KATA PENGANTAR
B
|
uya Hamka atau
lengkapnya, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, pemilik nama pena Hamka. Lahir di Nagari Sungai Batang,
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Buya Hamka sangat dikenal sebagai seorang ulama,
dan sastrawan Indonesia dengan bukunya yang terkenal a.l. Di Bawah Lindungan
Ka'bah (1938). Setelah itu, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Baca
juga (klik --->) Mengenang Sastrawan Besar Hamka. Buya Hamka juga sebagai
wartawan, pengajar dan penulis.
Banyaknya pengetahuan yang ada pada Buya Hamka melalui
“autodidak” dan banyak membaca disertai ingatannya yang kuat disertai pula
dengan bakat sebagai penulis. Dengan itulah terbit karya monumentalnya berupa buku
Tafsir Al-Azhar 30 juz, sebelumnya menulis sejarah Islam.
Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis
tentang sejarah Islam dengan sistimatika periode berkuasa kerajaan. Ia
menekankan peranan raja dan kerajaanya yang pernah menguasai Nusantara.
Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada
India. Bukti sejarah yang paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab
pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu
Shima, yang keduanya bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan
mencatat, Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah
digunakan penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai
mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya
Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin Ar-Raniri, Tuhfat
Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.
Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka menunjukkan
penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan
tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di
Minangkabau secara khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah (Inyiak
De-Er) yang ditulisnya.
Hamka memiliki metode tersendiri dalam
memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam
menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para
sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi
tetap perlu kritis menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka
berani merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tidak
sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur
baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah. “Sejarah Islam di Minangkabau” yang akan
dipaparkan ini di ambil dari tulisan Buya Hamka di laman (home page) Pesantren Buya Hamka dalam judul Sejarah Minangkabau.
SEJARAH
ISLAM DI MINANGKABAU
PENDAHULUAN
B
|
ahwasanya Minangkabau sudah pernah menempuh
zaman kebesaran dan kejayaan semasa 500 atau 600 tahun yang lalu, tidaklah
dapat dipungkiri lagi, bahwa di dalam kisah-kisah kuno, sebagaimana di dalam
Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang, telah tersebut juga bahwa nagari
Minangkabau itu dahulunya suatu kerajaan besar.
Belahan raja-raja keturunan Sang Sapurba yang
turun di bukit Siguntang Mahameru (Palembang, Sumatera Selatan) yang menurunkan
raja-raja Melayu, kata Tun Sri Lanang dirajakan juga di Minangkabau. Orang
tua-tua Minangkabau mengatakan, bahwa mereka keturunan Maharaja Diraja yang
turun dari puncak gunung Merapi (Sumatera Barat) tatkala datang dari tanah
besar Hindustan.
Perkara turun dari gunung atau asal
daripada bangsa dewa dari kahyangan dan lain-lain itu, adalah kepercayaan yang
hampir rata pada masa dahulu daripada negeri-negeri Timur. Bukankah bangsa
Jepang mengatakan, bahwa mereka turun daripada dewa matahari? Orang Pasemah
juga mempercayai, bahwa “Si Pahit Lidah” turun dari berombong cahaya
matahari?
Di dalarn penyelidikan ahli-ahli, kerajaan yang
paling tua di tanah Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, ialah kerajaan
Sriwijaya (orang Arab menyebut ‘Syarbazah’,
orang Cina menyebut ‘Sheh Li Fosheh’
dan lain-lain). Pendiri kerajaan itu ialah Maharaja Syailendra. Di antara
rajanya yang masyhur ialah Sri Tri'Buana.
Kerajaan
Sriwijaya
Di zaman kebesaran Sriwijaya, kota Palembang
lama menjadi pusat agama Budha yang terbesar. Dia bersahabat dengan kerajaan
Cina, dan ganti-berganti mengirimkan utusan. Kita sebagai penduduk pulau
Sumatera boleh berbangga, bahwa riwayat Sumatera, tegasnya Sriwijaya, telah ada
100 tahun sebelum Nabi Muhammad dilahirkan. Di zaman pemerintahan
Maharaja Hsian di negeri Cina, (memerintah 454 - 464), maharaja itu telah
menerima utusan daripada Maharaja pulau Kandali. Kandali
itu adalah pulau Andali, yang biasa juga ditulis dalam
huruf Cina “Kandalaih” atau “Andalaih”. ltulah pulau Andalas
ini, yang oleh lbnu Bathuthah disebut Sumatera, dan berpusat di
Palembang.
