Thursday, December 7, 2017

Islam dan Negara - 2





Pendahuluan

S
Salah satu hal mengenai (agama dan ajaran) Islam yang tidak mungkin diingkari ialah pertumbuhan dan perkembangannya itu bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang terilhami dari ajaran agama Islam. Hubungan antara Islam dan Negara, telah diberikan teladannya oleh Nabi SAW sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib - yang kemudian diubah sempurna namanya menjadi Madinah (al-Madinah, kota par excellence).

   Kebijakan Nabi SAW mengubah nama kota itu bukan perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang mengubah model dan cara hidup masyarakat di Jazirah Arab waktu itu dari kehidupan sosial jahiliyah (kurang atau tidak  berperadaban menjadi tidak jahiliyah lagi - berperadaban.

   Secara kebahasaan, kata "madinah" berarti kota. Kata ini punya akar kata yang sama dengan kata din yang berarti agama. Kedua kata itu berasal dari tiga huruf yaitu "d (dal), y (ya’), n (nun)" yang bermakna dasar "patuh". Kedua kata (kota dan agama) mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta. Kepatuhan penuh pasrah kepada Yang Mahapencipta, dalam bahasa Arab disebut Islam, yang memiliki makna damai dan keselamatan.

   Perkataan "Madinah" yang digunakan Nabi SAW untuk mengganti atau menyempurnakan nama Yatsrib, menyiratkan semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Secara sosial dan politik, sangat teratur atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat ideal.

   “Maka madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Sistem yang dibangun merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut kota.”

   Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (berbudaya) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat akan hadir (hadharah artinya beradab) di tempat itu. Karena mereka hidup menetap dan teratur, maka kemudian melahirkan peradaban. Dan peradaban di Madinah adalah peradaban Islam.


Pembahasan

   Dari nama yang dipilih oleh Nabi SAW bagi kota hijrahnya – Madinah,  menunjukkan rencana Nabi SAW dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik yang didasari dari ajaran (agama) Islam, yaitu sebuah negara Madinah. [1]

   Peristiwa sejarah terpenting di Kota Yatsrib terjadi pada Tahun 622 M, yaitu ketika penduduk kota itu menerima kehadiran Nabi Muhammad SAW. Sejak saat itu, nama Yatsrib diganti oleh Nabi SAW menjadi al-Madinah al-Munawwarah. Kemudian beliau memohon kepada Allah ketentraman dan keberkahan atas kota tersebut.

   Penduduk Madinah terkenal ramah, berperangai halus, dan berakhlak mulia. Sejak kedatangan Islam ke kota itu, hubungan sosial masyarakat terjalin dengan baik berdasarkan tuntunan Islam. Corak kehidupan mereka pun jauh dari nuansa keras, berbeda dengan model kehidupan suku-suku Arab di sekitarnya.

   Hal itu disebabkan karena tuntunan hidup bermasyarakat dan beragama mereka tidak hanya bersumber dari tradisi Nabi SAW, tetapi juga langsung dari Al-Quran. Allah menyebut kata Madinah dan penduduknya beberapa kali di dalam Al-Quran. Di antaranya di dalam surah at-Taubah ayat 101 dan 120, surah al-Ahzab dalam ayat 60, surah al-Hasyr di ayat 9, dan surah al-Munafiqun di ayat 8. [2]

   Oleh sebab kesemangatan yang terkandung dari idealisme hijrah Rasul SAW itu dijadikan penanggalan Qomariyyah (penanggalan yang dihitung dari peredaran bulan) yang digunakan umat Islam. Yaitu dimulai dari hijrahnya Nabi SAW beserta pengikutnya ke Yatsrib dihitung mulai dari kedatangan Rasulullah SAW ke Yatsrib, selanjutnya disebut Madinah (Madinah Al-Rasul - Madinaturrasul) yang maknanya seperti yang diuraikan diatas.

   Negara Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Inilah model pertama bentuk bernegara dalam Islam.

   Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang, yakni kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang – Raja atau Kaisar yang berlaku saat itu seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah yang mempunyai “konstitusi”. Kehidupan berkonstitusi ini menunjukkan bahwa sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama.

   Wujud historis terpenting dari sistem sosial-politik Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai “Konstitusi Madinah”. Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H).

   Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."

   Ide pokok Negara Madinah oleh Nabi ialah adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prisip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi.

   Muhammad SAW sebagai seorang Utusan Allah - pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman - juga sebagai Kepala atau Pemimpin Negara Madinah artinya juga mempunyai kekuasan politik de facto (syawkah).

