PERTEMUAN DI BATAS BATAS PERADABAN ISLAM
S
|
eorang Inggris yang masuk Islam,
berkata: “Kita (Muslim) memerlukan agenda baru yang sangat penting, bahwa agenda
ini tidak dirumuskan sebagai sebuah liberalisme Islam. Liberalisme dalam agama
biasanya menjurus ke arah melemahkan iman. Sebagai gantinya, kita perlu kembali
ke tradisi kita (Islam), dan mencarinya.
Sungguh betapa dalamnya sumber-sumber daya itu yang akan memampukan kita mendapatkan kembali dari kemampuan para Sahabat Nabi saw yang bergaul dan berdakwah dengan cara baik, ramah, dan sopan - yaitu mengajak manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. [1]
Sungguh betapa dalamnya sumber-sumber daya itu yang akan memampukan kita mendapatkan kembali dari kemampuan para Sahabat Nabi saw yang bergaul dan berdakwah dengan cara baik, ramah, dan sopan - yaitu mengajak manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. [1]
Tak kurang-kurang jelasnya bahwa dakwah
mustahil berhasil jika kita meninggalkan tradisi seperti yang telah dicontohkan oleh generasi pertama ini - para sahabat, daripada memaksakan
pemahaman-pemahaman yang kaku dan sempit atas Syariat.
Tetangga-tetangga kita tidak akan mempedulikan undangan kita, kecuali jika kita dapat memperlihatkan kepada mereka adanya semacam landasan bersama, yaitu kita memiliki sesuatu yang pantas dimiliki mereka juga - yang lebih penting lagi - yang perlu kita pikirkan bahwa orang-orang tersebut dapat bersimpati, bahkan mau bergabung dengan kita asalkan kita dapat menunjukan perilaku baik - berakhlak mulia - lihat foto dibawah.
Agenda-agenda Islam yang radikal dan literal sepertinya sering diusung para aktivis yang tak pernah tersenyum yang pada wajah-wajah mereka terbaca ketegangan, arogansi, dan penderitaan. Hal ini tidak pernah diajarkan dan dicontohkan dalam tradisi (dakwah) Islam yang sebenarnya, yaitu qaulan ma’rufan, artinya perkataan yang baik. Qaulan ma’rufan, berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan masalah atau kesulitan. [2]
Tetangga-tetangga kita tidak akan mempedulikan undangan kita, kecuali jika kita dapat memperlihatkan kepada mereka adanya semacam landasan bersama, yaitu kita memiliki sesuatu yang pantas dimiliki mereka juga - yang lebih penting lagi - yang perlu kita pikirkan bahwa orang-orang tersebut dapat bersimpati, bahkan mau bergabung dengan kita asalkan kita dapat menunjukan perilaku baik - berakhlak mulia - lihat foto dibawah.
Agenda-agenda Islam yang radikal dan literal sepertinya sering diusung para aktivis yang tak pernah tersenyum yang pada wajah-wajah mereka terbaca ketegangan, arogansi, dan penderitaan. Hal ini tidak pernah diajarkan dan dicontohkan dalam tradisi (dakwah) Islam yang sebenarnya, yaitu qaulan ma’rufan, artinya perkataan yang baik. Qaulan ma’rufan, berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukkan pemecahan masalah atau kesulitan. [2]
Ada tanda-tanda lain yang membesarkan
hati kita. Bukalah sebuah website Islam, misalnya Islam online yang
sangat populer, berbasis di Qatar, dan lihatlah seksi Tanya Jawab. Website
ini dikaitkan dengan salah satu ulama yang paling disegani, Syaikh Yusuf
Al-Qardhawi.