Di tahun 502, tahun 519 dan tahun 520, datang
juga utusan Maharaja Sriwijaya itu menjelang benua Cina. Dari pulau Sumatera
itulah disiarkan agama Budha ke tanah Jawa, sampai ke negeri Jepang. Di
Palembang berdiri Asrama Budha yang amat besar. Wazir (Perdana Mentri)-nya yang
masyhur ialah, Demang Lebar Daun. Melihat tahun-tahun yang tersebut, beranilah
kita memastikan, bahwa Kerajaan Sriwijaya telah ada 100 tahun sebelum Nabi
Muhammad lahir.
Sebab beliau lahir di tahun 571, di Sumatera
telah berdiri suatu kerajaan yang teratur. Di tahun 671 I Tsing, seorang
muarrich (muarikh, penulis sejarah) bangsa Cina telah melawat ke tanah
Sriwijaya. Katanya kerajaan itu berdiri di tepi sungai yang bernama ‘Mo-shi’ (sekarang disebut sungai Musi). Waktu dia datang ke sana,
Maharaja tengah pergi berperang ke negeri Melayu, yaitu Inderagiri, Kampar dan
Siak (sekarang bagian dari derah-daerah yang ada di provinsi Riau).
lbnu Khardizbah, pengarang ‘Al-Masalik wal Mamalik’ mengatakan, bahwa negeri Qilah di bawah
kuasa raja Palembang. Bertemu sepucuk surat tua di India yang rupanya ditulis
di tahun 1005 menyatakan, bahwa raja-raja Palembang itu disebut Maharaja
Gunung. Masa kebesarannya, Maharaja Sriwijaya itu melebarkan pengaruhnya sampai
ke Sailon (Caylon, Sri Lanka). Jawa juga di bawah pengaruhnya.
Itulah sebabnya maka pemimpin dan presiden kita
Ir. Sukarno pernah mengatakan, bahwa riwayat persatuan Indonesia sekarang ini,
setelah merdeka, adalah riwayat yang ketiga. Pertama: Persatuan di zaman Sriwijaya; Kedua: Persatuan di zaman
Majapahit; Ketiga: Di zaman persatuan Negara Republik Indonesia ini.
Kerajaan Darmasraya
Sriwijaya mundur karena pertikaian agama, di
antara Mazhab Budha Hinayana dengan Mahayana. Mahayana Mazhab Budha yang
terbesar di pulau Jawa. Hinayana di Palembang. Persatuan kerajaan mulai lemah,
maka masuklah Raden Wijaya raja Singasari menyerang dan mengalahkan Sriwijaya
di tahun 1275.
Lantaran Sriwijaya tidak bangun lagi,
dipindahkan pusat kerajaan arah ke hulu, yaitu diantara Jambi dan Minangkabau
sekarang ini, dengan nama “Darmasraya” (arinya Jiwa yang bebas). Sejak itu dia telah menjadi sebuah kerajaan
kecil yang tidak lagi mempunyai kuasa yang luas sebagai Sriwijaya dahulu, sebab
kebesaran telah pindah ke Jawa kepada kerajaan Majapahit, yang berdiri sesudah (kerajaan)
Singasari.
Waktu Raden Wijaya menunjukkan, bahwa dia telah
berkuasa di bumi Melayu, menaklukkan Sriwijaya dan menyatakan perlindungan atas
Darmasraya, telah dipakainya adat raja-raja pada masa itu. Tandanya menang,
dibawanya dua putri Melayu ke tanah Jawa, Putri yang tua bernama Dara Petak,
bergelar Sri Indrahwari, dan yang muda Dara Jingga, dijadikan permaisuri oleh
Maharaja Majapahit yang bernama Maharaja Sri Marmadewa, kemudian
keturunan-keturunan dari Majapahit dari permaisuri Melayu itulah yang dirajakan
di Minangkabau, turun-temurun.
Di tahun 1286 Baginda Maharaja Kertanegara
mengirimkan patung Budha ke Minangkabau sebagai tanda perhubungannya dengan
raja-raja keturunan Jawa itu. Sebagai alamat, bahwa Minangkabau adalah suatu
kerajaan berdiri sendiri di dalam lingkungan Majapahit. Patung itu telah dibawa
ke gedung arca Jakarta tahun 1935.
