KATA PENGANTAR
Tradisi
Perennial - tradisi keabadian. Tradisi mana dapat diilustrasikan seperti sebuah
pohon, akar-akarnya tertanam melalui
wahyu di dalam sifat ilahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang
zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama (ad-dīn), dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan
pohon tersebut terus hidup (dan berbuah barakah).
[Seyyed Hossein Nasr]
ilsafat perennial (Latin: philosophia perennis et universalis; yang kadang disingkat menjadi sophia perennis atau religio
perennis), yang juga disebut
Perenialisme, adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama (sejak
Adam as sampai Muhammad saw) di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan
universal yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius (ad-Dīn).
Gagasan perennialisme sudah ada sejak zaman kuno (dulu
kala) dan dapat ditemui dalam berbagai agama
dan filsafat dunia. Istilah philosophia perennis pertama kali digunakan
oleh Agostino
Steuco, dalam bahasa Latin - Agostinus Steuchus atau Eugubinus (1497-1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis yang
sebelumnya sudah ada, yaitu dari Marsilio Ficino (1433-1499)
dan Giovanni
Pico della Mirandola (1463-1494).
Pada akhir abad ke-19,
gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin Masyarakat Teosofis seperti H. P. Blavatsky dan Annie Besant dengan nama ‘Kearifan-Agama’ atau ‘Kearifan
Kuno’. Pada abad ke-20, gagasan ini dipopulerkan di
negara-negara berbahasa Inggris oleh Aldous Huxley dengan bukunya The Perennial Philosophy, dan juga tulisan dari sekelompok pemikir yang kini
dikenal dengan nama Mazhab Tradisionalis.
Sudut pandang ini
bertentangan dengan saintisme (para
saintis di Barat sebagaian besar agnostic
(tidak percaya adanya Tuhan) - dalam
masyarakat sekuler Barat modern, yang melahirkan pemisahan Negara dengan
Agama (religion). Baca: Sejarah
Sekularisme.
Menurut Nasr, di dalam Islam pun jauh sebelum
Steucho (1497-1548) di Barat, Ibnu Miskawaih
(932-1030) [1] - nama lengkapnya Abū ‘Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’qūb ibnu
Miskawaih - telah membicarakan filsafat perennial secara panjang lebar dalam
karyanya yang berjudul al-Hikmah
al-Khalidah (kearifan yang abadi). Di dalam karyanya itu, Ibnu Miskawaih
telah banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan ‘orang suci’ dan ‘para
filsof’, termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia kuno, India dan
Romawi. [2]
Paparan selanjutnya tetang Filsafat Parennial
Dalam Pandangan Islam yang dikupas oleh Seyyed Hossen Nashr. Tulisan ini
bersumber dari tulisan Anhar yang bertema Seyyed
Hossein Nasr: Filsafat Parennial, dan sumber-sumber lainnya sebagai tambahan
dan cross checking-nya. □ AFM
FILSAFAT PERENNIAL ISLAM
KAJIAN NASR
Di
dalam Islam pun jauh sebelum Steucho (1497-1548) di Barat , Ibnu
Miskawaih (932-1030) telah membicarakan filsafat perennial secara panjang lebar
dalam karyanya yang berjudul al-Hikmah
al-Khalidah (kearifan yang abadi). Di dalam karya itu, Ibnu Miskawaih
telah banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan orang suci dan para
filsuf, termasuk di dalamnya mereka yang berasal dari Persia kuno, India dan
Romawi. [Seyyed Hossein Nasr]
PENDAHULUAN
eyyed Hossein Nasr [3] (سید حسین
نصر) lahir pada tanggal 1 April 1933 di Teheran,
Iran dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Seyyed Waliullah Nasr,
seorang ulama terkenal, juga seorang dokter dan pendidik di Iran pada masa
berkuasanya Dinasti Qojar. Kemudian pada masa pemerintahan dinasti Reza Shah,
ia diangkat dengan jabatan menteri pendidikan.
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang profesor emeritus dalam studi Islam di George Washington University, dan seorang
filsuf Islam. Ia penulis buku dan
artikel ilmiah. Nasr berceramah dan menulis berbagai tema seperti
filsafat, agama, spiritualitas, musik, seni, arsitektur, sains, sastra, dialog peradaban,
dan lingkungan alam.
Nasr dapat dikatakan sebagai sosok cendekiawan muslim
yang agak tipikal, yang dibesarkan dalam dua tradisi; Islam ’tradisional’ dan
Barat ’moden’. Seperti diakuinya ia hidup dalam tension (ketegangan) yang berkelanjutan. Ia berasal
dari keluarga Ulama, dan dibesarkan dalam tradisi Syiah tradisional. Selanjutnya
ia memperoleh pendidikan Barat modern melalui dua lembaga pendidikan tinggi
termasuk terkemuka di Amerika Sertikat; Massachussets
Institut of Technology (MIT) dimana ia memperoleh gelar magister dalam
bidang fisika, kemudian Ph.D., dalam bidang History
of Science dan Philosophy diperolehnya dari Harvard University pada
tahun 1958.
Selama belajar di negeri Paman Sam tersebut, ia
banyak menaruh perhatian terhadap kehidupan dan budaya manusia di abad modern.
Sebuah kebudayaan dan peradaban mutakhir yang lahir sebagai akibat dari
kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara material Barat telah sampai kepada the post industrial society, yaitu
masyarakat yang secara material telah sampai pada taraf makmur.
