Pedahuluan
P
|
Perjanjian
Roem-Roijen - juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen, adalah sebuah perjanjian
antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan
akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Namanya diambil dari
kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem - wakil dari Indoesia, dan Herman van
Roijen – wakil dari Belanda. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan
beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar
di Den Haag pada tahun yang sama.
Jalannya perundingannya sangat alot sehingga
memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingannya (ditangkap dan kemudian diasingkan
oleh Belanda) di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta
untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik
Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta
adalah Republik Indonesia). Pernyataan ini perlu didengar baik pihak Indonesia
maupun pihak Belanda bahwa (Kesultanan) Yogyakarta bukanlah bagian dari Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), tapi Yogyakarta adalah Republik Indonesia.
Keberhasilan membawa
permasalahan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda ke meja perundingan
merupakan inisiatif komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan Roem - Roijen,
pihak Republik Indonesia memiliki pendirian mengembalikan pemerintahan Republik
Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci sebuah perundingan selanjutnya.
Latar
Belakang Perjanjian Roem - Roijen
Diadakannya Perjanjian Roem - Roijen karena
adanya serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan adanya penahanan pemimpin RI
(Soekarno dan Hatta), serta mendapatkan kecamanan dari dunia Internasional
kepada Belanda.
Dalam Agresi Militer
II, lihat Gambar-1, Belanda mempropaganda TNI telah hancur, disini Belanda
mendapat kecaman di dunia Internasional terutama Amerika Serikat.
Perjanjian Roem - Roijen diselenggarakan
mulai dari 14 April sampai 7 Mei 1948, pihak Indonesia di wakili oleh Mr. (Mester in de Rechten,
Sarjana Hukum) Mohammad Roem didamping oleh beberapa anggota yaitu: Ali Sastro
Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Pihak
Belanda di wakili oleh Dr. J. H. Van Roijen dengan anggotanya seperti Blom,
Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Dengan adanya Agresi Militer Belanda II yang
dilancarkan Belanda mendapat kecaman dan reaksi dari Amerika Serikat dan
Inggris, serta Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Melihat reaksi dari
agresi militer yang dilakukan Belanda terhadapa Indonesia, PBB memberi
kewenangan Komisi Tiga Negara (KTN) Amerika Serikat (sebagai penengah),
Australia (mewakili Indonesia) dan Belgia (mewakili Belanda). Sejak itu KTN
berubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI sendiri
dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan juga dibantu Critchley
Australia dan juga Harremans dari Belgia.
Pada tanggal 23 Maret
1949 pihak DK-PBB perintahkan UNCI agar membantu perundingan antara pihak
Republik Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 17 April 1949 perundingan
Roem - Roijen dimulai dan bertempat di Jakarta. UNCI sebagai penengah dan
diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat sebagai wakil UNCI.
Perundingan
berikutnya Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs. Mohammad Hatta dan juga Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Perjanjian Roem - Roijen mulai ditandatangani dan nama perjanjian ini
diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van
Royen. Perjanjian yang sangat alot ini perlunya diperkuat dengan
menghadirkan Drs. Mohammad Hatta yang datang dari pengasingan di Bangka, serta
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Kedatangan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX untuk mempertegas pemerintahan bahwa ia wakil dari Republik Indonesia di
Yogyakarta.
Harapan yang diinginkan oleh bangsa
Indonesia setelah penandatanganan Perjanjian Renville akan terjadi suasana baru
bagi pihak yang bertikai, supaya pembicaraan-pembicaraan atas
perbedaan-perbedaan politik antara kedua belah pihak dapat dilanjutkan kembali.
Ternyata yang terjadi justru sebaliknya,
karena Belanda segera sengaja melanggar perjanjian yang telah
ditandatanganinya, yaitu dengan mendirikan negara-negara bagian didalam wilayah
kekuasaan Republik Indonesia, lihat Gambar-2. Seperti dikatakan oleh Ide Anak
Agung Gede Agung bahwa:
“Konferensi Jawa Barat yang menghasilkan keputusan
bagi pembentukan Negara Pasundan pada tanggal 27 Februari 1948 dan pemilihan R.