Kerajaan
Pagaruyung
Setelah raja-raja yang bertakhta kerajaan di
Darmasraya itu menilik di keliling negerinya, ada lagi daerah yang lebih bagus
untuk kerajaan, dipindahkanlah ke tempat yang bagus itu. Itulah dia ‘Pagarruyung’,
yang dapat ditempuh dari Darmasraya dengan menelusuri sungai Batang hari.
Ruyung adalah sebagai ibarat daripada ‘keteguhan” (dari kata pagar dan ruyung,
makna ruyung adalah keteguhan).
Memang bagus tempat itu ditilik dari letaknya,
yang dilingkung oleh bukit-bukit dan gunung-gunung berkeliling. Namun demikian
perhubungan dengan Jawa sebagai perhubungan famili, tidaklah diputuskan. Sekali-sekali
berziarah-ziarahan (saling kunjung mengunjungi juga. Di kaki gunung Merapi didirikan rumah tempat
sembahyang Budha, bernama Parahiangan. Hiang artinya Tuhan.
Aditiawarman
Di tahun 1343 yang menjadi maharaja di
Minangkabau ialah Maharaja Aditiawarman. Maharaja itu senantiasa ingat akan
perhubungan keluarganya ke Majapahit. Maka baginda titahkan membuat patung
nenek-moyangnya permaisuri raja Majapahit itu, diberi nama patung ‘Manju Shri’
(Manja Sari), artinya yang maha suci. Patung itu sekarang (ada) di dalam gedung
arca di Berlin (kota di negara Jerman), terbuat daripada emas.
Pengaruh
Kerajaan Pasai
Karena letaknya yang kokoh dipagar gunung itu,
susahlah ‘angkatan besar’ (pasukan tentara asing) dari luar untuk datang
menyerang ke sana. Di waktu Kerajaan Pasai di tanah Aceh telah memeluk agama
Islam, di bawah perintah Al-Malikus Shalih, waktu Ibnu Bathuthah datang ke
Pasai dinyatakannya, bahwa raja tengah mengirimkan utusan ke Muljawa, mengajak
raja di sana memeluk agama Islam.
Kalau dibandingkan tahun pengembaraan Ibnu
Bathuthah dengan tahun Aditiawarman memerintah bolehlah dikatakan di dalam satu
zaman. Samalah masanya Al-Malikus Shalih dengan Aditiawarman. Setengah ahli sejarah
Eropa berat sangkanya, bahwa yang disebut oleh lbnu Bathuthah Muljawa
itu ialah Minangkabau. (Muljawa) Barangkali asal kata dari Malayu-Jawa.
Upanya di zaman Aditiawarman telah mulai agama lslam dimasukkan dan
dipropagandakan. Kedatangan utusan (dari Kerajaan Pasai) rupanya tidak disambut
dengan peperangan, tetapi dengan damai saja dengan cara diplomasi kata orang
sekarang. Sebab orang yang telah beragama Budha, tidak begitu susah memahamkan
ajakan megakui adanya Tuhan.
Masuknya agama Islam telah merubah susunan
istiadat di dalam istana (Pagaruyung). Yaitu raja dijadikan tiga sela, (yaitu) raja
alam, raja adat dan raja ibadat. Orang besar-besar dijadikan empat balai".
Dua menjaga adat-istiadat lama. (Indomo Saruaso dan Bendahara atau Titah Sungai
Tarab). Dan dua pula untuk menunjukkan nagari telah Islam, untuk mengadakan
perhubungan dengan nagari-nagari yang telah menerima Islam, yaitu Makhdum di
Sumanik dan Tuan Qadhi di Padang Ganting.
Kerajaan
Islam Malaka dan Perantauan Minang
Di tahun 1400 berdiri kerajaan Islam, Malaka.
Raja-raja Islam Malaka, mulai daripada Sultan Muhammad Syah, terang-terang
menjadi pembela dan penyiar agama Islam. Maka mana rakyat Minangkabau yang
tidak merasa puas dengan susunan kebudayaan campuran Hindu - Islam itu,
Srimenanti, Jehol, Naning, Lukut dan lain-lain itulah yang pindah ke tanah
Malaka, membuat negeri di Rambau, masyhur dengan nama ‘Negeri Sembilan’.