Peralatan-peralatan hidup terkendali secara baik dan otomat. Alam telah dimanipulasi
dan dieksploitasi secara bersama-sama. Jarak geografis semakin tak berarti
sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Dunia
bagaikan sebuah gejala global
village. Tidak ada peristiwa atau kejadian di planet bumi ini yang
luput dari akses komunikasi dan informasi global. Manusia tinggal sebagai
individu-individu yang berfungsi sebagai skrup-skrup kecil dari mesin peradaban
global. Eksistensi manusia tereduksi sedemikian rupa hingga hanya berarti
secara kuantitatif (nomor-nomor dalam Identification
Card - KTP, Kartu Tanda Penduduk). Manusia mengalami split personality (keterasingan,
pribadi yang terbelah), semakin jauh dari kepastian hidup dalam moral dan etika
‘tradisional’ (kebiasaan-kebiasaan baik yang sudah turun temurun ada, seperti
adanya Tuhan yang menetapkan arti, aturan, makna dari tujuan hidup manusia;
hubungan sesama manusia dan lingkungan alam; dan hubungan manusia kepada Tuhan
Penciptanya - penulis). Kondisi seperti inilah yang disaksikan oleh Nasr selama
menjalani pendidikan dan tinggal di Amerika, yakni sebuah ‘krisis manusia dari
kemanusiaan modern’ yang ada saat ini.
Kepemerhatiannya terhadap krisis manusia modern
ini telah melahirkan karya tidak kurang dari 15 judul buku dan ratusan artikel.
Bahkan selama dasa warsa enampuluhan dan tujuh puluhan, ia aktif memberikan
ceramah di empat benua - Amerika, Eropa, Asia dan Australia. Isi ceramahnya
berkisar pada pemikiran Islam dan problem dunia modern, pada bulan Juni 1993,
Nasr berkunjung dan memberikan ceramahnya di Indonesia.
Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu seorang di
antara sedikit pemikir muslim abad ke-20 yang menaruh perhatian terhadap
perlunya kembali menghidupkan nilai-nilai tradisional (tasawuf, sufisme) [4] Islam
sebagai ‘tawaran alternatif’ penyembuhan krisis manusia modern.
Di dunia Islam, pada umumnya perhatian paling
banyak ditujukan terhadap usaha-usaha kebangkitan di bidang perababan.
Perhatian ini muncul didasari oleh pandangan bahwa umat Islam telah jauh tertinggal
di bidang tersebut dibandingkan dengan Barat. Rentetan dari pandangan ini adalah
munculnya anggapan dikalangan banyak muslim bahwa nilai-nilai tradisional (tasawuf,
sufisme) [4] adalah penyebab hilangnya dinamika Islam, bahkan juga dipandang
penyebabnya kuatnya dominasi Barat atas dunia Islam memiliki akar dalam
sufisme.
Nasr melihat bahwa pandangan ini tidak dapat
dibenarkan, karena penolakan terhadap sufisme dan mengkambinghitamkannya
sebagai penyebab kemunduran, akibatnya Islam direduksi sampai tinggal hanya
merupakan doktrin syari’at yang kaku, dan pada akhirnya syari’at itu sendiri
tidak berdaya menghadapi ‘serangan intelektual yang bertubi-tubi’ dari Barat
yang maju dalam sains dan teknologi (namun hampa dalam menghadapi makna hidup).
Pembahasan ini akan mencoba memaparkan Filsafat Perennial
Nasr sebagai jawaban Nasr terhadap krisis manusia modern dan sekaligs bantahan
terhadap anggapan bahwa sufisme (tasawuf) [4] penyebab mandegnya umat Islam.
LATAR BELAKANG
ISTILAH FILSAFAT PERENNIAL
erennial menurut bahasa artinya abadi, kekal.
Dalam kamus Webster’s, Filsafat Perennial (Perennial
Philosophy) diartikan the
philosophical tradition of the world’s great thinkers from Plato, Aristotle,
and Aquinas to their modern sucesors dealing with problem of ultimate reality
(as the nature of being) and sometimesemphasizing mysticism-opposed to
skepticism; compare Rationalim. - Filsafat Perennial diartikan tradisi filosofis para pemikir besar dunia dari Plato,
Aristoteles, dan Aquinas kepada para pemimpin modern mereka yang berurusan dengan
masalah realitas terakhir (sebagai watak keberadaan) dan kadang-kadang
menekankan ‘mistisisme’ -
berlawanan dengan ‘skeptisisme’; bandingkan dengan rasionalisme.
Filsafat perennial sebagai suatu wacana
intlektual secara populer muncul beberapa dekade terakhir ini. Namun istilah
perennial bukanlah istilah baru. Dalam tradisi filsafat Barat, istilah tersebut
diduga pertama kali digunakan oleh August Steucho (1497-1548) sebagai judul
bukunya De Perenni Philosophia, yang
diterbitkan pada tahun 1554. Istilah itu kemudian dimasyhurkan oleh filsuf
modern, Leibnitz (1646-1716), dalam sepucuk suratnya yang ditulis tahun 1715,
yang menegaskan pembicaraan tentang pencarian kebenaran di kalangan filsuf dulu
kala.
Menurut Huxlei, sebagai dikutip Ali Maksum bahwa
filsafat perennial merupkan metafisika yang menganggap bahwa dalam dunia wujud,
kehidupan dan jiwa, secara subtansial terdapat realitas ketuhanan, atau
psikologi yang dapat melihat tujuan akhir manusia dalam mengetahui dasar semua
wujud yang imanen (immanent, yang
tetap ada) maupun transenden (transcendent - yang diluar pengertian
manusia biasa, bersifat melampaui) adalah abadi dan universal (immemorial dan universal).
Menurut Nasr, di dalam Islam pun jauh sebelum
Steuchus di Barat, Ibnu Miskawaih [1] telah membicarakan filsafat perennial
secara panjang lebar dalam karyanya yang berjudul al-Hikmah al-Khalidah (kebijaksanaan yang abadi). Di
dalam karyanya itu, Ibnu Miskawaih telah banyak membicarakan
pemikiran-pemikiran dan tulisan ‘orang suci’ dan ‘para filsof’, termasuk di
dalamnya mereka yang berasal dari Persia kuno, India dan Romawi.
