Monday, February 19, 2018

Religius, Humanis dan HAM





PENDAHULUAN

P
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat, lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dari pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis, tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekuler-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.

   Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga post modern.

   Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap tidak riel. Sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya, “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Tampak seperti membela Tuhan, tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy. [1]

   Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. [2] Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. [3] Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DU-HAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak negara pendukung humanisme. Maka dari itu Hak Asasi Manusia (HAM) benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.


KETIMPANGAN DU-HAM

K
arena penyusun Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli 1993 di New York diadakan peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DU-HAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.

   Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke-50 DU-HAM dan ulang tahun ke-50 Fakultas Religious Studies Universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DU-HAM itupun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Declaration of Human Right by the World Religions.

   Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut diberbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan humanis dan kaum religius.

   Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DU-HAM.

   Mereka menganggap DU-HAM gagal memasukkan pertimbangan konteks cultural dan religius dari negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa: “DU-HAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan ke dalam Islam”.


KONSEP HAK ASASI CD-HRI

T
iga tahun lebih awal dari acara di New York (seperti yang telah disebut), umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CD-HRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang bersumber satu-satunya adalah syariat Islam.

   Jika logika sekuler, liberal, dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.

   Bahkan Deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatat “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.

   Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan.

   CD-HRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, mesti tidak sama dalam segala hal.

   Dalam pasal ke-10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan untuk mengkonversikan seseorang dari satu agama ke agama yang lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.

   Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan munkar sesuai dengan norma-norma syariat Islam. c) Informasi adalah kebutuhan yang vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.


PENUTUP

D
ari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menista manusia. Sebab syariat adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia.

Dalam syariat terdapat maslahat [4] yang telah disesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, atau nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.

   Jadi, logika yang benar adalah semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insāna layath-ghā a(n)r-ra’ āhustaghnā. [5]

   Demikianlah uraian dari tajuk diatas, semoga dapat melihat “benang merah” – (terlena dengan kata-kata indah seolah logik, tapi tidak mengenal) mana yang "universal" dan mana yang "limited" atau mana yang baik (benar) dan mana yang buruk (salah). Memang kalau tidak diuraikan seperti tersebut diatas, maka  seolah-olah mereka merasa benar sendiri. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Catatan Kaki:
[1] Blasphemy. Pelecehan, penghinaan atau penghujatan.
[2] Nama lengkap Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900) adalah seorang filsuf Jerman yang menuliskan: "Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan ungkapan ini.
[https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati]
[3] Absah: Sah, berlaku.
[4] Maslahat sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan dan sebagainya); faedah; guna.
[5] Sungguh manusia itu (ada yang) benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup (merasa hebat dan segala-galanya). [QS Al’Alaq 96:6-7]□


Sumber:
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat – Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam; Penerbit: INSISTS-MIUMI, Jakarta, 2012; sub tema “Religious-Humanis”, halaman 59-63
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati