Kata Pengantar
Dari
laman blog serbasejarah mengatakan: Biar sejarah yang bicara… Menggali jejak
sukma nagara; Mengibas cakrawala mengepak mayapada; Melesatkan pikiran yang tak
tembus peluru; Membiarkan hati bersuara; Karena masa lalu mereka adalah masa
depan kami.
D
|
Dari laman blog kami yang mengetengahkan tajuk: “Perjanjian
Renville dan Kartosoewiryo” di terangkan bahwa: Perjanjian Renville adalah
perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral
USS Renville, yang berlabuhjangkar di perairan Tanjung Priok, Jakarta.
Pada hakekatnya Perjanjian Renville ini merugikan Indonesia dimana wilayah kekuasaan Indonesia tidaklah dari Sabang sampai Marouke, Gambar-2, melainkan hanya sebagian pulau Sumatera dan sepertiga pulau Jawa. Inilah yang ditolak oleh Kartosoewijo di Jawa Barat yang diaku sebagai kepunyaan Belanda, untuk itulah ia dan tentaranya melawan penjajah yang masih menduduki tanah tumpah darah Indonesia.
Tajuk diatas ditulis
oleh seorang satrawan yang sudah barang tentu bahasanya enak dibaca, dibawakannya
dengan gaya: allegory, metaphor sekaligus paraphrase menambah indah alur kupasannya.
Baik, mari kita ikuti
saja buah tulisan Syaukani Al Karim yang memberikan inspirasi keberpihakkan kepada Yang
Maha Benar. Wallāhu ‘Alam bish-Shawwab.
□ AFM
Surat Kepada Soekarmadji
Oleh: Syaukani Al Karim
A
|
Aku merasa kita pernah bertemu suatu ketika,
meski Tuan akan mengatakan tidak. Waktu itu tahun 1938, dan Tuan berusia 33
tahun. Di atas podium, Tuan, sebagai wakil ketua Partai Syarikat Islam Hindia
Belanda, yang kemudian disebut Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dengan
bersemangat menjelaskan konsep ‘’hijrah” kepada peserta kongres ke-22 di
Surabaya. Dengan nada yang berapi-api, Tuan menjelaskan bahwa hijrah, bukanlah
semata-mata penolakan, bukan semata-mata sikap non-kooperasi, tapi bermuatan
lebih positif, yaitu penolakan yang diikuti oleh usaha membentuk kekuatan hebat
yang menuju Darul Islam: sebuah negeri yang dibangun dengan konsep
kemaslahatan.
Pada
waktu itu, kalimat Tuan yang menyebut Darul Islam, tentu saja tak bermasalah.
Pada tahun 1938 tersebut, secara de facto
dan de jure, Indonesia masih sesuatu
yang imajiner. Indonesia belumlah ada, kecuali dalam sederet mimpi dan
sehasta rindu. Indonesia hanya ada dalam perbincangan-perbincangan elit politik
yang mencoba menjadikan nama itu sebagai sumbu gairah perlawanan. Yang dihadapi
waktu itu adalah Belanda, dan Islam, merupakan sentimen yang kuat dan seksi
untuk menumbuhkan semangat perlawanan.
Politik hijrah yang Tuan usung, meski didukung
oleh beberapa pihak, juga mendapat penolakan yang keras. Akhirnya Tuan
dikeluarkan dari partai. Namun demikian, sebagai seorang yang keras keyakinan,
Tuan tak peduli dengan ketidaksetujuan itu. Tuan terus melawan dengan
mendirikan Komite Pertahanan Kebenaran (KPK) PSII, yang sering disebut sebagai
PSII tandingan. Selain mengurus PSII tandingan, Tuan juga mendirikan Institut
Suffah, sebuah pondok pesantren, yang sekaligus dijadikan basis latihan laskar
Hizbullah dan Sabilillah.
Aku
merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin tahun 1945. Akhirnya hati Tuan
luluh juga, meski sebelumnya Tuan mati-matian menentang konsep Soekarno dan
Hatta dalam menghadapi Belanda. Dengan hati yang penuh, Tuan pun menerima
Indonesia yang Pancasila. Aku mencoba menebak dari mana persetujuan Tuan
berpangkal. Mungkin karena pemimpin masa itu, Tuan pandang dapat menerjemahkan
konsep hijrah Tuan dalam kepemimpinan mereka.
