Sunday, April 7, 2019

Sejarah Islam di Minangkabau




KATA PENGANTAR

B
uya Hamka atau lengkapnya, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, pemilik nama pena Hamka. Lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Buya Hamka sangat dikenal sebagai seorang ulama, dan sastrawan Indonesia dengan bukunya yang terkenal a.l. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938). Setelah itu, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Baca juga (klik --->) Mengenang Sastrawan Besar Hamka. Buya Hamka juga sebagai wartawan, pengajar dan penulis.

Banyaknya pengetahuan yang ada pada Buya Hamka melalui “autodidak” dan banyak membaca disertai ingatannya yang kuat disertai pula dengan bakat sebagai penulis. Dengan itulah terbit karya monumentalnya berupa buku Tafsir Al-Azhar 30 juz, sebelumnya menulis sejarah Islam.

Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan sistimatika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan kerajaanya yang pernah menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di Indonesia berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang paling nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada tahun 674 di pantai Barat Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, Hamka telah menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin Ar-Raniri, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.

Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka menunjukkan penguasannya tentang warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di Minangkabau secara khusus dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-Er) yang ditulisnya.

Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tidak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara maupun menulis tentang sejarah.  “Sejarah Islam di Minangkabau” yang akan dipaparkan ini di ambil dari tulisan Buya Hamka di laman (home page) Pesantren Buya Hamka dalam judul Sejarah Minangkabau.



SEJARAH ISLAM DI MINANGKABAU


PENDAHULUAN

B
ahwasanya Minangkabau sudah pernah menempuh zaman kebesaran dan kejayaan semasa 500 atau 600 tahun yang lalu, tidaklah dapat dipungkiri lagi, bahwa di dalam kisah-kisah kuno, sebagaimana di dalam Sejarah Melayu karangan Tun Sri Lanang, telah tersebut juga bahwa nagari Minangkabau itu dahulunya suatu kerajaan besar. 

Belahan raja-raja keturunan Sang Sapurba yang turun di bukit Siguntang Mahameru (Palembang, Sumatera Selatan) yang menurunkan raja-raja Melayu, kata Tun Sri Lanang dirajakan juga di Minangkabau. Orang tua-tua Minangkabau mengatakan, bahwa mereka keturunan Maharaja Diraja yang turun dari puncak gunung Merapi (Sumatera Barat) tatkala datang dari tanah besar Hindustan. 

Perkara turun dari gunung atau asal daripada bangsa dewa dari kahyangan dan lain-lain itu, adalah kepercayaan yang hampir rata pada masa dahulu daripada negeri-negeri Timur. Bukankah bangsa Jepang mengatakan, bahwa mereka turun daripada dewa matahari? Orang Pasemah juga mempercayai, bahwa “Si Pahit Lidah” turun dari berombong cahaya matahari? 

Di dalarn penyelidikan ahli-ahli, kerajaan yang paling tua di tanah Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya, ialah kerajaan Sriwijaya (orang Arab menyebut ‘Syarbazah’, orang Cina menyebut ‘Sheh Li Fosheh’ dan lain-lain). Pendiri kerajaan itu ialah Maharaja Syailendra. Di antara rajanya yang masyhur ialah Sri Tri'Buana. 


Kerajaan Sriwijaya

Di zaman kebesaran Sriwijaya, kota Palembang lama menjadi pusat agama Budha yang terbesar. Dia bersahabat dengan kerajaan Cina, dan ganti-berganti mengirimkan utusan. Kita sebagai penduduk pulau Sumatera boleh berbangga, bahwa riwayat Sumatera, tegasnya Sriwijaya, telah ada 100 tahun sebelum Nabi Muhammad dilahirkan.  Di zaman pemerintahan Maharaja Hsian di negeri Cina, (memerintah 454 - 464), maharaja itu telah menerima utusan  daripada Maharaja  pulau Kandali.  Kandali itu adalah pulau Andali, yang biasa juga ditulis  dalam  huruf Cina “Kandalaih”  atau  “Andalaih”. ltulah pulau Andalas  ini, yang oleh lbnu Bathuthah disebut Sumatera, dan berpusat di  Palembang. 