Di dalam buku-bukunya yang berkaitan dengan
pembahasan ini, Nasr, Ibnu Miskawaih filsafat perennial itu sebagai traditional
Islam (Islam tradisional). Pemahaman terhadap istilah ini perlu lebih jauh
sehingga istilah filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr dapat dipahami lebih
tepat.
Pertama-tama Nasr mengajak memahami perbedaan mendasar
‘Islam tradisional’ dengan ‘Islam modernis’ dan ‘Islam fundamentalis’. Untuk
analisis ini Nasr menukilkan pandangannya dalam melihat sejarah umat. Dimulai
penomena gelombang modernisme menyentuh dar
al-islam (negeri-negeri muslim).
Pengaruh gagasan-gagasan dan gerakan-gerakan
modernisme Eropa konsepnya di mulai di abad Renaisans [5]
adalah sebuah gerakan budaya yang berkembang pada periode kira-kira dari abad ke-14 sampai abad ke-17, dimulai di Italia pada
Akhir Abad Pertengahan dan
kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Kata Renaissance, yang terjemahan
literal dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘Rebirth’ (kelahiran kembali"). Renaissance
dapat dipandang sebagai upaya secara intelektual untuk belajar dan meningkatkan
bentuk sekuler dan duniawi, baik melalui kebangkitan ide dari zaman dahulu, dan
melalui pendekatan baru untuk berpikir. Tidak lama sesudah itu terdapat
kecenderungan pemikiran dan gerakan modernis pada lapangan pendidikan,
pemikiran sosio-politik, hukum, dan belakangan di dalam filsafat dan seni,
akhirnya terdapat pula pada lapangan agama itu sendiri.
Nasr menegaskan bahwa siapa saja yang memahami
esensi modernisme yang di dasarkan pada, dan bersumber dari tendensi-tendensi
sekular-humanistik renaisans [5] Eropa, maka tidak akan sulit baginya untuk
melihat pertentangan-pertentangan antara elemen-elemen ‘tradisional’ dan ‘modern’
di dunia Islam.
Sebagai kelanjutan makin menyerukan gelombang
modernisme ini pada dekade yang lalu muncul penomena yang menuntut pembedaan
yang tegas antara ‘Islam tradisional’ dengan bukan saja ‘modernisme’, tetapi
juga dengan spektrum perasaan, prilaku dan pemikiran umat Islam yang oleh
cendekiawan dan jurnalis Barat dikenal sebagai Islam ‘fundamentalis’ atau ‘Islam
Revivalis’ (para pengusung
kebangkitan Islam). Gerakan ‘fundamentalisme dini’ ini yang sering
diidentifikasi dengan Wahhabisme atau aliran seperti Deoband dari India, lebih
merupakan ‘fragmen (pecahan) Islam tradisional’ - sebagai lawan aspek-aspek ‘tradisi
Islam’. ‘Tradisi Islam lebih menonjolkan aspek esoteric (batin, spiritual) tetapi tetap ortodoks, ketimbang suatu deviation (deviasi, penyimpangan) dari
norma tradisional. Gerakan-gerakan seperti itu tetap dipahami dalam konteks
dikotomi tradisionalisme-modernisme, meskipun atas pembaruan telah banyak
melakukan banyak hal yang mereduksi kekuatan ‘tradisional Islam’.
Demikian pula diakui bahwa signifikansi mereka
selama ini meminta perhatian yang berlebihan di dalam kalangan kersarjanaan
Barat sehingga mengurbankan kajian tentang pembangkit-pembangkit tradisi sejati
Islam. Sebagai contoh, lebih banyak karya yang ditulis dalam bahasa-bahasa
Eropa tentang pakar-pakar seperti Jamaluddin al-Afgani, atau tentang Muhammad
’Abd al-Wahhab dari pada Syaikh al-’Alawi atau ’Abd al-Qadir al-Jaza’iri dalam
melihat aspek-aspek religius dan esoteric
(esoterik, batin, spiritual)-nya, tidak hanya sekedar sebagai seorang politisi.
Kecenderungan modernisme sebagai yang terjadi
belakangan ini yang menentang bukan saja tradisional, tetapi juga seluruh
rangkaian gerakan yang menyerukan kebangkitan Islam dalam menghadapi modernisme
sekaligus menentang peradaban-peradaban Barat yang ‘telah beratus tahun’ (idenya
mulai sejak abad ke-12/ke-14 dan berkembang secara fisikal melalui sains dan
teknologi mulai abad ke-16/ke-17) menjadi lahan pertumbuhan dan perkembangan
modernisme. Menurut Nasr, pada momen sejarah yang demikianlah yang tepat
dihadapkan analisis untuk melihat perbedaan-perbedaan gerakkan yang disebut
sebagai ’fundamentalisme dini’ atau sekedar ’fundamentalisme Islam’ dari Islam
tradisional yang sering dikelirukan.
Selanjutnya Nasr menjelaskan: [6] Siapa pun yang
telah membaca karya-karya yang ‘bercorak tradisional tentang Islam’ dan
membandingkannya dengan ‘perjuangan aliran-aliran fundamentalis tersebut’
segera dapat melihat perbedaan-perbedaan mendasar di antara mereka, tidak saja
di dalam kandungan, tetapi juga di dalam iklim yang mereka nafaskan. Malahan,
yang menjuluki sebagai ’fundamentalisme’ mencakup satu spektrum yang luas, yang
bagian-bagiannya dekat sekali dengan ‘interprestasi tradisional’ tentang Islam.
Tetapi tekanan utama macam gerakan politiko
religius yang sekarang disebut ‘fundamentalisme’ itu mempunyai perbedaan
yang mendasar dengan ‘Islam tradisional’. Dengan demikian perbedaan yang tajam
antara keduanya terjustifikasi, sekalipun terdapat wilayah-wilayah tertentu
dimana beberapa jenis ‘fundamentalis’ dan dimensi-dimensi khusus Islam ‘tradisional
Islam’ bersesuaian.
