KATA PENGANTAR
pa yang dimaksud dengan sejarah? Secara
umum, pengertian sejarah adalah
suatu peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lalu dan dapat
diketahui melalui peninggalan-peninggalan archeology
(seseorang yang mempelajari sejarah
manusia dan prasejarah melalui penggalian situs dan analisis artefak dan fisik
lainnya pada masa itu), catatan-catatan tertulis
dan foto-foto serta gambar-gambar perjalanan atau peristiwa-peritiwa suatu bangsa.
Definisi sejarah dapat juga diartikan
sebagai suatu cabang ilmu yang melakukan kajian secara sistematis mengenai
seluruh perkembangan proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat yang
terjai di masa lalu.
Dalam sejarah, ada 3 aspek yang saling
melengkapi satu dengan yang lainnya, yaitu: Masa Lalu,
yaitu gambaran mengenai kehidupan manusia dan kebudayaannya di masa
lampau. Melalui gambaran masa lalu maka generasi berikutnya akan dapat
merumuskan hubungan sebab akibat terjadinya suatu peristiwa. Dan tidak semua
peristiwa atau kejadian dapat tercatat dalam sejarah. Masa Kini,
yaitu masa dimana manusia mengalami masa yang terbaru dan merupakan masa
yang sangat penting karena dapat menentukan masa depan. Manusia di masa
kini memakai sumber pemahaman dari peristiwa di masa lalu sebagai cerminan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masa Depan,
yaitu masa yang akan datang dimana segala sesuatu itu belum terjadi, dan
segala sesuatu yang dilakukan pada masa kini akan mempengaruhi masa depan.
Sejarah bukan terjadi dengan dengan sendirinya, melainkan dibuat oleh para
pelaku sejarah dalam suatu peridode masa tertentu.
Pembahasan tajuk seperti diatas dibagi
dalam 5 pasal sebagai berikut (1)
Kewaspadaan Dalam Menjalani Sejarah; (2) Sejarah Jatuhnya Suatu Peradaban;
(3) Mengubah Jalannya Sejarah; (4) Kesimpulan; (5) Penutup.
BELAJAR DARI TERJADINYA SEJARAH
Oleh: A. Faisal Marzuki
“innallāha
lā yughoyyiru mā biqaumin hattā yughayyirū mā bianfusihim” Artinya: Sesungguhnya
Allah Tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (bangsa) sebelum mereka (bangsa
itu) mengubah keadaan diri mereka (anak-anak bangsa itu) sendiri
(melakukannya). [QS Ar-Ra’d 13:11]
“lahā
mā kasabat wa 'alaihā maktasabat.” Artinya: Dia (manusia) mandapat (pahala,
kebahagian hidup) dari kebajikan yang dikerjakan - sebagai agents of development, dan sebagai agents of change, dan dia (manusia) mendapat (dosa, kesengsaraan
hidup) dari (kejahatan, kerusakan) yang diperbuatnya. [QS Al-Baqarah 2:286]
Perkembangan
sejarah masa berikutnya tergantung kepada bagaimana generasi pelanjut
mempersiapkannya.
KEWASPADAAN DALAM MENJALANI SEJARAH
asulullah SAW
bersabda yang artinya: "Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan
dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar
ma'ruf nahi munkar (agent of developments
dan agent of changes), maka akan
diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah
mereka dalam pandangan Allah."
"Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok
mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan
mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang
sedikit pada hari itu?" Nabi SAW
menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas),
tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah
mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan
menanamkan penyakit "al wahnu".
Seorang bertanya, "Apakah al-wahnu
itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut
mati." (HR Abu Dawud).
Beberapa ayat al-Qur'an memberikan penjelasan
tentang kehancuran suatu bangsa. Penjelasan al-Qur’an ini sangatlah penting
untuk menjadi pelajaran, khususnya bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak
mengulang kembali tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang
dapat menghancurkan peradaban mereka.
Allah SWT
berfirman yang artinya: "Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan
bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi.
Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena
perbuatan mereka sendiri" (QS Al A'rāf 7:96)
Maka apabila mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan
untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba
(sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS Al-An'ām 6:44).
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka
sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS Al-Isrā' 17:16)
Ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan
tentang kehancuran suatu negeri itu bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum
berhubungan dengan hal-hal: (1) sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa diri dan
hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi kesenangan
(hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Qur'an surat At-Taubah ayat 24.