A. A. Wiranatakusuma sebagai Wali Negara (Kepala Negara Bagian) pada tanggal 6
Maret 1948 serta pembentukan Negara Madura tanggal 15 Maret 1948”. (1983:81)
Tindakan Belanda
tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap Perjanjian Renville, sehingga RI
mengajukan protes kepada Dewan Keamanan (DK) PBB, sehingga pada tanggal 28
Februari 1948 DK PBB memohon kepada “Komisi Jasa-Jasa Baik” untuk memperhatikan
perkembangan-perkembangan politik di Jawa Barat dan Madura dan secara teratur
memberikan laporan kepada Dewan Keamanan mengenai hal tersesbut.
Sementara itu Belanda
menuduh Republik Indonesia melanggar asas-asas Renville, karena menurut Belanda
RI terus memperluas hubungannya dengan luar negeri.
Kedua belah pihak
saling melempar tanggung jawab atas sering terjadinya pertempuran-pertempuran
di sepanjang garis demarkasi Van Mook (garis perbatasan wilayah mana yang
Belanda mana yang Indonesia yang dibuat oleh Van Mook).
Untuk mengatasi jalan
buntu tersebut, maka wakil-wakil Amerika Serikat dan Australia berusaha
mencarikan kompromi yang realistis, yang kemudian disebut “Du Bois Critchy Plan” yang kemudian menyerahkan kepada
pihak RI dan Belanda secara rahasia pada tanggal 10 Januari 1948, yang isi
pokoknya sebagai berikut:
- “Rakyat Indonesia dan segala administrasi pemerintahan akan memilih satu atau lebih pemilih sesuai dengan pebandingan jumlah penduduk. Pemilih yang terpilih akan memilih utusan ke Majelis pembentukan Undang Undang Dasar (UUD) yang sekaligus akan menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sementara juga”.
- Atas dasar geografi, ethnologi, sejarah, tradisi dan perasaan kebangsaan akan mencerminkan negara-negara bagian daripada NIS (Negara Indonesia Serikat).
- Akan memilih presiden yang akan mengangkat ‘perdana menteri’ yang selanjutnya akan membentuk Kabinet yang bertanggung jawab kepada DPR Sementara.
- Mempunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan sendiri termasuk pengawasan akan militer.
- Komisaris Tinggi Belanda akan memiliki hak veto yang mempunyai wewenang untuk menyatakan keadaan bahaya (perang) melampaui kekuasaan pemerintah sementara, dan dalam keadaan demikian ia mempunyai kekuatan atas militer.
- Dewan pembentuk UUD sebagai DPR Sementara bersama wakil kerajaan Belanda akan menyusun kerangka dasar pembentukan (status) UNI Indonesia-Belanda yang akan menyelenggarakan bersama urusan ekonomi, kebudayaan dan kepentingan militer masing-masing dan segala kerjasama untuk menyelenggarakan kepentingan bersama. Dewan pembentuk UUD untuk NIS. Bila rencana UUD dan statut UNI telah disahkan, Belanda akan menyerahkan kedaulatan pada NIS (Moedjanto,1988:26)
Pada prinsipnya RI menerima rencana Du Bois
Critchly Plan, tetapi Belanda menolaknya serta menuduh pihak Australia dan
Amerika Serikat bertindak melampaui wewenangnya. Penolakan Belanda atas rencana
Du Bois Critchly Plan membawanya
keposisi yang menyulitkannya sendiri.
Dengan penolakan
Belanda tersebut, maka perundingan mengalami kemacetan lagi. Selanjutnya KTN
dalam bulan September mengusahakan agar perundingan antara RI dengan Belanda
dapat dilanjutkan kembali. Selanjutnya wakil Amerika Serikat yang baru dalam
KTN Marle Cochran mengajukan rencana Cochran yang didasarkan atas rencana Du
Bois yang diubah dengan memberikan sejumlah konsesi kepada Belanda. Akan tetapi
kedua belah pihak tidak setuju dengan rencana Cochran, dengan demikian rencana
Cochran mengalami kegagalan.