Realitas sejarah yang dipaparkan di atas semakin
memperjelas pemahaman, apa sesunguhnya yang dimaksud ‘Islam tradisi’ itu, lebih
jelas Nasr menyebutkan bahwa sebagaimana yang digunakan oleh para
’tradisionalis’ terma tradisi menyiratkan sesuatu yang sakral. Tradisi dapat
berarti ad-dīn dalam
pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan
percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah,
yaitu ada yang didasarkan pada model-model sakral - sudah menjadi tradisi
sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan al-islah, yaitu rantai yang mengaitkan setiap periode, atau tahap
kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional (yang tetap berpegang) kepada ‘Sumber’
- atau, seperti tampak demikian gamblang di dalam sufisme [3]. Tradisi
menyiarkan kebenaran yang kudus (bersih, suci, asli), yang langgeng, yang tetap
(memegang) ke-arif-an yang abadi,
serta penerapan bersinambung prinsip-prinsip yang langgeng terhadap berbagai
situasi ruang dan waktu. Menurut Nasr, ‘tradisi’ dapat diilustrasikan seperti
sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat ilahi, dan
darinya, tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon
tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari
wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup.
PEMIKIRAN FILSAFAT PERENNIAL
SEYYED HOSSEIN NASR
ebagai dijelaskan di atas bahwa yag dimaksud
oleh Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisional dalam Islam.
Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang
dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern - khususnya di Barat
dan ditumbuhkembangkan di dunia Islam - menurut Nasr telah gagal mencapai
tujuannya, yakni semakin terekduksinya integritas kemanusiaan. Nasr
menjelaskan:
Manusia
modern telah lupa siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di
pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang
dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif
berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksternal ini, selanjutnya
ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu manusia modern semakin
jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir
eksistensi. [7]
Dengan demikian, filsafat perennia Seyyed
Hossein Nasr adalah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama
krisis manusia modern. Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran
filsafatnya adalah tentang pembebasan manusia modern dari perangkap dan
keterpasungan budaya dan peradaban yang diciptakan manusia sendiri. Topik ini
terangkum dalam apa yang disebutnya sebagai sufisme [4) atau aliran
tradisional.
Pembelaan Nasr
terhadap Sufisme
Bagian ini akan membahas pembelaan dan pandangan
Nasr terhadap sufisme, dan sufisme [4] sebagai alternatif pembebasan manusia modern. Di akhir, akan dicoba membahas kritik
filsafat perennial Nasr dalam memahami manusia dan alam.
Nasr berpandangan amat postif tentang peranan
sufisme dalam sejarah Islam. Dicontohkannya, vitalitas keagamaan yang dimiliki
pribadi ulama klasik yang refleksinya tampak pada karya-karya besar mereka
merupakan pengejawantahan kedalaman penghayatan mereka terhadap nilai-nilai
esoterik Islam. Bahkan dalam penyebaran agama Islam khususnya di India, Asia
Tenggara dan Afrika selalu diawali oleh keteladanan pribadi sufi, pemimpin
tarekat, kemudian diikuti penataan syari’at. Oleh karena itu, menurut Nasr,
sufisme tidak bisa dijadikan kambing hitam atas segala penyakit yang ada dalam
masyarakat Islam.
Kemunduran umat Islam kata Nasr, justru antara
lain disebabkan penghancuran tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasional
puritan seperti Wahabisme di Arabia dan Ahl al-Hadits di India. Akibatnya
menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan mengkambinghitamkannnya sebagai
penyebab kemunduran umat, Islam direduksi sampai tinggal doktrin
fiqh yang kaku, yang pada gilirannya tidak berdaya menghadapi serangan
bertubi-ubi intelektual Barat.
Syari’at, tanpa memperhatikan dimensi batinnya,
maka ia akan kering dari kedalaman penghayatan rohaniah. Spritual, yang pada
akhirnya tinggal sebagai doktrin kaku, formalistik dan verbalistik. Jika
demikian halnya menurut Nasr, manusia yang melaksanakan syari’at tersebut akan
gagal mencapai kebenaran. Oleh karena itu, kedua dimensi agama tersebut, yakni aspek
syari’a (az-zahir, outward) dan
sufisme (al-batin inward)
haruslah mengintegral dalam pengalaman agama setiap muslim.
Bagi Nasr, sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan
tubuh. Dalam Islam, sufisme merupakan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Sufisme telah
menghidupkan semangatnya ke dalam struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial
dan intelektual. Tarekat-tarekat Sufi, sebagai institusi terorganisasi dalam
matriks yang lebih besar masyarakat itu juga, ada kelompok sekunder yang
berfasilitas dengan tarekat, seperti kelompok, bahwa berbagai isu dalam sejarah
Islam tidak akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yag dimainkan
sufisme [4].
Sufisme sebagai alternative
pembebasan manusia modern.
Sebagai dijelaskan di atas bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia modern kejurusan
hakikatnya yang nista. Manusia modern terperangkap dan terpasang oleh tirani
modernitas yang diciptakannya sendiri. Hal ini semakin memperjelas bahwa
manusia modern gagal memahami hakikat dan tujuan hidupnya. Mereka mengalami
kekeringan batin yang memerlukan upaya mendesak untuk penyembuhannya.
Pengamatan Nasr di Barat, bahwa masyarakat Barat
telah berusaha mencari jawaban dengan cara kembali merangkul agama setelah lama
dilupakan. Mereka telah mencarinya dalam agama Kristen dan Budha, ternyata
tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Dalam situasi kebingungan seperti ini,
sementara mereka selama berabad-abda memandang Islam dari sisi
legalistik-formalistik, yang tidak memiliki dimensi esoterik, maka menurut
Nasr, kini saatnya dimensi batiniah Islam harus diperkenalkan sebagai
alternatif.
