PENDAHULUAN
Syekh
Muhammad Rasyid Ridha: “Ajaran Islam telah mengatur prinsip-prinsip
politik-kenegaraan, tetapi pada tataran paraktisnya menuntut ijtihad yang terus
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat”. [12]
D
|
apat dikatakan bahwa di antara bahasa politik
Islam yang terpenting dan terpopuler adalah terma khilāfah. Selain karena faktor penyebutan dan
pengungkapannya yang begitu sering di dalam sumber utama ajaran Islam,
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, juga karena makna yang dikandungnya begitu dalam dan
luas. Dengan terma khilāfah dirajut
relasi interaktif antara Tuhan, manusia, dan alam melalui tata hukum atau
peradaban, seperti yang disebutkan juga oleh Prof. Dr. Raghib As-Sirjani bahwa
peradaban dalam ajaran Islam di bangun dari tiga aspek itu sebagaimana yang
disebutkan dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, halaman 8.
Terma khilafah juga memadukan antara dua aspek
yang sering dipandang sebagai dua hal yang berlawanan (bahkan harus dipisahkan)
di zaman modern ini, seperti antara dunia dan akhirat, antara politik dan
agama, dan antara ruh dengan akal. Pandangan seperti itu disebut sekularisme
yang telah berusaha membelit dunia. - Baca Sejarah Sekularisme. Sebenarnya,
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam terma khilāfah itulah terpendam idealisme peradaban yang sempurna yang
dicita-citakan Islam. [1]
Khilafah sebagai praktek kepemimpinan politik Islam secara formal telah lama dinyatakan berakhir dengan dihapuskannya sistem Khilāfah Turki Utsmani pada tahun 1924.
Sejak itu dunia Islam terpecah berkeping-keping
menjadi negeri-negeri Muslim yang berdiri sendiri-sendiri sebagai negara bangsa
(nation state). Meski demikian,
spirit khilafah tidak pernah padam dari pemikiran teori dan perjuangan politik
Islam sebagaimana halnya dalam dunia modern ‘khilafah Eropa’ mewujud dalam bentuk
“union” seperti - Uni Eropa, pakta NATO, Negara Persemakmuran. Unsur nation state tetap ada, namun membentuk ‘Union antar negara-negara nation state.
Tulisan ini tidak berkompeten untuk mengulas seluruh aspek dari terma khilafah yang spektrumnya sangat luas itu. Tulisan ini hanya berusaha menelusuri dan mengungkap asal usul kata khilāfah, penggunaan kata tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah serta perkembangan pemaknaannya sebagai terma politik Islam. Dengan demikian diharapkan mendapat pengertian dasar tentang konsep khilafah sebagai bahasa politik Islam yang orisinil dari nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
MAKNA KHALIFAH
DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH
MAKNA AL-KHALAFAH DALAM AL-QUR’AN
K
|
ata الخلافة (al khilāfah) berasal dari akar kata خلف (khalfun) yang arti asalnya “belakang”
atau lawan kata “depan”. [2] Dari akar kata khalfun berkembang menjadi berbagai
pecahan kata benda seperti khilfatan
(bergantian); khilāfah
(kepemimpinan sebagai pengganti); khalīfah, khalīif,
khulafā (pemimpin, pengganti); ikhtilāf (berbeda pendapat); dan istikhlāf (penggantian).
Kata kerja yang muncul dari kata khalfun adalah kha-la-fa (خلف)
artinya mengganti; ikh-ta-la-fa (إختلف) yang
artinya berselisih, berbeda pendapat; dan kata is-takh-la-fa ( استخلف) yang
artinya menjadikan sesuatu sebagai pengganti.
Di dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 127 ayat yang menyebut kata yang berakar dari kata khalfun. Tetapi hanya dua kali menyebut dalam bentuk kata benda yang diatributkan kepada manusia sebagai “khalīfah”, yaitu pada surat Al Baqarah ayat 30 dan surat Shād ayat 26.