(2) tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT dan membuat kerusakan di muka bumi.
Apabila di dalam suatu peradaban sudah tampak dominan adanya para pembesar,
tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup mewah, atau siapa pun saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu
sudah dekat.
Akan tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari
kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran
iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman
kepada Allah SWT sudah rusak, maka
secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT Rasulullah SAW berkata yang artinya: "Apabila perzinahan dan riba sudah
melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab
Allah atas mereka sendiri." (HR Thabrani dan al-Hakim).
Dalam hal ini pengertiannya adalah adalah
sebagai kisah nyata sebagai berikut: Suatu waktu datanglah Tan Malaka tokoh di
Sumatera Barat yang ikut merintis perjuangan Kemerdekaan Indonesia dari tangan
Hindia Belanda. Tahun 1940-an menyisiplah beliau dari perjalanan luar negerinya
ke kota Padang memasuki rumah seorang tokoh perjuangan perintis kemerdekaan -
Marzoeki Jatim atau ditulis juga dengan ejaan baru Marzuki Yatim.
Yang satu Tan Malaka seorang Muslim partainya
Murba aliran pemikiran kebangsaannya menggunakan Karl Marx dan Friederich
Engels (Materialisme Dialektika Logika- Madilog).
Marzuki Yatim seorang Muslim aliran pemikiran kebangsaannya Islam
dari organisasi Muhammadiyah.
Bertanyalah
Tan Malaka kepada Marzuki Yatim: “Dia (perempuan) suka Saya, kenapa agama Islam
melarangnya. Sama-sama suka (tidak dipaksa) - tanpa nikah. Pendek saja jawaban
Marzuki Yatim: “Kalau sistim ini di berlakukan untuk umum, seluruhnya berbuat
seperti itu - tanpa nikah, dimana tanggung jawab nafkah hidup seperti makan dan
minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan perkembangan jiwa
anak menjadi tanggung jawab orang tua - bagaimana jadinya (peradaban) dunia?” “Oh
Angku Marzuki, sudah saya cukup mengerti sekarang, terima kasih atas jawabannya”
Kata Tan Malaka, kemudian Tan Malaka pamit.
SEJARAH JATUHNYA SUATU PERADABAN
alam sejarah manusia, berbagai kehancuran
peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan kaum Muslimin agar
mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut.
"Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hasilnya
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah SWT) (QS An-Nahl 16:36)
Sebagai misal, Kaum 'Ad, telah dihancurkan oleh
Allah SWT karena berlaku takabbur dan
merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tidak ada lagi yang dapat
mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: "Siapa yang lebih hebat
kekuatannya dari kami?" (QS Fushshilat 41:15). Begitu juga kehancuran yang
menimpa Fir'aun, Namrudz, dan sebagainya.
Di masa Rasulullah SAW, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat
daripada kaum kuffar, hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain (QS At-Taubah 9:25).
Sejarah juga mencatat, bagaimana Peradaban Islam
di Spanyol yang sangat agung dan sudah bertahan selama 800 tahun (711-1492)
dapat dihancurkan dan akhirnya kaum Muslimin dimusnahkan dari bumi Spanyol.
S.M. Imamuddin menyebutkan beberapa faktor penyebab kehancuran peradaban Islam
di Spanyol. Yang terpenting adalah adanya perpecahan dan kecemburuan antar
suku. Bahkan ada beberapa penguasa Muslim di Spanyol, seperti Ma'mun dari
Toledo dan Dinasti Nasrid, mendapatkan kekuasaan dengan bantuan kekuatan
Kristen untuk menghancurkan kekuatan Muslim lainnya. [2] Sejarah jatuhnya
Palestina ke tangan Zionis Yahudi juga boleh dijadikan pelajaran bagi kaum
Muslimin. Bagaimana suatu kaum Yahudi yang minoritas dari segi jumlah tetapi
dapat mengalahkan kaum Muslim yang mayoritas.
Kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri,
bangsa, dan peradaban, inilah yang sepatutnya direnungkan secara mendalam dan
sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama dan cendekiawan Muslim
di wilayah Peradaban Melayu dan Nusantara. Apakah gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau
peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an dan pernah terjadi dalam
sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah peradaban Melayu dan Nusantara? Kalau
gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara menghindarkannya?
