Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepadanya (6) ; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat (7). [QS Al-Fatihah 1:6,7]
Pendahuluan
K
|
etika membaca Misykat karya ustadz Dr. Hamid
Fahmy Zarkayi yang lulusan Gontor, (studinya dilanjutkan) lulusan dari Pakistan,
(studinya dilanjutkan) lulusan dari Inggris, dan (studinya dilanjutkan) lulusan
dari Malaysia, saya perlahan bisa mengerti dan memahami mengenai Liberalisme,
Pluralisme, Westernisasi dan istilah-istilah lainnya dengan mudah. Bahasa yang
digunakan beliau pun tidak terkesan menggurui, mengalir bagai air, apalagi
ditambah lagi dengan pengalaman-pengalaman pribadi beliau, semakin menambah
wawasan para pembaca mengenai topik tersebut, apalagi saya lebih senang saat
membaca suatu buku jika dilengkapi dengan kisah-kisah atau pengalaman pribadi
penulis, buku menjadi semakin interaktif.
Lemahnya
kita umat Islam dalam menghadapi barat dan agen-agennya di Indonesia (sebut
saja JIL, dll) adalah kurangnya wawasan, bacaan dan ilmu. Sehingga banyak di
antara kita yang hanya bisa melawannya dengan cercaan, hinaan bahkan aktivitas
fisik, sehingga makin menguatkan argumentasi mereka bahwa kita adalah penganut
paham kekerasan. Padahal jika menguasai ilmunya kemudian dituliskan dalam
bentuk buku, plus pernah kuliah di Eropa, mereka aktivis yang sangat terpesona
dengan paham-paham yang lahir dari Barat akan kejang-kejang, marah-marah bahkan
protes. “Bilang sama Mas Hamid”, kata seorang kawannya dalam sebuah milis,
“dulu di Birmingham dia nyantri
dengan para orientalis, sekarang dia mencela dan mengkritik orientalis. Jangan
seperti kacang lupa pada kulitnya.” Ternyata mereka (yang memprotes buku
Misykat) yang (ia) sering mengatakan Islam, MUI, al-Qur’an anti di kritik bila
dikritik, padahal mereka sendiri anti di kritik, ini yang namanya standar
ganda.
Saya
juga pernah membaca Catatan Pinggir, tulisan Goenawan Mohamad di majalah Tempo,
jujur saya terpana dan terpukau, karena memang asyik membacanya. Ustadz Cholis
Akbar, redaktur pelaksana Hidayatullah.com,
dalam komentarnya mengenai buku ini mengatakan, saat membaca Catatan Pinggir
Goenawan Mohamad, mendapatkan informasi, tetapi saat membaca Misykat: Refleksi
Tentang Islam, Westernisasi, dan Liberalisasi selain mendapatkan informasi,
kita juga mendapatkan ilmu plus meneguhkan keyakinan. Itu juga yang saya alami,
kebanggaan akan agama Islam (yang sangat baik) ini semakin bertambah.
Para
pemuda Islam wajib membaca buku ini, untuk menambah khazanah dan perbendaharaan
akan keterkaitan antara Westernisasi, Liberalisasi dan Islam. Agar kita tak
mudah dikelabui oleh mereka yang ngaku lulusan pesantren, bisa baca kitab
kuning terus lanjut “belajar” Islam di Barat, dan sering menggunakan
bahasa-bahasa tingkat tinggi. Kata ustadz Bachtiar Natsir, Sekjen MIUMI dalam
sambutannya untuk buku ini, “kemajuan dunia Barat sebenarnya telah menyilaukan
(mereka) kaum lemah pemikiran, lemah aqidah dan lemah wawasan.”
Kita
boleh kagum pada sisi kedisiplinan, teknologi dan tradisi keilmuan dunia Barat,
tetapi tidak untuk aspek pandangan hidup, moralitas, kemanusiaan, keluarga dan
lain-lainnya. Karena sebenarnya mereka menjadi maju setelah meninggalkan Gereja
dan agamanya, tetapi tidak dengan kita umat Islam.
