Oleh: Dr. Adian Husaini
A
|
ksi
Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi
212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata
“Indonesia”, ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri,
tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia
itu.
Dua
hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon
“Kita Indonesia”. Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai
“tandingan” atau “respons” terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412
menyatakan, “Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan
prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa
hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama
di Indonesia.”
Munculnya
Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik
keislaman di Indonesia, yaitu wacana “keislaman” dan “keindonesiaan”. Sebagian
kalangan masih tetap memandang bahwa “Islam” dan “Indonesia” adalah dua hal
yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat
teror opini: “Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama
juga menjadi orang Indonesia yang baik!”
Begitulah
opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara “Islam” dan “Indonesia”.
Rekayasa
penjajah
Tentu
saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama
melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam
keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis
penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi
terhadap pribumi.
Dalam
satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck
sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran
Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat
besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha
kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara
tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
Ke-19, 1984:241—242).
Hasil
kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak
menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris
didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi
keberlangsungan penjajahan.
“Betapa
orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang
Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […]
memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan
pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda” (Prof Uli Kozok,
Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan
Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh
Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan
Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient,
dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan,
karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD
Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: “Bahasa
Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk
orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”
Senada
dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Melayu tidak
pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi
hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di
Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara”
(Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia.
Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan
Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia [2009]).
Usaha
penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut
hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan “ing ngarso sung tulodo,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” sebagai landasan pendidikan
nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata “iman, ilmu, dan
amal” sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis
pelitur
Menyadari
potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan,
para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori “lapis pelitur”. Adalah
pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori
tersebut. Dianggap laksana “pelitur”, kedatangan Islam di Indonesia dikatakan
tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap
Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, “Tidak benar
dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan
angan-angan belaka” (SM Naquib al-Attas, Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).
Buya
Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan
mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku
Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional
Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri
tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba
mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.
Upaya
sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim
dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan
menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia
adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang
menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan
dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan
masjid.
Bahkan,
majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul
“Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit”.
Ditegaskan pada bahasan utama: “Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya
langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya.”
Ditulis
dalam majalah ini: “Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu
bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang
faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus
kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai
syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat
menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala
bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang
adiluhung ini.”
Jadi,
simpul Media Hindu: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa
Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu
satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa
sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Dengan
cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan
menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan
nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol
kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana
Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk
memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.
Padahal,
menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan
dengan keislaman. “Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya
kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan
kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo
lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”
Begitulah
paparan dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman
nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti
kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan
Islam sebagai agama yang “antibudaya bangsa”, sebab budaya bangsa sudah
dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.
Hukum
adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa,
sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini,
sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa
Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang
Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama.
Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami
trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam
dan Indonesia
Fakta
sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah
Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan
dengan bahasa Melayu.
Prof
Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di
wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia
merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective
of modern times … was the most momentous event in the history of the
Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar
di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan
“bahasa Muslim” kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993).
Sebab
itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan
unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian
berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional
penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: “The coming of Islam constituted the
inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego”
(Ibid, hlm 178).
Karena
itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat
Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah
SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Jadi,
bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang
menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang
baik. Dalam istilah Buya Hamka: “Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim
sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati” (lihat,
Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam
& Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). □
Sumber:
inpasonline-com/bela-islam-bela-indonesia□□□