Raja-raja asal Minangkabau di sana, memakai gelar
“Yang Dipertuan", dengan singkat “Yamtuan". Supaya perhubungan dengan
nagari asal jangan putus, ditetapkan juga daerah itu sebagai rantau dari Tuan Makhdum,
yang memang tebal ke-lslamannya. Sebagai juga Kampar, Indragiri dan Siak
menjadi rantau daripada Tuan Qadhi.
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511,
Minangkabau masih tetap sebagai keadaannya yang dahulu. Sesudah Malaka jatuh,
Aceh memulihkan kebesarannya kembali, dan menentang Portugis. Dari Samudera
Pasai kerajaan dipindahkan ke Pidir, dari Pidir dipindahkan ke Aceh Besar.
Pengaruh
Kerajaan Darussalam Aceh
Di sana didirikan Kota Raja, nagari diberi nama
Darussalam, sebagai pusat keteguhan Islam di Sumatera. Di antara Portugis
dengan Aceh terjadi perlombaan perniagaan di pantai barat pulau Perca (pulau
Sumatera). [1] Demikian juga dengan Belanda yang telah mengancam di Jawa.
Pantai barat yaitu Singkil, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, Salido sampai ke
lnderapura menjadi negeri persimpangan. Aceh terpaksa menaklukkan negeri-negeri
itu, sehingga terlepas dari kuasa Minangkabau. Di lnderapura sampai berdiri
cabang kerajaan Aceh dikota Padang duduk gubernur Aceh.
Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis
dengan Aceh, masyhur di dalam kisah perlawanan raja ‘Nan Tunggal Megat Jabang’,
pahlawan Aceh dengan raja Sipatokah (Portugis) merebut kuasa di pantai
Pariaman. Di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam, raja Aceh yang paling masyhur
dan besar, yang mula memerintah tahun 1604, amatlah besar pertentangan itu.
Waktu itulah sengit perebutan pengaruh dengan Barat (bangsa Eropa seperti
a.l. Portugis, Belanda).
Tetapi raja-raja Minangkabau, di Gudam Balai
Jingga, di Jirung Kampung Dalam, di kota Pagarruyung, tidak sanggup lagi
menghadapi perjuangan orang di tepi pantainya. Namanya rakyat di pesisir
Minangkabau, hakikatnya di bawah kuasa Aceh. Bersamaan dengan serangan politik,
Aceh membawa juga penyiaran agama yang di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam
(Raja ke-12 dari Aceh Darussalam) [2] telah menjadi pcmbicaraan yang tinggi
mutunya di tanah Aceh. Sehingga Aceh diberi gelar ‘Serambi Makkah’.
PERKEMBANGAN ISLAM DI MINANGKABAU
PERKEMBANGAN ISLAM DI MINANGKABAU
U
|
lama-ulama telah membicarakan agama dengan
merdeka. Dua faham bertentangan pada masa itu, yaitu faham Syekh Abdur Rauf dan
Nuruddin Ar-Raniri yang mempertahankan faham Ahlissunnah, “Wihdatusy Syuhud”, yang menyatakan (yang bermakna), bahwa alam itu “bekas
kuasa Tuhan” - ciptaan Tuhan. Sedang faham Hamzah Al-Fanshuri dan Syamsuddin As
Samatrani yang berfaham “Wihdatul Wujud”,
(yang maknanya) beri'tiqad bahwa alam itu adalah “sebagian daripada Tuhan”,
laksana buih lautan yaitu sebagian daripada ombak!
Murid (Syekh) Abdur Rauf datang ke Minangkabau,
bertempat di Ulakan Pariaman, bernama Burhanuddin, karena mendengar bahwa
pengikut Hamzah Fanshuri telah masuk pula ke Minangkabau dan memilih Cangking
sebagai pusatnya.
Cangking adalah di Padang Darat. Tentu saja
faham Cangking lebih lekas tersiar daripada faham Ulakan. Pertama, karena lebih
dekat kepada ajaran agama Budha yang menyatakan, bahwa di dalam diri sendiri
ada Tuhan. Kedua, faham ini tidak memberatkan benar (tidak sepenuhnya
melaksanakan atar) mengerjakan ibadat (seperti dalam Ajaran Islam yang sebenarnya).
Adapun di Aceh sendiri faham Hamzah Fanshuri itu tidaklah laku, dia dapat
dikalahkan oleh Abdur Rauf yang besar pengaruhnya di sisi Sultan.