Selebihnya berbicara tentang kedudukan manusia
sebagai makhluk yang saling bergantian menempati dan memakmurkan bumi dari
generasi ke generasi berikutnya, atau dalam makna pergantian siang malam, dan
perbedaan pendapat. Sebagai contoh penggunaan ayat-ayat tersebut dapat kita
lihat di bawah ini:
Pertama, kata khalfun dalam pengertian “generasi pengganti dari yang berperilaku (bekerja) buruk oleh yang berperilaku (bekerja) baik”. Disebutkan dua kali yaitu pada surat al A’rāf ayat 169 dan surat Maryam ayat 59. Pada surat al A’rāf dikatakan yang artinya:
"Maka
setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil harta benda dunia yang rendah ini. Lalu mereka berkata: "Kami
akan diberi ampun." Dan kelak jika harta
dunia datang kepada mereka sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya
(juga). Bukankah mereka sudah terikat perjanjian dalam Kitab (Taurat) bahwa mereka
tidak akan mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar, padahal mereka telah
mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Negeri akhirat itu lebih baik bagi
mereka yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?", QS Al-A’rāf 7:169.
Pada surat Maryam dikatakan yang artinya:
Kemudian
datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti
keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat, QS Maryam 19:59.
Yang dimaksud dengan ‘generasi yang berperilaku (bekerja) yang buruk atau jahat’ pada ayat pertama di atas menunjuk kepada generasi yang datang sesudah masa dan generasi para Nabi dan Rasul di kalangan Bani Israil. Mereka adalah generasi yang mempermainkan hukum Allah dan memperjual belikannya ayat-ayatnya dengan keuntungan materi. Di antaranya dengan menyelewengkan hukum melalui penyuapan, risywah dan korupsi dalam kekuasaan. Sedang generasi yang buruk pada ayat kedua di atas menunjukan generasi yang datang seduah masa generasi para nabi dan orang-orang saleh dari kalangan Bani Israil, dan termasuk juga generasi yang buruk yang datang pada umat Nabi Muhammad di akhir zaman. Mereka adalah generasi yang meninggalkan shalat dan tenggelam dalam pemuasan berbagai kesenangan dunia. [3]
Kedua, kata khulafā (bentuk jamak mudzakar maknawi dari kata khalīfah), [4] yang berarti generasi baru atau kaum pengganti yang mewarisi bumi dari kaum sebelumnya yang dibinasakan karena mereka tidak beriman, sebagaimana disebutkan dalam firman-firman-Nya yang artinya:
“Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nūh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung”, QS Al-‘Arāf 7:69.
“Dan ingatlah Dia menjadikam kamu khalifah-khalifah setelah kaum 'Ād dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan dibukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi”, QS Al-‘Arāf 7:74.
Ketiga, Al Khalāif (bentuk jamak lafdzi dari kata khalîfah), yang berarti kaum yang datang untuk menggantikan kaum yang lain dalam menempati dan menguasai bumi, [5] sebagaimana firman-firman-Nya menyebutkan yang artinya:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebahagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberikan hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, QS Al-An’ām 6:165.
“Kemudian Kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi setelah mereka, untuk Kami lihat bagaimana kamu berbuat”, QS Yūnus 10:14.
“Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. Barang siapa kafir, maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu in hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu hanya akan menambah kerugian mereka belaka”, QS Fāthir 35:39.
Keempat, kata Khalīfah dengan bentuk mufrad (singular) dalam pengertian seseorang yang diberi mandat kekuasaan oleh Allah sebagai penguasa bumi dan pemimpin terhadap manusia lainnya.
Istilah khalīfah
dalam bentuk singular disebutkan Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu ketika
menyebutkan kedudukan Nabi Adam dan Nabi Dawud, sebagaimana firman-Nya yang
artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata: "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui", QS Al-Baqarah 2:30.
