PENDAHULUAN
P
|
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat,
lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para
pembenci agama dari pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis, tapi justru seperti
ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekuler-liberal dan
bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya,
memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi
antroposentris (manusia sebagai
pusat). Perubahan itu dianggap revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan
kebudayaan Barat modern hingga post modern.
Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme,
Tuhan dianggap tidak riel. Sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata.
Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan
dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya, “Tuhan tidak perlu dibela
karena sudah Maha Kuasa”. Tampak seperti membela Tuhan, tapi sejatinya membuka
jalan bagi blasphemy. [1]
Bukti
orientasi antroposentrisme sudah
terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala
Nietzsche. [2] Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. [3] Tapi benih yang ditabur
Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DU-HAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang
formal dan disepakati banyak negara pendukung humanisme. Maka dari itu Hak Asasi
Manusia (HAM) benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
KETIMPANGAN DU-HAM
K
|
arena penyusun Deklarasi ini tidak melibatkan
agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak
agama yang tidak puas. Pada bulan Juli 1993 di New York diadakan peluncuran
acara Project on Religion and Human Right.
Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DU-HAM dan merupakan prakarsa
untuk merevisinya.
Bukan
hanya itu, pada ulang tahun ke-50 DU-HAM dan ulang tahun ke-50 Fakultas
Religious Studies Universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DU-HAM
itupun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Declaration of Human Right by the
World Religions.
Setelah
itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut diberbagai tempat seperti di
California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan terakhir di Genting
Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh
pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam negara-negara
Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut
menyadari dominasi humanisme dalam DU-HAM.
Mereka
menganggap DU-HAM gagal memasukkan pertimbangan konteks cultural dan religius dari
negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun1981, Said Rajaie-Khorassani
malah menyatakan bahwa: “DU-HAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi
Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan ke dalam Islam”.
KONSEP HAK ASASI CD-HRI
T
|
iga tahun lebih awal dari acara di New York
(seperti yang telah disebut), umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang
disebut Cairo Declaration on Human Rights
in Islam (CD-HRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam
(OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran
hak-hak asasi manusia menurut Islam yang bersumber satu-satunya adalah syariat
Islam.
Jika
logika sekuler, liberal, dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu
mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi
ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.
Bahkan
Deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya
mencatat “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks,
agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan
perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang,
mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang
terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak untuk diberi makan, tempat
tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan.
CD-HRI juga
memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan
ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu
wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak
untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak
untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, mesti tidak sama dalam segala
hal.
Dalam pasal
ke-10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala
bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitasi kemiskinan atau
kebodohan untuk mengkonversikan seseorang dari satu agama ke agama yang lain
atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela
manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.
Baca
misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk
mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. b) Setiap orang berhak untuk
membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal
yang salah dan munkar sesuai dengan norma-norma syariat Islam. c) Informasi
adalah kebutuhan yang vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitasi atau
disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi,
merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau
membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang
bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang
mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
PENUTUP
D
|
ari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat
pada agama tidak berarti menista manusia. Sebab syariat adalah sumber segala
perlakuan terhadap manusia.
Dalam syariat terdapat maslahat [4] yang telah disesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi
tidak semua yang dianggap maslahat manusia
dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, atau nikah beda
agama bagi pembenci agama adalah maslahat,
tapi tidak dibenarkan syariat.
Jadi,
logika yang benar adalah semakin religius seseorang justru ia semakin
manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insāna layath-ghā a(n)r-ra’ āhustaghnā.
[5]
Demikianlah
uraian dari tajuk diatas, semoga dapat melihat “benang merah” – (terlena dengan
kata-kata indah seolah logik, tapi tidak mengenal) mana yang "universal" dan mana yang "limited" atau mana yang baik (benar) dan mana yang buruk (salah). Memang kalau tidak diuraikan seperti tersebut diatas, maka seolah-olah mereka merasa benar sendiri. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] Blasphemy.
Pelecehan, penghinaan atau penghujatan.
[2] Nama lengkap Friedrich
Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900)
adalah seorang filsuf Jerman yang menuliskan: "Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman:
"Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip
dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam Die fröhliche Wissenschaft, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya
dalam seksi 343 (The Meaning of our
Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan
ungkapan ini.
[https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati]
[3] Absah:
Sah, berlaku.
[4] Maslahat sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan dan sebagainya);
faedah; guna.
[5] Sungguh manusia itu (ada yang) benar-benar
melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup (merasa hebat dan
segala-galanya). [QS Al’Alaq 96:6-7]□
Sumber:
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat – Refleksi tentang
Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam; Penerbit: INSISTS-MIUMI, Jakarta, 2012; sub
tema “Religious-Humanis”, halaman 59-63
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_sudah_mati □