Di tahun 502, tahun 519 dan tahun 520, datang juga utusan Maharaja Sriwijaya itu menjelang benua Cina. Dari pulau Sumatera itulah disiarkan agama Budha ke tanah Jawa, sampai ke negeri Jepang. Di Palembang berdiri Asrama Budha yang amat besar. Wazir (Perdana Mentri)-nya yang masyhur ialah, Demang Lebar Daun. Melihat tahun-tahun yang tersebut, beranilah kita memastikan, bahwa Kerajaan Sriwijaya telah ada 100 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir. 

Sebab beliau lahir di tahun 571, di Sumatera telah berdiri suatu kerajaan yang teratur. Di tahun 671 I Tsing, seorang muarrich (muarikh, penulis sejarah) bangsa Cina telah melawat ke tanah Sriwijaya. Katanya kerajaan itu berdiri di tepi sungai yang bernama ‘Mo-shi’ (sekarang disebut sungai Musi). Waktu dia datang ke sana, Maharaja tengah pergi berperang ke negeri Melayu, yaitu Inderagiri, Kampar dan Siak (sekarang bagian dari derah-daerah yang ada di provinsi Riau). 

lbnu Khardizbah, pengarang ‘Al-Masalik wal Mamalik’ mengatakan, bahwa negeri Qilah di bawah kuasa raja Palembang. Bertemu sepucuk surat tua di India yang rupanya ditulis di tahun 1005 menyatakan, bahwa raja-raja Palembang itu disebut Maharaja Gunung. Masa kebesarannya, Maharaja Sriwijaya itu melebarkan pengaruhnya sampai ke Sailon (Caylon, Sri Lanka). Jawa juga di bawah pengaruhnya.

Itulah sebabnya maka pemimpin dan presiden kita Ir. Sukarno pernah mengatakan, bahwa riwayat persatuan Indonesia sekarang ini, setelah merdeka, adalah riwayat yang ketiga. Pertama: Persatuan di zaman Sriwijaya; Kedua: Persatuan di zaman Majapahit; Ketiga: Di zaman persatuan Negara Republik Indonesia ini.


Kerajaan Darmasraya 

Sriwijaya mundur karena pertikaian agama, di antara Mazhab Budha Hinayana dengan Mahayana. Mahayana Mazhab Budha yang terbesar di pulau Jawa. Hinayana di Palembang. Persatuan kerajaan mulai lemah, maka masuklah Raden Wijaya raja Singasari menyerang dan mengalahkan Sriwijaya di tahun 1275.

Lantaran Sriwijaya tidak bangun lagi, dipindahkan pusat kerajaan arah ke hulu, yaitu diantara Jambi dan Minangkabau sekarang ini, dengan nama “Darmasraya” (arinya Jiwa yang bebas). Sejak itu dia telah menjadi sebuah kerajaan kecil yang tidak lagi mempunyai kuasa yang luas sebagai Sriwijaya dahulu, sebab kebesaran telah pindah ke Jawa kepada kerajaan Majapahit, yang berdiri sesudah (kerajaan) Singasari. 

Waktu Raden Wijaya menunjukkan, bahwa dia telah berkuasa di bumi Melayu, menaklukkan Sriwijaya dan menyatakan perlindungan atas Darmasraya, telah dipakainya adat raja-raja pada masa itu. Tandanya menang, dibawanya dua putri Melayu ke tanah Jawa, Putri yang tua bernama Dara Petak, bergelar Sri Indrahwari, dan yang muda Dara Jingga, dijadikan permaisuri oleh Maharaja Majapahit yang bernama Maharaja Sri Marmadewa, kemudian keturunan-keturunan dari Majapahit dari permaisuri Melayu itulah yang dirajakan di Minangkabau, turun-temurun. 

Di tahun 1286 Baginda Maharaja Kertanegara mengirimkan patung Budha ke Minangkabau sebagai tanda perhubungannya dengan raja-raja keturunan Jawa itu. Sebagai alamat, bahwa Minangkabau adalah suatu kerajaan berdiri sendiri di dalam lingkungan Majapahit. Patung itu telah dibawa ke gedung arca Jakarta tahun 1935.