   Sewafat Nabi tidak menunjuk seorang pengganti atau menunjuk seseorang yang bukan keluarga sendiri. Abu Bakr kemudiannya diangkat sebagai seorang Khalifah (Khalifat al-Rasul, Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau sekaligus pemimpin negara Madinah. Istilah khalifah sendiri sebagaimana jabatan yang pertamakali dipegang oleh Abu Bakr itu, adalah atas pemberian (pemilihan) orang banyak dari warga Madinah.

   Prinsip-prinsip Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli sejarah dianggap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).

   Pidato ini merupakan manifesto politik yang secara singkat dan padat menggambarkan kontinuitas prinsip-prinsip tatanan masyarakat yang telah diletakkan oleh Nabi. Seperti dibuat lebih terang oleh Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan”, dan mengharap agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menepati etika atau akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang disebutnya sebagai khianat; (3) penegasan atas persamaan prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak perorangan.

Menurut Bellah, bahwa struktural Islam klasik itu relevan dengan negara modern  dalam tinjauan abad modern sekarang ini, unsur-unsurnya adalah:

(1) Faham Tawhid (Monotheisme) atau Ketuhanan Yang Maha Esa yang mempercayai adanya Tuhan yang transenden. Wujud-Nya mengatasi alam semesta, karena Tuhan berbeda dari alam dan tidak berhakikat menyatu dengan alam. Dalam ilmu akidah disebut sifat mukhalafat al-hawadits - merupakan Pencipta dan Hakim segala yang ada.

(2) Seruan kepada adanya tanggung jawab pribadi dan putusan dari Tuhan menurut konsep Tawhid itu melalui ajaran Nabi-Nya kepada setiap pribadi manusia.

(3) Adanya konsepsi tentang aturan politik berdasarkan partisipasi semua mereka yang menerima kebenaran wahyu Tuhan, dengan etos yang menonjol berupa keterlibatan dalam hidup dunia ini secara aktif dalam  bermasyarakat dan berpolitik yang membuat Islam lebih mudah menerima etos abad modern.


Apa yang dikehendaki oleh Islam tentang tatanan sosial-politik atau negara dan pemerintahan ialah apa yang dikehendaki oleh ide-ide modern tentang negara dan pemerintahan itu, yang pokok pangkalnya ialah, menurut peristilahan kontemporer egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial. [3]


Penutup

Sebelum kedatangan Rasul saw, berlaku ‘hukum rimba’ disebut juga Jahiliyah. Siapa yang kuat, itu yang menang, dan berikutnya menguasai yang kalah. Namun cara ini mempunyai efek vicious cycle – pembalasan dendam, yaitu yang tadinya kalah memerangi yang tadinya menang. Perang tidak ada hentinya, selalu perang memerangi. Mereka tidak pernah damai. Madinah tidak pernah stabil, sebelum kedatangan Rasul saw.

   Konflik yang dihadapi saat itu substansinya bukanlah konflik baru, melainkan telah menjadi budaya, dan in tidak baik bagi perkembangan Madinah. Bagaimana cara mengatasinya? Rasul Muhammad saw membuat Piagam Madinah sebagai kontrak sosial dalam bermasyarakat dalam suatu komunitas (negara) Madinah. Piagam atau Konstitusi Madinah yang tertulis ini merupakan  perjanjian dari Nabi saw berlaku di antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib serta siapapun yang mengikuti mereka, menyusul di kemudian hari, dan yang berjihad bersama mereka. Yaitu menyingkirkan belenggu Jahiliyah dan fanatisme kekabilahan - golongan-golongan yang berfaham tidak ta’aruf, [4] yang membuat Madinah tenggelam dalam ‘abad gelap’[5] menjadi bangkit karena paham akan makna ta’aruf itu dalam bernegara (bermasyarakat, berkomunitas).  Banyak aspek yang bisa menjadi topik pembahasan terkait bagaimana Piagam Madinah dapat menjadi resolusi yang dapat mencegah konflik, selanjutnya  menyatukan pluralistik masyarakat Madinah ke dalam satu ummah. [6] Suatu prestasi yang gemilang yang dilakukan Rasulullah saw dalam membangun peradaban.

