Kata
Pengantar
enarik untuk dibaca tajuk “Mengenang Satrawa
Besar Hamka”. Oleh sebab itu kami masukkan kedalam blog ini dari pada format “share” facebook sebagai sumber asli tulisan yang mengangkat tulisan Dasman Djamaluddin ini. Alasan kami
adalah karena uraiannya cukup panjang, maka yang terbaik adalah menggunakan
format blog. Dengan blog penampilannya lebih baik, karena tata letak huruf dan paragraphnya enak dilihat. Versi blog mata kita nyaman untuk membacanya, dengan itu daya simak kita semakin kuat bagi yang suka membaca.
Disamping
itu dan yang utama adalah kenapa tajuk ini menarik? Karena isinya bukanlah
hanya aspek sastrawan saja dibicarakan, namun berbagai hal lingkungan hidup dan
kegiatan Buya Hamka diceritakan. Yaitu Buya Hamka sebagai Ulama, Wartawan, Politisi
dengan segenap hingar bingar perpolitikan di Indoesia pada zamannya. Dengan itu
menambah wawasan kita dalam mendalami episode perpolitikan dan peran ulama pada
zaman Buya Hamka sejak pemuda sampai usia menjelang akhir hayat hidupnya. Disertai
suka dukanya dengan tokoh-tokoh bangsa dan negara yang menarik untuk diketahui
para generasi muda secara umum maupun generasi muda Islam khususnya. Baik, ikutilah
kisahnya. □ AFM
MENGENANG SASTRAWAN BESAR HAMKA
Hari
ini, 24 Juli adalah hari meninggalnya Buya Hamka. Saya pernah menulis tentang
buya ini secara bersambung, sebagaimana dituliskan dibawah ini. [Dasman
Djamaluddin]
engenang ulama kharismatik
Indonesia Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
julukan Hamka, Koran-Cyber.com menurunkan tulisan bersambung yang ditulis
Dasman Djamaluddin, wartawan senior media online ini. Buya Hamka yang sangat
banyak menulis buku sastra dan agama, selayaknya menjadi panutan bagi generasi
muda Indonesia.
Beliau belajar secara otodidak, fasih
berbahasa Arab, disegani kawan dan lawan. Walau cukup lama, Pemerintah RI
akhirnya mengangkat beliau sebagai Pahlawan Nasional bersamaan dengan
Syafruddin Prawiranegara. Apa kiprah Hamka bagi kemerdekaan Indonesia dan siapa
saja lawan-lawan politiknya? Mari kita simak salinan tulisan Dasman Djamaluddin
berikut ini:
AWAN GEMAWAN PUN MENETESKAN DUKA
Itu
merupakan judul Harian Pelita 25 Juli 1981 ketika ikut menyatakan duka
sedalam-dalamnya atas wafatnya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
lebih dikenal dengan julukan Hamka, tanggal 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Hamka adalah sastrawan besar Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan
aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah
dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011.
Sebagai
bangsa yang selalu mengenang jasa-jasa tokoh-tokoh bangsanya, kita pun ingin
sekali membalik jarum jam sejarah agar generasi muda ikut mengetahui perjuangan
panjang yang dilakukan tokoh-tokohnya. Minimal sebagai suri tauladan, agar jejak
mereka selalu diikuti. Sekaligus memacu semangat mereka untuk lebih banyak
berkarya. Hanya dengan sebuah karya, kita bisa menunjukkan eksistensi sebagai
bangsa berbudaya.
Hamka
lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari
1908. Hamka merupakan salah seorang putra bangsa yang paling banyak menulis dan
menerbitkan buku. Beliau sering dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau
yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku
atau seseorang yang dihormati.
Hamka
banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya fiksi seperti novel dan
cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa
Minang dengan judul ‘Si Sabariah’. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain,
baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial
kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih.
Sekitar 300 buku besar dan kecil telah ia tulis. Karya ilmiah terbesarnya
adalah Tafsir Al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti ‘Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck’, ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’, dan ‘Merantau ke Deli’ juga
menjadi perhatian umum dan menjadi buku acuan sastra di Malaysia dan Singapura.
Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional
maupun internasional.
Pada
tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
Al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan
menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh
gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang
kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka
adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama
dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,
ia meneliti karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus,
William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan
Pierre Loti.
Ketika
munculnya buku ‘Aku Mendakwa Hamka Plagiat’ yang ditulis Muhidin M. Dahlan saya
sebagai generasi muda marah besar. Saya bilang Hamka bukan plagiator.
Sebetulnya sah-sah saja seseorang mengungkap masa lalu. Tetapi di masa itu
apakah persoalannya sudah selesai? Masih sebatas polemik. Sementara orang yang
dipermasalahkan sudah meninggal dunia. Tidak beda dengan polemik Harian Merdeka
dengan Harian Rakyat yang pada waktu itu dianggap pro komunis, di mana saya
ikut mendengarkan langsung dari pemilik Harian Merdeka, B.M. Diah tentang
Harian Rakyat ketika saya menulis buku ‘Butir-Butir Padi B.M. Diah’, tahun
1992. Saat bersamaan Hamka dimunculkan dalam Harian Rakyat tersebut.
Bulan
Juli ini kita sama-sama berpuasa. Saat bersamaan Dakwah Buya Hamka di layar
televisi yang terakhir adalah malam Jum’at, 3 Juli 1981, malam pertama bulan
Ramadhan. Harian Pelita menggambarkan wajahnya yang putih berseri-seri dan
selalu tersenyum riang itu mengajak seluruh bangsa ini menyambut bulan suci
Ramadhan dengan hati ikhlas seraya menahan diri dan meningkatkan kesadaran
berdasarkan contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad.
Ceramah
keagamaan baik di layar televisi maupun corong RRI atau secara langsung di
Mesjid Agung Al-Azhar yang selalu mendapatkan sambutan dan rasa simpati yang
sangat besar itu tidak kita saksikan lagi. Harian Kompas menggambarkan, suasana
duka kepergian beliau cepat tersebar ke berbagai kota. Di Banda Aceh begitu
mendengar Buya Hamka meninggal dunia langsung menghentikan pengajian. Para jemaahnya
spontan memanjatkan doa melepas kepergian almarhum, lalu mereka terlibat dalam
berbagai kenangan mengenai Buya Hamka.
Di
Padang, berita wafatnya ulama terkemuka itu diterima dengan terkejut. Secara
beranting, kabar tersebut cepat tersebar, bahkan sampai ke berbagai kota lain
di Sumatera Barat seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, dan Padang Panjang di
mana Hamka bersekolah semasa kecil.
SASTRAWAN DAN ULAMA ITU WAFAT DI HARI DAN BULAN
BAIK
“Maha
Suci Allah Yang ditangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
[QS Al-Mulk: 1-2]
anggal 24 Juli 1981, saat Hamka meninggalkan
alam fana ini, umat Islam Indonesia juga sedang berpuasa. Bulan baik. Hamka
meninggal dunia setelah dirawat sejak 18 Juli 1981 di RS Pertamina, Jakarta.
Beliau menderita sakit jantung, radang paru-paru dan gangguan pembuluh darah.
Akhirnya sastrawan dan ulama besar itu meninggal dunia pada hari Jumat, hari
baik, bulan Ramadhan, bulan baik, pukul 10.40 WIB setelah mencapai usia 73
tahun lebih.
Untuk
menggambarkan suasana waktu itu, saya mencoba mencuplik keseluruhan tulisan
O’Galelano, yang saya anggap sangat menarik di Harian Pelita. Hingga hari ini
saya tidak tahu siapakah O’Galelano, apakah itu nama samarannya atau nama
sebenarnya. Yang jelas tulisannya mampu menghanyutkan kita ke suasana tanggal
24 Juli 1981, suasana duka, di mana bolamata-bolamata pengagumnya, anak
muridnya, teman, kerabat, memerah menahan kesedihan.
“Udara
Jakarta, sudah dua hari menjelang Jumat, memang sesekali dibasahi oleh siraman
sekejap dari renyai hujan. Awan gemawan sesekali menjulurkan tatapannya ke
bawah dari lazuardi ibukota. Sebelumnya, jarang Jakarta disentuh oleh hujan.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama terkemuka, pujangga, sastrawan
yang membuat pembacanya melinangkan airmata kala mereka menyimak novel
religiusnya, Profesor dan Doktor, yang karyanya dibaca di secara luas di dunia
Islam, sudah masuk ICU RS Pertamina Jumat pagi 18 Juli. Udara Jakarta yang
panas mendenyit ubun, sejak Rabu dan Kamis, sesekali disentuh basah hujan.
Seolah komponen jagat raya ini melirik, ulama besar itu dalam persiapannya
untuk perjalanan yang abadi.
Ketika
warga kota terlebih muslimin-muslimah diberi berita pagi oleh koran bahwa Buya
Hamka dalam keadaan kritis, mereka mendekap radio, untuk mendengarkan lebih
lanjut kabar kesehatan beliau. Menjelang shalat Jumat kemarin, hujan tercurah
di ibukota. Seolah hanya Jakarta yang dibasahi, karena benderang langit sekitar
Jakarta tak berawan gelap. Jama’ah Shalat Jumat di masjid mulai terisak tatkala
panitia mengumumkan bahwa Buya Hamka, telah pergi tadi siang jam 10.30. Seluruh
Jakarta, dalam jutaan doa umat Islam, agaknya telah menghunjam di belantara
alam. Jumat kemarin masjid-masjid Jakarta mengadakan shalat ghaib.
Bukan
shalat ghaib yang ingin kita catat. Walaupun dalam duka yang merambat jutaan
kalbu umat, hal itu memang penting. Namun bolamata-bolamata mereka yang shalat
ghaib, yang meneteskan air mata dan isak ketika menyeru Allah. Mereka tergoyah
tubuhnya oleh isak dalam shalat. Doa mereka adalah doa yang diajukan dengan
derai air mata: Ya, Rabbi, terimalah pemimpin, guru, imam dan ayah kami ini di
sisi-Mu. Di rumahnya yang baru dibenah, dengan warna putih yang dominan suara
dan tangis yang emosional hadir di mana-mana. Rusydi, puteranya yang tertua,
yang telah lama dipersiapkan untuk melanjutkan penanya, berkata jelas, walaupun
kesedihan menamparnya dahsyat: “Lanjutkan silaturrahmi ayah kami, kepada kami
putera-puterinya di rumah ini. Kita yang berkumpul di sini adalah sahabat ayah,
murid ayah, para menteri dan ulama, anak-anak rohani ayah kami.” Begitu kata
Rusydi, yang sekarang agaknya meresa sepi meneruskan Panji Mayarakat, yang
dibina ayahnya itu.
Di
tengah jenazah ulama besar itu di rumahnya di Jalan Raden Fatah III No. 1,
banyak bergemaratak ucap dan doa yang penuh emosi. Sampai-sampai suasana di
rumah ini mirip bagaikan jenazah para pejuang Palestina. Orang berhimpitan,
berdesakan. Yang menteri, yang ulama, yang pemuda, yang ibu, yang gadis.
Seorang lelaki meronta berteriak karena dilarang mendekat jenazah. Dia
berteriak dengan tangis agar kiranya diperkenankan melihat wajah Buya terakhir
kali.
Di
dalam Masjid Agung Al-Azhar saat jenazah akan disembahyangkan, tidak urung
takbir dengan suasana hati syarat emosi masih mengumandang. Masing-masing orang
agaknya ingin berarti di dekat jenazah orang yang disayanginya. Hamka memang,
bapak rohani yang hilang dini. Dan orang terpana, syarat emosi.