□□□
S
|
alah satu percakapannya dalam bentuk Tanya-Jawab
dalam menghadapi ekses dari peristiwa 9/11 yang membawa “ketakutan” masyarakat
Amerika (Barat) dari persitiwa tersebut yang berimbas kepada ketidak simpatisannya
kepada masyarakat muslimin yang tinggal di dunia Barat sebagai berikut:
Pertanyaan:
Kepada ulama yang terhormat! Sebagai seorang Muslim yang tinggal di Amerika Serikat,
saya perlu tahu kewajiban saya kepada bangsa saya disini, maksud saya kepada
negara saya. Bagaimana saya mendudukannya dalam menghadapi krisis-krisis yang
membelit di satu sisi, sementara itu di sisi yang lain mesti mempertahankan kewajiban-kewajiban keislaman saya?
Apa kata Islam dalam hal ini?
Jawab:
Dr. Muzammil H. Siddiqi, Ketua Dewan Fikih Amerika Utara memberikan penjelasannya sebagai jawaban dari pertanyaan dari penanya sebagai
berikut ini:
Kita harus memahami bahwa setelah 11
September, Amerika bukan Amerika yang sama lagi. Banyak hal yang berubah, dan
akan berubah. Sekarang, kita, kaum Muslimin harus menilai diri kita sendiri dan
mengubah cara berfikir dan berperilaku kita. Kita harus keluar dari keterisolasian sesama kita dan masyarakat diluar kita.
Kita harus mengesampingkan perbedaan-perbedaan kecil (furuiyah) dan perselisihan-perselisihan [3] kita dan
sehingga kita dapat bekerja sama dan bersama-sama.
Kita harus memperkenalkan diri kita
sendiri, seperti: nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip Islam kita, serta harus
sepenuhnya berpartisipasi dalam masyarakat ini demi perdamaian, keselarasan,
kemauan baik, agar masyarakat seluruhnya menjadi baik - bukan hanya demi diri kita sendiri, tapi juga bagi semua orang Amerika.
Disamping itu, perlu pula kita
membangun keluarga-keluarga kita agar menjadi baik dan menjaga hubungan-hubungan sesama keluarga lain agar menjadi baik juga. Disamping itu kita harus melangkah keluar menemui orang lain dan memperlakukan semua orang sebagai satu keluarga.
Agama bukan hanya sejumlah ritual,
melainkan membangun perilaku dan akhlak yang baik - tidak diutus Muhammad
Rasulullah saw kecuali untuk
menyempurnakan akhlak budipekerti manusia, pacifism.
Agama adalah memperhatikan orang miskin dan membantu kekurangannya. Agama ialah mencintai
tetangga kita dan bersifat baik kepada mereka.
Kita harus bekerja demi keadilan dan
keselarasan diantara semua orang. Visi kita adalah universal dan tidak sempit.
Keadilan menuntut agar yang salah harus
dibetulkan dengan cara-cara yang tepat. Ketidakadilan tak dapat dihilangkan
dengan ketidakadilan lain. Dua kesalahan tidak membuat satu kebenaran, dan untuk mencapai tujuan
tidak dibenarkan menggunakan cara-cara yang menghalalkan segala cara yang tidak patut.
□□□
T
|
eringat penulis dalam hal ini keadilan
dari kisah warga Yahudi di Madinah ketika Ali bin Abi Thalib ra sedang
berkuasa sebagai Amirul Mukminin - Khalifah ke-4 (Kepala Negara) di
Madinah seperti yang dikisahkan dalam kitab Subulus Salam, karya al-Shan’ani
dikisahkan:
Suatu hari, Khalifah Ali bin Abi Thalib
ra sedang berjalan-jalan di Kota
Madinah. Ia memantau segala situasi dan kondisi masyarakat Madinah. Tak
disangka, saat itu ia melihat seseorang sedang memakai baju besi.
Ali mengenali baju besi tersebut.
Dirinya sangat yakin baju besi itu adalah miliknya yang telah hilang beberapa
waktu sebelumnya saat Perang Shiffin. Tanpa menunggu waktu, Khalifah Ali
langsung mendatangi orang yang bersangkutan dan diketahui seorang suku Yahudi
Madinah. Ali menyatakan baju besi itu adalah kepunyaannya.
