“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka
sendiri.” [QS Ar-Ra’d 13:11]
S
|
Saya tertarik sebenarnya mencari tahu
akhir-akhir ini, bagaimana sebenarnya hubungan dan kaitan Islam dan Negara.
Kita juga mengetahui bahwa sebelum hadirnya fikrah-fikrah yang kita kenal hari
ini, yang ingin menjadikan hukum di Indonesia menjadi hukum Islam tentunya
dahulu juga ada para pendahulu kita.
Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia, dalam
sidang-sidang BPUPKI permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan
bentuk negara, dasar filsafat negara, dan hal-hal lainnya yang bertalian dengan
pembuatan suatu konstitusi. Sedari awal, benih-benih perdebatan ideologi mulai
muncul secara terbuka, pada tahun 1990 ketika terjadi polemik antara Soekarno
(kelompok kaum nasionalis) dan Muhammad Natsir (kelompok kaum Islam) hubungan
antara agama dan negara. Dan materi polemik itu sendiri sudah menampilkan
masalah yang sama dengan materi yang muncul dalam perdebatan di BPUPKI dan
konstituante mengenai dasar negara, antara “Nasionalis Sekuler atau Nasionalis
Islam”.
Islam memberikan ruang yang luas bagi akal setiap muslim untuk
berijtihad. Ajaran Islam yang tidak terpengaruh dengan perubahan ruang dan
waktu, khususnya dalam masalah-masalah aqidah dan beberapa masalah ibadah dan
hukum perdata (seperti hukum waris) pada umumnya telah dijelaskan dengan sangat
rinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sementara bagian-bagian dari ajaran Islam
yang terpengaruh oleh perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam bidang
muamalah, pada umumnya dibahas dengan cara menetapkan beberapa kaidah dasar
tentang masalah tersebut, untuk kemudian diikuti proses ijtihad dalam kerangka
kaidah dasar itu, dengan memproses penetapan hukumnya lewat persatuan ruang dan
waktu.
Pembicaraan mengenai Islam dan Negara ini masih menjadi perdebatan (discourse)
yang terus berkepanjangan di kalangan para ahli. Secara eksplisit dan implisit
sebagian besar titik temu dari berbagai teori ini adalah negara tidak
semata-mata karena kebutuhan lahiriah, tetapi juga untuk kebutuhan ruhaniyyah
dan ukhrawiyah. Amien Rais (1994) menyatakan bahwa dunia Islam mulai ramai
membicarakan konsep negara Islam ini setelah berakhirnya sistem kekhilafahan di
Turki. Selama penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat
berfikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas
mengenai berbagai masalah.
Negara menurut Dr. Wahid
Ra’fat adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah
tertentu di belahan bumi ini yang tunduk pada suatu pemerintahan yang teratur
dan bertanggung jawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus segala
kepentingannya dan kemaslahatan umum. Sedangkan Islam secara sederhana adalah
seperangkat aturan atau sistem hidup manusia itu sendiri, yang umat Islam
meyakini bahwa sistem ini adalah sistem yang baik, dan tepat. Sehingga secara
perlahan kita bisa menemukan korelasinya, bahwa dalam menjalankan pemerintahan
suatu negara kita membutuhkan seperangkat aturan yang itu adalah bisa
menggunakan sistem Islam. Karena agama sebagai ajaran moral dan spiritual
selalu menjanjikan pemeluknya untuk meraih kebahagiaan. Maka, sebagai ciri yang
dimiliki agama adalah fungsinya yang bersifat universal. Artinya, agama
menanamkan kebahagiaan dan kedamaian sesama manusia, dan penganugerahan
kenikmatan yang tak terhingga, yaitu perjumpaan (liqa) dengan Tuhan.
Sayangnya, tidak semua manusia menyadari fungsi agama ini. Bahkan di
negara-negara Barat yang sekuler, agama dipisahkan dari pemerintahan
(kenegaraan). Di satu sisi mungkin ada baiknya, namun di sisi lain lebih banyak
ketimpangannya. Ketimpangan yang awalnya kecil, akan menjadi “bom waktu”. Rezim
komunis di Rusia dan Eropa Timur misalnya, dengan ideologi komunisnya yang
jelas-jelas menafikan agama, akhirnya pemerintahannya pun pupus oleh waktu.