Rasanya
menyayat sembilu hati kita, melihat seorang gadis kecil yang terjepit di antara
desakan orang melongokkan kepalanya dan mengarahkan matanya yang berlinang,
dengan isak yang tertahan. Ketika iringan jenazah lewat rumahnya. Pemandangan
yang membiaskan rupa lain dari gambar diri ulama terkemuka ini. Banyak orang
yang ingin menyentuh jenazah Buya, dan dalam kerumunan, himpitan dan dempetan,
hal seperti ini memang ikut membuat suasana duka meningkat kepada “semangat dan
api rohani.”
Ketika
para pengantar bergegas meninggalkan Pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan, di
arah barat bayang Ashar yang menepi. Udara dan langit di atas makam, kembali
duka. Awan gelap mulai menjulurkan nestapa. Sesudah itu hujan menyiram bumi
merah. Telah agak lama usia Buya Hamka tersita di ibukota ini. Di mimbar
khotbah, di halaman buku, koran, majalah. Buya barangkali adalah warga ibukota
yang selalu dengan putih hati berusaha menyapunya dengan nasihat yang
mendinginkan.
Kalau
saja gemawan dapat jelas berbisik pada kita, barangkali siraman hujan adalah
pertanda, alangkah indahnya keberangkatan Buya. Di tahun, di bulan, di
hari-hari yang penuh indah. Maka pantaslah kita bergembira, walaupun nestapa
menindih kita, seperti kata pisah keluarga yang dibawakan Buya Malik Ahmad.
Selama hayatnya Hamka memang adalah ekspresi keindahan.”
Tepat
hari ini, 24 Juli 1981, hari dan bulan saat umat Islam menjalankan ibadah
puasa, Prof. Dr. Buya Hamka meninggal dunia di usia 73 tahun lebih dan
dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima
sebagai seorang sastrawan dan tokoh ulama di negara kelahirannya, Indonesia,
juga di negara-negara atau wilayah berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti
Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa
negara Arab. Banyak tokoh nasional pada waktu itu, termasuk Presiden Soeharto
bertakziah di rumah almarhum. Kecuali Presiden Soeharto, di antara pejabat
tinggi pemerintah antara lain Mendagri Amirmachmud yang memakai kemeja teluk
belanga dan sarung. Menteri Agama Alamsyah, Menteri Nakertrans Harun Zein,
Menteri PPLH Emil Salim dan banyak pejabat tinggi lainnya.
Di
samping itu tampak hadir Gubernur DKI Jakarta H. Tjokropranolo dan Gubernur
Sumatera Barat Azwar Anas. Di kalangan tokoh masyarakat terdapat Mohammad
Natsir, Hasjim Ning, A.H. Nasution, Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara.
Setelah Presiden Soeharto selesai bertakziah kemudian menyusul Wakil Presiden
Adam Malik.
Kemudian jenazah diusung ke Masjid Al Azhar. Para
petugas terpaksa pula bersusah payah menguakkan jalan, karena masyarakat terus
membanjir dan masing-masing berusaha mendekat. Wajah-wajah duka dibasahi air
mata itu seakan-akan tak mampu membendung kesedihan. Tiap sebentar terdengar
teriakan “Selamat jalan Buya!” dan di sana sini pekik “Allahu Akbar,” mengantar
perjalanan jenazah ke Masjid Al Azhar, di mana semasa hidupnya Buya Hamka
menjadi Imam Besar. Orang berebut untuk ikut mengusung keranda jenazah, malah
banyak yang sekedar berhasil menggapainya pun jadilah.
Menjelang
pelataran parkir, jalan terhalang oleh kendaraan-kendaraan yang terparkir
melintang. Namun dalam waktu satu menit saja puluhan umat berhasil mengangkat
dan memindahkan sedan-sedan itu, sehingga jalan pun terbuka.
Ribuan
jemaah ikut menyembahyangkan jenazah Buya Hamka di Masjid Al Azhar. Jemaah
meluap sampai pekarangan, sementara yang tidak sempat berwudhu pun khusyuk
berdoa.
Ketika
keranda diusung kembali menuruni tangga masjid untuk diberangkatkan ke
pemakaman, massa semakin padat. Berkali-kali pembawa megaphone berteriak
memperingatkan massa agar tidak histeris dan menjaga suasana tetap khidmat dan
khusyuk.
Sepanjang
perjalanan dari Masjid Al Azhar menuju pemakaman Tanah Kusir, iringan kendaraan
sepanjang tiga kilometer lebih itu berjalan tersendat-sendat karena umat
berjejal di tepi jalan. Mereka berdesakan ingin menyaksikan seorang ulama dan
sastrawan besar sedang menuju ke peristirahatan terakhir. Sementara itu di
Tanah Kusir sendiri, sudah ramai pula orang mendahului berangkat, untuk
memperoleh tempat dekat tempat upacara.
Di
antara umat yang berjejal, upacara pemakaman jenazah Buya Hamka berlangsung di
pemakaman Tanah Kusir. Dengan khidmat jenazah diturunkan ke liang lahat,
disaksikan anggota keluarga, handai tolan, kerabat, pejabat, pemuka masyarakat,
para murid almarhum dan kaum Muslimin.
Buya
Malik Achmad, sahabat almarhum semasa menjadi mubaligh Muhammadiyah di Padang
Panjang tahun tiga puluhan memberi sambutan mewakili pihak keluarga. Ia
mengharapkan masyarakat melepas kepergian almarhum dengan tulus ikhlas. Ia
memuji Buya Hamka sebagai ulama besar yang lidahnya tak pernah berhenti
menyebut ayat Al Qur’an. “Kebun surga, itulah tempat bagi arwah Buya Hamka,”
ujarnya.
Menteri
Agama H. Alamsyah yang berbicara mewakili Pemerintah menyatakan, bukan umat
Islam saja yang kehilangan dengan kepergian Buya Hamka, melainkan juga bangsa
dan negara. “Kita kehilangan ulama besar, pahlawan besar dan pahlawan bangsa,”
ujarnya.
H.
Alamsyah selanjutnya mengatakan, ia mendengar banyak orang mengira seolah-olah
ada apa-apa antara Buya Hamka dengan Pemerintah, antara Buya Hamka dengan
Menteri Agama, antara Buya Hamka dengan pribadi Alamsyah, sehubungan dengan
pengunduran diri Buya Hamka dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonsesia
(MUI). “Maka di sini secara tegas saya nyatakan, tidak ada apa-apa antara
beliau dengan Pemerintah, Menteri Agama dan saya pribadi,” ujar H. Alamsyah.