(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”, QS Shād 38:26.
Kelima, dalam bentuk kata kerja Istakhlafa, yang artinya menjadikan seseorang atau satu kaum sebagai khalifah, para pemimpin, pewaris dan penguasa bumi setelah kaum yang lain, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya yang artinya:
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”, QS An-Nūr 24:55.
Keenam, kata mustakhlaf (bentuk maf’ul dari istakhlafa) artinya orang-orang yang dijadikan pewaris bumi dan diberi kewenangan atau mandat untuk menguasainya, untuk menunjukan bahwa penguasaan manusia terhadap dunia adalah penguasaan nisbi dan majazi, karena penguasa dan pemilik hakikinya hanyalah Allah Ta’ala [6], sebagaimana firman-Nya menyebutkan yang artinya:
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar", QS Al-Hadid 57:7.
MAKNA KHALIFAH DALAM HADITS NABI
Dalam hadits Nabi saw, penyebutan kata khalifah atau khulafā lebih banyak daripada yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan makna yang lebih tegas artinya terhadap kepemimpinan. Di bawah ini dibawakan beberapa contoh sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa Hadits yang artinya:
Dari Abu Hazim dia berkata, "Saya pernah duduk (menjadi murid) Abu Hurairah selama lima tahun, saya pernah mendengar dia menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya. Dan sungguh, tidak akan ada Nabi lagi setelahku, namun yang ada adalah para khalifah (kepala pemerintahan) yang mereka akan banyak berbuat dosa." Para sahabat bertanya, "Apa yang anda perintahkan untuk kami jika itu terjadi?" beliau menjawab: "Tepatilah baiat yang pertama, kemudian yang sesudah itu. Dan penuhilah hak mereka, kerana Allah akan meminta pertanggung jawaban mereka tentang pemerintahan mereka." (Shahih Muslim, No. 3429; Shahih Bukhari, No. 3196; Musnad Ahmad, No.7619; dan Ibnu Majah No. 2862)
Dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah kalian ada Kenabian dan akan berlangsung sekehendak Allah. Lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian dan berlangsung sekendak-Nya. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang lalim yang berlangsung sekehendak Allah. Kemudian Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Kerajaan yang Otoriter berlangsung sekendak Allah. Kemudian Dia akan mengangkatnya jika Dia menghendakinya. Kemudian akan ada Khilafah berdasar manhaj kenabian”. Kemudian beliau (Nabi saw) diam. (Musnad Ahmad, No. 18406)
Dari Jabir bin Samurah, Aku bersama bapakku masuk menemui Nabi, maka aku mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya urusan (Agama Islam) ini tidak akan berakhir sampai berlangsung di tengah mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berkata dengan perkataan yang samar bagiku. Maka Aku bertanya kepada ayahku apa yang disabdakan beliau? Ayahku menjawab, “Semuanya dari Quraesy”. (Shahih Muslim, No. 4809. Sunan Abu Dawud, No. 4279)
Dari Abu Said al Hudri, dari Nabi saw. “Tidaklah seorang khalifah diangkat melainkan ia mempunyai dua teman setia. Teman setia yang menyuruh dengan kebaikan dan teman setia yang menyuruh dengan keburukan dan menganjurkannya. Orang yang terpelihara adalah ia yang dipelihara Allah.” [7] (Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi, No. 2474)
BEBERAPA KAIDAH ILMIYAH
Dari beberapa ayat dan hadits yang dikemukakan di atas, kita dapat mengambil beberapa kaidah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau kekhilafahan:
Pertama. Bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Pengertian kekhalifahan manusia di muka bumi mencakup dua makna; makna yang umum dan makna yang khusus.