MENGUBAH JALANNYA SEJARAH
ang jelas, jatuh bangunnya suatu peradaban, pada
dasarnya tergantung pada kondisi manusia-manusia dalam peradaban itu sendiri.
Kekalahan dan kehancuran suatu peradaban adalah disebabkan oleh tindakan mereka
sendiri, yang menciptakan "kondisi layak kalah" (al-qabiliyyah lil-hazimah). Allah SWT menegaskan yang artinya: "Yang demikian itu karena Allah sekali-kali
tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." (QS
al-Anfāl 8:53).
Sebuah buku yang bertajuk “Hakadza Zhahara Jīlu
Shalahuddin wa Hakadza 'Ādat al-Quds” karya Dr. Majid Irsan al-Kilani
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. [2] Buku ini menarik, terutama dari sudut
pandang kebangkitan sebuah peradaban. Penerjemah buku ini, yang merupakan
alumni Universitas Islam Madinah, menceritakan, bahwa dosen pembimbing mereka,
Dr. Ghazi bin Ghazi al-Muthairi, adalah yang mengenalkan dan meminta mereka
membaca buku ini.
Buku ini menceritakan bagaimana kaum Muslimin
mampu bangkit dari keterpurukan selama sekitar 50 tahun. Titik balik Perang
Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah
komandan Imam al-Din Zanki, ayah Nur al-Din Zanki. Dua tahun sesudah itu, Zanki
wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk
memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih
kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria
di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat
religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur
al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang
kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal
sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. [3]
Tahun 1095 Perang Salib dimulai. Tahun 1099,
Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Meskipun memiliki negara dan pemimpin
(khalifah), umat Islam berada dalam kondisi yang sangat terpuruk. Sekitar 88
tahun kemudian tampillah pahlawan Islam terkenal, Shalahuddin al-Ayyubi, yang
berhasil membebaskan kembali al-Aqsha dari kekuasaan pasukan Salib, pada tahun
1187. Buku ini memaparkan data-data, bahwa Shalahudin bukanlah pemain tunggal
yang "turun dari langit". Tetapi, dia adalah produk sebuah generasi
baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama yang hebat. Dua ulama besar yang
disebut berjasa besar dalam menyiapkan generasi baru itu adalah Imam al-Ghazali
dan Abdul Qadir al-Jilani.
Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani, dalam
melakukan upaya perubahan umat yang mendasar, al-Ghazali lebih menfokuskan pada
upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah,
al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha
mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh.
Menurut al-Ghazali, masalah yang
paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum Muslim yang berkaitan
dengan aqidah dan cara berfikir hidup kemasyarakatannya. Al-Ghazali tidak menolak perubahan pada aspek
politik dan militer, tetapi yang dia tekankan
adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan pemikiran, akhlak, dan
perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk
itu, al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu,
kemudian baru mengubah orang lain. Kata penulis buku ini.
"Al-Ghazali lebih menfokuskan usahanya
untuk membersihkan masyarakat muslim dari berbagai penyakit yang
menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum Muslim agar mampu
mengemban risalah Islam kembali sehingga dakwah Islam merambah seluruh pelosok
bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh." [4]
Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah
merenungkan kondisi umat secara mendalam, al-Ghazali sampai pada kesimpulan
bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan
keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal dia beri nama Ihya'
Ulumuddin. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum
Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad
al-nafs (jihad melawan hawa nafsu sendiri) dan jihad melawan musuh dalam
bentuk 'qital' (qital dalam Al-Qur'an lebih banyak berarti peperangan dalam arti
fisik, ketika umat Islam diserang atau terdesak, mereka diharuskan untuk
mempertahankan diri dengan cara qital, berperang semaksimal dan seprofesional
mungkin) dengan baik.
Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan
pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik
potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi
perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara
komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga
menekankan pentingnya masalah ilmu dan akhlak.
Ia membuka Kitabnya itu dengan "Kitabul
Ilmi" dan sangat menekankan pentingnya aktivitas 'amar ma'ruf nahi
munkar'. Aktivitas "amal ma'ruf dan nahi munkar", kata al-Ghazali,
adalah kutub terbesar dalam urusan agama - 'amar ma'ruf (agents of
development), nahi munkar (agents of changes). Ia adalah sesuatu yang
penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas
'amar ma'ruf nahi munkar' hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi
rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa.