Peran
Kaum Paderi
Demikianlah duduknya i'tiqad dan agama sampai
kepada permulaan abad ke-19. Di permulaan abad itulah datang gerakan baru yang
amat hebat, yang mula-mula menggoncangkan batu sendi adat-istiadat, dengan
datangnya kaum Paderi dari negeri Makkah di bawah pimpinan Haji Miskin di
Pandai Sikat.
Kaum Paderi atau kaum putih adalah kaum agama
yang teguh dan kuat iman. Terutama lagi mereka telah melihat contoh-contoh kekerasan
(keteguhan) beragama yang digerakkan oleh kaum Wahabi di tanah Arab.
Menurut keyakinan mereka, perjalanan agama secara
damai sebagai (mana) selama ini, menghilangkan sifat pelajaran agama yang
sejati (sebenarnya), sehingga tercampur dengan pelajaran agama yang lain, yang
bukan berasal daripada agama itu sendiri.
Orang Wahabi di tanah Arab memandang orang yang
tidak sefaham dengan dia sebagai “musuh”, walaupun sama-sama Islam. Sebab
ke-Islaman mereka - menurut pandangan Wahabi - pelaksanaan Islam semacam itu hanya
tinggal nama saja, mereka telah memperserikatkan Tuhan dengan yang lain.
Kaum Paderi Minangkabau juga berpendirian begitu
(sama dengan apa yang didapatnya dari Makkah) terhadap pemeluk agama Islam
Minangkabau. Tidak ada di Minangkabau (ketika itu) tanda-tanda Islam yang hidup
(yang seharusnya sama dengan ajaran Islam yang sebenarnya). Raja-raja masih
mencampurkan upacara Hindu dengan Islam. Guru-guru agama masih berkhidmat
kepada kubur-kubur orang yang dipandang keramat. Pemuda-pemuda masih
bergurau-senda mengadu ayam. Maka pada keyakinan kaum Paderi, barulah negeri
akan selamat, kalau sekiranya pemerintahan yang lemah dan tidak beragama itu
dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan kaum agama semata-mata. Maka amat
hebatlah pergerakan Paderi sejak bagian pertama (1801 - 1826) yaitu zaman
menyusun, dan bagian kedua (1826 -1837), zaman berperang menyiarkan faham (dakwah
Islam yang didapatnya dari Makkah), sampai jatuhnya Bonjol ke tangan
Belanda.
Dengan jatuhnya Bonjol, banyak perubahan yang
telah terjadi dan Minangkabau menghadapi suasana baru. Walaupun kaum Paderi
telah dapat dikalahkan, namun Islam telah dapat menempuh suasana baru. Kaum
adat menambah lagi memasukkan anasir Islam ke dalam adat. Sehingga timbul
pepatah-pepatah adat “Syara' nan mengatakan, Adat nan memakai”. “Sudah adat ke
balairung, sudah syara' ke mesjid”. Baca juga (klik --->) Sejarah PerjuanganKaum Pedri.
Kaum agama pun mendapat kedudukan lebih bagus
daripada dahulu. Di tiap-tiap nagari disusunlah Orang Empat Jenis, yaitu “Penghulu,
“Manti”, “Dubalang” dan “Malim”. Ditentukan pula pakaiannya, “Penghulu (Kepala Adat)
berpakaian hitam”, “Manti (Pembantu Kepala Nagari) berpakaian ungu”, “Dubalang (Kepala
Nagari) berpakaian merah” dan “Malim (Orang Alim, Ulama, yang mengurus masalah
agama) berpakaian putih”. [3]
Pemerintahan
Hindia Belanda
Pemerintah Belanda, sesudah perang Paderi itulah
melakukan politik-politiknya yang baru untuk menamkan kuasanya di Minangkabau.
Mula-mula ditanamnya jabatan ‘Regent’
(Bupati, Wali atau Pengawas) pada beberapa nagari. Nagari-nagari yang telah
tertanam benar pengaruh Paderi, diangkatnya orang-orang yang kuat beragama.
Setelah nyata bahwa jabatan regent
tidak bersetuju dengan masyarakat Minangkabau, diadakannya pula jabatan ‘Laras’
(Kepala Distrik atau Kepala Nagari). Sesudah itu dimasukkannyalah ‘monopolistelsel’ (masalah perpajakan,
penduduk asli dikenakan pajak oleh Hindia Belanda).