Upacara
pemakaman diakhiri dengan pembacaan doa oleh KH. E. Z. Muttaqien, salah seorang
Ketua MUI yang juga Ketua Majelis Ulama Jawa Barat. “Buya Hamka berangkatlah
Buya dengan tenang. Kami telah bertekad melanjutkan langkah Buya,” ujarnya
mengakhiri pembacaan doa.
Buya
Hamka telah tiada. Hari ini tepat 31 tahun hari wafatnya. Dalam perjalanan
hidupnya sudah merasakan pahit getirnya perjuangan ini. Nama Buya Hamka
terangkat ke permukaan dengan hasil karya roman pertamanya ‘Di Bawah Lindungan
Ka’bah’ (1938). Roman ini mengisahkan cinta tak sampai antara dua kekasih yang
terhalang adat. Romannya yang kedua, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ (1939),
juga mengisahkan cinta yang tak sampai oleh adat Minangkabau. Selain itu, dari
penanya lahir pula novel-novel ‘Karena Fitnah’ (1939), ‘Tuan Direktur’ (1939)
dan Merantau ke Deli (1939). Sehabis perang, novelnya ialah ‘Menunggu Bedug Berbunyi’
(1950), ‘Dijemput Mamaknya’ (1948). Riwayat hidupnya sendiri dituangkannya
dalam empat jilid buku dengan judul ‘Kenang-Kenangan Hidup’ (1951-1952).
Terakhir
Hamka menyelesaikan tafsir Al Qur’an ke dalam 30 jilid buku yang diberi nama
Tafsir Al-Azhar. “Menurut saya Hamka ingin agar Islam juga dihayati kaum
intelektual, orang-orang yang hanya berpikir dengan rasio saja,” ujar HB Jassin
mengomentari karya Hamka, Tafsir Al-Azhar.
HAMKA SEBAGAI WARTAWAN
Menulis
tentang Hamka, samalah artinya menulis di samudera luas. Kadang kala tangan ini
berhenti bukan karena tidak memiliki data, melainkan banyaknya sumber dari
berbagai sudut pandang, sehingga muncul pertanyaan, dari sudut mana lagi kita
akan menulis tentang tokoh terpandang ini?
Menulis
tentang orang-orang besar sudah tentu membutuhkan berbagai pengamatan dan
penelitian lebih mendalam. Butuh waktu lama. Tetapi bagaimana pun, saat bangsa
dan negara ini kehilangan tokoh panutan, seperti Hamka, 24 Juli 1981, perlu
juga mengenalkan kembali sosok sastrawan dan ulama besar itu ke permukaan agar
lebih diketahui generasi berikutnya. Seraya mengingatkan “Jangan sekali-kali
melupakan sejarah.”
Bagi
saya, Hamka identik dengan kultur Minangkabau di daerah Padangpanjang, Sumatera
Barat. Hamka lebih banyak bersentuhan dengan adat istiadat di daerah itu.
Meskipun Hamka terlahir dengan nama Abdul Malik Karim Amrullah di Maninjau,
pada tanggal 16 Februari 1908, tetapi setelah ayahnya mendirikan sekolah
Sumatera Thawalib di Padangpanjang, beliau banyak bersentuhan dengan daerah
Padangpanjang.
Sementara ibu Hamka adalah Siti Shafiyah
Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana
suku ibunya. Rumah tempat Hamka dilahirkan, sekarang diabadikan sebagai Museum
Rumah Kelahiran Buya Hamka. Hanya kadang kala museum selalu diidentikan dengan
benda mati. Sepi pengunjung. Hendaknya dengan berbagai tulisan mengenai
tokoh-tokoh daerah maupun nasional, generasi muda lebih memahami arti museum,
sebagai sebuah tempat di mana sejarah itu awal mulanya ditulis.
Hamka
merupakan cucu dari Tuanku Kisai, memperoleh pendidikan rendah pertama kali di
usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya
mencapai 10 tahun, karena ayahnya mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di
Parabek Padangpanjang, Hamka bersekolah di sekolah itu dan malam hari belajar
agama dengan ayahnya, yang adalah seorang ulama besar tersebut. Sumatera
Thawalib merupakan sekolah agama Islam terkenal, kelanjutan sekolah agama Surau
Djembatan Besi yang didirikan Syekh Abdullah pada masa peralihan ke abad 20.
Guru-gurunya
saat itu merupakan tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Minangkabau, seperti Syekh
Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Saya ingin
mengatakan jika Yogyakarta sering disebut kota pelajar, maka Padangpanjang
sejak awal sudah menjadi kota pelajar. Banyak tokoh terkemuka bangsa Indonesia
berasal dari daerah Padangpanjang.
Hamka
kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang
paling disukainya. Melalui kefasihan bahasa Arab inilah kemudian ia belajar
sendiri (otodidak) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat,
sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan
kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi ini pula, ia dapat menyelidiki karya ulama
dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas
al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,
ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus,
William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan
Pierre Loti.
Padang
Panjang sekarang sudah tentu berbeda ketika Hamka masih kecil. Padang Panjang
sekarang sudah menjadi kota dengan luas wilayah terkecil di Provinsi Sumatera
Barat. Kota ini memiliki julukan sebagai Kota Serambi Mekkah, dan juga dikenal
sebagai Mesir van Andalas. Sementara wilayah administratif kota ini dikelilingi
oleh wilayah administratif kabupaten Tanah Datar.
Kawasan kota ini sebelumnya merupakan bagian
dari wilayah Tuan Gadang di Batipuh. Pada masa Perang Padri kawasan ini diminta
Belanda sebagai salah satu pos pertahanan dan sekaligus batu loncatan untuk
menundukkan kaum Padri yang masih menguasai kawasan Luhak Agam. Selanjutnya
Belanda membuka jalur jalan baru dari kota ini menuju Kota Padang karena lebih
mudah dibandingkan melalui kawasan Kubung XIII di Kabupaten Solok sekarang.