Aku
juga ingat, ketika 27 Juli 1947, ketika Belanda melakukan agresi pertama. Tuan
mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi itu, membuat pasukan Tuan bersedia mati
berkalang tanah demi Indonesia. Bersedia, hanya dengan bermodal bambu runcing,
mempertarungkan rindu akan merdeka dengan nyawa. Tuan pernah kecewa, ketika
pemimpin Indonesia bersedia untuk berunding di kapal US Renville (Perjanjian
Renville) yang berujung ditariknya pasukan RI dari wilayah-wilayah yang
dikuasai Belanda. Karena kecewa dengan perjanjian itu, Tuan memutuskan untuk
tak ikut menarik pasukan keluar dari Jawa Barat. Lalu, Tuan menamakan pasukan
yang tersisa dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII).
Tuan terus bertempur, dan kembali mengobarkan
jihad sewaktu agresi Belanda ke-II. Tapi ketika wilayah itu sudah Tuan kuasai,
dan kemudian divisi Siliwangi meminta agar Tuan menyerahkan wilayah tersebut
kepada mereka, maka Tuan pun tersinggung. Tuan menganggap Pemerintah Pusat
sudah tidak beretika, sudah tidak amanah, serta tidak istiqamah dalam
berpolitik. Tuan meradang, lalu berbalik menempur tentara Siliwangi dan
sekaligus Belanda. Pada kemarahan yang puncak itulah, Tuan lalu memproklamirkan
Negara Islam Indonesia (NII), pada 7 Agustus 1949 di Malangbong.
Aku
merasa kita pernah bertemu suatu kali, meski Tuan tetap berkata tidak.
Hari itu 16 Agustus tahun 1962. Tuan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Bagiku,
bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu, tapi kekukuhan tuan dalam memegang
teguh apa yang Tuan yakini itulah yang menggetarkan jiwa. Menjelang ajal, Tuan
tetap menolak menidakkan NII yang tuan dengungkan, meski dengan imbalan
keringanan hukuman. Aku tak peduli, apakah NII itu benar atau tidak, tapi sikap
yang Tuan tunjukkan adalah pelajaran bahwa sebuah prinsip perlu dijaga
dengan dengan satu kata: Istiqamah.
Aku
merasa kita pernah bertemu suatu kali, mungkin dalam kitab sejarah. Di kitab
itu, nama dan tindakan Tuan ditulis dengan huruf-huruf yang buram dan murung,
untuk selanjutnya diterjemahkan dalam kalimat-kalimat yang kusam. Di kitab itu,
pasukan tuan disebut dengan “gerombolan” dan perjuangan Tuan disebut dengan
“pemberontakan” dan Tuan dicap pula sebagai “pemberontak”.
Ah, aku tak percaya Tuan seorang pemberontak.
Tuan tak sejahat itu, sebab bagaimana mungkin seorang ulama besar seperti Daud
Beureureh, atau tokoh seperti Kahar Muzakkar, dengan rela membai’at Tuan
sebagai pemimpin. Saya percaya, seperti yang Tuan katakan, bahwa apa yang Tuan
lakukan adalah sebuah respon terhadap kekuasaan yang menyimpang, sebuah
kekuasaan yang Tuan sebut “tidak konsisten”, atau sebuah kekuasaan yang dalam
praktik, bertolak-belakang antara aqidah dan ibadah, antara konsep dan
tindakan.
Tapi tak usahlah Tuan risau, karena sejarah
hanya soal persepsi, soal ruang dan waktu. Soal pihak mana yang menulisnya.
Pihak pemenang akan menulis yang kalah sebagai pengkhianat, dan ketika musim
berganti, maka berganti pula kisah sebuah sejarah. Siapa pahlawan dan
pengkhianat tergantung sebuah situasi psikologi pada waktu sejarah itu ditulis.
Soekarno pernah ditulis sebagai pahlawan pada suatu masa, lalu ditulis sebagai
pengkhianat pada masa yang lain, lalu ditulis kembali sebagai pahlawan pada
masa berikutnya. Hal yang sama pernah terjadi pada Teungku Daud Beureureh, pada
Tan Malaka, bahkan kepada Soeharto, yang dari pahlawan ditulis menjadi
pengkhianat ketika Ia kalah.
Tak usahlah Tuan risau, karena Aku dan Tuan,
hidup pada sebuah Negara, yang sejarah tak selalu berisi kebenaran, tapi lebih
banyak pembenaran. Kita hidup pada sebuah Negara, dengan buku-buku sejarah yang
sarat kepentingan, dengan kisah sejarah yang selalu diarahkan untuk
melegitimasi sebuah tujuan. Di negeri kita, sejarah bukanlah sepenuh “history”
tapi sudah bergeser kepada “His- Story”, pada sebuah kisah pribadi dan
golongan. Sekali lagi, usahlah risau, karena meski aku masih mempertanyakan
konsep Negara Islam yang Tuan proklamirkan, aku tetap memandang Tuan sebagai
pahlawan, karena telah berjuang, baik ketika menjadi anggota Jong Java, Jong
Islamieten Bond, maupun ketika memimpin pasukan melawan Belanda, Tuan telah bertungkus-lumus
berjuang, telah mempertaruhkan nyawa demi memberikan kemerdekaan, untuk
kami simpan.