Kerajaan Pagaruyung

Setelah raja-raja yang bertakhta kerajaan di Darmasraya itu menilik di keliling negerinya, ada lagi daerah yang lebih bagus untuk kerajaan, dipindahkanlah ke tempat yang bagus itu. Itulah dia ‘Pagarruyung’, yang dapat ditempuh dari Darmasraya dengan menelusuri sungai Batang hari. Ruyung adalah sebagai ibarat daripada ‘keteguhan” (dari kata pagar dan ruyung, makna ruyung adalah keteguhan). 

Memang bagus tempat itu ditilik dari letaknya, yang dilingkung oleh bukit-bukit dan gunung-gunung berkeliling. Namun demikian perhubungan dengan Jawa sebagai perhubungan famili, tidaklah diputuskan. Sekali-sekali berziarah-ziarahan (saling kunjung mengunjungi juga. Di kaki gunung Merapi didirikan rumah tempat sembahyang Budha, bernama Parahiangan. Hiang artinya Tuhan.


Aditiawarman

Di tahun 1343 yang menjadi maharaja di Minangkabau ialah Maharaja Aditiawarman. Maharaja itu senantiasa ingat akan perhubungan keluarganya ke Majapahit. Maka baginda titahkan membuat patung nenek-moyangnya permaisuri raja Majapahit itu, diberi nama patung ‘Manju Shri’ (Manja Sari), artinya yang maha suci. Patung itu sekarang (ada) di dalam gedung arca di Berlin (kota di negara Jerman), terbuat daripada emas. 


Pengaruh Kerajaan Pasai

Karena letaknya yang kokoh dipagar gunung itu, susahlah ‘angkatan besar’ (pasukan tentara asing) dari luar untuk datang menyerang ke sana. Di waktu Kerajaan Pasai di tanah Aceh telah memeluk agama Islam, di bawah perintah Al-Malikus Shalih, waktu Ibnu Bathuthah datang ke Pasai dinyatakannya, bahwa raja tengah mengirimkan utusan ke Muljawa, mengajak raja di sana memeluk agama Islam.

Kalau dibandingkan tahun pengembaraan Ibnu Bathuthah dengan tahun Aditiawarman memerintah bolehlah dikatakan di dalam satu zaman. Samalah masanya Al-Malikus Shalih dengan Aditiawarman. Setengah ahli sejarah Eropa berat sangkanya, bahwa yang disebut oleh lbnu Bathuthah Muljawa itu ialah Minangkabau. (Muljawa) Barangkali asal kata dari Malayu-Jawa. Upanya di zaman Aditiawarman telah mulai agama lslam dimasukkan dan dipropagandakan. Kedatangan utusan (dari Kerajaan Pasai) rupanya tidak disambut dengan peperangan, tetapi dengan damai saja dengan cara diplomasi kata orang sekarang. Sebab orang yang telah beragama Budha, tidak begitu susah memahamkan ajakan megakui adanya Tuhan.

Masuknya  agama Islam telah merubah susunan istiadat di dalam istana (Pagaruyung). Yaitu raja dijadikan tiga sela, (yaitu) raja alam, raja adat dan raja ibadat. Orang besar-besar dijadikan empat balai". Dua menjaga adat-istiadat lama. (Indomo Saruaso dan Bendahara atau Titah Sungai Tarab). Dan dua pula untuk menunjukkan nagari telah Islam, untuk mengadakan perhubungan dengan nagari-nagari yang telah menerima Islam, yaitu Makhdum di Sumanik dan Tuan Qadhi di Padang Ganting.


Kerajaan Islam Malaka dan Perantauan Minang

Di tahun 1400 berdiri kerajaan Islam, Malaka. Raja-raja Islam Malaka, mulai daripada Sultan Muhammad Syah, terang-terang menjadi pembela dan penyiar agama Islam. Maka mana rakyat Minangkabau yang tidak merasa puas dengan susunan kebudayaan campuran Hindu - Islam itu, Srimenanti, Jehol, Naning, Lukut dan lain-lain itulah yang pindah ke tanah Malaka, membuat negeri di Rambau, masyhur dengan nama ‘Negeri Sembilan’. 

Raja-raja asal Minangkabau di sana, memakai gelar “Yang Dipertuan", dengan singkat “Yamtuan". Supaya perhubungan dengan nagari asal jangan putus, ditetapkan juga daerah itu sebagai rantau dari Tuan Makhdum, yang memang tebal ke-lslamannya. Sebagai juga Kampar, Indragiri dan Siak menjadi rantau daripada Tuan Qadhi.

Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Minangkabau masih tetap sebagai keadaannya yang dahulu. Sesudah Malaka jatuh, Aceh memulihkan kebesarannya kembali, dan menentang Portugis. Dari Samudera Pasai kerajaan dipindahkan ke Pidir, dari Pidir dipindahkan ke Aceh Besar.


Pengaruh Kerajaan Darussalam Aceh

Di sana didirikan Kota Raja, nagari diberi nama Darussalam, sebagai pusat keteguhan Islam di Sumatera. Di antara Portugis dengan Aceh terjadi perlombaan perniagaan di pantai barat pulau Perca (pulau Sumatera). [1] Demikian juga dengan Belanda yang telah mengancam di Jawa. Pantai barat yaitu Singkil, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, Salido sampai ke lnderapura menjadi negeri persimpangan. Aceh terpaksa menaklukkan negeri-negeri itu, sehingga terlepas dari kuasa Minangkabau. Di lnderapura sampai berdiri cabang kerajaan Aceh dikota Padang duduk gubernur Aceh.

Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan Aceh, masyhur di dalam kisah perlawanan raja ‘Nan Tunggal Megat Jabang’, pahlawan Aceh dengan raja Sipatokah (Portugis) merebut kuasa di pantai Pariaman. Di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam, raja Aceh yang paling masyhur dan besar, yang mula memerintah tahun 1604, amatlah besar pertentangan itu. Waktu itulah sengit perebutan pengaruh dengan Barat (bangsa Eropa seperti a.l. Portugis, Belanda).

Tetapi raja-raja Minangkabau, di Gudam Balai Jingga, di Jirung Kampung Dalam, di kota Pagarruyung, tidak sanggup lagi menghadapi perjuangan orang di tepi pantainya. Namanya rakyat di pesisir Minangkabau, hakikatnya di bawah kuasa Aceh. Bersamaan dengan serangan politik, Aceh membawa juga penyiaran agama yang di zaman Iskandar Muda Mahkota Alam (Raja ke-12 dari Aceh Darussalam) [2] telah menjadi pcmbicaraan yang tinggi mutunya di tanah Aceh. Sehingga Aceh diberi gelar ‘Serambi Makkah’.


PERKEMBANGAN ISLAM DI MINANGKABAU

U
lama-ulama telah membicarakan agama dengan merdeka. Dua faham bertentangan pada masa itu, yaitu faham Syekh Abdur Rauf dan Nuruddin Ar-Raniri yang mempertahankan faham Ahlissunnah, “Wihdatusy Syuhud”, yang menyatakan (yang bermakna), bahwa alam itu “bekas kuasa Tuhan” - ciptaan Tuhan. Sedang faham Hamzah Al-Fanshuri dan Syamsuddin As Samatrani yang berfaham “Wihdatul Wujud”, (yang maknanya) beri'tiqad bahwa alam itu adalah “sebagian daripada Tuhan”, laksana buih lautan yaitu sebagian daripada ombak! 

Murid (Syekh) Abdur Rauf datang ke Minangkabau, bertempat di Ulakan Pariaman, bernama Burhanuddin, karena mendengar bahwa pengikut Hamzah Fanshuri telah masuk pula ke Minangkabau dan memilih Cangking sebagai pusatnya.

Cangking adalah di Padang Darat. Tentu saja faham Cangking lebih lekas tersiar daripada faham Ulakan. Pertama, karena lebih dekat kepada ajaran agama Budha yang menyatakan, bahwa di dalam diri sendiri ada Tuhan. Kedua, faham ini tidak memberatkan benar (tidak sepenuhnya melaksanakan atar) mengerjakan ibadat (seperti dalam Ajaran Islam yang sebenarnya). Adapun di Aceh sendiri faham Hamzah Fanshuri itu tidaklah laku, dia dapat dikalahkan oleh Abdur Rauf yang besar pengaruhnya di sisi Sultan.



Peran Kaum Paderi

Demikianlah duduknya i'tiqad dan agama sampai kepada permulaan abad ke-19. Di permulaan abad itulah datang gerakan baru yang amat hebat, yang mula-mula menggoncangkan batu sendi adat-istiadat, dengan datangnya kaum Paderi dari negeri Makkah di bawah pimpinan Haji Miskin di Pandai Sikat. 