Kota ini juga pernah menjadi pusat pemerintahan sementara Kota Padang, setelah
Kota Padang dikuasai Belanda pada masa agresi militer Belanda sekitar tahun
1947.
Jika
ditelusuri secara kronologis, sejak tahun 1920-an, Hamka sudah menjadi wartawan
di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah. Surat
kabar terakhir, Suara Muhammadiyah karena Hamka sendiri tahun 1925, adalah salah
seorang pendiri organisasi Muhammadiyah di Minangkabau dan kelak mengetuai
Muhammadiyah Cabang Padangpanjang di tahun 1928. Pada tahun 1925 itu juga,
Hamka menjadi anggota Partai Sarekat Islam.
Hamka
baru mulai bekerja pada tahun 1927 (ada juga yang mengatakan tahun 1929)
sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi. Berdasarkan ilmu jurnalistik
yang diperolehnya ditambah kefasihannya berbahasa Arab, Hamka menulis karya
pertamanya dalam bahasa Arab di tahun 1928 dengan judul Khatibul Ummah jilid 1-3.
Buku keduanya berjudul Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abu Bakar Shiddiq), buku
ketiga berjudul Adat Minangkabau dan Agama Islam, buku keempatnya berjudul
Ringkasan Tarikh Umat Islam dan buku kelimanya berjudul Kepentingan Melakukan
Tabligh.
BERGURU KEPADA H.O.S. TJOKROAMINOTO
amka mulai meninggalkan kampung halamannya pada
usia 16 tahun di tahun 1924. Pada waktu itu beliau sudah menjadi anggota
organisasi Muhammadiyah di Padangpanjang dan tertarik dengan Partai Politik
Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, kelak menjadi
mertuanya Bung Karno dan sering disebut sebagai “Guru Para Pendiri Bangsa.” SI
sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang bertujuan melawan dominasi
pedagang Tionghoa.
Pada
tahun 1905, SI ini bernama Serikat Dagang Islam (SDI), tidak berpolitik, hanya
sebuah perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis Haji
Samanhudi di Surakarta (Solo) bertujuan menghimpun para pedagang pribumi Muslim
(khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar
Tionghoa dan pedagang-pedagan asing lainnya. Pada saat itu, pedagang-pedagang
keturunan Tionghoa lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih
tinggi dari pada penduduk pribumi Hindia Belanda. Kebijakan yang sengaja diciptakan
oleh pemerintah Hindia-Belanda agar kaum minoritas Tionghoa bisa dikendalikan
dan kaum mayoritas pribumi tidak memiliki kemampuan mumpuni tapi hal ini
kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran baru di antara
kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
Organisasi
SDI berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan berpengaruh. Terbukti ketika
R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di
Batavia. Kemudian tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam
itu di Buitenzorg (Bogor sekarang). Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.
Kelak
ketika Haji Oemar Said Tjokroaminoto dipilih menjadi pemimpin, mengubah nama
SDI menjadi SI. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam
bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Tujuan SI selain
mengembangkan jiwa dagang, juga membantu anggota-anggota yang mengalami
kesulitan dalam bidang usaha, memajukan pengajaran dan semua usaha yang
mempercepat naiknya derajat rakyat, memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru
mengenai agama Islam dan hidup menurut perintah agama.
Pada
waktu bernama SDI anggotanya terbatas untuk masyarakat Jawa dan Madura saja.
Tetapi setelah Tjokroaminoto memimpin SDI kemudian mengganti nama menjadi SI,
keanggotaannya tidak hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Keanggotaan
SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim dari segala penjuru Nusantara.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi
dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran
pemerintah Belanda.
Seiring
dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum
pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah Belanda memperbolehkan
berdirinya partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan
wakilnya ke Volksraad tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel
Moeis (Abdul Muis) yang juga tergabung dalam CSI menjadi anggota volksraad atas
namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan bukan mewakili Centraal SI
sebagaimana halnya Tjokroaminoto.
Hamka
yang berdarah Minangkabau, pun sebagaimana halnya Abdul Muis yang telah lebih
dulu bergabung dengan SI, sangat tertarik dengan partai politik ini. Apalagi
dengan kehadiran H. Agus Salim, yang juga berasal dari Minangkabau, membuat
Hamka semakin ingin belajar langsung dengan HOS Tjokroaminoto. Memperdalam
pengetahuan agama Islam memang menjadi ciri khas budaya Minangkabau yang
memiliki nilai-nilai falsafah tinggi dan bersifat universal. “Alam takambang
jadi guru”, ujar mereka.
Hamka
di usia 16 tahun, tahun 1924 mulai meninggalkan kampung halamannya untuk
menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad
Rasyid Sutan Mansur yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka
kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang
hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke
Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik ayahnya, Dja’far
Amrullah di Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia
berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya, Ahmad
Rasyid Sutan Mansur.
Di
Yogyakarta tahun 1924 agar bisa belajar dengan HOS. Tjokroaminoto, Hamka
bercerita dia sengaja memalsukan usianya dari 17 menjadi 18 tahun agar bisa
masuk Sarekat Islam saat itu. Soalnya, hanya anggota SI yang boleh mengikuti
kursus agama dua kali seminggu dalam kelas Tjokro. Cerita Hamka ini bersumber
dari pengantar buku Amelz berjudul ‘HOS Tjokroaminoto, Hidup dan
Perdjuangannya’. Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah ketika masih di
Padangpanjang, Hamka sudah masuk SI atau belum. Atau baru di Yogyakarta? Perlu
penelusuran lebih jauh.
Tak
jelas di mana rumah paman Hamka dan di mana tempat mereka biasa mengikuti
kursus bersama Tjokro. Yang dicatat Hamka hanyalah dia terkecil di antara
sekitar 30 peserta kursus. Pengajarnya tiga orang: RM Soerjopranoto, mengajar
sosiologi; H. Fachruddin, membawakan dasar-dasar hukum Islam, dan Tjipto,
memberikan kursus agama Islam dan sosialisme.
“Waktu
itulah saya mulai mengenal komunisme, socialisme, nihilisme. Waktu itulah mulai
mendengar nama Karl Marx, Engels, Proudhon, Bakunin, dan lain-lain,” tulis
Hamka.
CATATAN SINGKAT TENTANG GURU HAMKA
aji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, siapakah
sebenarnya guru Hamka ini? Tjokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, pada 16
Agustus 1882 dan berasal dari keluarga bangsawan. Tetapi pada saat bersamaan,
dia memprotes atribut-atribut feodalisme, seperti menyimpan gelar Raden,
memprotes laku ndodok—berjalan jongkok di depan bangsawan.
Tjokroaminoto
menuntut kesetaraan bangsa Hindia Belanda, sehingga menyeru pengikutnya
mengenakan “pakaian Eropa”, sebagai lambang “pribumi sama-sama manusia seperti
orang Belanda”.
Pada
tahun 1914, Tjokroaminoto menulis sajak di ‘Doenia Bergerak’ menggambarkan
bagaimana keadaan bangsa Indonesia pada waktu itu:
Lelap
terus, dan kau pun dipuji sebagai bangsa terlembut di dunia.
Darahmu dihisap dan dagingmu dilahap sehingga hanya kulit tersisa.
Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau?
Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya.
Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena
tidak mau ditindas.
Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula.
Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain menegurmu
dalam bahasa ngoko.
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.
Adalah
Soekarno, Proklamator dan Presiden RI Pertama - waktu itu masih bernama Kusno
Sosrodihardjo—menjadi anak kos istimewa di rumah Tjokro di Gang Peneleh VII,
Surabaya. Selanjutnya kelak menjadi menantu Tjokro. Ada sepuluh anak kos lain
di rumah itu. Di meja makan rumah Gang Peneleh itulah, ilmu pergerakan modern
ditularkan Tjokroaminoto kepada Alimin, Musso, Soekarno, dan belakangan
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam di masa tua.
Hamka
menggambarkan gurunya, HOS Tjokroaminoto: “Badannya sedikit kurus, tapi matanya
bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh
keagungan, sehingga, walaupun beliau tidak memedulikan lagi titel Raden Mas
yang tersunting di hadapan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap
membawa kebesaran dan kehormatan.”
Bagi
kalangan intelektual Minangkabau, Tjokroaminoto bukan nama yang asing. Selama
mengajar Hamka dan kawan-kawan, Tjokro selalu meminta ruangan luas. Tjokro tak
mau terikat mimbar sempit. Ia menerangkan pelbagai hal sosialisme dalam Islam
dan keadaan politik dalam negeri. Hamka menilai Tjokro sebagai orator dan
agitator yang layak di tempat lebih besar, bukan hanya di ruangan kelas.
“Suaranya lantang besar, memancar dari sinar jiwa dan sanubarinya,” kata Hamka.
Tetapi
sifat gagahnya hilang ketika Soekarno mengembalikan anaknya Oetari ke
pangkuannya. Tjokroaminoto hanya diam, entah apa yang ada dalam benaknya. Hanya
Allah SWT yang tahu. “Pak Tjokro hanya mengangguk diam tanpa menanyakan
persoalan-persoalan pribadi,” ujar Soekarno di dalam buku biografinya yang
ditulis Cindy Adams.
Sakit
ginjal dan maag kronis akhirnya merenggut hidup Tjokro pada 17 Desember 1934.
Tjokro menghembuskan napas terakhir di pangkuan Resoramli, yang menungguinya
bersama Jumarin - kader PSII yang asli Padang - dan Rostinah, istri kedua
Tjokro setelah istri pertamanya meninggal. Dalam obituari pada 18 Desember
1934, Pewarta Soerabaya menulis istri kedua Tjokro adalah artis sebuah kelompok
wayang orang. Tjokro bertemu dengan istri keduanya di Pakualaman. Dia pesinden
asli Yogyakarta. Tetapi mereka tidak dikaruniai anak.
Sebelum
meninggal, Tjokro merasa prihatin bahwa Partai Sarekat Islam (SI) pecah menjadi
dua pada saat-saat berkembang pesat. SI disusupi paham sosialisme revolusioner.
Paham ini disebarkan H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV
(Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV
sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut
tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh
orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan
taktik infiltrasi yang dikenal sebagai “Blok di Dalam”, mereka berhasil
menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela
rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan
usaha yang tekun, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti
Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI
pecah menjadi “SI Putih” yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan “SI Merah”
yang dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Kembali
nama-nama Minangkabau tersebar contohnya Tan Malaka, menunjukkan bahwa orang
Minangkabau tersebar di mana-mana dalam berbagai aliran politik. Di dalam
pemerintahan Soekarno malah ada yang menyebutnya: “Kabinet Minangkabau,” karena
banyaknya suku tersebut melingkari pemerintahan.
SAYA MARAH HAMKA DIBILANG PLAGIATOR
etika saya melihat buku “Aku Mendakwa Hamka
Plagiat – Skandal Sastra Indonesia 1962-1964, yang terbit bulan September 2011
setebal 238 halaman, penerbit Seripa Manent & Merakesumba, saya langsung
membacanya. Saya tidak mengerti mengapa buku ini diterbitkan. Apa maksud
penulis Muhidin M. Dahlan mengungkapkannya lagi di hadapan khalayak. Saking
memendam amarah, saya mengatakan tidak seorang pun mengenal siapa sebenarnya di
penulis tersebut, karena identitasnya tidak ada bahkan banyak di antaranya
meraba-raba siapa Muhidin M. Dahlan. Menurut saya ini sudah merupakan kelemahan
dari sebuah buku. Tidak ada tanggung jawab di dalamnya.