Berhubungan dengan adanya jalan buntu
dihadapi oleh kedua belah pihak dalam perundingan-perundingan untuk mencari
penyelesaian sengketa, maka Belanda memutuskan untuk melancarkan Agresi Militer
II pada tanggal 19 Desember 1948, sebagaimana telah disinggung pada pembahasan
sebelumnya.
Agresi militer
Belanda II (kedua) berhasil menduduki Ibu kota RI Yogyakarta dan menangkap
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi
negara. Namun demikian sebelumnya kabinet sempat mengadakan sidang, dalam
sidang kabinet tersebut berhasil diputuskan untuk memberikan mandat ke pada Mr.
Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera agar berusaha membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatra (karena Belanda
menangkap Presiden dan Wakil Presiden dan beberapa pejabat lainnya).
Reaksi dunia atas agresi Belanda tersebut
luar biasa, dunia umumnya mengutuk serangan Belanda karena Belanda berani
melanggar suatu persetujuan gencatan senjata yang disponsori oleh PBB melalui
KTN. Kemudian pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi yang antara lain berisi:
- Mendesak Belanda untuk segera dan sunguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya menghentikan aksi gerilya mereka.
- Mendesak Belanda untuk membebaskan tanpa syarat presiden dan wakil presiden serta tawanan politik lainnya yang ditahan sejak tanggal 17 Desember 1948 di wilayah RI dan mengembalikan pemerintahan RI ke Yogyakarta.
- Menganjurkan agar RI dengan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan usul-usul Cochran, dalam perundingan tersebut supaya disusun rencana pembentukan pemerintahan Federal Sementara pada tanggal 15 Maret 1949, yang diberi hak menyelenggarakan urusan intern, pemilihan Majelis Konsituante paling lambat 1 Oktober 1949, dan penyerahan kedaulatan atas Indonesia kepada NIS paling lambat 1 Juni 1949.
Kini KTN diubah menjadi UNCI (United Nation
Commission for Indonesia) dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak
mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas. UNCI diberi kuasa
untuk memberi rekomendasi kepada Dewan Keamanan dan pihak-pihak yang
bersengketa, membantu mereka mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi
Dewan Keamanan PBB.
Belanda tidak mau menerima resolusi DK PBB
tersebut karena Belanda masih tetap yakin bahwa RI hanya tinggal namanya saja.
Sementara itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX lewat radio dapat menangkap berita,
bahwa DK PBB akan mengadakan sidang lagi dalam bulan Maret untuk membahas
masalah Indonesia. Oleh karena itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama Pimpinan
Militer RI berusaha berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya sidang DK PBB
dan meyakinkan dunia Internasional bahwa RI pada tanggal 1 Maret 1949. TNI
melancarkan serangan umum dan berhasil menduduki Ibu kota Yogyakarta selama 6 (enam)
jam. Berita serangan umum itu kemudian disiarkan oleh RRI ke Rangon dan India,
dengan demikian propoganda Belanda yang mengatakan bahwa RI tinggal nama tidak
dapat dipercaya lagi. Dan serangan umum tersebut dapat mempengaruhi pandangan
dunia umumnya dan sidang DK PBB pada khususnya.
Proses
Pelaksanaan Perjanjian Roem-Roijen
Atas desakan Amerika Serikat, akhirnya pada
tanggal 14 April 1949. Perundingan dapat dibuka kembali, delegasi Indonesia
dipimpin oleh Muhammad Roem, sedangkan
delegasi Belanda dipimpin oleh Van Roijen, yang merupakan Perundingan
pendahuluan sebelum diadakan perundingan puncak, perundingan tersebut diketuai
oleh Cochran. Yang kemudian menyampaikan pidato tentang tujuan perundingan dan
tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam perundingan ini.
Isi pidato
Van Roijen dan Mohammad Roem
Selanjutnya ketua delegasi belanda Van Roijen
menyampaikan pidato, dalam pidatonya antara lain dikatakan bahwa:
- Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi persiapan ini tanpa syarat.
- Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan dengan syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal penghentian permusuhan dan pemulihan ketertiban dan ketentraman, serta syarat-syarat dan tanggal untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
- Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat, Van Roijen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata dan lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tak akan menjadi super state melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara-negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan kesukarelaan sepenuhnya (Agung, 1983).