Kaum Paderi atau kaum putih adalah kaum agama yang teguh dan kuat iman. Terutama lagi mereka telah melihat contoh-contoh kekerasan (keteguhan) beragama yang digerakkan oleh kaum Wahabi di tanah Arab.

Menurut keyakinan mereka, perjalanan agama secara damai sebagai (mana) selama ini, menghilangkan sifat pelajaran agama yang sejati (sebenarnya), sehingga tercampur dengan pelajaran agama yang lain, yang bukan berasal daripada agama itu sendiri. 

Orang Wahabi di tanah Arab memandang orang yang tidak sefaham dengan dia sebagai “musuh”, walaupun sama-sama Islam. Sebab ke-Islaman mereka - menurut pandangan Wahabi - pelaksanaan Islam semacam itu hanya tinggal nama saja, mereka telah memperserikatkan Tuhan dengan yang lain. 

Kaum Paderi Minangkabau juga berpendirian begitu (sama dengan apa yang didapatnya dari Makkah) terhadap pemeluk agama Islam Minangkabau. Tidak ada di Minangkabau (ketika itu) tanda-tanda Islam yang hidup (yang seharusnya sama dengan ajaran Islam yang sebenarnya). Raja-raja masih mencampurkan upacara Hindu dengan Islam. Guru-guru agama masih berkhidmat kepada kubur-kubur orang yang dipandang keramat. Pemuda-pemuda masih bergurau-senda mengadu ayam. Maka pada keyakinan kaum Paderi, barulah negeri akan selamat, kalau sekiranya pemerintahan yang lemah dan tidak beragama itu dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan kaum agama semata-mata. Maka amat hebatlah pergerakan Paderi sejak bagian pertama (1801 - 1826) yaitu zaman menyusun, dan bagian kedua (1826 -1837), zaman berperang menyiarkan faham (dakwah Islam yang didapatnya dari Makkah), sampai jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda. 

Dengan jatuhnya Bonjol, banyak perubahan yang telah terjadi dan Minangkabau menghadapi suasana baru. Walaupun kaum Paderi telah dapat dikalahkan, namun Islam telah dapat menempuh suasana baru. Kaum adat menambah lagi memasukkan anasir Islam ke dalam adat. Sehingga timbul pepatah-pepatah adat “Syara' nan mengatakan, Adat nan memakai”. “Sudah adat ke balairung, sudah syara' ke mesjid”. Baca juga (klik --->) Sejarah PerjuanganKaum Pedri.

Kaum agama pun mendapat kedudukan lebih bagus daripada dahulu. Di tiap-tiap nagari disusunlah Orang Empat Jenis, yaitu “Penghulu, “Manti”, “Dubalang” dan “Malim”. Ditentukan pula pakaiannya, “Penghulu (Kepala Adat) berpakaian hitam”, “Manti (Pembantu Kepala Nagari) berpakaian ungu”, “Dubalang (Kepala Nagari) berpakaian merah” dan “Malim (Orang Alim, Ulama, yang mengurus masalah agama) berpakaian putih”. [3]


Pemerintahan Hindia Belanda

Pemerintah Belanda, sesudah perang Paderi itulah melakukan politik-politiknya yang baru untuk menamkan kuasanya di Minangkabau. Mula-mula ditanamnya jabatan ‘Regent’ (Bupati, Wali atau Pengawas) pada beberapa nagari. Nagari-nagari yang telah tertanam benar pengaruh Paderi, diangkatnya orang-orang yang kuat beragama. Setelah nyata bahwa jabatan regent tidak bersetuju dengan masyarakat Minangkabau, diadakannya pula jabatan ‘Laras’ (Kepala Distrik atau Kepala Nagari). Sesudah itu dimasukkannyalah ‘monopolistelsel’ (masalah perpajakan, penduduk asli dikenakan pajak oleh Hindia Belanda).