Aku
merasa kita pernah bertemu, mungkin kemarin dan kemarinnya lagi, di antara
bunyi bom yang memekakkan telinga, di tengah larian ketakutan, di antara tatapan
kosong para ibu yang kehilangan anaknya, antara kematian orang-orang yang tak
bersalah, antara tatap benci dan dendam yang entah kapan selesai. Mereka
menghubungkan bom dan kehilangan anak-anak itu dengan gerakan Tuan. Aku tak
percaya Tuan akan setuju dengan cara itu, karena Tuan bukan pengecut. Sepanjang
hidup Tuan, segala sesuatu selalu Tuan hadapi dengan jantan, tidak dengan cara
mengorbankan orang yang tak bersalah.
Aku
cuma tidak tahu, dari mana datangnya sebuah tafsir yang membenarkan bom menjadi
jalan bagi pencapaian cita-cita. Aku juga tidak tahu mengapa mereka
menerjemahkan Negara Islam dengan mendirikan khilafah dengan pengertian raja.
Aku tentu saja sepakat dengan tuan, bahwa kita membutuhkan seorang Khulafa ar Rasyidin, tapi dalam
makna yang sebenarnya, yaitu seorang pemimpin atau pengganti yang cerdas dan
baik secara aqidah (Khulafa ar-Rasyidin),
karena dengan pemimpin yang cerdas dan baik, sebuah negeri berpeluang menjadi
lebih maju, sejahtera, dan bermartabat.
Aku dan
Tuan, pada hari ini mungkin akan sama-sama heran melihat banyak orang yang
mengaku pengikut Tuan, menerjemahkan kekhalifahan dengan mendirikan raja.
Seolah-olah, hanya dengan kerajaan, negeri ini bisa ditata dengan baik. Tuan
dan aku mungkin sama-sama maklum, bahwa begitu banyak raja dalam dinasti Islam,
gagal menjadi pemimpin yang cerdas iman atau menjadi pengganti yang baik itu.
Mereka hanya tegak sebagai raja, semata-mata sebagai raja. Negara Islam di
mataku, bukanlah sebuah monarkhi, tapi adalah sebuah demokrasi yang bersandar
pada kemaslahatan. Islam menyuruh kita “memilih” dengan jalan musyawarah, bukan
“menunjuk” seseorang sebagai raja, apa lagi sampai berketurunan.
Aku
juga tak percaya, bahwa Tuan hendak mendirikan raja. Tuan pasti tahu, bahwa
jika raja adalah sumber kemaslahatan, maka pastilah Tuhan telah menjadikan
semua nabi sebagai raja. Tapi ketika Tuhan hanya menjadikan segelintir nabi,
seperti Daud dan Sulaiman sebagai raja, dari sekian banyak utusan-Nya, maka
kita dapat mengambil petunjuk, bahwa bukan raja yang utama.
Aku
ingat kita pernah bertemu, mungkin hari ini, mungkin kemarin, di antara
sisa-sisa mayat, di antara hujan hujatan, atau mungkin di tengah wajah-wajah
penduduk yang cemas, di tengah ceracau negara yang tak pernah merasa salah, dan
pada raut kepedihan menatap kematian. Ya, aku merasa bertemu denganmu pada hari
ini, karena semua peristiwa dinisbatkan kepadamu, dan engkau dijadikan tepat
berlindung bagi sebuah teror lain yang justru lebih besar: korupsi,
tarik-menarik kekuasaan yang tiada habis, penistaan, kemiskinan, dan
orang-orang yang lelah menanti cahaya.
Aku
ingat kita pernah bertemu, mungkin di rumah sejarah. Berbincang di ruang
kenangan. Aku mengagumimu dengan hati nan pedih, lalu dengan suara lamat-lamat
aku menyebut namamu: Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.
□ SAK
Perihal Penulis: Syaukani
Al Karim,
sastrawan Riau yang telah menghasilkan banyak karya. Tulisannya tersebar di
berbagai media, maupun antologi. Kini bermastautin di Pekanbaru. Judul aslinya “Surat
Kepada Maridjan”
Sumber:
https://serbasejarah.wordpress.com/2012/08/04/surat-kepada-soekarmadji/□□