Kata Pengantar
Pemosting
mendapat bahan ini dari laman sebelah, facebook Dutamardin Umar. Dari
komen-komen yang dapat dibaca tidak dilihat komen yang ‘profesional’ dan matang
sehingga kesan yang didapat “jauh panggang dari api”, yaitu apa yang
dimaksudkan penulis tidak tertangkap, yaitu komennya tidak relevan dengan
tulisan yang dimaksud. Padahal sebagai pemerhati mestinya objektif sejujurnya
untuk membaca arah penulisan dari seorang Doktor ini.
Demikianlah
Republik ini masih banyak mewariskan orang-orang yang mudah “dikibulin” para
politisi ulung yang sama sekali tidak menggambarkan jiwa bangsa akar rumput dari
masalah yang sesungguhnya, apalagi siapa sih yang berjuang di zaman sebelum
kemerdekaan ini, kalau tidak umat Islam. Mari baca dengan seksama sekali lagi
jangan mudah terkecoh dengan situasi sekarang ini. □ AFM
UMATKU
POLOS, UMATKU MALANG
Oleh: Dr.
Arief Munandar
Salah
satu kesalahan umat Islam (kebanyakan warga akar rumput bangsa) sejak dulu
adalah polos, buta politik, bahkan alergi dan menarik diri dari politik. Ini
adalah warisan konstruksi berpikir kolonial, di mana diset politik itu urusan
orang kulit putih (wong londo, Belanda), bisnis itu urusan etnis Cina,
sedangkan pribumi ya jadi petani, pegawai, atau buruh. Padahal kebijakan yang
mengatur arah kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan melalui mekanisme
politik.
Coba
lihat betapa dahsyatnya permainan politik dan dampaknya. Dampak tersebut
menjadi berkali lipat lebih luar biasa karena politik pasti
berjalin-berkelindan dengan media.
Seorang
Jokowi dalam waktu sangat singkat bisa naik dari Walikota Solo, jadi Gubernur
DKI, lalu jadi Presiden. Hampir tidak ada yang mempersoalkan bahwa beliau tidak
pernah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Walikota dan Gubernur dengan baik.
Paralel dengan itu, seorang Ahok bisa melesat dari Bupati Belitung Timur
menjadi Wagub DKI, dan kemudian jadi Gubernur di Ibu Kota Negara.
Banyak
umat Islam dengan polos melihat dua fenomena di atas sebagai kebetulan. Padahal
orang yang belajar politik sedikit saja pasti paham, tidak ada kebetulan dalam
politik. Selalu ada agenda, strategi dan skenario di balik setiap peristiwa.
Selalu ada _master mind_ di belakang itu semua. Bahkan selalu ada penyandang
dana yang berkepentingan memastikan bahwa dampak peristiwa poltik tersebut
memberikan _benefit_ yang lebih besar ketimbang _cost_ yang dikeluarkan.
Sama
naifnya kalau kita menganggap bahwa kebetulan Ade Komarudin menggantikan Setya
Novanto yang terjerat kasus korupsi sebagai Ketua DPR RI. Lalu Setya Novanto,
yang saat berkunjung ke AS hadir di kampanye Donald Trump, malah terpilih jadi
Ketum Golkar. Apa mungkin Setya Novanto bisa jadi pucuk pimpinan Partai
Beringin tanpa campur tangan Ical? Ohya, jangan lupa, Donald Trump adalah
kandidat Presiden AS yang terkenal sangat anti Islam. Salah satu gagasan dalam
kampanyenya adalah melarang masuknya muslim ke negara Paman Sam.
Cerita
tidak berhenti di situ. Tak lama setelah Setya Novanto jadi bos Golkar, partai
warisan Orba ini langsung menyatakan dukungan kepada Ahok untuk kembali menjadi
DKI Satu, menyusul Nasdem dan Hanura yang sudah lebih dahulu menyorongkan
dukungan.