Di dalam perjanjian ‘Plakat Panjang’ yang masyhur, diakuinya derajat penghulu sebagai ‘pengatur nagari’. Kuasanya dikembalikan dan kuasa kaum agama tidak ada lagi. Untuk membuat golongan yang akan menjadi tulang-punggungnya, diadakannyalah Sekolah Raja di Bukittinggi. Keluaran-keluaran Sekolah Raja itulah yang mulai menyiarkan pengaruh Belanda, menjadi (melalui) guru (yang akan mengajarkan murid-murid yang terlepas dari ajaran Islam, dan pegawai (kaki tangan pelaksana pemerintahan Hindia Belanda di lini pertama dalam menghadapi rakyat (pribumi).


Syekh  Ahmad Khatib Al-Minangkabaui

Anak adik Tuanku Laras di Kota Gadang, di akhir abad ke-19, ibunya orang Empat Angkat, pusat kaum Paderi 50 tahun sebelum itu, masuk ke dalam Sekolah Raja yang baru didirikan itu. Setamat dari sekolah dia pun melanjutkan pelajarannya ke negeri Makkah. Anak ini bernama Ahmad (kemudian dikenal dengan nama Ahmad Khatib), anak daripada Abdul Lathif. Sesampai di Makkah berkat kesungguhan hatinya mempelajari agama, apalagi dasar-dasar ilmu umum telah ada pula karena bersekolah (di Sekolah Raja), dia telah 'menjadi salah seorang Ulama yang mempunyai riwayat dan cita-cita luar biasa. Ilmunya mendapat penghargaan tinggi, sampai dia mendapat jabatan imam dan khatib mazhab Syafi'i di dalam Masjidil Haram, termasuk orang-orang yang sangat terkemuka di negeri Makkah, turut duduk di dalam majelis Syarif-syarif. Murid-murid pun datanglah berduyun-duyun terutama dari tanah Minangkabau

Hatinya (Ahmad Khatib Al-Minangkabaui yang telah mendapat gelar Syekh) kecewa, sebab itu dia tidak hendak pulang lagi ke negerinya. Hanya murid-muridnya yang disuruhnya pulang. Maka murid-murid Syekh Ahmad Khatib itulah yang pulang ke kampung menyiarkan ajaran gurunya.


Murid-Murid Syekh  Ahmad Khatib di Minangkabau

Di antara murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui di Minangkabau ialah Syekh Muhammad Jamil Jambek, Almarhum Dr. Abdul Karim Amrullah, Almarhum Dr. Abdullah Ahmad. Almarhum Syekh Jamil Jaho, Almarhum Syekh Muhammad Zein Simabur, Almarhum Syekh Muhammad Zein Lantai Batu, Almarhum Syekh Thaib Sungayang.


Murid-Murid Syekh  Ahmad Khatib di Luar Minangkabau

Murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui di luar Minangkabau ialah Almarhum Syekh Abbas Padang Jepang, Almarhum Syekh Abdul Lathif Panambatan, Almarhum Syekh Hasan Ma'sum Mufti Kerajaan Deli. Almarhum Syekh Muhammad Nur Mufti Kerajaan Langkat. Di Mandahiling Syekh Abdul Qadir Al Mandili. Di Malaya Almarhum Syekh Thahir Jalaluddin dan Almarhum Syekh Abdullah Shalih bekas Mufti kerajaan Johor. Di Jawa: Kiyai H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta dan Kiyai H. Adnan di Solo. Maka besarlah penibahan (perubahan) di dalam semangat agama, lantaran murid-murid Syekh Ahmad Khatib itu.


Peran para Syekh (Ulama) di Minangkabau

Di tahun 1911 Syekh Abdullah Ahmad mengeluarkan surat kabar Al-Munir dan Al-Akbar. Dalam tahun 1912 beliau mendirikan sekolah Adabiyah di Padang.  Tahun 1916 Zainuddin Labai mendirikan seko1ah agama di Padang Panjang. Tahun 1918 Syekh Abdul Karim Amrullah mendirikan Sumatera Thawalib. Tahun 1920 Haji Datuk Batuah membawa faham Komunis ke Sumatera Barat (Penyimpangan Agama Islam dengan memasukkan faham Komunisme ke dalam Ajaran Islam). Tahun 1922 Ahmadiyah Qadian mencoba-coba mengacau faham Islam Sumatera Barat, tetapi tidak berhasil. Tahun 1925 Syekh Abdul Karim Amrullah membawa gerakan Muhammadiyah dari Jawa. Tahun 1928 Belanda mencoba memasukkan ‘Guru Ordonansi’ (Guru  didikan Hindia Belanda dengan membawa konsep ajarannya terpisah dengan ajaran agama, tidak ada ajaran agama di sekolah), tetapi tidak berhasil, karena keteguhan hati para Ulama menolaknya, terutama Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-Er, Ayah Buya Hamka). 