Secara umum, seluruh manusia adalah khalifah, karena ia makhluk yang dipilih Allah sebagai penguasa dan pemimpin atas makhluk lainnya yang ada di muka bumi. Manusia juga sebagai khalifah karena setiap orang, kaum dan bangsa datang dan pergi, hidup dan mati, berjaya dan hancur, saling bergantian antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Kekhilafahan seperti ini dapat diistilahkan sebagai khilafah takwiniyah, kekhilafahan manusia di muka bumi sebagai ketetapan atau taqdir kehidupan yang Allah gariskan bagi manusia, baik ia manusia beriman ataupun manusia kafir.
Makna khilafah secara khusus, yaitu kekhalifahan dalam pengertian kepemimpinan seseorang atas manusia yang lain. Kekhilafahan dalam makna ini tentu saja tidak mungkin ditujukan kepada semua manusia, bahkan tidak setiap orang beriman dapat menduduki kekhilafahan ini, terlebih lagi orang-orang kafir. Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu yang telah diatur oleh syariat yang berhak menjabatnya. Kekhilafahan dalam makna ini identik dengan imamah atau kepemimpinan formal dalam masyarakat dan negeri muslim. Kekhilafahan dalam makna ini pula yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan Islam. Atas dasar itu, kekhilafahan dalam konteks ini dapat diistilahkan sebagai khilafah syar’iyah kepemimpinan berdasarkan syariat Islam.
Kedua. Kekhalifahan pada umat Islam adalah kepemimpinan sebagai pengganti dan pelanjut kepemimpinan kenabian, karenanya ia disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Dengan demikian khalifah adalah khalifatur rasūl (pengganti dan pelanjut kepemimpinan nabi) bukan khalifatullāh (pengganti atau wakil Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Mawardi yang artinya:
“Imamah adalah maudhu’ (peristilahan yang dibuat) bagi khilafah nubuwah dalam menjaga agama dan menata dunia” [8]
Kalaupun kata khilafah itu disandarkan kepada Allah, khalīfatullāh, maka maknanya adalah penghormatan dan kemuliaan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, bukan sebagai pengganti dan wakil Allah di muka bumi. Karena tidak ada satu makhlukpun yang dapat menempati, menggantikan, dan mewakili Allah Ta’ala. Sebagaimana dikatakan Al Ragib al Asfahany yang artinya:
“Khilafah itu adalah perwakilan dari orang lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya, atau karena kelemahannya. Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh mewakilinya. Makna terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di muka bumi”. [9]
Ketiga. Al-Qur’an dan hadits tidak menetapkan bentuk, format maupun prosedur yang baku tentang negara khilafah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa kekhilafahan dibangun berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan, penegakan hukum syariat, dan kemaslahatan umat. Dari semua itu prinsip dasarnya adalah penegakan hukum syariat secara konsisten dan konsekwen berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyatakan yang artinya:
“Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang sesuai dengan tinjauan syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang kembali kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan dunia menurut syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”. [10]
Karena itu, andaipun kepimpinan atau pemerintahan itu menggunakan terma kekhilafahan Islam, tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i, melainkan sebagai Mulkan Jabariyan dan Mulkan ‘Adhan (kepemimpinan raja-raja otoriter yang memeras rakyat). Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan, republik, atau yang lainnya, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinya layak disebut sebagai Khalifah atau Amirul mukminin. Sebagaimana Allah memanggil Nabi Dawud sebagai Khalifah meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani Israil. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun Al Rasyid dalam Dinasti Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura seperti para Khulafaur Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.
Dalam konteks inilah sangat tepat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah, “Dan boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin dengan sebutan para khalifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim pada kitab Shahih mereka dari Abu Huraerah dari Rasulullah saw bersabda, ‘Dahulu Bani Israel dipimpin para Nabi, setiap meninggal seorang nabi digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi sepeninggalku tidak akan ada Nabi tetapi akan ada khalifah-khalifah yang banyak.’ Para shahabat bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Nabi bersabda, ‘Tunaikanlah baiat yang pertama kemudian berikan kepada mereka hak-hak mereka karena sesungguhnya Allah akan memintai pertanggungjawaan mereka tentang rakyat mereka.’