Tentu saja kedatangan Khalifah Ali yang
mendadak itu membuat si Fulan suku Yahudi ini kaget. “Baju besi ini kepunyaanku
yang jatuh dari untaku (Awraq) saat Perang Shiffin,” kata Ali.
Si Fulan menolak pernyataan Ali, dan ia
pun mempertahankan baju besi yang dipegangnya dengan argumentasi yang
meyakinkan. “Tidak, baju besi ini milikku,” kata dia. Karena saling mengklaim, maka keduanya
sepakat untuk membawa perkara itu ke mahkamah keadilan. Hakim yang menjadi
pengadil adalah Syuraih bin Al-Harits Al-Kindi rahimahullah, dan merupakan sahabat dekat Khalifah Ali.
Di mahkamah keadilan, Ali duduk di sisi
Syuraih. Sedangkan si Fulan duduk di hadapan keduanya. Ali mengatakan, dirinya
ingin duduk berdampingan dengan si Fulan, namun dia merasa enggan - kurang 'srek'.
Ali pun mengadukan hal yang menjadi
perdebatan di antara dirinya dengan si Fulan. “Wahai tuan hakim, aku menuntut
si Fulan ini karena ia telah menguasai baju besi milikku, tanpa
sepengetahuanku,” ujar Ali kepada Syuraih.
Syuraih menoleh ke arah si Fulan dan
bertanya, ”Betulkah tuduhan Ali, baju besi yang berada di tanganmu itu
miliknya?” Orang Yahudi itu menyanggahnya. ”Tidak, tuan hakim. Baju besi ini
kepunyaanku,” kata dia.
Ali tampak emosional dan menuding si
Fulan telah berbohong. “Dia bohong, baju besi itu milikku, dan aku sangat
mengenali baju besi itu,” kata Khalifah Ali ra menegaskan.
Syuraih pun menengahi agar Ali tidak
berpanjang-panjang. ”Begini, Saudara Ali bin Abi Thalib. Yang terlihat, baju
besi itu kini berada dalam penguasaan si Fulan ini. Jadi, kalau engkau
mengklaim baju besi itu milikmu, engkau harus mengajukan dua saksi atau
bukti-bukti lainnya.”
Ali pun siap dengan permintaan Syuraih.
Ia pun menunjukkan dua anaknya, Hasan dan Husein untuk menjadi saksinya. Namun
demikian, kedua saksi yang ditunjuk Ali, ternyata ditolak oleh Syuraih.
“Kesaksian anak kandung, berapa pun
jumlahnya, tidak sah menurut hukum yang berlaku. Jadi, kalau tidak ada
bukti-bukti lain, tuduhanmu itu batal dan baju besi ini mutlak kepunyaan si
Fulan,” kata Syuraih.
Karena tak bisa lagi menunjukkan bukti
lainnya, Ali menerima vonis yang telah diputuskan oleh Syuraih yang ditunjuk
oleh keduanya untuk menjadi pengadil di antara mereka. Tuduhan Khalifah Ali
yang juga kepala negara dibatalkan oleh pengadilan. Dan baju besi, tetap berada
di tangan si Fulan dari suku Yahudi penduduk Madinah.
Ali pun dengan lapang dada menerimanya,
walau saksi yang mau diajukannya sangat mengetahui kasus yang sebenarnya.
Namun, karena itu dianggap bagian dari ‘nepotisme’ - kemungkinan keberpihakan kepada
sang Ayah, maka kesaksiannya tidak dibenarkan. Menyaksikan sikap Ali yang
legowo (lapang dada), terketuklah hati si Fulan dari suku Yahudi Madinah ini.
Ia pun mengakui baju besi itu adalah milik Ali yang terjatuh saat Perang
Shiffin. Ia kemudian bersyahadat (masuk Islam).