Di dalam perjanjian ‘Plakat Panjang’ yang
masyhur, diakuinya derajat penghulu sebagai ‘pengatur nagari’. Kuasanya
dikembalikan dan kuasa kaum agama tidak ada lagi. Untuk membuat golongan yang
akan menjadi tulang-punggungnya, diadakannyalah Sekolah Raja di Bukittinggi.
Keluaran-keluaran Sekolah Raja itulah yang mulai menyiarkan pengaruh Belanda, menjadi
(melalui) guru (yang akan mengajarkan murid-murid yang terlepas dari ajaran
Islam, dan pegawai (kaki tangan pelaksana pemerintahan Hindia Belanda di lini
pertama dalam menghadapi rakyat (pribumi).
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui
Anak adik Tuanku Laras di Kota Gadang, di akhir
abad ke-19, ibunya orang Empat Angkat, pusat kaum Paderi 50 tahun sebelum itu,
masuk ke dalam Sekolah Raja yang baru didirikan itu. Setamat dari sekolah
dia pun melanjutkan pelajarannya ke negeri Makkah. Anak ini bernama Ahmad
(kemudian dikenal dengan nama Ahmad Khatib), anak daripada Abdul Lathif.
Sesampai di Makkah berkat kesungguhan hatinya mempelajari agama, apalagi
dasar-dasar ilmu umum telah ada pula karena bersekolah (di Sekolah Raja), dia
telah 'menjadi salah seorang Ulama yang mempunyai riwayat dan cita-cita luar
biasa. Ilmunya mendapat penghargaan tinggi, sampai dia mendapat jabatan imam
dan khatib mazhab Syafi'i di dalam Masjidil Haram, termasuk orang-orang yang
sangat terkemuka di negeri Makkah, turut duduk di dalam majelis Syarif-syarif.
Murid-murid pun datanglah berduyun-duyun terutama dari tanah Minangkabau
Hatinya (Ahmad Khatib Al-Minangkabaui yang telah
mendapat gelar Syekh) kecewa, sebab itu dia tidak hendak pulang lagi ke
negerinya. Hanya murid-muridnya yang disuruhnya pulang. Maka murid-murid Syekh
Ahmad Khatib itulah yang pulang ke kampung menyiarkan ajaran gurunya.
Baca juga (klik --->) Kecermelangan SyeikhAhmad Khatib Al-Minangkabaui
Murid-Murid
Syekh Ahmad Khatib di Minangkabau
Di antara murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui
di Minangkabau ialah Syekh Muhammad Jamil Jambek, Almarhum Dr. Abdul Karim
Amrullah, Almarhum Dr. Abdullah Ahmad. Almarhum Syekh Jamil Jaho, Almarhum
Syekh Muhammad Zein Simabur, Almarhum Syekh Muhammad Zein Lantai Batu, Almarhum
Syekh Thaib Sungayang.
Murid-Murid
Syekh Ahmad Khatib di Luar Minangkabau
Murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui di
luar Minangkabau ialah Almarhum Syekh Abbas Padang Jepang, Almarhum Syekh Abdul
Lathif Panambatan, Almarhum Syekh Hasan Ma'sum Mufti Kerajaan
Deli. Almarhum Syekh Muhammad Nur Mufti Kerajaan Langkat. Di Mandahiling Syekh
Abdul Qadir Al Mandili. Di Malaya Almarhum Syekh Thahir Jalaluddin dan Almarhum
Syekh Abdullah Shalih bekas Mufti kerajaan Johor. Di Jawa: Kiyai H. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta dan Kiyai H. Adnan di Solo. Maka besarlah penibahan (perubahan)
di dalam semangat agama, lantaran murid-murid Syekh Ahmad Khatib itu.
Peran
para Syekh (Ulama) di Minangkabau
Di tahun 1911 Syekh Abdullah Ahmad mengeluarkan
surat kabar Al-Munir dan Al-Akbar. Dalam tahun 1912 beliau mendirikan sekolah
Adabiyah di Padang. Tahun 1916 Zainuddin Labai mendirikan seko1ah agama
di Padang Panjang. Tahun 1918 Syekh Abdul Karim Amrullah mendirikan Sumatera
Thawalib. Tahun 1920 Haji Datuk Batuah membawa faham Komunis ke Sumatera Barat
(Penyimpangan Agama Islam dengan memasukkan faham Komunisme ke dalam Ajaran
Islam). Tahun 1922 Ahmadiyah Qadian mencoba-coba mengacau faham Islam Sumatera
Barat, tetapi tidak berhasil. Tahun 1925 Syekh Abdul Karim Amrullah membawa
gerakan Muhammadiyah dari Jawa. Tahun 1928 Belanda mencoba memasukkan ‘Guru
Ordonansi’ (Guru didikan Hindia Belanda
dengan membawa konsep ajarannya terpisah dengan ajaran agama, tidak ada ajaran
agama di sekolah), tetapi tidak berhasil, karena keteguhan hati para Ulama
menolaknya, terutama Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-Er, Ayah Buya Hamka).