Kelanjutannya
kita semua sudah mahfum. Tindakan Ahok menggusur ribuan warga marjinal di
Jakarta tidak pernah disorot media. Demikian pula dugaan korupsi dalam kasus
pembelian lahan RS Sumber Waras tidak 'dikuliti' dengan antusias oleh para
jurnalis.
Sebaliknya,
kasus kecil razia Satpol PP terhadap seorang pedagang di Serang yang membuka
warung di siang hari bulan Ramadhan diblow-up media dengan gegap gempita,
dengan _angel_ yang menyudutkan umat Islam. Padahal Satpol PP hanya menegakkan
Perda yang sudah bertahun-tahun berlaku di Serang, sebuah wilayah dengan 95%
warga muslim. Kacaunya, Presiden dengan sangat patriotik menyumbang 10 juta
untuk si pedagang. Bahkan para netizen menggalang dana hingga 130 juta sebagai
wujud simpati.
Mengapa
misalnya Jokowi tidak menyumbang dan para netizen tidak menggalang dana simpati
yang sedemikian signifikan untuk para korban penggusuran Ahok? Apakah karena
para warga marjinal itu melanggar Perda mengenai tata ruang sebagaimana selama
ini didalihkan Ahok? Kalau begitu sama saja _bro_! Pedagang di Serang itu
dirazia Satpol PP karena melanggar Perda yang mengatur jam buka gerai makanan
selama Ramadhan.
Coba
tengok bagaimana gegap gempitanya pemberitaan bahwa KPK menyatakan kasus RS
Sumber Waras bebas dari korupsi, padahal BPK sebelumnya nyata-nyata
mengindikasikan kerugian negara ratusan milyar dalam kasus ini. Sebaliknya,
rentetan penggusuran yang dilakukan Ahok sepi-sepi saja di media. Kok bisa?
Kebetulan? Pastinya tidak. Silakan lihat siapa bos besar di balik media-media
kita.
Jadi
kalau kita melihat banyak Perda bernuansa syariah dilucuti oleh regim Jokowi,
itu _mah_ lumrah. Justru aneh kalau tidak begitu. Mungkin masih banyak yang
belum _ngeh_ bahwa partainya Pak Jokowi ngotot mengubah isi UU Perkawinan tahun
1974 yang tidak merestui perkawinan beda agama. Partai tersebut juga berupaya
menghilang ketentuan dalam UU Pendidikan Nasional yang nengharuskan sekolah
menyediakan guru agama yang seagama dengan anak didiknya. Bahkan partai yang
sama berada di barisan terdepan penentang UU Anti Pornografi.
Satu
lagi. Di samping polos dan kurang melek politik, sebagian umat ini juga kurang
tajam logikanya, sehingga mudah dijebak oleh kerancuan berpikir yang
dihembuskan para politisi. Misalnya, Ahok kerap mengatakan, pilih mana antara
pemimpin muslim tapi korup, atau pemimpin kafir tapi tidak korup. _Duh_, itu
_fallacy of comparison_ namanya. Kita dipaksa memilih dua pilihan yang keduanya
salah. Kita dibutakan sedemian rupa seolah tidak ada pilihan yang lain.
Padahal, belum tentu saat ini pemimpin kafir yang tidak korup itu benar-benar
ada. Padahal, belum tentu pemimpin kafir yang bicara begitu - _which is_ Ahok
sendiri - benar-benar tidak korup. Padahal, banyak pemimpin muslim yang tidak
korup. Contoh lain, salah satu Wakil Ketua Dewan yang sudah dipecat partainya,
Fahri Hamzah mengatakan bahwa partainya tidak bisa memecat dirinya karena dia
dipilih oleh konstutuennya. Publik disesatkan dari fakta bahwa seseorang bisa
dipilih dalam pemilu sebagai anggota legislatif ya karena diajukan oleh
partainya. Dan kerja mesin partai punya andil besar dalam kemenangan seorang
kandidat. Apalagi dalam sebuah partai kader seperti partainya Bung Fahri.
Jadi
masih tetap mau polos dan apolitis?[]
Sumber:
https://www.facebook.com/dutamardin.umar/posts/10153949663054681[][][]