Tahun 1930 Muhammadiyah mengadakan kongres di Bukittinggi. Sesudah Kongres Muhammadiyah itu, Islam kembali menempuh zaman gemilang di Sumatera Barat. Sejak itulah sekolah ‘Sumatera Thawalib’ berganti menjadi ‘Persatuan Muslimin Indonesia’ dan memasuki gerakan politik. Sejak itu pula perkumpulan ‘Attarbiyatul Islamiyah’ diperbaiki organisasinya. Tahun 1941, karena dipandang amat berbahaya bagi Belanda, Dr. Abdul Karim Amrullah dibuang ke tanah Jawa. Tanggal 21 bulan Jumadil Akhir 1364 - 2 Juli 1945, beliau mcninggal di tanah pembuangannya, tetapi ajarannya telah hidup di dalam masyarakat! Tiap-tiap orang Minangkabau yang insyaf, merasai kehidupan itu.



PENUTUP

D
emikianlah Sejarah (peran dan perkembangan Agama atau Ajaran Islam di) Minangkabau. Mulai dari Kerajaan Budha di Palembang, Kerajaan Hindu dan Budha di Jawa, Kerajaan Damasraya, Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Pasai, Kerajaan Darussalam, Kerajaan Islam di Malaka, serta luar biasa pengaruh dari didikan Syekh Ahmad Khatib yang murid-muridnya berperan sedemikian rupa bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Dan antisipasinya dalam menghadapi pengaruh penjajahan Eropa terutama Hindia Belanda yang “phobia” dengan Islam dengan cara mendirikan sekolah ala Belanda, Sekolah Raja. Serta melalui sistim jabatan “regent” dan jabatan “laras” serta “monopolistelsel” sebagaimana telah dipaparkan diatas.  Baca juga (klik --->) Siti Manggopoh SingaBetina Melawan Belanda.

Beberapa kosakata yang tidak lazim digunakan sekarang diberi penjelasannya yang berada dalan tanda kurung (……) untuk memudahkan mengerti kosakata dalam bahasa yang dikenal sekarang ini. Boleh jadi tulisan ini diambil dari sebagian buku kebangkitan Islam di Minangkabau secara khusus dalam buku Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah (Inyiak De-Er) yang ditulisnya. Atau juga Sedjarah Islam di Sumatera yang ditulis Buya Hamka tahun 1950, yang bahasanya menggunakan kosakata Bahasa Indonesia tahun itu. Wallahu A’lam bish-Shawab.

Last but not least dari tajuk “Sejarah Islam di Minangkabau” banyak pengetahuan dan pelajaran yang dapat diambil dari salinan buah pena dari Buya Hamka ini bagi kita semuanya. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Catatan Kaki:
[1] http://ghobro.com/info/suku-suku-muslim-di-pulau-perca
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Muda
[3]https://www.academia.edu/36447585/Studi_Terhadap_Kosakata_Bahasa_Arab_Dalam_Bahasa_Minangkabau?auto=download
https://kbbi.web.id/ □□


Sumber:
Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera, Medan 1950.
http://www.ponpeshamka.com/2016/03/sejarah-minangkabau-oleh-buya-hamka.html?fbclid=IwAR15znJT-cT7O3uM-LavZmLbPN-mI2z0I89hHJvxJtiwOjSTVDlmCT5qvxg
http://ghobro.com/info/suku-suku-muslim-di-pulau-perca
https://en.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Muda
https://www.academia.edu/36447585/Studi_Terhadap_Kosakata_Bahasa_Arab_Dalam_Bahasa_Minangkabau?auto=download
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/07/mengenang-satrawan-besar-hamka.html
https://kbbi.web.id/
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah 
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/04/sejarah-perjuangan-kaum-padri.html 
https://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2017/05/kecermelangan-syeikh-ahmad-khatib.html
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/08/siti-manggopoh-singa-betina-melawan.html □□