Dalam hal ini Nasr memandang bahwa sufisme dan
tradisi mistikal sakral lainnya merupakan alternatif jawaban. Bagaimana agar
sufisme dapat menjadi alternatif?
Nasr menegaskan, lebih awal perlu dipahami bahwa
sufisme dalam Islam berbeda dengan sufisme pada agama lain. Oleh karena itu,
sufisme dalam Islam harus dipahami melalui sumbernya yakni al-Qur’an dan Al-Hadits
(pola hidup Nabi Muhammad saw), dan
seseorang tidak bisa masuk ke jalur tarbiyah
- metode pendakian spritual yang khusus bagi sufi - sebelum
memasuki lingkaran syari’at.
Pada masyarakat modern - khususnya di Barat
sufisme dapat mempengaruhi masyarakat pada tiga tataran:
Pertama: kemungkinan mempraktikan
sufisme secara aktif. Cara ini kata Nasr hanya untuk segelintir orang saja,
karena mensyaratkan penyerahan mutlak kepada disiplin tasawuf. Pada tataran
ini, orang harus mengikuti Hadits Nabi: ‘Matilah
kamu sebelum engkau kamu Mati”. Maksudnya, orang harus ‘mematikan’
diri sebelum dilahirkan kembali secara spritual. Pada tahap ini orang harus
membatasi kesenangan terhadap dunia materi dan kemudian mengarahkan hidupnya
untuk bermeditasi (berdzikir), berdoa, mensucikan batin, mengkaji hati nurani,
dan melakukan praktik-praktik ibadah lain seperti yang lazim dilakukan para
sufi.
Kedua, sufisme mungkin sekali dapat
mempengaruhi masyarakat modern dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang
lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktik-praktik sufisme yang
benar. Intinya adalah sajian Islam yang mengintegral antara aspek spritual
Islam dengan sufisem sebagai esensinya. Dengan aktifitas duniawi yang profan.
Dengan begitu, sufisme Islam membuka peluang lebih besar bagi pencarian
spritual barat yang tengah dilanda krisis makna hidup.
Ketiga, mengfungsikan sufisme
sebagai alat bantu untuk recollection
(mengingatkan) atau reawakening
(membangunkan) orang Barat dari tidurnya. Karena sufisme merupakan
tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis,
sebuah psikologi dan psiko-terapi religius yang hampir tak pernah dipelajari di
Barat, maka ia dapat menghidupkan kembali bergerak aspek kehidupan rohani Barat
yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.
Pemenuhan aspek batin (spiritual) ini - sebagai
berulang kali dinyatakan Nasr - sangat mendesak bagi masyarakat modern. Memang
secara fitrati tak mungkin diingkari,
karena manusia memiliki dimensi rohani. Oleh karena itulah Nasr mengatakan
bahwa pencarian spritual dan mistikal bersifat perennial, yakni suatu kewajaran
yang natural dalam kehidupan individu dan kolektif manusia. Ketika masyarakat
manusia berhenti mengakui kebutuhan yang natural (fitrati) ini, maka pada saat itu pula masyarakat tersebut ambruk
ditimpa beban berat strukturnya.
Kritik Filsafat Perennial Nasr
terhadap arah pandang manusia modern
dalam memahami manusia dan alam.
Nasr menumpahkan kritiknya yang tajam terhadap
manusia modern terutama dalam dua buah karya: Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (1968)
dalam Islam and the Ploght of Modern Man (1975).
Menurut Nasr, krisis peradaban modern bersumber dari penolakan (negation) terhadap hakikat ruh dan
penyingkiran ma’nawiyah secara
bertahap (gradual) dalam kehidupan manusia. Manusia modern mencoba hidup
dengan ‘roti’ semata; mereka bahkan berupaya ‘membunuh’ Tuhan dan menyatakan
kebebasan dari kehidupan akhirat.
Konsekwensinya, ujar Nasr, kekuatan dan daya
manusia mengalami ‘externalization’
(‘eksternelisasi’ - keluar dari dirinya yang sebenarnya), sehingga manusia
kemudian ‘menaklukkan’ (mengeksploitasi) alam (dunia) tanpa batas (senaknya
saja). Manusia menciptakan hubungan baru dengan alam dipandang tak lebih dari
sekedar objek dan sumber daya yang perlu dikuras dan dieksploitasi semaksimal
mungkin.
Persoalan fundamental tersebut muncul karena
masyarakat Barat modern kehilangan visi keilahian. Penglihatan
intelektualitasnya telah tumpul dalam melihat realitas hidup dan kehidupan.
Istilah intellectus menurut
Nasr mempunyai konotasi kapasitas ‘mata hati’, satu-satunya elemen esensi
manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam
semesta. Nasr menjelaskan:
Manusia
terdiri dari tiga unsur: jasmani, jiwa dan intelek,
yang terakhir ini berada di atas dan di pusat eksistensi manusia.
Esensi manusia, atau hal yang esensial dari sifat manusia, hanya dapat dipahami
oleh intelek, yang menurut istilah
tradisionalnya disebut ‘mata hati’ (’ain
al-qalb). Begitu mata hati tertutup, dan kesanggupan intelek dalam perhatiannya yang
sedia - kalanya ada menjadi - mengalami
kemandegkan, maka kita tidak mungkin mencari pengetahuan yang esensial tentang
hakikat manusia. [8]
Disebabkan intelektualits di atas difungsional,
maka sesungguhnya apa pun yang diraih manusia modern yang berada di pinggir (rim atau periphery)
tidak lebih dari sekedar pengetahuan yang ”terpecah-pecah” (fragmented knowledge), tidak utuh lagi, dan bukanlah pengetahuan yang mendatangkan kearifan untuk
melihat hakikat alam semesta sebagai kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan
kemahakuasaan Tuhan. Orang dapat melihat realitas lebih utuh manakala ia berada
pada titik ketinggian dan titik pusat. Nasr menandaskan, “yang lebih tingi
sajalah (level eksistensi) yang dapat memahami yang lebih rendah”. [9]
Manusia untuk dapat mencapai level eksistensi,
kata Nasr harus mengadakan pendakian spritual dan melatih ketajaman intellectus. Pengetahuan
fragmentaris tidak dapat digunakan untuk melihat realitas yang utuh kecuali
jika ia memiliki visi intellectus
tentang yang utuh tadi. Kemudian, dalam setiap hal pengetahuan dari
pusat (centre atau axis), karena pengetahuan ini
sekaligus mengandung pengetahuan tentang apa yang ada di pinggir dan juga
ruji-ruji yang menghubungkannya. Dan manusia dapat mengetahui dirinya secara
sempurna, hanya bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan, karena keberadaan yang
relatif hanya akan berarti bila dikaitkan pada Yang Absolut, Tuhan.