Ternyata
tulisan saya di facebook itu hanyalah sebuah pancingan atau sebuah trik, karena
saya menganggap apa manfaatnya buat generasi muda mengungkit kembali hal-hal
yang masih abu-abu di masa itu. Belum jelas dan masih dalam polemik. Ternyata
dugaan saya benar, dan kemudian barulah saya menulis untuk kedua kalinya
berjudul: “Inilah Inti Tulisan Tentang Hamka.”
Trik-trik
seperti ini saya pelajari dari Burahanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) ketika saya
menulis buku beliau “Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati
Zaman (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), mengatakan: “Bung Dasman, jika ingin
mengetahui siapa lawan kita sebenarnya, biarkan dia ke luar dulu dari
sarangnya.” B.M. Diah adalah tokoh pers, diplomat dan pada malam 17 Agustus
1945 ikut hadir bersama Bung Karno-Hatta menyaksikan penyusunan naskah
proklamasi di Rumah Laksamana Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang. Beliau juga
berpengalaman berpolemik antara surat kabarnya Harian Merdeka dengan Harian
Rakjat, Juni-Juli 1964.
Harian
Merdeka merupakan Koran Perjuangan lahir 1 Oktober 1945 dan sangat anti Partai
Komunis Indonesia (PKI). Hamka pernah menjadi koresponden Harian Merdeka.
Sementara Harian Rakjat lahir pada 1951, media resmi Partai Komunis Indonesia
itu berkantor di Jalan Pintu Besar Nomor 93, Jakarta, dengan direksi/penanggung
jawab/redaksi Mula Naibaho. Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin
redaksi media ini dan Supeno, menjadi anggota dewan redaksinya. Njoto sering
menulis editorial, pojok atau kolom.
Buku
tulisan Muhidin M. Dahlan ini hanya mengulang peristiwa bulan September 1962
yang menuduh Hamka sebagai plagiat dalam novelnya “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” (1938) dan sudah dicetak sebanyak 80 ribu eksemplar. Hamka dituduh
melakukan plagiat dari novel “Magdalena” yang merupakan saduran penyair Mustafa
Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang Perancis
Alphonse Karr, “Sous les Tilleuls”.
Saya
menulis lagi: “Perlu kita pahami polemik di sekitar tahun itu (1962-1964) tidak
murni lagi polemik sebagaimana seorang ilmuwan. Polemik sudah mengarah ke
fitnah, adu domba, sebagaimana sifat warga komunis di Indonesia yang benci dengan
Islam. Perlu diketahui bahwa Hamka seorang Muslim sejati. Tidak hanya itu, PKI
juga waktu itu menginginkan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan.
Jadi persoalannya bukan sebatas dunia sastra, tetapi sudah mengarah ke
perbedaan yang amat jelas antara PKI dan Islam. Jadi tidak ada yang baru dengan
buku ini, polemik ini sudah dihentikan di saat-saat pecahnya Pemberontakan PKI
tahun 1965. Saya sependapat dengan pernyataan H.B. Jassin: “Pada Hamka ada
pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot dan buah pikiran,
tapi jelas Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri…
maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki
tukang copet di Senen.”
Jassin
juga menegaskan bahwa novel Tenggelamnya Van Der Wijck membahas masalah adat
Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar. Kritikus
sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.
Awal
tahun 1963, dunia sastra kita memang digemparkan oleh dua surat kabar Harian
Ibukota: Harian Rakjat dan Harian Bintang Timur. Kedua koran milik Komunis ini
menyiarkan di halaman pertama dengan berita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
hasil jiplakan oleh pengarang Hamka”. Ulasan berita itu dilansir oleh seorang
penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di harian Bintang Timur dalam
lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan
asli dari pengarang Alfonso Carr, pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh
oleh Pramudya Ananta Toer.
Dalam
buku “Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka,” yang ditulis oleh puteranya Hamka,
dinyatakan:
“Berbulan-bulan lamanva kedua koran komunis ini
menyerang ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah, juga menyerang secara
pribadi. Aku lihat ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki
Panji Kusmin dan Pramudya Ananta Tur itu. Penulis waktu itu sekolah di SMAN IX
merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra lndonesiaku seorang guru PGRI Vak
Sentral begitu pula dengan guru civicku dengan gaya mengejek selalu menanyakan
kesehatan ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua
guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang
lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis.”
Selanjutnya
Irfan Hamka menulis: “PKI melakukan usaha kudeta tanggal 30 September 1965
namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI.
Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku itu diberhentikan sebagai guru
dan pegawai negeri, dan Pramudya Ananta Tur ditahan di Pulau Buru.
Bertahun-tahun kemudian Pramudya Ananta Tur dibebaskan, kemudian melakukan
kegiatan lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah
bosan menyerang ayah di kedua koran Komunis itu. Suatu hari, ayah kedatangan
sepasang tamu. Si perempuan orang pribumi, sedang laki-lakinya seorang
keturunan Cina. Kepada ayah si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti,
sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika
Astuti menyatakan bahwa dia anak sulung Pramudya Ananta Tur. Astuti menemani
Daniel menemui ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam. Selama
ini Daniel non muslim. Pramudya tidak setuju anak perempuannya yang muslimah
nikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan beragama lain.”
“Hanya
sebentar ayah berpikir. Tanpa ada sedikitpun keraguan permohonan kedua tamu itu
dikabulkan oleh ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramudya Ananta Tur langsung
diislamkan oleh ayah dengan menuntunnya membaca dua kalimat syahadat. Ayah
menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama
Islam kepada ayah. Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramudya dan calon
menantunya itu ayah tidak ada sama sekali berbicara masalah Pramudya dengan
ayah yang pernah terjadi berselang lama waktu itu. Ayah betul-betul telah
dihancurkan nama baiknya oleh Pramudya Ananta Tur melalui corong Komunis di
Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.”
Kembali Irfan Hamka menulis: “Salah seorang
teman Pramudya bernama Dr. Hudaifah Kuddah menanyakan kepada Pramudya alasan
tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram
menjawab: “Masalah paham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah
harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon
menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka. Dialah seorang
ulama yang terbaik.”
