Thursday, March 14, 2019

Masjid Inyiak De-Er





MASJID INYIAK ‘De-Er’
CERMIN KEHEBATAN PEMIKIR NAGARI


PENDAHULUAN

M
asjid Inyiak De-Er, terletak di Nagari Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau Sumbar. Masjid inyiak De-Er mencerminkan kehebatan generasi sebuah nagari (desa) tempat masjid itu berada. Pasalnya, di sini tidak saja lahir pemikir-pemikir hebat, tapi juga 'pelabuhan' pertama bagi Muhammadiyah.

Inyiak De-Er adalah nama tokoh yang sangat berpengaruh dalam gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad 20, sekaligus bapak Muhamadiyah Sumatra Barat. Lewat kepiawaiannya, Muhamadiyah berkembang pesat di Ranah Minang ini.

Pemakaian nama Inyiak De-Er (Dr atau DR atau, Doktor) adalah diambil dari sapaan akrab Dr Haji Karim Amrullah, dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa tokoh yang lahir di Sungai Batang pada 10 Februari 1879 dan meninggal di Jakarta 3 Juni 1945. Tokoh yang berhasil merintis Sumatra Thawalib Padangpanjang ini, tidak saja meninggalkan nama besar tapi juga berhasil mendidik anaknya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, karib dengan sapaan Buya Hamka.


SIAPA INYIAK ‘De-Er’?

P
aling tidak, seperti dicatat Murni Djamal di Minangkabau, ada lima tokoh kunci paling berpengaruh dalam pembaharuan Islam. Keempatnya adalah Inyiak De-Er (Dr Haji Karim Amrullah), Dr H Abdullah Achmad, Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Syekh Tahir Jalaluddin al-Azhar. Namun, nama yang disebut terakhir tidak terlibat secara langsung. Ia adalah Syekh Muhamad Thaib dari Sungayang. Mereka semua memiliki seorang teman dan guru, karena paling tua, yaitu Syekh Tahir.

Inyiak De-Er juga dikenal sebagai Haji Rasul. Setelah mengecap pendidikan secara tradisional di berbagai tempat di Minangkabau, ia naik haji tahun 1894. Tujuh tahun kemudian ia melanjutkan lagi pendidikannya di kampung halamannya. Tahun 1903, ia kembali lagi ke Makkah dan pulang ke tanah air 1906. Ketika masjid yang kini dinamai dengan nama dirinya terbakar, ia sedang tidak di Minangkabau.

Untuk mendapatkan bekal sebelum ke Makkah, Inyiak De-Er belajar mengaji terlebih dulu kepada Haji Muhammad Salih dan tata bahasa Arab kepada Haji Hud di Tarusan, sebuah nagari di kawasan Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Untuk fikih dan tafsir ia belajar pada ayahnya sendiri, Syekh Muhamad Amrullah, dan Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan, Pariaman.

Seorang pejabat Belanda, Ph S van Ronkel, seperti dikutip oleh Murni Djamal dalam bukunya bertajuk ''Dr H Abdul Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke- 20'' (INIS-2002), menuliskan: ''Haji Abdullah Ahmad lebih merupakan penulis daripada guru, lebih merupakan Muslim universalis daripada Muslim Melayu. Haji Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh paling agresif di antara ulama modernis, yang fanatik dan paling ditakuti para lawannya."

Inyiak De-Er memang modernis. Dialah yang memodernisir pendidikan Islam di Minangkabau, salah satunya dari sistem kholaqoh ke sistem klasikal yang berkembang sampai sekarang. Sekolahnya, Surau Jembatan Besi, diubah namanya menjadi Sumatra Thawalib. Inilah sekolah yang kelak menjadi ajang percaturan intelektual Islam, pembaharuan, bahkan komunis.

Sukses dengan dunia pendidikan, Inyiak De-Er juga berhasil meluaskan Muhamamdiyah di Minangkabau. Pada awalnya, ia memakai sebuah organisasi di nagarinya bernama Sendi Aman untuk titik tolak. Setelah pertemuan yang intensif dengan tokoh-tokoh Muhamadiyah di Jawa, Inyiak De-Er makin mantap hatinya untuk ikut mendirikan Muhammadiyah di kampung halamannya sendiri. Ia lantas mendirikan sekolah Muhammadiyah awal tahun 1925. Akhir tahun 1925 sekolah itu memiliki murid 250 orang. Inilah untuk pertama kalinya, bendera Muhammadiyah berkibar di Minangkabau.

Setelah di Maninjau, organisasi Muhammadiyah kemudian muncul di Padangpanjang. Sejak itu, ormas Islam ini terus berkembang hingga kemudian muncullah istilah, "Muhamamdiyah dilahirkan di Jogyakarta dan dibesarkan di Minangkabau."