Begitu juga umat secara keseluruhan. [5]
Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan
kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan
umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan
ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat
Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan
saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu
diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar. Tentu, tahap kebangkitan dan
pembenahan jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang
benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan
menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah
akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana
mungkin amal akan benar?
Rasulullah SAW bersabda: "Termasuk diantara
perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim
(dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Qur'an." (HR
Thabrani dan Ibn Hibban).
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan
pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat
Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan,
moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan
secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu
juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya' Ulumuddin,
dengan makna "Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama". Ketika itu, dia
seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu
dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian
keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.
Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha
keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada
pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang
jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan
bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad SAW
memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus
mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan,
Rasulullah SAW mengingatkan akan
datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil
yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah SAW yang
artinya:
Bahwasanya
Allah SWT tidak akan mencabut ilmu
dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan
mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan
memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu
ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan
menyesatkan. (HR Muslim).
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati
sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan
ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su', atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang
keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan
yang kuat, secara ilmiah. Karena itulah, kerusakan dalam bidang keilmuan harus
mendapatkan perhatian dari umat Islam. Apalagi jika kerusakan ilmu itu terjadi
di jajaran lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diharapkan menjadi pusat
perkaderan ulama dan pemimpin umat. [6]
KESIMPULAN
ari hasil kajiannya terhadap gerakan kebangkitan
umat di era Perang Salib, Dr. al-Kilani menyimpulkan, bahwa yang pertama kali
harus dilakukan adalah perubahan dalam diri manusia itu sendiri. Firman Allah SWT menyebutkan yang artinya: "Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah kondisi yang ada pada satu kaum, sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS Ar-Ra'd 13:11).
Nabi SAW
juga menyatakan yang artinya: "Sesungguhnya di
dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh
anggota tubuh. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh.
Ketahuilah, itu adalah qalb." (HR Muslim).
Era kejayaan dan kekuatan sepanjang sejarah
Islam tercipta ketika terjadi kombinasi dua unsur, yaitu
unsur keikhlasan dalam niat dan kemauan serta
unsur ketepatan dalam pemikiran dan perbuatan. [7]
Jika strategi ini direfleksikan dalam perjuangan
umat Islam Indonesia, maka sudah saatnya umat Islam Indonesia melakukan
introspeksi terhadap kondisi pemikiran dan moralitas internal mereka, terutama
para elite dan lembaga-lembaga perjuangannya. Harus dilakukan evaluasi total
terhadap kondisi internal umat Islam, khususnya mendiagnosa penyakit yang
sangat membahayakan umat dan telah menghancurkan umat terdahulu, yaitu sikap hubbud dunya, fanatisme kelompok, dan kerusakan ilmu.
Introspeksi dan koreksi internal ini jauh lebih
penting dilakukan dibandingkan meneliti kondisi faktor eksternal, sehingga
'kondisi layak terbelakang dan kalah' (al-qabiliyyah
lit-takhalluf wa al-hazimah) bisa dihilangkan.
Kita bisa melakukan evaluasi internal, apakah
para elite dan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah menerapkan
profesionalitas dalam pendidikan mereka? [8] Apakah tradisi ilmu dalam Islam
sudah berkembang di kalangan para profesor, dosen-dosen, dan guru-guru bidang
keislaman? Apakah konsep ilmu dalam Islam sudah diterapkan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam? [9] Apakah para pelajar mencari ilmu untuk mencari dunia atau
untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah? Apakah budaya kerja keras dan sikap
'zuhud' terhadap dunia sudah diterapkan para elite umat? Apakah ashabiyah
(fanatisme kelompok) masih mewarnai aktivitas umat? Pada tataran keilmuan, bisa
diteliti, apakah sudah tersedia buku-buku yang mengajarkan Islam secara benar
dan bermutu tinggi pada setiap bidang keilmuan?
