"Dan
masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar
mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman
(dengan yang munafik dan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai)
syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim" [QS Āli ‘Imrān 3:140]
Kata
Pengantar
Bagi kaum muslimin, salah satunya, negeri
Andalusia adalah sepenggal kenangan yang selalu hinggap dalam ingatan. Kenangan
tentang betapa kaum muslimin dan risalah Islam yang dibawanya, pernah menguasai
sebuah wilayah di benua Eropa selama kurang lebih 800 tahun atau 8 abad
lamanya. Sebuah rentang waktu yang cukup lama, dan meninggalkan kesan yang
cukup mendalam.
Andalusia, negeri indah dan eksotis, berada dalam pemerintahan Islam dari tahun
92 H/711 M hingga tahun 797 H/1492 M. Kekhilafahan Islam dan dinasti-dinasti
kaum muslimin, berhasil mengubah wilayah di daratan Eropa itu menjadi simbol
kegemilangan peradaban dan kekuatan kaum muslimin. Umat Islam mengisinya dengan
tinta emas kejayaan dan keunggulan peradabannya. Ketika wilayah Andalusia, yang
saat ini terletak di Spanyol dan sebagian kecil Portugal berada di bawah
kekuasaan kaum muslimin, jejak-jejak kecermelangan peradaban mereka menjadi
rujukan bangsa-bangsa Eropa.
Bangunan-bangunan dengan estetika dan kemegahan tegak berdiri. Ilmu pengetahuan
dan penelitian berkembang pesat. Para sejarawan yang meneliti negeri Andalusia
banyak menceritakan bagaimana umat Islam yang bercokol di wilayah itu berhasil
memberikan sumbangsih bagi peradaban dan ilmu pengetahuan ke segala penjuru
Eropa dan Dunia.
Jika hari ini kita mengenal kota-kota indah seperti Barcelona, Madrid,
Valencia, Sevilla, Granada, Malaga, Cordova, dan sebagainya yang hari ini
tersohor di sebagai basis klub-klub sepak bola ternama serta menjadi tujuan
wisata dunia, maka ketahuilah bahwa pada masa lalu kota-kota tersebut dihuni
oleh kaum muslimin, dan berada di bawah pemerintahan Islam. □ AFM
Kemunduran
Peradaban Islam
S
|
etelah mengetahui asas kebangkitan
peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan
kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji
letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu
peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena
peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu
perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau
elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor
dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan
internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor
ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal
kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey
Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor
tersebut adalah sbb:
- Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu (ketika itu sumber ladang minyak mentah sebagai bahan bakar alat transportasi dan tenaga penggerak mesin industri manufaktur belum dikenal). Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
- Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
- Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 170 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim
bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit
lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan
dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesudah kekhalifahan Islam jatuh,
negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis
mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris
memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani
sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah
penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam
di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam
merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol.
Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan
berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu
domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak
terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi
negeri-negeri kecil.
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun
analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi
Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam
merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin
sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan
lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut
Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat
internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya
materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup
malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi
juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun
menyatakan:
“Tindakan amoral,
pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan
mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari
nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut.
Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri,
melanggar sumpah dan memakan riba.”
Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di
masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik.
Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya
Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya
pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara
pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem
pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada
pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar.
Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya
mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun
menyatakan:
“…..mata pencaharian
mereka yang mapan telah hilang, ….jika ini terjadi terus menerus, maka semua
sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar
akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran
peradaban.”
Lebih lanjut ia menyatakan:
“Jika kekuatan
manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan
rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.”
Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban
disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara
intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap
peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh
menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan
bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun,
pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan
kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas
jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya
moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan, 3) Despotisme
atau kezaliman, 4) orientasi kemewahan masyarakat, 5) Egoisme, 6) Opportunisme,
7) Penarikan pajak secara berlebihan, 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan
ekonomi rakyat, 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama, dan 10)
Penggunaan pena (media pengabaran) dan pedang (power) secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas
masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada
asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi
dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap
terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya
“ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat
kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan
Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau
menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan
dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan
oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan
memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam
pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa
sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi
tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat
memberikan solusi yang tepat. □
AFM
Sumber:
banihamzah-wordpress-com dan sumber-sumber lainnya. □□□