Dalam hubungannya agama dengan negara,
wacana seputar konsep negara Islam telah melahirkan kontroversi dan polarisasi
intelektual di kalangan pemikir politik Islam. Apakah benar, misalnya
Rasulullah pernah mendirikan atau menganjurkan negara Islam - Islamic state, bukan negara suku (clannish state) seperti yang dikemukakan
Ali Abdur Raziq. Apakah institusionalisasi Islam dalam bentuk negara merupakan
kewajiban syariat ataukah semata-mata kebutuhan rasional seperti yang
diteorikan Ibnu Khaldun?
Tentang hubungan agama dan negara ada terdapat tiga kelompok pemikiran. Kelompok Pertama berpendapat bahwa negara adalah
lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga kelompok. Karena itu kepala negara
adalah pemegang kekuasaan dan agama. Kelompok Kedua
mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi
politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan negara yang berdimensi
politik. Kelompok Ketiga menyatakan bahwa
negara adalah lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama. Kepala
negara karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau penguasa duniawi saja.
Negara ini sederhananya bisa dianggap sebagai washilah untuk
mendekatkan manusia dengan Allah swt, sehingga kita boleh saja menggunakan
keberagaman dalam bernegara ini, tetapi tidak menjadikan sebagai primadona
sehingga ghayyat (tujuan) akhirnya menjadi bias. Proses menuju ghayyat
itu adalah dengan penyampaian misi kebaikan misi langit yang disebut dengan
dakwah. Anis Matta (2006) menyatakan bahwa tujuan dakwah adalah
mengejawantahkan kehendak-kehendak Allah SWT yang kemudian kita sebut agama,
atau syariah dalam kehidupan manusia. Syariah itu sesungguhnya merupakan sistem
kehidupan yang integral, sempurna, dan universal, karena itulah kita memiliki
keinginan agar Islam sebagai sistem yang digunakan. Karena manusia yang akan
melaksanakan dan mengoperasikan sistem tersebut maka manusia harus disiapkan
untuk peran itu.
Secara struktural, unit terkecil yang ada dalam masyarakat manusia
adalah individu. Itulah sebabnya, perubahan sosial harus dimulai dari sana;
membangun ulang susunan kepribadian individu, mulai dari cara berpikir hingga
cara berperilaku. Setelah itu, individu-individu itu harus dihubungkan satu
sama lain dalam suatu jaringan yang baru, dengan dasar ikatan kebersamaan yang
baru, identitas kolektif yang baru, sistem distribusi sosial ekonomi politik
yang juga baru.
Begitulah Rasulullah SAW memulai pekerjaannya. Beliau melakukan
penetrasi ke dalam masyarakat Quraisy dan merekrut orang-orang terbaik di
antara mereka. Menjelang hijrah ke Madinah, beliau juga merekrut orang-orang
terbaik dari penduduk Yatsrib. Maka terbentuklah sebuah komunitas baru di mana
Islam menjadi basis identitas mereka, aqidah menjadi dasar ikatan kebersamaan
mereka, ukhuwah menjadi sistem jaringan mereka, dan keadilan menjadi prinsip
distribusi sosial-ekonomi-politik mereka. Tapi, perubahan itu bermula dari
sana; dari dalam individu, dari dalam pikiran, jiwa dan raganya.
Model perubahan sosial seperti itu mempunyai landasan pada sifat natural
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Perubahan mendasar
akan terjadi dalam diri individu jika ada perubahan mendasar pada pola pikirnya
karena pikiran adalah akar perilaku. Masyarakat juga begitu. Ia akan berubah
secara mendasar jika individu-individu dalam masyarakat itu berubah dalam
jumlah yang relatif memadai. Tapi, model perubahan ini selalu gradual dan
bertahap. Prosesnya lebih cenderung evolusioner, tapi dampaknya selalu bersifat
revolusioner. Inilah makna firman Allah SWT “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” [QS Ar-Ra’d
13:11]
Hal yang sama dikemukakan oleh Amien Rais bahwa Dakwah dalam artian
makro itu ekuivalen dengan social
reconstruction - rekonstruksi sosial. Sosial dalam arti ekonomi, budaya,
pendidikan, kemasyarakatan, dan segala macam proses rekonstruksi masyarakat
yang multi-dimensional itu jatuhnya sama dengan dakwah itu. Maka dari itu,
seorang muslim harusnya berkeyakinan bahwa politik merupakan bagian dari dakwah
dan sebagai alat dakwah yang mensyaratkan aturan main dari dakwah seperti yang
sudah disebutkan di atas.
