargaan tinggi kepada Rasulullah Muhammad SAW dan kitab
suci Al-Qur’an. Ini suatu fakta sejarah yang tidak terbantahkan, seperti apa yang
digambarkan George Sale pada abad ke 18 (1734), Dr. Gustave Le Bon (1841-1931)
danDr. Michael H. Hart pada akhir abad ke-20 (1978). [9] Wallahu ‘Alam Bish-Shawab,
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
[1]
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/10/12/oexqh 9313 -ini-arti-nama-madinah
[2]
[http://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/10/12/oexjh9313-keagung an-di-balik-nama-madinah]
[3]
http://members.tripod.com/abu_fatih/Caknurnegara.html
[9] A. Faisal Marzuki, Shalat Membangun
Peradaban.
Catatan Kaki:
[4] Wahai
Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]. Ini
adalah salah satu komponen. Dua komponen lainnya dan hubungannya sebagai
berikut:
3
komponen nilai operasional yang perlu ditegakkan yaitu, adanya:
1) Ta’aruf, yaitu saling kenal
mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi
lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya,
keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di
alami suku dan bangsa tersebut.
2) Tafahum, yaitu saling
memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing,
sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari
kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak adapat
dipersatukan, dimaklumi saja, asalkan tidak bertindak secara fisik merugikan
pihak lain. Dialog sesama bangsa terus dilakukan. PBB di aktifkan dan
diberdayakan. Setiap ada perbedaan jangan diatasi dengan kekerasan bersenjata.
3) Ta’awun,
yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat
dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan
atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat
dilakukan sendirian oleh seseorang (kelompok suku, kelompok bangsa) meski dia
memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa
tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork) adalah suatu keharusan dalam
hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak
ada keraguannya. Untuk itu perlu Allah Subhana
wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga
ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah 5:2].
Ta’awun dalam artian
semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat
menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan.
Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing
negara seperti tersebut, maka harapan dunia akan damai, sejahtera dan tenteram
akan ada - artinya tanpa ada peperangan, akan tercapai. Potensi untuk
berperang-perangan nantinya lebih, lebih, lebih dahsyad lagi dari perang pacific dengan “bom atom” yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, akan dapat dihindari.
[5]
Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar,1999, hal
250.
[6] afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/piagam-madinah.html
[7] The Koran, commonly called The
Alcoran of Mohammed, di terbitkan tahun 1734 , di Cetak oleh C. Ackers, London, Inggris. The Koran ini sebagai buku pegangan
Thomas Jefferson dalam memahi pengetahuannya dalam bidang hukum dalam ajaran
Islam dan muslim.
Lihat
uraian yang dimuat pada
http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/09/siapa-george-sale.html dan pada http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/06/thomas-jefferson-dan-quran.html
[8] http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/06/thomas-jefferson-dan-quran.html
Al-Qur’an
yang oleh umat muslim dipercayai sebagai buku yang berisikan tuntunan-tuntunan
spiritual (ibadah mahdah) juga dipercayai sebagai buku yang berisi tuntunan
hukum dan syariat (ibadah ghaira mahdah - muamalah yaitu hubungan antar
manusia). Karena seringnya Pufendorf membahas hukum-hukum yang dicantumkan
dalam Al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, Jefferson [*] terdorong untuk membeli
dan membaca langsung hukum-hukum tersebut dari sumber aslinya (Al-Quran) yang
dibeli dari rumah percetakan Virginia Gazzette pada musim semi tahun 1765.
Tidak hanya sampai disitu saja, Jefferson juga membeli buku George Sale lainnya yang berjudul Sale’s “Preliminary Discourse” karena buku tersebut menyajikan uraian yang lebih detail mengenai hukum Islam, terutama pada bab ke-6 dengan sub judul “Of The Institutions of the Koran in the Civil Affair”. Dalam buku ini, Sale yang menganggap Muhammad SAW sebagai legislator dan lawgiver bagi bangsa Arab (atau ajarannya kadang disebut Mohammedan). Dan mengingat pentingnya hukum tersebut untuk dibaca, ia menyarankan dalam bukunya bahwa “if the religious and civil institutions of foreign nations are worth of knowledge, those of Mohammed, the lawgiver of Arabians, and founder of an Empire which in less than a century spread itself over a greater part of the world than the Romans were ever masters of, must needs be so”
Artinya: Jika hukum-hukum agama dan sistem lembaga sipil dari bangsa asing penting untuk diketaui, maka aturan dan hukum yang dibuat oleh Muhammad (saw), penguasa dan penegak hukum bangsa Arab yang mampu mengembangkan bangsanya lebih besar daripada bangsa Romawi dalam waktu kurang dari satu abad, juga sangat penting untuk dipelajari.
Jefferson juga sempat mendalami bahasa Arab dan sangat berminat dalam mendalami Al-Qur’an. Jefferson mulai mendalami basic grammar bahasa arab dengan membeli buku yang berjudul Rudimenta Linguae Arabicae karanganThomas Erpensius dan buku Simplification des Langues Orientales karangan C.F. Folney. Seiring dengan kegiatannya membaca Al-Qur’an, ia juga seorang yang sangat teliti dan memiliki hobi untuk selalu melakukan cross-check tentang apa yang ia baca dari Al-Qur’an dengan buku-buku lain yang mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an baik dalam bahasa Arab dan yang telah diterjemahkan. Salah satu fakta yang sangat menggangu pikiran Jefferson tentang Al-Quran adalah berkenaan dengan keotentikan serta tidak terdapatnya sedikitpun kontradiksi dari Kitab tersebut. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu bukupun yang pernah ditulis (written text) dapat diklaim memiliki kesempurnaan yang absolute kecuali oleh orang Islam terhadap Al-Qur’annya.
[*]Jefferson, lengkapnya Thomas
Jefferson adalah ahli hukum; Penyusun naskah proklamasi kemerdekaan Amerika – Declaration of Independence of America
dari tangan kerajaan Inggris; Presiden ke-3 Amerika Serikat yang terpilih dalam
dua kali term – setelah selesai masa
jabatannya, selanjutnya terpilih lagi. □□□