Pengantar
B
|
ukittinggi adalah kota bersuhu sejuk
atau dingin yang pernah jadi ibukota negara di masa Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia tahun 1948. Kota Bukittinggi terkenal karena Jam Gadang ini sebagai ikonnya. Jam Gadang sebagai penanda
waktu, penanda pusat kota, dan lokasi berfoto paling kondang se-Sumatera Barat,
juga kebanggaan seluruh warganya.
Umur Jam Gadang tahun ini sudah 91 tahun.
Kota kenangan penulis, karena lahir disini sewaktu Indonesia masih berumur dua
tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Ketika itu rumah dinas tempat tinggal orang tua diantarai oleh jalan besar ditengah, dan berikutnya Ngarai Sianok sebagai Grand
Canyon Khatulistiwa, dikanan ngarai terletak Lubang (terowongan) Jepang.
Jam Gadang ini megah dan anggun. Pelatarannya bersih. Tempat sampah dan taman
pepohonannya dirawat baik, juga kursi-kursi betonnya dicat. Taman Sabai Nan
Aluih, tempat tegaknya Jam Gadang, juga Istana Bung Hatta dan Pasar Ateh,
seperti menjadi kesatuan yang indah dibingkai oleh panorama Ngarai Sianok di
kejauhan.
Keindahannya inilah yang menjadi magnet hadirnya ratusan pengunjung dari
pagi, siang, petang, hingga malam. Berfoto dengan latar belakang Jam Gadang, ikon kota Bukittinggi,
jadi wajib bagi setiap orang yang datang ke sini. Tempat yang favorit untuk
arena bermain bagi keluarga dengan anak balita pada pagi sampai petang hari.
Jam
Gadang Bukittinggi
Jam
Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera
Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat
sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti
"Jam Besar".
Selain
sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai
objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman
tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari
libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman
dekat menara jam ini.
Struktur
Bangunan
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara
jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas
merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus
diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 sisi jam dengan diameter masing-masing 80 senti meter pada Jam
Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Roterdam, Belanda melalui pelabuhan
Teluk Bayur, Padang, dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat
2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Benterletak di tengah kota London, sebagai ibukota kerajaan Inggris.
Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat
paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yang bertuliskan Vortmann
Relinghausen. Vortman adalah nama belakang dari pembuat jam, nama lengkapnya Benhard Vortmann,
sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat
diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Bangunan memanjang keatas tempat Jam Gadang berada, dibangun tanpa menggunakan konstruksi rangka besi dan semen beton sebagaimana layaknya sebuah bangunan bertingkat tinggi dibuat, melainkan berbahan dari susunan batubata kokoh dengan disemen yang menggunakan campurannya bahan kapur, putih telur, dan pasir putih.
Sejarah
Jam Gadang
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu
Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka namanya diganti menjadi kota Bukittingi, karena kota ini terletak di dataran bukit yang lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Arsitektur menara jam
ini dirancang oleh Yazid Abidin Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama
dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6
tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, suatu biaya
yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak mulai dibangun dan kemudian diresmikan, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang.
Apalagi terletak di atas bukit yang mudah dilihat oleh penduduk sekitarnya. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda
atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Atap
Jam Gadang berubah mengikuti zaman siapa yang berkuasa.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada
bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa kekuasaan Hindia Belanda, atap pada
Jam Gadang berbentuk selinder yang diatasnya ada kubah setengah bulat yang memanjang dengan patung ayam jantan terletak diatas atap kubah menghadap ke arah timur di
atasnya.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang sebagai penguasanya diubah menjadi bentuk atap pagoda.
Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap
pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk atap gonjong sebagaimana rumah adat Minangkabau yang disebut Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010
oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota
Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan
tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember
2010.
Favorit Turis Berfoto dan Berbendi
Keindahan seperti yang telah dipaparkan diatas itulah tempat ini tidak
heran lagi menjadi magnet hadirnya ratusan pengunjung, berfoto dengan latar
belakang Jam Gadang.
Satu lagi sasaran kegemaran wisatawan di sini adalah naik Bendi yang di
Jakarta disebut Delman atau Andong di Jogja. Bendi, kereta berkuda yang
dikemudikan saisnya banyak berjajar di depan pelataran Jam Gadang, atau di
jalan menurun arah Panorama Ngarai Sianok.
Bendi di Bukittinggi sebenarnya alat transportasi yang digunakan sejak
jauh sebelum Indonesia merdeka. Saisnya sebagian besar adalah juga pemilik kuda
yang tinggal di sekitar Pacuan Kuda Bukit Ambacang.
Dari kiri atas: 1. Rumah Moh. Hatta; 2. Benteng Fort De Kock;
3. Lubang Jepang; 4. Ngarai Sianok; 5. Taxi Tradisional Bendi.
Untuk para turis, sangat menyenangkan naik Bendi berkeliling melihat atau menuju
tempat wisata lain di sekitarnya seperti Lubang Jepang, Benteng Fort de Kock,
Panorama Ngarai Sianok atau Rumah Kelahiran Proklamator Hatta.
Demikianlah kota kenangan ini segar kembali bagi penulis yang jauh dari
kampung halaman. Konon dulu tahun 50-an tempat penulis bermukim selama 30 tahun sampai sekarang ini ditempuh menggunakan
Kapal Api. Jarak tempuhnya memakan waktu sebulan, sebagaimana yang diceritakan Taufiq Ismail Tokoh Budaya kondang yang sempat bercerita tentang pengalamannya ketika diundang ke Masjid IMAAM Ccenter, Silver Spring, Maryland. Beliau ketika itu sebagai siswa SMA kelas terakhir dalam program AFS bersekolah di Amerika Serikat. Namun kini dengan pesawat
udara jet air liner memakan waktu 24 jam. □ AFM
Sumber:
id-wikipedia, Kompas-com, dan sumber
lainnya. □□□