Tahun 1930 Muhammadiyah mengadakan kongres di
Bukittinggi. Sesudah Kongres Muhammadiyah itu, Islam kembali menempuh zaman gemilang
di Sumatera Barat. Sejak itulah sekolah ‘Sumatera Thawalib’ berganti menjadi ‘Persatuan
Muslimin Indonesia’ dan memasuki gerakan politik. Sejak itu pula perkumpulan ‘Attarbiyatul
Islamiyah’ diperbaiki organisasinya. Tahun 1941, karena dipandang amat
berbahaya bagi Belanda, Dr. Abdul Karim Amrullah dibuang ke tanah Jawa. Tanggal
21 bulan Jumadil Akhir 1364 - 2 Juli 1945, beliau mcninggal di tanah
pembuangannya, tetapi ajarannya telah hidup di dalam masyarakat! Tiap-tiap
orang Minangkabau yang insyaf, merasai kehidupan itu.
PENUTUP
D
|
emikianlah Sejarah (peran dan perkembangan Agama
atau Ajaran Islam di) Minangkabau. Mulai dari Kerajaan Budha di Palembang, Kerajaan
Hindu dan Budha di Jawa, Kerajaan Damasraya, Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan
Pasai, Kerajaan Darussalam, Kerajaan Islam di Malaka, serta luar biasa pengaruh
dari didikan Syekh Ahmad Khatib yang murid-muridnya berperan sedemikian rupa
bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Dan antisipasinya dalam menghadapi
pengaruh penjajahan Eropa terutama Hindia Belanda yang “phobia” dengan Islam
dengan cara mendirikan sekolah ala Belanda, Sekolah Raja. Serta melalui sistim jabatan
“regent” dan jabatan “laras” serta “monopolistelsel”
sebagaimana telah dipaparkan diatas. Baca juga (klik --->) Siti Manggopoh SingaBetina Melawan Belanda.
Beberapa kosakata yang tidak lazim digunakan
sekarang diberi penjelasannya yang berada dalan tanda kurung (……) untuk
memudahkan mengerti kosakata dalam bahasa yang dikenal sekarang ini. Boleh jadi
tulisan ini diambil dari sebagian buku kebangkitan Islam di Minangkabau secara
khusus dalam buku Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-Er) yang
ditulisnya. Atau juga Sedjarah Islam di Sumatera yang ditulis Buya Hamka tahun 1950, yang bahasanya menggunakan
kosakata Bahasa Indonesia tahun itu. Wallahu A’lam bish-Shawab.
Last but not least
dari tajuk “Sejarah Islam di Minangkabau” banyak pengetahuan dan pelajaran yang
dapat diambil dari salinan buah pena dari Buya Hamka ini bagi kita semuanya. Billahit
Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] http://ghobro.com/info/suku-suku-muslim-di-pulau-perca
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Muda
[3]https://www.academia.edu/36447585/Studi_Terhadap_Kosakata_Bahasa_Arab_Dalam_Bahasa_Minangkabau?auto=download
https://kbbi.web.id/ □□
Sumber:
Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera, Medan
1950.
http://www.ponpeshamka.com/2016/03/sejarah-minangkabau-oleh-buya-hamka.html?fbclid=IwAR15znJT-cT7O3uM-LavZmLbPN-mI2z0I89hHJvxJtiwOjSTVDlmCT5qvxg
http://ghobro.com/info/suku-suku-muslim-di-pulau-perca
https://en.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Muda
https://www.academia.edu/36447585/Studi_Terhadap_Kosakata_Bahasa_Arab_Dalam_Bahasa_Minangkabau?auto=download
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/07/mengenang-satrawan-besar-hamka.html
https://kbbi.web.id/
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/04/sejarah-perjuangan-kaum-padri.html
https://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2017/05/kecermelangan-syeikh-ahmad-khatib.html
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/08/siti-manggopoh-singa-betina-melawan.html
□□□