Kita
akan jatuh, terbelakang dan menjadi bodoh saat kita meninggalkan Islam, dan
akan maju dan jaya saat kita menjadikan Islam sebagai pedoman hidup kita,
seperti yang terjadi beberapa abad yang lalu. Mari kita perluas wawasan kita
tentang Islam - apa lagi ditengah-tengah gemerlapan kehidupan dunia yang
menyilaukan mata yang dapat merugikan dunia kita sebagai ladang ibadah menuju
kehidupan sejati di akhirat. □
Latar
Belakang Lahirnya Buku Misykat
T
|
ahun 1973, Cak Nur (Dr. Nucholish Madjid)
menggebrak dunia pemikiran Islam Indonesia dengan gagasan yang menggoncang
nalar umat: Islam perlu disekularisasi. Saat itu, 3 Januari 1973, Cak Nur
memaparkan makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat.”
Dalam disertasinya di Monash University Australia – yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia” (1999) – Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat.
Di satu sisi, menurut Nurcholish, masyarakat
Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti
menimbulkan perpecahan dan mengorbankan keutuhan umat. Kata Cak Nur dalam
makalahnya: “… pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat
hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari
nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada
masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan.
Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap
“ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...”
Menurut Nurcholish Madjid, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’. Jadi, Nurcholish Madjid sendiri pada tahun 1970 sudah menggunakan istilah ”liberalisasi” untuk proyek Pembaruan Islam-nya. Karena itu, bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awal tahun 1970-an.
Selama empat dekade, gagasan Nurcholish Madjid terus dipertahankan. Sebagian, bahkan mensakralkan gagasan sekularisasi. Sudah banyak ulama dan cendekiawan Muslim mengkritisi gagasan sekularisasi. Mohammad Natsir, Prof. HM Rasjidi, Endang Saefuddin Anshari, Ridwan Saidi, Abdul Qadir Djaelani, adalah diantara sederet tokoh dan cendekiawan Muslim yang secara tajam mengkritisi gagasan sekularisasi Cak Nur. Puluhan cendekiawan lain pun telah angkat pena secara tajam.
Kritik tajam, mendasar, dan sistematis terhadap gagasan sekularisasi telah diberikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, melalui bukunya, Islam and Secularism, sejak awal 1980-an. Tahun 2010, Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta menerbitkan bukunya yang berjudul Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Tahun 1995, Faisal Ismail, menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Meskipun sudah begitu banyak cendekiawan yang mengkritisi Nurcholish Madjid, tetapi nama dan pemikiran Cak Nur tetap saja dikibarkan dan disakralkan. Berbagai acara ritual tahunan bahkan digelar untuk mengenang dan melestarikan gagasannya. Karena merupakan alumnus Pesantren Modern Gontor Ponorogo, nama Cak Nur terkadang diidentikkan dengan Pesantren Gontor Ponorogo.
***
J
|
ika ditelaah, gagasan sekularisasi Nurcholish
Madjid memang mengadopsi pemikiran sekularisasi dalam dunia Kristen yang
sebelumnya sudah dilontarkan oleh Harvey Cox melalui buku terkenalnya, The Secular City. Menurut Cox, sekularisasi
adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan
perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical
tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this
one).
Pengaruh buku Harvey Cox ini sangat besar, melintasi batas-batas negara. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh “The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib. (Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg, Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuven:Peeters, 2000), hal. 85).
Dalam artikelnya tersebut, Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by Harvey Cox had a great impact in these young students.” Dalam Catatan Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini, agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal, sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo H.C. Stolk SJ. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79).
Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan Harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya. Pengaruh Cox baru tampak jelas pada pemikiran Nurcholish Madjid yang ketika itu menjadi ketua umum satu organisasi mahasiswa Islam.
Sejak awal mula, pemikiran Nurcholish Madjid ini menimbulkan kehebohan. Meskipun pernah dijuluki sebagai “Natsir muda”, tetapi Mohammad Natsir sendiri mengaku kecewa dengan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan di kediamannya, pada 1 Juni 1972, M. Natsir mengungkapkan kerisauannya akan gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), hal. 155-156. Buku ini diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, dari judul aslinya “Muslim Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia, yang merupakan disertasi doktor Kamal Hassan di Columbia University, AS.
Respon yang sangat keras terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid juga diberikan oleh tokoh DDII, Prof. Dr. HM Rasjidi. Tahun 1972, Rasjidi menulis buku Sekularisme dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Jajasan Bangkit). Setahun kemudian, Rasjidi kembali menulis buku berjudul Suatu Koreksi Lagi bagi Drs. Nurcholish Madjid, (Jakarta: DDII, 1973).