Selanjutnya ketua delegasi Indonesia
Mohammad Roem menyampaikan pidato tentang
pandangannya sebagai berikut:
- Pemerintah RI dengan menyesal harus menyatakan bahwa Aksi Militer Belanda II (yang kedua) telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad baik pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat di dalam RI seperti ternyata telah diletakkan jabatan oleh Pemerintah Indonesia Timur dan Pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-badan yang menyalahkan tindak tanduk militer itu, dan resolusi dari luar negeri, yakni Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara.
- Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang disebut instruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-pokok untuk dibicarakan konferensi ini, merupakan satu kesatuan utuh. Harus dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintahan Republik ke Yogyakarta setelah tercapai kata sepakat tentang hal ini, maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain untuk suatu pemecahan menyeluruh. Keputusan-keputusan hakiki kemudian akan diambil oleh pemerintah Republik di Yogya. Kesepakatan tentang persoalan kembalinya pemerintah Republik, maka jalan akan terbuka untuk mengadakan perundingan-perundingan mendasar dan kepercayaan yang telah tergoyah itu akan pulih dengan sendirinya. (Ide Anak Gede Agung, 1983:270)
Pada tanggal 16 April, dimulailah
pembicaraan antara kedua delegasi yang berlangsung
hingga 7 Mei 1949. Perundingan tersebut berhasil mencapai persetujuan yang kemudian dikenal dengan perjanjian
Roem-Roijen.
Perjanjian
Roem-Roijen bukan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya satu, akan tetapi merupakan suatu perjanjian yang
terdiri dari dua keterangan yang berbeda. Pernyataan ini masing-masing
disampaikan oleh kedua delegasi Indonesia dan
Belanda.
Mohammad Roem,
sebagai ketua delegasi Indonesia kemudian mengemukakan pernyataan yang berbunyi
sebagai berikut: “Sebagai ketua delegasi RI
saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
untuk menyatakan kesanggupan mereka pribadi sesuai dengan resolusi Dewan
Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya tanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya persetujuan,
yaitu:
- Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
- Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
- Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tiada bersyarat. (Roem, 1989)
Sementara itu, ketua
delegasi Belanda, Van Roijen menyampaikan pendapat
sebagai berikut:
- Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, dan dibawah pengawasan UNCI akan menghentikan perang gerilya disamping bersedia menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
- Pemerintah RI bebas menjalankan tugasnya dalam residensi Yogyakarta.
- Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan akan melepaskan semua tahanan politik sejak 17 Desember 1948.
- Belanda tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di daerah RI sebelum 19 Desember 1948.
- Belanda akan menyokong RI masuk Indonesia Serikat dan mempunyai sepertiga anggota dari segenap anggota Dewan Perwakilan Federal.
- Belanda menyetujui, bahwa semua areal diluar residensi Yogya, dimana pegawai-pegawai Republik masih bertugas tetapi menjalankan tugasnya (Marwati Djonaedi, 1984:170)
Kedua pernyataan tersebut diatas merupakan
pokok-pokok perjanjian Roem-Roijen,
yang sekaligus merupakan dasar menuju perundingan (persetujuan) pada Kenperensi
Meja Bundar (KMB) berikutnya. Perihal sebagaimana kedua pernyataan tersebut adalah
suatu peristiwa yang sangat menentukan bagi
RI. Karena dengan dicapainya persetujuan tersebut maka pemerintah RI
akan dikembalikan dan dipulihkan ke Yogyakarta. Pernyataan Roem-Roijen juga merupakan suatu kemajuan yang akan
membawa kedalam perundingan-perundingan
selanjutnya.
Dengan tercapainya kesepakatan dalam
Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan
Belanda. Sementara itu, pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu
(karena dua perjanjian sebelumnya tidak berhasil - telah gagal). Namun,
Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan
seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman
itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A. H. Nasution memerintahkan
agar para komandan lapangan dapat
membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan,
karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia.