Penyebutan “akan ada khalifah-khalifah yang banyak’ menunjukan bahwa mereka bukanlah Khulafa Rasyidin sebab jumlah Khulafa Rasyidin tidaklah banyak. Demikian pula pernyataan, ‘tunaikanah baiat pertama dan pertama’ bahwa para khalifah tersebut berselisih sedangkan para Khulafa Rasyidun tidaklah berselisih. Sedang pernyataan, ‘berikanlah hak mereka karena mereka akan diminta pertanggungjawaban tentag rakyatnya’, menjadi dalil atas madzhab ahlul sunnah tentang memberikan hak-hak para pemimpin dari harta dan ghanimah sebagaimana saya telah menjelaskan bukan hanya di tempat ini saja, bahwa mengambalikan pelbagai persoalan kepada para raja dan pembantunya dari para pemimpin dan qadhi bukan semata karena kekurangan (kelemahan dan keburukan) yang ada pada mereka saja, melainkan kekurangan (kelemahan) itu juga ada pada rakyat secara bersama-sama, sebab sebagaimana dikatakan (dalam hadits), ‘sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian’. Allah berfirman, ‘demikianlah kami jadikan orang-orang zalim sebagai pemimpin atas sebagian yang lainnya”. [11]
PENERAPAN KONSEP
KHILAFAH ZAMAN NOW
“Peradaban adalah kekuatan manusia untuk mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, dengan manusia yang hidup bersama mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan. Mana kala jalinan ini semakin bertambah erat, peradaban itu makin cemerlang dan menakjubkan.
D
|
emikianlah beberapa pengertian penting yang
dapat diambil dari terma khilafah yang terdapat dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Intinya bahwa Istilah khilāfah
adalah istilah syar’i, tetapi interpretasi dan aplikasinya dalam politik Islam
tidaklah baku dan kaku, melainkan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat
Islam itu sendiri.
Terma khilafah memadukan antara dua aspek yang
sering dipandang sebagai dua hal yang berlawanan (bahkan harus dipisahkan) di zaman
modern ini, seperti antara dunia dan akhirat, antara politik dan agama, dan
antara ruh dengan akal. Pandangan seperti itu disebut sekularisme yang telah
berusaha membelit dunia. Sebenarnya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
dalam terma khilāfah itulah terpendam
idealisme peradaban yang sempurna yang dicita-citakan Islam. [1]
Peradaban adalah kekuatan manusia untuk
mendirikan hubungan yang seimbang dengan Tuhannya, dengan manusia yang hidup
bersama mereka, dengan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan. Mana kala
jalinan ini semakin bertambah erat, peradaban itu makin cemerlang dan menakjubkan.
Sebaliknya, hubungan itu tidak erat, maka hubungannya menjadi lemah, sehingga
manusia menjadi makhluk ciptaan yang patut diwaspadai".
Sejarah telah mencatat bahwa khilafah sebagai
praktek kepemimpinan politik Islam secara formal telah lama dinyatakan berakhir
dengan dihapuskannya sistem Khilāfah Turki Utsmani pada tahun 1924, sementara
negera-negara Timur tengah, Afrika utara dibawah pendudukan negara-negara Eropa
yang sekuleristik.
Meski demikian, spirit khilafah tidak pernah
padam dari pemikiran teori dan perjuangan politik Islam sebagaimana halnya dalam
dunia modern sistim ‘khilafah’ versi Eropa diterapkan dalam wujud “union” seperti - Uni Eropa; Pakta NATO (The North Atlantic Treaty) yaitu Fakta
Pertahanan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara; Negara Persemakmuran (Commonwealth of Nations) dari 52 negara
di seluruh dunia yang yang dimotori Inggris, dikenal juga dengan nama ‘British Commonwealth’. Unsur nation state tetap ada, namun membentuk
‘union' antar negara-negara nation state.