M. Natsir juga pernah memberikan pesan khusus kepada para cendekiawan Muslim Indonesia, seperti Amien Rais dkk., tentang bahaya sekularisasi: “Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya” gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut “pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada “reaktualisasi” ada ”kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif.
Proses
sekularisasi ini amat nyata terutama dalam sistem pendidikan kita. Pelajaran
atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content yang terbatas, tetapi
diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan
dengan tujuan mendidik manusia religius.
Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik
dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para
intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus
sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.” (A.
Watik Pratiknya (ed.), Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang
Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah,
1989).
***
K
|
ini, setelah empat dekade gelombang sekularisasi
yang dimotori Cak Nur dan kawan-kawan digulirkan dan sebagiannya bahkan sengaja
dilestarikan, -- atas kehendak dan izin Allah – tampillah sosok unik di pentas
pemikiran dan dakwah Islam Indonesia, bahkan dunia internasional. Sosok itu
adalah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Selama beberapa tahun terakhir, tampilnya putra pendiri Pesantren Gontor Ponorogo di pentas pemikiran Islam telah memberikan tawaran baru yang berlawanan dengan gagasan sekularisasi Cak Nur. Dr. Hamid F. Zarkasyi (Gus Hamid) bukan saja mengkritisi pemikiran Cak Nur, tetapi juga menawarkan gagasan besar yang sedang melaju kencang di dunia Islam, yaitu Islamisasi Ilmu.
Selama tahun 2004, masyarakat sudah mulai mengenal pemikiran Gus Hamid melalui rubrik Prolog dan Epilog di Jurnal (Majalah) ISLAMIA. Dalam catatan Redaksi ISLAMIA, kolom Gus Hamid merupakan kolom yang paling banyak diminati pembaca.
Kemudian, sejak tahun 2009, INSISTS menjalin
kerjasama degan Harian Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran Islam,
Islamia-Republika, yang terbit bulanan, setiap hari Kamis pekan ketiga.
Di Jurnal Islamia versi koran yang terbit empat halaman ini, Gus Hamid juga menulis kolom tetap yang diberi nama MISYKAT. Gagasan-gagasannya tentang de-sekularisasi, de-westernisasi, dan Islamisasi, secara konsisten mewarnai berbagai tulisannya. Uniknya, kolom MISYKAT Gus Hamid di Harian Republika ini tercatat sebagai kolom yang paling diminati pembaca. Survei Litbang Harian Republika tahun 2010 menunjukkan, Jurnal Islamia-Republika, merupakan rubrik non-berita yang paling banyak dibaca oleh pembaca Republika.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa saat ini, Gus Hamid merupakan salah satu dari deretan kolomnis terbaik saat ini. Dan kini, kumpulan artikel dan berbagai tulisannya yang tersebar di beberapa media, telah dihimpun dalam satu buku berjudul “MISYKAT: ISLAM, WESTERNISASI, DAN LIBERALISASI (JAKARTA: INSISTS, 2012).
Membaca beberapa karya Gus Hamid, khususnya buku Misykat ini, tidaklah berlebihan jika kita berkesimpulan, bahwa Era Sekularisasi Nurcholish Madjid sudah memasuki masa senja. Kini, insyaAllah, dunia pemikiran Islam Indonesia sedang memasuki gairah dan era baru: Era Islamisasi Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.
Demikianlah
sajian tajuk dari "Misykat Golakan Pemikiran Konsep Hidup Dunia" sebagai
pengantar kepada pemikiran kontemporer Islam dalam menghadapi gelombang
pemikiran barat tentang hidup. Dengan itu diharapkan kita dapat mendudukkan
posisi keislaman kita ditengah gelombang hidup dunia. Gelombang kehidupan di dunia "yang hingar bingar informasi ini" jika tidak diwaspai dapat mengombang-ambingkan kita, setelah itu kehilangan arah, Kemudian tenggelam di jalan yang dimurkai-Nya dan di jalan yang sesat dari Jalan-Nya, naudzubillah min dzalik. Allāhu ‘Alam, bilLāhit Taufiq wal-Hidāyah. □ AFM
Sumber:
abudarda-crb.blogspot.com yang mengangkat
tulisan Dr. Adian Husaini dan sumber-sumber lainnya. □□□