Menurut Nasr, karena intellectus di atas tidak berfungsi, maka pengetahuan
yang dihasilkan oleh pemikiran manusia modern tidak sanggup untuk mencapai
hakikat realitas. Dengan demikian, tidak dapat diharapkan dari mereka yang
berada di pinggir eksisstensi suatu pengetahuan yang utuh dan menyeluruh, malah
sebaliknya, manusia yang demikian hanya akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang
‘terpecah-pecah’. Manusia dapat melihat realitas lebih utuh manakala berada di
titik pusat.
Problem manusia modern secara filosofis berpusat
pada tidak berfungsinya intelektus ini, sehingga konsep metafisika Barat
berubah dari philosophia menjadi
data empiris, yang hanya mampu melahirkan konsepsi rohaniah yang palsu (pseudo spritual). Di sinilah akar persoalan krisis
manusia modern yang merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia.
PENUTUP
aparan dari Filsafat Perennial dimana tradisi
perennial ini artinya adalah tradisi keabadian dibahas dengan pendekatan
filsafat. Adapun yang dimaksudkan dengan filsafat adalah kajian-kajian
yang mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal,
pikiran, dan bahasa.
Kata Filsafat
berasal dari bahasa Yunani φιλοσοφία, philosophia, atau failosuf. Secara
harfiah bermakna ‘pecinta kearifanan’. Secara historis, ‘filsafat’ mencakup inti dari segala
pengetahuan atau induk dari ilmu-ilmu atau pengetahuan berasal dari filsafat.
Dalam kajian hubungan agama yang
berkaitannya dengan dunia ‘tradisi Islam’ dan (abad) ‘moderen’. Dimana abad moderen
ini berkembang lagi kearah ‘post moderen’ yang semakin menjauh dari pandangan
keagamaan dan cenderung Anti Tuhan, bahkan telah meniadakan Tuhan.
Padahal kajian filsafat
asasinya bersifat perennial (abadi), yang kini menyimpang dari keperennialannya
yaitu dirinya yang berhubungan antara Tuhan, Manusia dan Lingkungan Alam inilah
yang dibahas filsafat perennial.
Apa yang disebut sebagai filsafat perennial Nasr
ini, sebenarnya adalah rekonstruksi pemikiran Nasr terhadap tradisi Islam (Islam tradition) yang bertumpu pada
sufisme [3]. Untuk memahami hakikat realitas manusia dan alam, menurut Nasr,
tidak mungkin tercapai tanpa melakukan pendakian spritual. Pendakian ini
mestilah integral dengan syari’at. Tanpa demikian, maka manusia akan mengalami
bencana kehampaan dan kekosongan rohani, sehingga manusia akan tersesat menjalani
hidupnya.
Problem manusia modern atau post modern ini, sebagai
disinggung di atas muncul karena mengenyampingkan dimensi batini dirinya.
Konsekuensinya mereka mengalami kegersangan dan kekeringan ruhani, pada hal
kekayaan ruhani adalah prasyarat utama mencapai kebahagiaan. Kekeringan ruhani
mengakibatkan manusia lari tanpa kendali ke jurusan hakikatnya yang nista. Agar
manusia terbebaskan dari petaka diri dimaksud, maka Nasr merumuskan filsafat
perennialnya sebagai alternatif.
Demikianlah uraian dari Filsafat Perrennial yang
tentunya membacanya perlu daya simak yang tajam. Semoga paparan dalam blog ini
membawa kesadaran ilmu keislaman yang dengan itu kita tidak mudah terjerembab
kepada kubungan pandangan ‘nihilism’. Kita perlu berada di “Jalan yang Lurus” -
jalan keselamatan dan kebagian hidup di dunia dan di akhirat kelak. Bukan jalan
yang dimurkai, dan bukan pula jalan yang sesat. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
CATATAN KAKI:
[1] Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih adalah salah
seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi pada bidang filsafat akhlak. Dia
lahir di Iran pada tahun 330 Kalender Hijriyah (KH) bertepatan dengan 932 Kalendar
Gregorian (KG) dan meninggal tahun 421 KH/1030 KG. Ibnu Miskawaih melewatkan
seluruh masa hidupnya pada masa kekhalifahan Abassiyyah yang berlangsung selama
524 tahun, yaitu dari tahun 132 sampai 654 KH /750-1258 KG. Nama lengkapnya
adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf
akhlak daripada sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran,
ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji
akhlak secara ilmiah. Bahkan pada masa dinasti Buwaihi, dia diangkat menjadi
sekretaris dan pustakawan. Dulu sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah
seorang pemeluk agama Magi, yakni percaya kepada bintang-bintang.
Konsep
Pemikiran Ibnu Miskawaih
Gayanya yang menyatukan pemikiran abstrak dengan
pemikiran praktis membuat pemikirannnya sangat berpengaruh. Terkadang Ibnu
Miskawaih hanya menampilkan aspek-aspek kebijakan dari kebudayaan-kebudayaan
sebelumnya, terkadang dia hanya menyediakan ulasan praktis tentang tentang
masalah-masalah moral yang sulit untuk diuraikan. Filosofinya sangat logis dan
menunjukkan koherensi serta konsistensi.