Hubungan politik dan dakwah
sering tidak dimengerti dengan baik oleh sementara kaum muslimin sehingga
banyak yang mengangap bahwa kegiatan dakwah tidak punya dampak positif. Bahkan
dalam masyarakat kita ada kesan kurang positif terhadap kegiatan politik,
seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hiprokasi, ambisi buta,
pengkhianatan, penipuan, dan konotasi buruk lainnya. Banyak anggapan yang salah
berkembang di masyarakat, anggapan yang salah tersebut misalnya bahwa politik
bersifat memecah belah sedangkan dakwah berusaha merangkul sebanyak mungkin
umat, sehingga seolah-olah ada perbedaan antara hakikat politik dengan hakikat
dakwah, sehingga berlaku suatu ungkapan apabila politik sampai memasuki suatu
bidang kehidupan maka pasti rusaklah bidang kehidupan itu, bagi Amien persepsi
politik seperti itu dinilai cukup berbahaya apabila ditinjau dari kacamata
dakwah, pandangan politik ini juga merugikan, politik yang dijalankan seorang
Muslim sekaligus sebagai alat dakwah tentu bukanlah politik sekuler melainkan
politik yang penuh komitmen kepada Allah.
Gelombang Kehancuran terpampang jelas hari ini akan adidaya barat dengan
sistem sekularisme yang mereka banggakan, hal ini menjadi bukti nyata bahwa
Islam adalah pedoman purna dalam bagaimana seorang muslim menjalankan roda kehidupannya
baik dalam konteks secara pribadi maupun secara sosial. Berbeda dengan
peristiwa runtuhnya sistem sosial tauhid yang dibawa Islam, bahwa itu terjadi
karena makar/perangai barat yang menghancurkannya, dan mereka mengganti dengan
sesuatu yang mereka inginkan.
Peristiwa ini memberikan gambaran
bahwa, hari ini sesuatu sistem yang diciptakan manusia itu akan menemui
masanya, sehingga perlahan-lahan runtuh dengan sendirinya, dan hanya Islam,
hanya sistem Islamlah yang pantas menggantikannya, karena sistem ini berasal
dari langit, berasal dari pemilik seluruh alam semesta ini. Pola kepahaman yang
seperti ini butuh kembali dihidupkan dalam diri dan dada setiap umat Islam,
sehingga terbentuk unity of understanding, dari tiga pandangan mengenai
Islam dan Negara. Kita meyakini bahwa Islam adalah sistem yang Allah ciptakan
untuk menjaga keseimbangan dunia ini, dan sistem purna. Maka tugas kita hari
ini adalah, bagaimana perlahan dan membina umat agar menyadari akan sistem yang
purna ini, yang menjamin semua pemeluk agama, menjamin semua pemilik suku dan
budaya dalam naungan keadilan, naungan kemakmuran, naungan kesejahteraan,
karena itu adalah janji yang Allah swt telah janjikan kepada kita. □ (sb/dakwatuna.com)
Bersambung ke: --klik---> Islam dan Negara - 2
Bersambung ke: --klik---> Islam dan Negara - 2
Referensi:
Al-Qur’an Cordova
Anis Matta, 2006, Dari Gerakan ke
Negara, Fitrah Rabba Press.
Sayuti Pulungan, fiqh siyasah ajaran,
sejarah dan pemikiran, Jakarta PT. Raja Grafindon Persada, Cet.2 1995.
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar
Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media 1999
M. Amien Rais, Cakrawala Islam:
Antara Cita dan Fakta. Editor: Hamid Basyaib, Bandung; Mizan Cet. 5 1994
hlm.36 □□
Sumber:
https://www.dakwatuna.com/2017/03/01/86713/islam-dan-negara
□□□