Sesuai dengan pernyataan Syekh Muhammad Rasyid
Ridha bahwa ajaran Islam telah mengatur prinsip-prinsip politik-kenegaraan,
tetapi pada tataran praktisnya menuntut ijtihad
yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.
[12]
Zaman berjalan - dalam perjalanannya -
relitasnya negara-negara mayoritas muslim sudah menjadi negara-negara nation state. Pandangan pemikiran suatu
negara Khilafah seperti abad tengah sampai kejatuhan Turki Utsmani 1924 bukan
lagi menjadi azas utama lagi, sebagaimana yang dikatakan Syekh Muhammad Rasyid
Ridha diatas. Kini dituntut ijtihad
yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat -
Baca Islam dan Negara
- 3.
Biarlah nation
state dari penduduk dunia yang mayoritas penduduk Muslim berkembang secara
alami yang sekarang ‘pembaiatan’ melalui kertas suara pemilihan yang ditusukkan
tepat kepada tanda gambar pilihannya, tapi pilihannya tetap berdasarkan atau sesuai (ajaran) Islam yang kaffah dalam dimensi Hamblum minAllāh - Hubungan dengan Allah
Tuhan Mahapencipta dan Hablum minannās
- Hubungan sesama manusia (plus lingkungan hidup atau alam) tetap terjaga
dengan baik. Sebagai azaz membangun Peradaban Dunia, sebagaimana pula dipahami dan
diramalkan oleh intelektual barat seperti halnya Sir George Bernard
Shaw, Fulton Sheen, dan Pangeran Charles.
Sir George Bernard Shaw (1856-1950),
seorang dramawan Irlandia, kritikus dan polemik yang pengaruhnya terhadap
teater, budaya dan politik Barat yang berkembang dari tahun 1880 sampai
kematiannya, mengatakan:
“Saya
senantiasa menghormati agama Muhammad, karena potensi yang dimilikinya. Ini
(Islam) adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan
dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung
yang jauh dari kesan seorang anti kristus, dia harus dipanggil “sang penyelamat
kemanusiaan”.
"Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia." [The Genuine Islam - Islam yang Sebenarnya, Vol. 1, No. 8, 1936]
Fulton Sheen menamakan peradaban yang
akan datang itu berorientasi pada "keagamaan dan Ketuhanan yang
murni" (purely religious and
theistic).
Pangeran
Charles dari
Inggris, “Islam adalah agama yang mampu mengajari kita cara menciptakan
perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama
yang tidak memisahkan antara manusia dan alam, agama dan sains, atau pun akal
dan materi”. Baca Sejarah
Peradaban Islam di Eropa Abad Tengah
Adapun kerja sama antar negara-negara yang
berpenduduk mayoritas Muslim sudah ada wadahnya yaitu OKI. [13]
Demikianlah paparan dari tajuk diatas sebuah pandangan yang realistis dan workable dikalangan sesama negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan negara-negara dunia lainnya dalam membangun Peradaban Dunia yang damai di Zaman Now ini. Yaitu, merekat berbagai ragam suku-suku bangsa, bahasa, warna kulit, dan agama dengan konsep 3T1I. Yaitu: Ta’aruf, Saling kenal baik kekurangannya maupun kelebihannya dengan toleran; Tafahum, dari saling kenal ini saling memahami satu sama lain; Ta’awun, mengadakan kerjasama bisa dalam suasana persamaan dan perbedaan; dan Itsar, saling memaklumi jika ada perbedaan dan tidak saling bertengkar atau bertindak pisik seperti teror baik pisik maupun mental, maupun perang. Wallahu A’lam bish shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Demikianlah paparan dari tajuk diatas sebuah pandangan yang realistis dan workable