Konsep
tentang Tuhan
Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan adalah Zat yang jelas
(syahadah) atau tidak jelas (ghaib); jelas karena Tuhan adalah yang haq
(benar), sedang tidak jelas karena kelemahan akal manusia untuk menangkap
keberadaan Tuhan serta banyaknya kendala kebendaan yang menutupinya. Tentu saja
ketidaksamaan wujud manusia dengan wujud Tuhan menjadi pembatas. Menurutnya,
entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah akal aktif, yaitu tanpa
perantara sesuatu pun yang bersifat kekal, sempurna, dan tak berubah.
Konsep
tentang Akhlak
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.
Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pendidikan akhlak secara umum
dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu
ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau
latihan. Dia berpikir bahwa kedua watak tersebut hakekatnya tidak alami
meskipun kita lahir dengan membawa watak masing-masing, namun sebenarnya watak
dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.
Konsep
tentang Manusia
Selanjutnya adalah pemikiran Ibnu Miskawaih
tentang manusia. Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang manusia tidak jauh berbeda
dengan para filosof lain. Menurutnya di dalam diri manusia terdapat tiga daya,
yakni daya nafsu (al-nafs al-bahimiyyat)
sebagai daya paling rendah, daya berani (al-nafs
al-sabu'iyyat) sebagai daya pertengahan, dan daya berpikir (al-nafs al-nathiqah) sebagai daya
tertinggi. Dia sering menggabungkan aspek-aspek Plato, Aristoteles, Phytagoras,
Galen, dan pemikir lain yang telah dipengaruhi filosofi Yunani. Namun ini
bukanlah suatu penjarahan budaya, melainkan usaha kreatif menggunakan
pendekatan-pendekatan berbeda ini untuk menjelaskan masalah-masalah penting.
Karya-karya
Ibnu Miskawaih
Ia
telah menyusun kitab Tahdzibul akhlaq wa tathhirul a'rāq. Kemudian
karyanya yang lain adalah Tartib as Sa'adah, buku ini berisi tentang
akhlak dan politik. Ada juga Al Musthafa
(syair pilihan), Jawidan Khirad
(kumpulan ungkapan bijak), As Syaribah
(tentang minuman).
Dalam bidang sejarah, karyanya Tajarib
Al-Umam (pengalaman bangsa-bangsa) menjadi acuan sejarah dunia hingga tahun
369 KH. Karya-karya Ibnu Miskawaih dalam bidang etika dinilai jauh lebih
penting daripada karya-karyanya dalam bidang metafisika. Bukunya Taharat Al
A'raq (Purity of Deposition, membersihkan perilaku buruk), yang lebih
dikenal dengan nama Tahdhib Al Akhlaq (Cultivation of Morals, menumbuhkan perilaku baik), menjelaskan
tentang jalan untuk meraih kestabilan akhlak yang tepat dalam perilaku yang
teratur dan sistematis. [id.wikipedia.or, Ibnu Miskawaih].
[2] Maksum, hlm. 129-130.
[3] en.wikipedia.org [Hossein Nasr]
[4]
Tasawuf (Sufis, Sufisme). Hamka
agaknya memilih cara diskursus (discourse)
yang lebih bebas daripada pembahasan ayat demi ayat dengan keterangan Al-Qur’an
dan Hadits seperti yang dilakukan gurunya. Perbedaan lainnya dengan Sutan
Mansur, Hamka tidak membatasi dirinya dalam ilmu kalam dan ilmu akhlak yang
tradisional demi menjaga doktrin Islam.
Tentang pemikiran Hamka ada dua
buku yang dapat dibaca untuk menelusuri pemikiran-pemikirannya. Pertama,
Tasawuf Modern yang ditulis oleh Hamka sendiri. Kedua, Tasawuf Positif dalam
pemikiran Hamka yang ditulis oleh Mohammad Damami.
Hakikat Tasawuf
Menurut
Hamka, walaupun pengambilan kata tasawuf itu, dari bahasa Arab atau Yunani,
dari asal-asal pengambilan itu, nyata bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf
atau kaum sufi ialah kaum yang telah menyusun perkumpulan untuk menyisihkan
diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca
terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, tidak menyerupai pakaian
orang dunia, biar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau
memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan Khaliqnya,
sebagaimana yang dimaksud perkataan Yunani itu.
Tasawuf adalah salah satu
filsafat Islam yang bertujuan zuhud
dari dunia yang fana, tetapi lantaran banyak bercampur dengan negeri dan bangsa
lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain ke dalamnya.
Tujuan
Tasawuf (Sufi atau Sufisme)
Menurut
Hamka, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki
budi dan membersihkan bathin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi
dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpleset ke dalam lumpur keburukan budi
dan kekotoran bathin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti teladan hidup yang dicontohkan langsung oleh
Rasulullah saw lewat As-Sunnah yang
shahih.
Hamka merinci beberapa hal sebagai berikut: Tasawuf menjadi
negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf:
a.
Dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama
Islam yang terumus dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa
dunia ini harus dibenci.
Tasawuf
akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:
a.
Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan
peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang
tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung ‘pemberdayaan umat Islam’ agar mengatasi
kemiskinan ekonomi yang ada, mempunyai ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
peradaban yang baik dan maju, politik dan mentalitas berdasarkan keadilan dan
tanggung jawab.
Fungsi Tasawuf
Menurut pendapat Hamka, tasawuf
yang bermuatan ‘zuhud yang benar’, yang juga dilaksanakan lewat peribadahan
agama yang didasari i’tiqad yang
benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral keagamaan (moral religius) yang efektif.
Tasawuf Modern
Tasawuf
yang ditawarkan Hamka disebut ‘tasauf modern’ atau ‘tasawuf positif’ berdasar
pada prinsip ‘tauhid’, bukan pencarian pengalaman ‘mukasyafah’ (terbuka tirai, penampakan nur dst-nya).