   Kedekatan Nabi Muhammad saw dengan Allah Yang Maha Kuasa ini, ia bina melalui Ibadah shalat, shalat berjamah. Ibadah shalat Rasulullah saw sungguh luar biasa, membangun kebersamaan dalam kepemimpinan (imam) yang amanah dan ketaatan pengikutnya (jamaah). Dengan itu, dapat memecahkan masalah-masalah sosial dan kehidupan bernegara dan antar negara sekitarnya. Kepiawaannya Muhammad saw sebagai Rasullullah, pemimpin umat Madinah ini diabadikan oleh Dr. Micheal H. Hart, seorang ilmuan Amerika ternama di bidang astronomi dan geometri. Ia mengadakan riset tokoh-tokoh terkenal di dunia, kemudian hasilnya dipaparkan dalam bukunya The 100: A Ranking of the most Influential Persons in History, by Michael H. Hart,   Published by Carol Publishing Group. Dalam buku itu disebutkan bahwa: Sepanjang catatan sejarah, Muhammad (saw) adalah pemimpin peringkat pertama yang sungguh paling sukses. Dia mempengaruhi dunia, baik dalam kapasitasnya sebagai tokoh ’agama’ (religious) dan tokoh ‘keduniaan’ (secular).

   Sebelumnya, George Sale penulis terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris yang diberi nama The Koran, [7] terbit tahun 1734, melihat sosok Nabi Muhammad saw sebagai: Pribadi yang sungguh baik karakternya;  Punya kecerdasan yang mendalam; Perilakunya yang menyenangkan;  Mengasihi orang miskin; Sopan kepada setiap orang; Kukuh didepan musuh; Dan diatas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah.


   Kemudian ia menuliskan lagi: “if the religious and civil institutions of foreign nations are worth of knowledge, those of Mohammed, the lawgiver of Arabians, and founder of an Empire which in less than a century spread itself over a greater part of the world than the Romans were ever masters of, must needs be so.”[8] Uraian dalam bahasa Indonesia kurang lebihnya sebagai berikut: Jika agama dan sistem lembaga sipil dari bangsa asing (maksudnya bangsa Arab) berguna sekali untuk diketahui, maka ketahuilah bahwa aturan dan hukum yang dibuat oleh Muhammad (saw), selaku pembuat hukum bagi orang Arab dan pendiri Imperium (Madinah), kurang dari satu abad, dengan sendirinya, telah mampu mengembangkan dan melebarkan wilayahnya lebih besar daripada apa yang dicapai Romawi yang dikenal sebagai penguasa dunia. Dengan itu sangat penting untuk mempelajari (siapa Muhammad saw dan apa yang diajarkan Kitab Suci al-Qur’an).

   Kesuksesan Rasulullah Muhammad  saw dalam membangun peradaban Islam yang tiada taranya dalam sejarah dicapai dalam kurun waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada periode Makkah (Makiyyah) dan 10 tahun periode Madinah (Madaniyah) membangun masyarakat. Periode 23 tahun merupakan rentang waktu kurang dari satu generasi, dimana beliau saw telah berhasil memegang kendali kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua peradabannya saat itu khususnya Romawi, Persia.

    Seorang ahli pikir Perancis bernama Dr. Gustave Le Bon (1841-1931) mengatakan:  “Dalam satu abad atau tiga keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu masyarakat yang bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan umat, tidak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul (maksudnya Muhammad Rasullullah SAW) sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain”.

   Demikianlah uraian dari perkembangan hubungan antara (agama) Islam dan Negara yang telah membuahkan kemajuan yang spektakuler dibawah kepemimpinan Muhammad SAW yang membawa ajaran Islam yang diaplikasikan di (negara) Madinah. Kemudian tradisi itu dilanjutkan dari generasi ke generasi dalam pemerintahan yang berdasarkan ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Prestasi tersebut sangat menakjubkan George Sale, penerjemah Al-Qur’an, memberi penghormatan dan penghargaan tinggi kepada Rasulullah Muhammad SAW dan kitab suci Al-Qur’an. Ini suatu fakta sejarah yang tidak terbantahkan, seperti apa yang digambarkan George Sale pada abad ke 18 (1734), Dr. Gustave Le Bon (1841-1931) danDr. Michael H. Hart pada akhir abad ke-20 (1978). [9] Wallahu ‘Alam Bish-Shawab, Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Bersambung ke: --klik---> Islam dan Negara - 3


Sumber:
[1] http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/10/12/oexqh 9313 -ini-arti-nama-madinah
[2] [http://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/10/12/oexjh9313-keagung an-di-balik-nama-madinah]
[3] http://members.tripod.com/abu_fatih/Caknurnegara.html
[9] A. Faisal Marzuki, Shalat Membangun Peradaban.


Catatan Kaki:
[4] Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]. Ini adalah salah satu komponen. Dua komponen lainnya dan hubungannya sebagai berikut:

3 komponen nilai operasional yang perlu ditegakkan yaitu, adanya:

   1) Ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di alami suku dan bangsa tersebut.