Selanjutnya, pada tanggal 22 Juni 1949
diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO - Badan Konsultasi dari Federasi Negara-Negara Bagian
di Indonesia), dan Belanda di bawah
pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu
menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut:
- Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
- Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Perjanjian Roem-Roijen yang ditandatangani
tanggal 7 Mei 1949, mulai dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1949, yang ditandai
dengan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Yaitu bersamaan dengan
kembalinya Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dari tempat pengasingan yang
dilakukan oleh Belanda, pada hari tersebut. Yang kemudian disusul dengan pengembalian
mandat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) – Karena Presiden dan Wakil
Presiden RI ditangkap dan ditahan Belanda serta Ibu Kota Sementara RI di
Yogyakarta diduduki Belanda - dari Mr.
Syafruddin Prawiranegara kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli
1949, maka dengan demikian akan semakin dekat menuju
pengakuan kedaulatan.
Isi
Perjanjian Roem - Roijen
Isi Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di
Jakarta, antara lain:
- Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya
- Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
- Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
- Tentara bersenjata Belanda harus mengehentikan operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.
- Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.
- Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Belanda memberikan hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada pihak Indonesia.
Pasca Perjanjian Roem Royen
Setelah tercapainya perundingan Roem Royen,
pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke
Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia
dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta
tanggal 10 Juli 1949. Setelah pemerintahan Republik Indonesia kembali ke
Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet. Dalam sidang
tersebut Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandate PDRI yang dipegangnya
kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam sidang tersebut juga diputuskan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan merangkap Koordinator
Keamanan.
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari
pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, Kabinet
Hatta mengesahkan Perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang
menjabat Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal
22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi
mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara
Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus).
Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda
pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
Penutup
D
|
Dampak atau
hasil dari Perjanjian Roem – Roiyen adalah bahwa dengan tercapainya kesepakatan
dalam Perjanjian Roem-Roijen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang
berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra (Barat) memerintahkan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda.
Sebelumnya dari pihak TNI masih penuh
kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, karena kenyataannya hasil-hasil
perjanjian (Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, berakhir dengan
Aksi Militer Belanda I dan II dengan peralatannya yang modern menghajar Rakyat
dan TNI yang masih menggunakan “bambu runcing”) dengan
Belanda sebelumnya selalu merugikan pihak Indonesia. Namun, Panglima Besar
Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar tidak
memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A. H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan
perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah
pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu
menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut:
- Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
- Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Demikianlah
gambaran dari perjuangan bangsa Indonesia “yang sangat panjang” baik secara
militer (perang) maupun diplomasi (perundingan) yang tidak mudah untuk
dilaksanakan.
Perang disini bukanlah dalam pengertian kontak
senjata saja, tapi adalah perang ‘urat syaraf’ (psywar)
seperti intimidasi, memandang rendah bangsa Indonesia sebagai “inlander”,
“politik devide et impera” memecah belah kesatuan bangsa
yang mudah terpancing oleh sebahagiannya. Yaitu berdirinya negara-negara yang
sebenarnya dijadikan “boneka” untuk kepentingan dan
keuntungan penjajah. Oleh karena diberi uang “sebenggol rasanya
sejuta” dan diberi “jabatan” yang
sebenarnya “calo orang asing” atau “kepentingan dan keuntungan pribadi”, Republik
Indonesia (NKRI) ketika itu dalam proses (mau) tergadai. Hendaknya mental
bangsa dari sebagian orang seperti itu tidak terulang kembali. Suatu pelajaran
yang sangat berharga bagi keutuhan Republik Indonesia mendatang.
Sebenarnya Perjanjian Roem – Roijen yang
diadakan di Jakarta (yang dibawah penguasaan Belanda) ini baru sebagai pijakan untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia
oleh Belanda, berikutnya akan ada lagi perundingan yaitu melalui Konperensi
Meja Bundar di Den Haage, Belanda. Billahit
Taufiq wal-Hidayah. □ AFM.
Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Roem-Roijen
http://jagosejarah.blogspot.co.id/2014/09/perjanjian-roem-royen.html
http://urusandunia.com/perjanjian-roem-royen/
https://elearning.unsri.ac.id/pluginfile.php/61451/mod_resource/content/1/BAB%2012%20ROEM-ROYEN.pdf
https://www.haikars.net/2017/02/perjanjian-roem-royen-lengkap.html
Dan sumber-sumber lainnya. □□