Tokohnya tidak lain adalah Inyiak De-Er, ayah Buya Hamka. Jika dulu Muhamamdiyah hadir di Maninjau karena peranan Inyiak De-Er dan pedagang-pedagang kain asal Maninjau di Pekalongan, kini masjid itu dipugar, juga berkat bantuan dana dari perantau. Rantau bagi Minangkabau adalah batin yang ditumpangkan di tempat lain.


‘POSKO’ PEMBAHARUAN ISLAM DI MINANGKABAU

Masjid Inyiak De-Er Sebelum di Renovasi

S
etelah berdiri tegak lebih dari 100 tahun dan menjadi saksi perjuangan tokoh-tokoh Islam Minangkabau, masjid yang berada di tepian Danau Maninjau, Sumatra Barat, ini direhab berat sejak awal 2002 silam. Masjid yang telah menelan biaya perbaikan sekitar Rp 650 juta itu kini tampak lebih megah. Namun, menurut Ketua Dewan Penyantun Pembangunan Masjid Inyiak De-Er, Drs Yusuf Daud Datuk nan Bareno, untuk perbaikan tempat berwudhu, gedung Aisyah dan surau Raudah, masih diperlukan lagi dana Rp 280 juta. Biaya rehab bersumber dari sumbangan perantau setempat.
Masjid Inyiak De-Er Setelah di Renovasi

Masjid Inyiak De-Er, pada waktu diresmikan (kembali), hadir keluarga besar Inyiak De-Er dan sejumlah perantau Sungai Batang, satu di antaranya adalah Rusjdi Hamka, tokoh pers yang juga cucu Inyiak De-Er.

Masjid ini merupakan 'posko' Inyiak De-Er dalam melakukan pembaharuan Islam di Minangkabau, sebelum ia pindah ke Padangpanjang. Kapan didirikan? Tak ada yang tahu waktu persisnya. Yang jelas tahun 1901, masjid ini sempat terbakar dan dibangun lagi. Pada awalnya bernama Masjid Jorong Batu Panjang atau Masjid Kampuang Tangah. Dalam perjalanannya, kemudian diganti lagi namanya dengan Masjid Istiqomah. Kini, nama itu diganti lagi dengan nama tokoh paling berpangaruh di sana, Inyiak De-Er.



MAKAM DAN PERPUSTAKAAN

P
ada mulanya makam nya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makamnya dimakamkan adiknya yang bernama Syekh Yusuf Amarullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 oktober 1972.

Makam Inyiak De-Er bersebelahan dengan makam adiknya


Pada saat ini, komplek makam dilengkapi dengan perpustakaan yang diberi nama Perpustakaan Inyiak Rasul. Perpustakaan ini awalnya adalah rumah tempat Inyiak Rasul lahir dan dibesarkan. Disamping itu rumah ini juga merupakan tempat beliau bekerja dan menulis.

Di dalam perpustaakaan terdapat 2 buah lemari, yang berisi berbagai macam hasil karya Inyiak Dr. H. Abdul Karim Amarullah, satu set kursi tamu dan sebuah meja untuk buku tamu. Di depan perpustakaan terdapat komplek makam H. Abdulkarim Amarullah. Suasana yang tenang dan nyaman akan menyambut pengunjung ketika berada di tempat ini.

Tampak salah satu dari lemari buku perpustakaan Inyiak De-Er


Pengadaan pustaka tersebut merupakan usaha bersama dari keluarga Buya Hamka yang ada di kampung. Saat ini pengembangannya sudah mulai mendapatkan perhatian dari keluarga yang ada di rantau dan berbagai pihak, khususnya yang peduli terhadap ilmu pengetahuan umum, Agama dan Sastra.


PENUTUP

D
emikianlah peran tokoh Dr Haji Karim Amrullah yang sapaan akrabnya  Inyiak De-Er atau Haji Rasul. Namun sangat populer dipanggil sebagai Inyiak De-Er. Umumnya sangat dikenal oleh masyarakat Minangkabau Sumatera Barat abad ke-20, khususnya di Sungai Batang dan selingkar Danau Maninjau.

Tokoh yang mengembangkan ilmunya yang lebih luas lagi secara autodidak dan kemudian dengan ilmu mengamalkan sebagai tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau yang paling agresif di antara ulama modernis, fanatik dan paling ditakuti para lawannya. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



SUMBER:
republika via
http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/masjid-inyiak-deer-cermin-kehebatan.html
http://dinaspariwisataagam.blogspot.com/2011/ □□