Menurut
Dr. Hudaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak
langsung tampaknya Pramudya Ananta Tur dengan mengirim calon menantu ditemani
anak perempuan seakan minta maaf atas perilakunya memperlakukan ayah di Harian
Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula ayah memaafkan
Pramudya Ananta Tur dengan bersedia mengislamkan dan memberi pelajaran agama
Islam kepada sang calon menantu.
HAMKA DAN NATSIR
erjuangan Hamka terhadap bangsa dan negaranya,
tidak ada bedanya dengan perjuangan Soekarno, Hatta, Sjahrir dan para pejuang
kemerdekaan lainnya. Hanya karena lahir di lingkungan yang taat pada Agama
Islam, sehingga apa yang diperjuangkannya sesuai dengan syariat-syariat Islam.
Selama
pendudukan Jepang, Hamka sudah mempertahankan bangsa ini melalui Majalah
‘Semangat Islam’ yang terbit di tahun 1943. Juga melalui pidato-pidato dan ikut
bergerilya di hutan-hutan Sumatera Timur. Setelah kemerdekaan, Hamka pun gigih
membantu menentang agar Belanda tidak kembali menjajah Indonesia. Tahun 1947
diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia.
Di
dalam Islam memang telah dulu diajarkan mengenai cinta kepada tanah air. Di
dalam bahasa Arab sering kita jumpai kalimat-kalimat yang mengarahkan ke sana,
salah satunya kalimat yang artinya, “Apabila engkau ingin mengenal pribadi
seseorang, maka perhatikan bagaimana kecintaan dan kepeduliannya kepada tanah
air tumpah darahnya.” Juga di dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 126, Allah
berfirman: “Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim a.s., berdoa, ‘Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan
hari kemudian.”
Dalam
ayat ini jelas menunjukkan bagaimana wujud cinta Nabi Ibrahim kepada tanah
airnya dengan mendoakannya dalam tiga hal: ● Menjadi negeri yang aman sentosa; ●
Penduduknya dilimpahi rezeki; ● Dan penduduknya beriman kepada Allah dan hari
akhir. Tidaklah Nabi Ibrahim as
mendoakan seperti itu kecuali di hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap
negerinya.
Di
dalam perjuangan, Hamka telah memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Itu
sebabnya beliau menjadi anggota Sarekat Islam, Muhammadiyah dan terakhir
memasuki Partai Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah
satu partai politik yang bernapaskan Islam. Hamka menganut paham Nasionalis-Agamis.
Hal ini bisa dilihat dari novel-novelnya yang ditulisnya seperti “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk,” terlihat jelas suatu tema bahwa bangsa-bangsa di Indonesia
adalah sederajat, Bugis dan Minangkabau, bagaimana konflik itu diselesaikan secara
religius. Kehadiran tokoh Zainuddin, agaknya sebuah simbol kehadiran Indonesia.
Jadi kalaulah harus berbicara nasionalisme, nasionalisme Hamka tidak fanatik
atau chauvinistic.
Memang
dalam masa-masa perjuangan, waktu Hamka banyak tersita, sehingga beliau kembali
aktif menulis buku setelah kemerdekaan Indonesia. Dia berhasil menulis beberapa
buku dan juga mendirikan majalah baru ‘Menara’. Buku-buku yang tulisnya ‘Negara
Islam’ (1946), ‘Islam dan Demokrasi’ (1946), ‘Revolusi Pikiran’ (1946),
‘Revolusi Agama’ (1946), ‘Muhammadiyah Melalui 3 Zaman’ (1946), ‘Adat
Minangkabau Menghadapi Ombak’ (1946), ‘Didalam Lembah Cita-Cita’ (1946),
‘Sesudah Naskah Renville’ (1947), ‘Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret’
(1947), dan ‘Menunggu Beduk Berbunyi’ (1949). Tahun 1947 Hamka dipercaya
sebagai anggota Konstituante unsur Masyumi.
Suatu ketika Hamka menghadapi dilema ketika
harus memilih jalan hidup sebagai Pegawai Tinggi Agama yang telah diangkat oleh
Menteri Agama Indonesia atau tetap sebagai politikus Masyumi. Akhirnya Hamka
memilih meninggalkan jabatan sebagai Pegawai Tinggi Agama dan lebih memilih
sebagai politikus Masyumi.
Di
awal-awal kemerdekaan merupakan awal mencari jati diri bangsa. Hendak kemana
bangsa ini diarahkan, karena Indonesia baru saja merdeka. Kemudian apakah
Indonesia didirikan atas kerajaan, republik dan menganut ajaran-ajaran Islam,
kebangsaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak mengherankan
perdebatan-perdebatan ideologis terjadi ketika berlangsung sidang Konstituante
untuk merumuskan Undang-Undang Dasar Baru sejak 10 November 1956. Anggota
sidang diwarnai oleh anggota-anggota partai yang menang dalam Pemilihan Umum
(Pemilu) Pertama di Indonesia tanggal 29 September 1955. Hasil Pemilu yang baru
diumumkan tanggal 1 Maret 1956 menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
semula tidak diperhitungkan, berhasil menduduki posisi ke empat dalam jumlah
pengumpulan suara untuk Parlemen (DPR). Posisi pertama diraih Partai Nasional
Indonesia (PNI) dengan jumlah suara 22,1%, Masyumi, 20,9% persen, NU, 18,4% dan
PKI, 16,3%.
Berbicara
mengenai Masyumi, berbicara kedekatan Hamka sebagai anggota dengan Ketua Umum
Masyumi, Mohammad Natsir yang sama-sama anggota Konstituante dan sama-sama
berasal dari Sumatera Barat. Keakraban ini bisa kita saksikan setelah Hamka
pada 13 November 1957 mendengar uraikan pidato Natsir yang menawarkan dengan
tegas kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai Dasar Negara RI,
Hamka langsung menulis puisi khusus untuk Natsir:
KEPADA
SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun
bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu…!
Demikianlah
sekelumit kisah perjalan hidup bersosial-kemasyarakat Buya Hamka pada zaman
dimana beliau hidup. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □□□