dikalangan sesama negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan negara-negara dunia lainnya dalam membangun Peradaban Dunia yang damai di Zaman Now ini. Yaitu, merekat berbagai ragam suku-suku bangsa, bahasa, warna kulit, dan agama dengan konsep 3T1I. Yaitu: Ta’aruf, Saling kenal baik kekurangannya maupun kelebihannya dengan toleran; Tafahum, dari saling kenal ini saling memahami satu sama lain; Ta’awun, mengadakan kerjasama bisa dalam suasana persamaan dan perbedaan; dan Itsar, saling memaklumi jika ada perbedaan dan tidak saling bertengkar atau bertindak pisik seperti teror baik pisik maupun mental, maupun perang. Wallahu A’lam bish shawab, billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Ahmad Ramadhan Ahmad, Al Khilafah fi al hadarah al islâmiyah,
(Jedah:Darul Bayan Al Arabiyah, t.t), hlm. 5
[2] Al Raghib al Asbahani, Al Mufradât fî gharîb al Qur’ân,
(Libanon: Darul Ma’rifah, tt.), hlm. 155
[3] Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, (Darut
Thayibah, 1999), Juz III, hlm. 498, dan Juz V, hlm. 245
[4] Syamsuddin Al Qurthuby, Al Jâmi’ li ahkâm al Qur’ân,
(Kairo: Darul Kutub al Misriyah, 1964), Juz VII, hlm. 236.
[5] Ibid,
hlm. 158
[6] Syamsuddin Al Qurtuby, ibid, Juz XVII, hlm. 238
[7] Shahih Bukhari, No. 6611. Sunan Tirmidzi,
No. 2474
[8] Imam al Mawardi, Al Ahkam al sulthaniyah, (Maktabah Syamilah), hlm. 3
[9] Al Husain bin Muhammad bin Al Fadhal Al
Ragib al Asbahani, Al Mufradat fi gharîbil
qur’an, (Libanon: Darul Ma’rifah, t.t), hlm. 156
[10] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Darul Qalam, 1984), hlm. 97
[11] Ibnu Taimiyah, Al Khilfah wal Muluk dalam Majmu’ Fatwa, jld. 35 hlm. 20
[12] Perhatikan pernyataan Muhammad Rasyid Ridha
dalam kitabnya Al Khilafah,
(Kairo: Al Zahra Li I’lamil ‘Arabi, t.t), hlm. 9
[13] OKI adalah singkatan. Kepanjangannya adalah
Organisasi Konferensi Islam atau dalam bahasa Inggris Organization of the Islamic Conference (OIC). OKI merupakan organisasi Islam internasional
bersifat nonmiliter yang didirikan pada Mei 1971. Pembentukan OKI diawali oleh
KTT Islam pertama yang berlangsung di Rabat (Maroko), 22 – 25 September 1969.
OKI dibentuk untuk meningkatkan solidaritas
Islam antarnegara anggota di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu
pengetahuan, memperkuat perjuangan semua bangsa yang beragama Islam.
Sekretariat Tetap OKI berkedudukan di Jedah, Saudi Arabia. Indonesia sendiri
telah menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sejak pertama kali
digagas (1969).
Organisasi OKI dibentuk dengan tujuan: Meningkatkan
solidaritas Islam di kalangan para anggotanya; Persatuan dan kerja sama di
kalangan para anggotanya di bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, iptek, dan
bidang-bidang lain yang dianggap penting; Giat melakukan konsultasi dan kerja
sama di kalangan negara-negara anggota di berbagai organisasi internasional; Menghilangkan
diskriminasi rasial dan kolonialisme dalam segala bentuknya; Mewujudkan
perdamaian internasional dan terciptanya tatanan politik internasional yang
adil. □□
Bahan Penulisan:
http://persis.or.id/makna-khilafah-dalam-al-quran-dan-sunnah
Terjemahan
ayat-ayat Al-Qur’an diambil dari ALFATIH - Al-Qur’an Tafsir Per Kata Di Sarikan
Dari Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka ALFATIH
Sumber-sumber lainnya. □□□
Sumber-sumber lainnya. □□□