Semua ini membutuhkan kerja yang berkualitas,
kerja keras, kesabaran, ketekunan, kerjasama berbagai potensi umat, dan waktu
yang panjang. Karena itu, disamping berbicara tentang bagaimana membangun masa
depan Indonesia yang ideal, yang penting dilakukan adalah bagaimana membenahi
kondisi internal umat Islam dan lembaga-lembaga dakwahnya, agar menjadi
sosok-sosok dan lembaga yang bisa diteladani oleh umat manusia.
Jadi, tugas umat Islam bukan hanya menunggu
datangnya pemimpin yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan. Umat Islam
dituntut untuk bekerja keras dalam upaya membangun satu generasi baru yang akan
melahirkan pemimpin-pemimpin berkualitas 'Salahuddin al-Ayyubi'. Dan ini tidak
mungkin terwujud, kecuali jika umat Islam Indonesia – terutama lembaga-lembaga
dakwah dan pendidikannya – amat sangat serius untuk membenahi konsep ilmu dan
para ulama atau cendekiawannya. Dari sinilah diharapkan lahir satu generasi
baru yang tangguh (khaira ummah): berilmu tinggi dan beraklak mulia, yang mampu
membawa panji-panji Islam ke seluruh penjuru dunia.
PENUTUP
ika generasi baru - seperti yang dimaksudkan
dalam tulisan ini - telah lahir, maka akan lahirlah sebuah peradaban baru,
sebagaimana pernah terjadi di masa-masa lalu. Yaitu terjadinya bentuk peradaban
yang “Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofūr”, dari firman
Allāh Subhānahu wa Ta’ālā ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu
itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat
yang mereka terima, [10] insyā
Allāh. Wallāhu A'lam. Billāhit taufiq wal-Hidāyah. □ AFM
CATATAN KAKI:
[1] S.M. Imamuddin, A Political History of
Muslim Spain, (Pakistan: S.M. Shahabuddin,1969), 321-323.
[2] Judul dalam bahasa Indonesia adalah Misteri
Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah
Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina (diterjemahkan oleh
Asep Sobari Lc dan Amaluddin, Lc, MA). (Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, 2007).
[3] Lihat juga Carole Hillenbrand, The
Crusades: Islamic Perspectives, (Edinburg:Edinburg University Press, Ltd.,
1999), 112-131. Hillenbrand mencatat tentang diskursus "the greater
jihad" (jihad al-nafs) di masa Perang Salib: "The concept of the
spiritual struggle, the greater jihad, was well developed by the time of the Crusade
and any discussion of jihad in this period should always take into account the
spiritual dimension without which the military struggle, the smaller jihad, is
rendered hollow and without foundation." The twelfth-century mystic 'Ammar
al-Bidlisi (d. between 590 and 604/1194 and 1207) analyzed the greater jihad,
declaring that man's lower soul (nafs) is the greatest enemy to be
fought." Abu Shama speaks of Nur al-Din in just these terms: "He
conducts a double jihad against enemy and against his own soul." (hal.
161).
[4] Al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan
Kemenangan Perang Salib, hal. 78-79. Dalam bukunya, al-Kilani mengutip Ibn
Katsir dalam Bidayah wal-Nihayah, yang menggambarkan parahnya kondisi umat
Islam saat itu. Umat dicekam penyakit ashabiyah (fanatisme mazhab) yang parah,
kerusakan pemikiran, dan gaya hidup mewah pada kalangan elite. Gubernur Abu
Nashr Ahmad bin Marwan, seorang gubernur ketika itu, mengucurkan anggaran
200.000 dinar dalam setiap acara hiburan yang digelarnya. Tahun 516 Hijriah,
saat Menteri Sultan al-Mahmud terbunuh, bertepatan dengan saat istrinya keluar
dari rumah dengan diiringi 100 pelayan dan kendaraan-kendaraan terbuat dari
emas. Padahal, pada saat yang sama, banyak rakyat yang menderita kelaparan.
Ketika pasukan Salib membantai puluhan ribu kaum Muslim, sebagian ulama
berusaha menggelorakan semangat jihad kaum Muslim, tetapi gagal. Ada cerita
yang menyebutkan, sebagian pengungsi membawa tumpukan tulang manusia, rambut
wanita, dan anak-anak, korban kekejaman pasukan Salib, kepada khalifah dan para
sultan. Ironisnya, Khalifah justru berkata: "Biarkan aku sibuk dengan
urusan yang lebih penting. Merpatiku, si Balqa', sudah tiga hari menghilang dan
aku belum melihatnya." (hal. 49-65).