   2) Tafahum, yaitu saling memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak adapat dipersatukan, dimaklumi saja, asalkan tidak bertindak secara fisik merugikan pihak lain. Dialog sesama bangsa terus dilakukan. PBB di aktifkan dan diberdayakan. Setiap ada perbedaan jangan diatasi dengan kekerasan bersenjata.

   3) Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang (kelompok suku, kelompok bangsa) meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork) adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya. Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].

   Ta’awun dalam artian semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing negara seperti tersebut, maka harapan dunia akan damai, sejahtera dan tenteram akan ada - artinya tanpa ada peperangan, akan tercapai. Potensi untuk berperang-perangan nantinya lebih, lebih, lebih dahsyad lagi dari perang pacific dengan “bom atom” yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, akan dapat dihindari.
[5] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar,1999, hal 250.
[6] afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/piagam-madinah.html
[7] The Koran, commonly called The Alcoran of Mohammed, di terbitkan tahun 1734 , di Cetak oleh C. Ackers, London,  Inggris. The Koran ini sebagai buku pegangan Thomas Jefferson dalam memahi pengetahuannya dalam bidang hukum dalam ajaran Islam dan muslim.
   Lihat uraian yang dimuat pada http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/09/siapa-george-sale.html dan pada http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/06/thomas-jefferson-dan-quran.html
[8] http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/06/thomas-jefferson-dan-quran.html
Al-Qur’an yang oleh umat muslim dipercayai sebagai buku yang berisikan tuntunan-tuntunan spiritual (ibadah mahdah) juga dipercayai sebagai buku yang berisi tuntunan hukum dan syariat (ibadah ghaira mahdah - muamalah yaitu hubungan antar manusia). Karena seringnya Pufendorf membahas hukum-hukum yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, Jefferson [*] terdorong untuk membeli dan membaca langsung hukum-hukum tersebut dari sumber aslinya (Al-Quran) yang dibeli dari rumah percetakan Virginia Gazzette pada musim semi tahun 1765.

   Tidak hanya sampai disitu saja, Jefferson juga membeli buku George Sale lainnya yang berjudul Sale’s “Preliminary Discourse” karena buku tersebut menyajikan uraian yang lebih detail mengenai hukum Islam, terutama pada bab ke-6 dengan sub judul “Of The Institutions of the Koran in the Civil Affair”. Dalam buku ini, Sale yang menganggap Muhammad SAW sebagai legislator dan lawgiver bagi bangsa Arab (atau ajarannya kadang disebut Mohammedan). Dan mengingat pentingnya hukum tersebut untuk dibaca, ia menyarankan dalam bukunya bahwa “if the religious and civil institutions of foreign nations are worth of knowledge, those of Mohammed, the lawgiver of Arabians, and founder of an Empire which in less than a century spread itself over a greater part of the world than the Romans were ever masters of, must needs be so”

   Artinya: Jika hukum-hukum agama dan sistem lembaga sipil dari bangsa asing penting untuk diketaui, maka aturan dan hukum yang dibuat oleh Muhammad (saw), penguasa dan penegak hukum bangsa Arab yang mampu mengembangkan bangsanya lebih besar daripada bangsa Romawi dalam waktu kurang dari satu abad, juga sangat penting untuk dipelajari.
 
   Jefferson juga sempat mendalami bahasa Arab dan sangat berminat dalam mendalami Al-Qur’an. Jefferson mulai mendalami basic grammar bahasa arab dengan membeli buku yang berjudul Rudimenta Linguae Arabicae karanganThomas Erpensius dan buku Simplification des Langues Orientales karangan C.F. Folney. Seiring dengan kegiatannya membaca Al-Qur’an, ia juga seorang yang sangat teliti dan memiliki hobi untuk selalu melakukan cross-check tentang apa yang ia baca dari Al-Qur’an dengan buku-buku lain yang mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an baik dalam bahasa Arab dan yang telah diterjemahkan. Salah satu fakta yang sangat menggangu pikiran Jefferson tentang Al-Quran adalah berkenaan dengan keotentikan serta tidak terdapatnya sedikitpun kontradiksi dari Kitab tersebut. Ia menyatakan bahwa tidak ada satu bukupun yang pernah ditulis (written text) dapat diklaim memiliki kesempurnaan yang absolute kecuali oleh orang Islam terhadap Al-Qur’annya.
[*]Jefferson, lengkapnya Thomas Jefferson adalah ahli hukum; Penyusun naskah proklamasi kemerdekaan Amerika – Declaration of Independence of America dari tangan kerajaan Inggris; Presiden ke-3 Amerika Serikat yang terpilih dalam dua kali term – setelah selesai masa jabatannya, selanjutnya terpilih lagi. □□□