□□□
WE LOVE OUR MUSLIM NEIGHBORS
WE ARE ONE COMMUNITY
Foto ini di ambil di Madrasah IMAAM yang dikunjungi oleh tetangga sekitar Mesjid IMAAM Center yang menyatakan simpatinya kepada warga IMAAM dengan membawa poster seperti yang terlihat dalam fato ini. [Sumber foto: Madrasah IMAAM]
D
|
r. Taha Jabir
Al-Alwani, Ketua Graduate School of Islamic and Social Science dan Ketua Dewan
Fikih Amerika Serikat berkomentar:
Para ulama Muslim
ternama telah menjelaskan bahwa setiap Muslim yang tinggal di Barat, pada
umumnya, dan di Amerika Serikat khususnya, punya peran dalam proses mamantapkan
kehidupan yang lebih baik bagi semua orang yang tinggal bersama sebagai
anggota-anggota masyarakat itu, tanpa memedulikan apakah mereka Muslim atau non-Muslim
- ajaran muamalah dalam Islam seperti itu - Islam mendorong Muslim untuk aktif
dan pro aktif di setiap masyarakat tempat mereka tinggal. Tetapi, menjadi
proaktif di masyarakat tidaklah berarti bahwa seorang Muslim harus membahayakan
ajaran-ajaran agamanya diketika kebijakan-kebijakan pemerintahnya bertentangan
dengan ajaran-ajaran itu; dia harus memperjuangkan hak dan keadilan di mana pun
dia berada dan pada setiap posisi yang didudukinya.
Akhirnya, seperti
dalam semua agama, banyak Muslim ingin tahu pandangan-pandangan dan
keputusan-keputusan pihak-pihak berwenang dalam agama mereka sendiri. Tetapi
pada akhirnya, mereka sendiri membuat keputusan-keputusan tentang bagaimana
mempertahankan prinsip-prinsip Islam dalam masyarakat Barat dan bahwa kompromi
itu perlu tanpa bersifat merugikan. Dalam hal itu, saksikan pula tayangan
singkat video youtube dalam kesan-kesan penulis dalam hal (klik --->) Isu-IsuSeputar Islam di Amerika (Barat). Billahit
Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] “Serulah (berdakwahlah kepada manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah (berhujjah, berargumentasi) dengan mereka dengan cara yang baik..” [QS An-Nhl 16:125]
[2] Qaulan ma’rufan berarti perkataan yang baik. Qaulan ma’rufan, berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkann pemikiran, menunjukkan pemecahan masalah atau kesulitan. Allah swt berfirman Qawlan ma’rufan dan pemberian maaf lebih baik dari pada sedekah yang di ikuti dengan perkataan yang menyakitkan. Sebagaimana firman-Nya berikut ini:
Sumber Kepustakaan:
[1] “Serulah (berdakwahlah kepada manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah (berhujjah, berargumentasi) dengan mereka dengan cara yang baik..” [QS An-Nhl 16:125]
[2] Qaulan ma’rufan berarti perkataan yang baik. Qaulan ma’rufan, berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkann pemikiran, menunjukkan pemecahan masalah atau kesulitan. Allah swt berfirman Qawlan ma’rufan dan pemberian maaf lebih baik dari pada sedekah yang di ikuti dengan perkataan yang menyakitkan. Sebagaimana firman-Nya berikut ini:
قَوْلُُ مَّعْرُوفُُ وَ مَغْفِرَةٌ
خَيْرُُ مِّنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآأَذًى وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمُُ
"Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun."
[QS Al-Baqarah 2:263]
[3] Ketika sesama kaum muslimin
berselisih, seharusnya perselisihan tersebut dikembalikan kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Allah berfirman yang artinya:
“Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika
kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” [QS An-Nisā’ 4:59]
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu (jika ada perselisihan) damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu (jika ada perselisihan) damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
[QS Al-Hujurāt 49:10]
Sumber Kepustakaan:
Apa Jadinya Dunia
Tanpa Islam? Sebuah Narasi Sejarah Alternatif. Diterjemahkan dari A World Without Islam, Karya Graham E.
Fuller, Penerbit Mizan, halaman 255-258.
REPUBLIKA.CO.ID
Dan sumber-sumber lainnya. □□□
Dan sumber-sumber lainnya. □□□