[5] Allah SWT berfirman, yang artinya:
"Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu." (QS al-Maidah: 78-79). Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar
diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah saw
juga memperingatkan: "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara
mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu,
melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya."
(HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). Juga, sabda beliau saw:
"Hendaklah kamu menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar, atau Allah akan
memberikan kekuasaan atasmu kepada orang-orang jahat diantara kamu, dan
kemudian orang-orang yang baik diantara kamu berdoa, lalu tidak dikabulkan doa
mereka itu.(HR al-Bazzar dan at-Thabrani).
[6] Uraian lebih jauh tentang al-Ghazali dan
Perang Salib, lihat Adian Husaini, Hegemoni Kisten-Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi (Jakarta: GIP, 2006), bagian Mukaddimah. Lebih jauh tentang
bahaya kerusakan ilmu bisa dilihat, pada Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the
Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
[7] al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan
Kemenangan Perang Salib, 6-7. (Sebagai perbandingan, tidak kalah pentingnya
jika kita mengkaji kesuksesan penyebaran dakwah Islam di wilayah Nusantara,
khususnya di Tanah Jawa. Para juru dakwah adalah para wali atau ulama yang
bekerja keras dalam mengubah kondisi masyarakat Indonesia, meskipun rakyat
ketika itu dipimpin oleh penguasa non-Muslim. Pada akhirnya, rakyat di wilayah
itu sendiri yang melahirkan pemimpin-pemimpin muslim, sehingga berdirilah
berbagai kerajaan Islam di wilayah ini. Maulana Malik Ibrahim, misalnya,
diperkirakan tiba di Jawa tahun 1399 M. Kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak)
baru berdiri tahun 1478 M. Raja Demak pertama, Raden Patah, adalah santri dari
Sunan Ampel, yang tak lain adalah putra dari Maulana Malik Irahim. Lihat,
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung: al-Maarif, 1981).
[8] Secara umum, kondisi buku-buku Pelajaran
Agama di sekolah saat ini masih banyak mengandung kelemahan dan kekeliruan.
Sekedar contoh, sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran
sebuah penerbit di Bandung, justru merendahkan prestasi keilmuan para ulama di
wilayah Nusantara: "Dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang
pada masa itu, hanyalah ilmu tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan
tauhid sebagai sekedar pelengkap ibadah semata. Para tokoh dan ulama yang
muncul pada masa itu juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-tokoh tarekat.
Hampir tidak ditemukan nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang lainnya,
Sejarah Peradaban Islam di Dunia. Di Aceh dan Sumatera misalnya, muncul
beberapa ulama nusantara kenamaan, seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh
Abdurrauf Singkel, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani,
Abdusshamad Al-Falimbani yang nota bene semua adalah ulama tasawuf dan tokoh
tarekat tertentu. Di Jawa juga muncul beberapa ulama seperti Syaikh Nawawi
Al-Bantani, Syaikh Siti Jenar dengan kelompok wali songonya, yang juga dapat
dikatakan sebagai tokoh tasawuf dan penganut tarekat tertentu. Begitu juga di
Sulawesi dan Kalimantan, terdapat nama-nama besar ulama tasawuf dan tokoh-tokoh
tarekat. Misalnya, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad al-Banjari, dan
Syaikh Ahmad Khatib Syambas. Mereka telah belajar cukup lama di kawasan dunia
Islam, dan pulang ke tanah air sebagai tokoh tasawuf dan tarekat."
[9] Salah satu masalah dan tantangan besar yang
dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah terjadinya hegemoni konsep keilmuan
Barat dalam studi Islam di Perguruan Tinggi. Lebih jauh tentang fenomena ini
lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular Liberal (Jakarta: GIP, 2005) dan Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat
dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).
[10] Allāh ‘Azza wa Jalla
berfirman:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sungguh bagi Kaum Saba’ ada
tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang
dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun
wa rabbun ghafūr”. [QS Saba' 34:15] □□
SUMBER BAHAN PENULISAN:
http://sejarah-indonesia-lengkap.blogspot.com/2015/12/sejarah-peradaban-islam-di-dunia.html
Dan sumber bacaan lainnya. □□□