Secara garis besar, konsep ‘sufistik’ yang ditawarkan Hamka adalah ‘sufisme’ yang berorientas ‘ke depan’
yang ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang
unsur-unsurnya meliputi: prinsip ‘tauhid’, dalam arti menjaga transendensi
Tuhan dan sekaligus merasa ‘dekat dengan Tuhan’. Memanfaatkan peribadahan
sebagai media bertasawuf. Dan menghasilkan refleksi hikmah yang berupa sikap
positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos sosial yang tinggi.
Qana’ah dan Tawakal
Menurut Hamka, maksud qana’ah itu amatlah luas. Menyuruh
benar-benar percaya akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita, sabar
menerima ketentuan Ilahi juga ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan
bersyukur jika dipinjami-Nya nikmat. Itulah maksud qana’ah.
Hamka
menjelaskan tawakal sebagai berikut: Di dalam qana’ah, tersimpullah tawakal,
yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kepada Tuhan
semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tak berdaya.
Tidaklah keluar dari garisan
tawakal, jiga kita berusaha menghindarkan diri dari kemelaratan, baik yang
menyangkut diri, harta-benda, anak turunan, baik kemelaratan yang yakin akan
datang, atau berat pikiran akan datang, atau boleh jadi akan datang.
Profil
Hidup Buya Hamka
Hamka -
Haji Abdul Malik Karim Amrullah - dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di
tepi Danau Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharam 1362 KH, bertepatan
dengan 16 Februari 1908 KG. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah termasuk
keturunan Abdul Arif, gelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo, salah
seorang Paderi. Tuanku Nan Tuo adalah salah satu ulama yang memainkan peranan
peting dalam kebangkitan kembali pembaharuan di Minangkabau dan sebagai guru
utama Jalal Ad-Dīn. Kondisi sosial keagamaan pada masa Hamka menuntut adanya
pikiran-pikiran baru yang membawa umat pada ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
lurus, yang tidak bercampur dengan adat-istiadat.
Hamka
mengawali pendidikannya dengan belajar membaca Al-Qur’an di rumah orang tuanya.
Setahun kemudian, setelah mencapai usia tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya
ke sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Jainuddin Labai El-Yunusi mendirikan
sekolah diniyah petang hari, di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka lalu
dimasukkan ayahnya ke sekolah ini.
Setelah
ayahnya Abdul Karim Amrullah, kembali dari pelawatan pertamanya ke tanah Jawa.
Surau Jembatan Besi, tempat ayah Hamka memberi pengajaran agama dengan sistem
lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School, dan
Hamka dimasukkan ke sekolah itu.
Hamka
tidak sempat memperoleh pendidikan tinggi, akan tetapi, tampaknya ia berbakat
dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, termasuk
terjemahan-terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Pada tahun 1930, Hamka bukan
hanya pergi ke Jawa kemudian menetap di Jakarta, melainkan juga ke Makkah,
Kairo, Sulawesi Selatan dan Sumatra Utara. Hamka juga telah diilhami kesadaran
tentang kesatuan Indonesia jauh sebelum 1928. Hamka pada tahun 1961 mendapat gelar
Doktor Honoris Causa
dari Universitas Al-Azhar, Kairo.
Adapun karya-karya yang pernah
ditulis Hamka di antaranya adalah: Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup
(1939), Lembaga Hidup (1940), Lembaga Budi (1940), Dibawah Lindungan Ka’bah,
Renungan Tasawuf, Pelajaran Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Tenggalamnya
Kapal Van der Wijk, Kedudukan Perempuan dalam Islam, dan Tafsir Al-Azhar. Dari karya-karyanya
terlihat Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis tentang
berbabagai soal umum, sebagai editor majalah, sebagai penulis cerita pendek dan
novelis yang romantis pada masa sebelum perang.
[5] id.wikipedia.org [Abad Renaisans]
[6] S.H. Nasr, Islam Tradisi
[7] S.H. Nasr, Islam Tradisi, h. 37.
[8] Nasr, Islam
and the Pligh., h. 15.
[9] Ibid. □□
DAFTAR KEPUSTAKAAN:
Chittick, William. “Preface” dalam Aminrazavi and Morris, The CompleteBibliografi of Seyyed Hossein Nasr
From 1958 Through April 1993. Kuala Lumpur: 1994.
Echols, Jhon M., dan Hasan Shadily, Kamus
Inggiris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia, Cet, xx, 1992.
Gove, Philip Babcock, ed. In chief, Webster’s third New International Dictionary
of the Englis language Unabridged. Massachussets USA :
G & C Merriam Company, 1996.
Maksum, Ali. “Tradisionalisme Islam dalam Pemikiran Hossein Nasr”, Tesis, Program Pascasarjana IAIN SU
Medan, 1996.
Nasr, S.H. Science
and Sivilization in Islam. New York: New American Library, 1970.
--- Sufi
Essays. London : George Allenad Unwin Ltd., 1972.
--- Man and
Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: A Mandala
Book-George Allen & Unwin ltd., 1976.
---Islam
Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern. Diterjemahkan oleh Lukman
Hakim. Bandung: Pustaka, 1415/1994.
Nasution, Hasyimsyah. “Alternatif Islam dalam
Krisis Manusia Modern: Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr, dalam Miqot: Majalah Ilmu Pengetahuan dan pembangunan
No.Th. XX Maret-Apil 1994,
Balai Penenlitianm IAIN SU Medan.
Shariati, Ali. Tugas Cendekiawan Muslim. Terjemahan M. Amien Rais.
Jakarta: Rajawali Press, 1989. □□□
https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Miskawaih
https://en.wikipedia.org/wiki/Hossein_Nasr
https://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Renaisans
http://sufiroad.blogspot.com/2011/04/sufi-road-tasawuf-menurut-buya-hamka.html